28
Nov
16

Kenegarawanan : Moewardi Bapak Pandu Indonesia dan Pejoang45

Suara Pembaca :
Alm Dr Moewardi Bapak Pandu Indonesia 

30 Januari 1907 adalah hari lahir Pahlawan Kemerdekaan Nasional Dr Moewardi sesuai Surat Keputusan Presiden RI No 190/1964 tanggal 4 Agustus 1964.

Dalam konteks ditengah situasi dan kondisi kenegaraan Republik Indonesia terkini khususnya Keadilan dan Persatuan Indonesia kiranya strategik ditampilkan sosok kepemimpinan Patriot Indonesia yang telah berkontribusi signifikan di 2 (dua) tonggak sejarah Indonesia strategik yaitu Sumpah Pemuda 1928 dan Proklamasi Indonesia Merdeka 1945, untuk diteladani bersama baik oleh pemangku pemerintahan maupun oleh komunitas masyarakat sipil.

Sebagai sosok intelektual terekam dari rangkaian pendidikan formal seperti HIS (Hollandsch Inlandsche School, Kudus), ELS (Europesche Lagere School, Pati), STOVIA (School Tot Opleiding Voor Inlandshe Aartsen, Jakarta), NiAS (Nederlandch Indische Arts School), GH (Geneeskundig Hoogeschool, Jakarta) yang berujung dokter spesialis THT di tahun 1939.

Sebagai sosok pejoang politik kebangsaan terjejak dari keorganisasian yang digeluti semisal PemRed Majalah Jong Java 1922; Ketua Jong Java Cabang Djakarta 1925; Utusan Jong Java di Kerapatan Besar Pemuda 28 Oktober 1928 ikrarkan Sumpah Pemuda; turut bentuk Indonesia Muda (IM) Desember 1928 (fusi Jong Java, Jong Sumatera, Jong Ambon, Jong Minahasa, Sekar Rukun, Sangkoro Mudo); Ketua Barisan Pelopor (BP) Djakarta 1944; pimpinan BP amankan acara Proklamasi Indonesia Merdeka 17 Agustus 1945 di Jl Pegangsaan Timur 56 Jakarta dan Rapat Raksasa IKADA 19 September 1945; Pemimpin Umum Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI, pengganti BP), Solo; turut bentuk Persatuan Perjuangan (PP) 5 Januari 1946 di Purwokerto; turut sebagai penggerak Bandung Lautan Api 23 Maret 1946 bersama BBRI Bandung (M Toha, AH Nasution, Suprayogi); pimpinan Kongres BBRI Pebruari 1948 di Solo, bersikap anti perundingan dengan Belanda dan anti Swapraja, pasca Perjanjian Renville 17 Januari 1948.

Sebagai sosok berjiwa kepemimpinan Pandu Nasionalistik ditapaki dari Nederlandsch Indische Padvinder Vereneging (NIPV) dan di tahun 1925 berprestasi Kelas-I (Kepala Pasukan, Ploeg Leider / Assistant Troep); sebagai pimpinan Jong Java Padvinderij (JJP) mengubah nama jadi Pandu Kebangsaan (PK 1925); inisiator Persatuan Antara Pandu Indonesia (PAPI 23 Mei 1928) bersama Nationale Islamietische Padvinderij (NATIPIJ) dan Indonesische Nationale Padvinders Organisatie (INPO); penggagas prinsip “pandu yang satu adalah saudara pandu yang lainnya, oleh karena itu seluruh pandu harus menjadi satu” atau Satu Organisasi Kepanduan Indonesia (SOKI) di temu PAPI 15 Desember 1929; pembentuk dan Komisaris Besar Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI 13 September 1930) fusi dari PK, Pandu Pemuda Sumatera (PPS) dan INPO; pembentuk dan pimpinan Badan Pusat Persaudaraan Kepanduan Indonesia (BPPKI 30 April 1938) bersama Kepanduan Azas Katholik Indonesia (KAKI), NATIPIj dan Syarikat Islam Afdeling Padvinderij (SIAP); pimpinan Perkemahan Kepanduan Indonesia Oemoem (PERKINO-I 19-23 Juli 1941, Jogjakarta dan PERKINO-II 2-12 Pebruari 1943, Jakarta); inisiator Panitia Kesatuan Kepanduan Indonesia, September 1945, Jogjakarta; pimpinan Kongres Kesatuan Kepanduan Indonesia 27-29 Desember 1945, Solo dan pembentuk serta Ketua Pandu Rakyat Indonesia (PRI 28 Desember 1945, yang diakui satu2nya organisasi kepanduan per Keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan No 93/Bag A, 1 Pebruari 1947).

Sebagai tokoh Patriot Indonesia, sayang saat sedang menjalankan profesi kedokterannya
pada 13 September 1948 di Solo, dinyatakan hilang yang diduga sebagai korban revolusi di era Perang Kemerdekaan 1945-1949.    Sebagai inisiator Pandu Kebangsaan 1925, dimana istilah Pandu untuk pertama kalinya digunakan di Indonesia dan disyairkan WR Soepratman “Pandoe Iboekoe” pada lagu kebangsaan Indonesia Raja 28 Oktober 1928 lalu bermuara serta berkiprah jiwai Gerakan Pramuka 1961-sekarang, maka layaklah Dr Moewardi berkehormatan Bapak Pandu Indonesia dan diteladani pemangku Republik Indonesia jelang peringatan hari lahirnya ke 107 pada 30 Januari 2015 yang akan datang.

Jakarta, 22 Januari 2015
Pandji R Hadinoto, MAPINDO
Pandji R Hadinoto,
MAPINDO – Majelis Pandu Indonesia
Politisi Keadilan dan Persatuan Indonesia
PKP17845 – Poros Koalisi Proklamasi 17845
Editor www.jakarta45.wordpress.com

Sumber Berita: http://www.edisinews.com

Ringkasan Napak Tilas Bapak Pandu Indonesia sebagaimana uraian dibawah ini :
MOEWARDI SOSOK TRIBHAKTI INDONESIA
Mohon dibroadcast ke rekan2 “Pandu Ibuku”
senafas dengan seruan “Indonesia Raya”

Dalam rangka SAVE INDONESIA berbasis http://m.edisinews.com/berita-piagam-karakter-pandu-indonesia.html , maka perlu IKON Persatuan Indonesia (sila ke-3 Pancasila) menuju Indonesia Jaya 2045.

Berdasarkan rekam jejak TRIBHAKTI (Pandu – Patriotik – Profesional) daripada sosok Dr Moewardi, dibudayakan keteladannya melalui bahasan Napak Tilas kiprahnya sejak tahun kelahirannya 1907 s/d tahun gugurnya 1948 di lokasi sejarah keterlibatannya sbg utusan Jong Java saat Sumpah Pemuda 1928 (Moewardi, Ketua Cabang Jong Java, Batavia)

Sarasehan Bedah Tokoh Dr Moewardi di Museum Sumpah Pemuda, Jl Kramat Raya 106, JakPus, 22 Pebruari 2015 Jam 10 wib

“Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka.” (Bung Karno – 1963)

NAPAK TILAS Dr MOEWARDI Bapak Pandu Indonesia (Rev 22Peb15), Pandu & Patriot Kebangsaan Pancasila Indonesia

30 Januari 1907 Moewardi terlahir di desa Randukuning, Pati, Jawa Tengah, di tahun yang sama bina pemuda Boy Scout diawali Baden Powell berbasis pengalaman bina 300 cadetten corps (1899-1900) saat berdinas sebagai Kolonel dikota Mafeking, Afrika Selatan.

PERIODE KEBANGKITAN NASIONAL 1908-1928

20 Mei 1908 Boedi Oetomo terbentuk
1911 terbentuk Serikat Dagang Islam (SDI) dpp H Samanhudi
1912 Nederlandse Padvinders Organisatie (NPO) terbentuk cabangnya di Batavia oleh P Jon Smits, pada tahun yang sama SDI jadi Serikat Islam (SI), juga terbentuk Indische Partij (IP) dengan tekad Hindia untuk Indiers yang bertujuan mempersiapkan bangsa Hindia ke arah kehidupan sebagai bangsa yg merdeka.

1913 Moewardi bersekolah di SD Bumiputera Jakenan lanjut di HIS (Hollandsch Inlandsche School, Kudus), lalu di ELS (Europesche Lagere School, Pati)

4 September 1914 Nederlands Indische Padvinders Vereeniging (NIPV) terbentuk
7 Maret 1915 Tri Koro Dharmo (Tiga Tujuan Mulia) terbentuk di Gedung STOVIA prakarsa Satiman Wirjosandjojo, berbasis kemuliaan
1) Mengabdi pada tanah air berdasar cinta
2) Membangkitkan keikutsertaan masyarakat dengan maksud mempertinggi kebudayaan Jawa seluruhnya
3) Mempererat persaudaraan diantara suku2 bangsa di IndonesiaJuli
1915 terbentuk Padvinders Truna Kembang (PTK) di Surakarta
1916 Javaansche Padvinders Organisatie (JPO) dibentuk Mangkunegoro VII di Solo
2 Desember 1917 Jong Sumatranen Bond terbentuk, berikut Pasundan, Jong Ambon, Jong Celebes, Sekar Rukun, Pemoeda Kaoem Betawi dll‎

12 Juni 1918 Tri Koro Dharmo jadi Jong Java dan pada tahun yang sama Moewardi jadi anggota padvinderij Spoorzoeker, Pati

1 September 1919 terbit Pasal 111 Regerings Reglement tentang berserikat diakui termasuk perkumpulan politik bersyarat Koninklijk Besluit 17 Desember 1918
1921 Moewardi bersekolah di STOVIA (School Tot Opleiding Voor Inlandshe Aartsen atau Sekolah Dokter Bumi Putera di Kwitang, Jakarta), berlanjut ke NIAS (Nederlandsch Indische Arts School) dan lulus 1 Desember 1933, serta setelah praktek 5 tahun mengambil spesialisasi THT di GH (Geneeskundig Hoogeschool, Salemba, Jakarta) 1939 dan lulus 1941.
Moewardi adalah aktivis Nederlandsch Indische Padvinder Vereneging (NIPV) sampai 1925 disamping Jong Java.
Nopember 1922 Jong Java bentuk kepanduan Mataram, di tahun yang sama Moewardi Pemimpin Redaksi Majalah Jong Java, juga terbentuk Nationale Padvinderij dpp Deslam Adiwarsito, berikut Wira Tamtama, Hisbul Wathan
1925 Moewardi Ketua Jong Java Cabang Batavia, pada tahun yang sama dideklarasi Manifesto Politik Perhimpunan Indonesia di Belanda yaitu :
1) Rakyat Indonesia sewajarnnya diperintah oleh pemerintahan yang dipilih sendiri oleh mereka,
2) Dalam memperjuangkan pemerintahan sendiri itu tidak diperlukan bantuan dari pihak manapun,
3) Tanpa persatuan yang kokoh dari berbagai unsur rakyat, tujuan perjuangan itu sulit dapat dicapai.
15 Nopember 1925 pembentukan penggerak mula Kongres Pemuda Indonesia oleh Soemarto, Soewarso, Moh Tabrani (Jong Java), Bahder Djohan, Djamaludin, Sarbaini (Jong Sumatranen Bond), Jan Toule Soulehuwij (Jong Ambon), Sanusi Pane (Jong Bataks Bond), Pelajar Minahasa, Sekar Rukun dll
30 April – 2 Mei 1926 Kongres Pemuda I dan pada tahun yang sama terbentuk INPO (Indonesische Nationale Padvinders Organisatie).

28 Agustus 1926 Moewardi ikut membentuk Jong Java Padvinderij (JJP) dan pada Nopember 1926 Moewardi Komisaris Besar JJP, diduga sudah berpikiran JJP adalah Pandu Kebangsaan (PK)
1927 Moewardi pengurus pusat JJP dan pada tahun yg sama terbentuk Pandoe Pemoeda Soematra (PPS) di Jakarta & Tebing Tinggi
23 Mei 1928 Moewardi inisiator Persaudaraan Antara Pandu Indonesia (PAPI) di Batavia antara PK (Pandu Kebangsaan), NATIPIJ (Nationale Islamietische Padvinderij)‎
28 Okober 1928 Moewardi utusan Jong Java di Kongres Pemuda Nasional II di Jakarta dan ikut ikrarkan Sumpah Pemuda
Desember 1928 Moewardi turut bentuk Indonesia Muda (IM) yang fusi dari Jong Java, Jong Sumatera, Jong Ambon, Jong Minahasa, Sekar Rukun (Sunda), Sangkoro Mudo (Jawa).

PERIODE PERGERAKAN KEMERDEKAAN 1929-1945 :

Desember 1929 PK Pandu Kebangsaan terpisah dari Jong Java.
15 Desember 1929 Moewardi (PK) di temu PAPI Batavia usul SOKI (Satu Organisasi Kepanduan indonesia) berprinsip “pandu yang satu adalah saudara pandu yang lainnya, oleh karena itu seluruh pandu harus menjadi satu” yang lalu ditindaklanjuti fusi PK, INPO dan PPS (Pandu Pemuda Sumatera) jadi KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia) dan pelantikan Moewardi Komisaris Besar 8 Pebruari 1930
20 April 1930 Moewardi menulis tentang Kepandoean Dalam Jong-Java [GedenkBoek Jong-Java 1915-1930 terbitan Pedoman Besar Jong Java], Moewardi sebagai ATC dari Jong Java Padvinder (Pandu Kebangsaan)

Desember 1930 Kongres/jambore KBI Pertama di Ambarwinangun, Jogjakarta
Juni 1931 Pertemuan Pemimpin I KBI di Purworejo, menetapkan warna “merah putih” sebagai warna setangan leher dan bendera KBI sesuai azas kebangsaan Indonesia.
19-21 Juli 1932 Jambore II KBI di Banyak, Malang, dipimpin KomBes Moewardi, memutuskan tentang Upacara Pelantikan Pandu dan Upacara Pengibaran Bendera
20-24 Juni 1934 Jambore III KBI di Solo, menerbitkan AD/ART, Petunjuk Permainan, Peraturan Mendirikan Cabang dlsb
1936 Jambore Nasional IV KBI di Kali Urang, Jogjakarta dan perkemahan di lapangan Diponegoro dipimpin KomBes Dr Moewardi
1936-1939 Dr Moewardi Ketua Voetbalbond Indonesia Jacatra.‎
26-30 April 1938 Dr Moewardi memimpin temu PAPI di Solo bicarakan All indonesian Jambore, dibentuk BPPKI atau Badan Pusat Persaudaraan Kepanduan Indonesia dimana KBI Ketua, KAKI (Kepanduan Azas Katholik Indonesia) Notulen, NATIPIJ Bendahara, SIAP (Syarikat Islam Afdeling Padvinderij) Urusan Bagian Teknik,
1939 Dr Moewardi Ketua Ikatan Sport indonesia (ISI), di tahun yang sama Dr Moewardi pimpin Konperensi BPPKI di Bandung putuskan All Indonesian Jambore jadi Perkemahan Kepandoean Indonesia Oemoem (PERKINO)
11 Pebruari 1941 Dr Moewardi memimpin BPPKI di Solo putuskan PERKINO di Jogjakarta.
1941 Dr Moewardi Ketua Persatuan Koperasi di Batavia & 1941-1942 Dr Moewardi Ketua Persatuan Olah Raga (POR)‎
19-23 Juli 1941 PERKINO I di Gampingan, Jogjakarta

Maret 1942 Jepang menaklukkan Hindia Belanda, dan 4 bulan kemudian melarang partai dan organisasi rakyat Indonesia, serta hidupkan Keibodan & Seinendan.
2-12 Pebruari 1943 Dr Moewardi pimpin PERKINO II di Djakarta
4 April 1944 KBI dibekukan di Gang Tengah, Djakarta
1944 Dr Moewardi Ketua Barisan Pelopor Daerah Djakarta Raja, wakilnya Wilopo SH
3 Juni 1945 Dr Moewardi turut bentuk Gerakan Angkatan Baru Indonesia
16-17 Agustus 1945 Dr Moewardi memimpin Barisan Pelopor amankan Proklamasi Indonesia Merdeka dan memberi Kata Sambutan ke-4 di Jl Pegangsaan Timur 56
18 Agustus 1945 Dr Moewardi Ketua Umum Barisan Pelopor (berubah nama jadi Barisan Pelopor Republik Indonesia – BPRI)
19 September 1945 Dr Moewardi memimpin Barisan Pelopor amankan Rapat Raksasa IKADA
September 1945 PKKI Panitia Kesatuan Kepanduan Indonesia dibentuk di Jogjakarta

9 Oktober 1945 Pengurus Pusat Bank Indonesia perdana : Drs M Hatta, Dr MUWARDI, Dr R Soeharto, Djohar, MR Mardanus, Ir Surachman, dpp RM Margono Djojohadikusumo, Mr Abdulkarim, berkantor di jl Menteng 23, Jakarta Pusat
15-16 Desember 1945 BPRI berubah nama jadi Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI) bermarkas di Solo, Dr Moewardi Pemimpin Umum BBRI
27-29 Desember 1945 Dr Moewardi pimpinan Kongres Kesatuan Kepanduan Indonesia (dari 300 perwakilan pandu) di Solo membentuk Pandu Rakyat Indonesia (PRI) yang diketuai Dr Moewardi

PERIODE PERANG KEMERDEKAAN 1945-1949 :

5 Januari 1946 Dr Moewardi ikut membentuk Persatuan Perjuangan (PP) di Purwokerto, dilanjutkan membentuk jaringan teritorial BBRI Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur
23 Maret 1946 Dr Moewardi pelaku Bandung Lautan Api bersama Barisan Banteng di Bandung seperti M Toha, Abdul H Nasution, Suprayogi
12 Nopember 1946 BBRI bergabung di Dewan Kelaskaran Pusat dpp Jenderal Soedirman di Jogjakarta

1 Pebruari 1947 PRI diakui sebagai satu2nya organisasi kepanduan per Keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan No 93/Bag.A.

25 Maret 1947 Perjanjian Linggarjati (yang ditentang Dr Moewardi bersama Soedirman, Oerip Soemoharjo dan Tan Malaka)
1 Juli 1947 Agresi Militer I Belanda
17 Januari 1948 Persetujuan Renville
Pebruari 1948 Kongres BBRI di Sarwakan, Solo, Dr Moewardi sikapi anti perundingan dengan Belanda dan anti Swapraja, bersama Mulyadi Djojomartono ditangkap atas perintah Mendagri Dr Soedarsono, namun dilepaskan kembali atas dukungan BBRI, Soedirman dan Oerip Soemohardjo.
6 juni 1948 Dr Moewardi membentuk Gerakan Revolusi Rakyat (GRR) bersama Maruto Nitimihardjo & Rustam Effendi, melawan Front Demokrasi Rakyat (FDR).
13 September 1948 Dr Moewardi gugur diculik saat praktek kedokteran di RS Jebres, Solo, terduga korban aksi kekerasan dalam suasana dan kondisi saat itu yaitu pasca aksi Partai Komunis Indonesia 11 September 1948 di Madiun. Sikap mengutamakan profesi dokter ini terkait komitmennya pada Sumpah Hipokrates yaitu ikrar Penjaga Kemanusiaan (dalam keadaan apapun harus berpihak pada kelestarian hidup seorang manusia apapun status, kedudukan & pangkat orang itu)
19 Desember 1948 Agresi Militer II Belanda

PERIODE INDONESIA BERDAULAT 1950 – kini

14 Agustus 1961 eksponen2 Kepanduan termasuk Pandu Rakyat Indonesia turut peresmian Gerakan Pramuka di IKADA

4 Agustus 1964 Dr Moewardi ditetapkan jadi Pahlawan Kemerdekaan Nasional per Surat Keputusan Presiden RI No 190/1964

Nopember 1988 berdiri Patung Dr Moewardi Sastrowardojo di lokasi Bumi Perkemahan Gerakan Pramuka Cabang XI-31, Jurug, Kodya Surakarta, diresmikan oleh Mashudi Ketua Kwarnas Gerakan Pramuka (display foto ada di Museum Keluarga Besar Dr Moewardi Sastrowardojo, Jl Cempaka III/16 Bintaro)

Jakarta, 22 Pebruari 2015

MAJELIS PANDU INDONESIA (MAPINDO)
Pandji R Hadinoto, guspandji@gmail.com
Alumni Pandu Rakyat Indonesia 1958-1961
Alumni Gerakan Pramuka 1961-1967

Dr. Moewardi, Bapak Pandu Indonesia?

Sebagai pejuang kemerdekaan Republik Indonesia dan dokter spesialis yang merakyat, nama Dr. Moewardi sudah amat dikenal. Pemerintah telah menganugerahkan gelar pahlawan nasional atas jasa-jasanya. Bahkan selain diabadikan dalam nama jalan, nama Dr. Moewardi juga dijadikan nama Rumah Sakit yang terkenal di Kota Solo, Jawa Tengah.

Tetapi mungkin belum begitu banyak yang tahu betapa besar juga jasanya pada gerakan pendidikan kepanduan (scouting movement), yang kini di Indonesia dikenal dengan nama Gerakan Pramuka. Bahkan ketertarikan saya berkunjung ke Museum Dr. Moewardi di bilangan Bintaro, Jakarta Selatan, adalah karena saya pernah membaca  betapa besarnya peranan Dr. Moewardi di bidang kepanduan di Tanah Air tercinta.

Mungkin hanya kebetulan, Dr. Moewardi dilahirkan pada 1907, tahun yang sama ketika Baden-Powell, kelak diberi gelar Lord dan dijuluki Bapak Pandu Sedunia, mengadakan suatu perkemahan percobaan di Pulau Brownsea di Inggris. Melalui perkemahan percobaan itulah, Baden-Powell kemudian menuliskan artikel-artikelnya yang dibukukan dengan judul Scouting for Boys. Suatu buku yang kemudian melahirkan gerakan pendidikan kepanduan, pendidikan bagi anak-anak dan remaja yang melengkapi pendidikan di lingkungan keluarga dan pendidikan di lingkungan sekolah.

Tapi yang pasti, belakangan Dr. Moewardi juga aktif di gerakan kepanduan sejak gerakan pendidikan yang menekankan pendidikan di alam terbuka masuk ke Indonesia (ketika itu masih bernama Hindia-Belanda) pada 1912. Saat itu, seorang pegawai Dinas Meteorologi Hindia-Belanda di Batavia (sekarang Jakarta) bernama P. Joh Smits, memulai pendidikan kepanduan pada anak-anak keluarga Belanda di negeri kita ini.

Awalnya, organisasi kepanduan yang ada merupakan cabang dari Nederlandsch Padvinders Organisatie (NPO), organisasi gerakan kepanduan di Belanda. Baru kemudian, organisasi di Hindia-Belanda berdiri sendiri dengan nama Nederlandsch Indische Padvinders Vereeniging (NIPV). Moewardi menjadi anggota yang sangat aktif, bahkan dia mencapai jenjang Assistant Troep Leider, wakil pimpinan pasukan yang sangat jarang dicapai oleh seorang pandu bumiputera, karena biasanya jabatan itu hanya dikuasai oleh anak-anak dan remaja Belanda saja.

Namun saat akan diangkat sebagai Troep Leider atau pimpinan pasukan, Moewardi menolak dan memilih keluar, karena dia diharuskan mengucapkan janji setia kepada Raja Belanda. Tapi bukan berarti lalu dia berhenti berkegiatan di kepanduan. Dia bahkan kemudian ikut menjadi pemimpin sejumlah organisasi kepanduan nasional. Dimulai dari Jong Java Padvinders (JJP), organisasi kepanduan dari perkumpulan Jong Java. Moewardi sempat menjadi Komisaris Besar dan memimpin Kwartir Besar JJP, jabatan yang setara dengan Ketua Kwartir Nasional saat ini. Organisasi JJP ini kemudian berubah menjadi Pandoe Kebangsaan.

moewardi-5-572ae17f709773040c75beb2.jpg

Moewardi bersama teman-temannya dari Jong Java Padvinders (JJP), foto yang terdapat di Museum Dr. Moewardi. (Foto: R. Andi Widjanarko, ISJ)

Sebagai tokoh Jong Java, dia juga ikut Kongres Pemuda II pada 1928 yang melahirkan “Sumpah Pemuda”. Di dalam ikrar tersebut selain janji: “Bertanah air satu Indonesia, berbangsa satu Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan Indonesia”, juga dilengkapi dengan keterangan tentang upaya-upaya memajukan kaum muda dan Indonesia seutuhnya. Di situlah tertulis bahwa kepanduan juga berperan dalam Kongres Pemuda itu. Selain Mr. Soenario yang mewakili kepanduan, maka Dr. Moewardi walaupun sebagai utusan Jong Java, tetapi jiwa pandunya tetap memberikan masukan agar kepanduan dimasukkkan dalam ikrar lengkap ‘Sumpah Pemuda’.

Jauh sebelum ide Ir. Soekarno untuk menyatukan semua organisasi kepanduan dalam satu wadah bernama Gerakan Pramuka, maka Moewardi telah lebih dulu mengungkapkannya pada pertemuan Pandoe Kebangsaan di tahun 1929. Dia mengusulkan supaya diadakan fusi atau peleburan semua organisasi kepanduan menjadi Satu Organisasi Kepanduan Indonesia (SOKI). Sayang ide tersebut belum dapat diterima ketika itu.

Tetapi setahun kemudian, Pandoe Kebangsaan, Pandoe Pemoeda Sumatera (PPS), dan Indoneisch Nationale Padvinders Organisatie (INPO) untuk melebur menjadi satu organisasi kepanduan dengan nama Kepandoean Bangsa Indonesia (KBI) pada 13 September 1930. Di organisasi tersebut Muwardi duduk sebagai Komisaris Besar KBI.

Dia kemudian berperan besar dalam penyusunan organisasi KBI, termasuk tata upacara, aturan-aturan, sampai beberapa kali sukses menyelenggarakan jambore, perkemahan besar yang diikuti cabang-cabang KBI dari berbagai daerah.

Pada sekitar 1938, Dr. Moewardi walaupun di tengah kesibukannya sebagai dokter yang melayani pasien-pasiennya, tetap aktif di kepanduan. Dia bahkan termasuk pimpinan sejumlah organisasi kepanduan yang memutuskan untuk menyelenggarakan All Indonesian Jambore. Belakangan nama yang berbahasa asing diganti dengan Bahasa Indonesia dan disebut Perkemahan Kepandoean Indonesia Oemoem disingkat Perkino.

Di tengah Perang Dunia II yang mulai meletus, Perkino pertama masih bisa diselenggarakan di Gampingan, Yogyakarta, pada 1941. Hebatnya lagi, meski Jepang sudah menguasai Indonesia, namum Perkino II tetap berlangsung sukses selama sepuluh hari dari 2 sampai 12 Februari 1943 di Jakarta. Adalah Dr. Moewardi sendiri yang langsung memimpin Perkino II.

Sayangnya, setelah itu Balatentara Dai Nippon melarang kegiatan kepanduan di Tanah Air. Di samping tetap menjalankan profesi sebagai dokter, Dr. Moewardi kemudian membentuk Barisan Pelopor dan selanjutnya Barisan Banteng. Banyak di antara anggotanya adalah para Pandu yang pernah dibinanya, sehingga tidak menyulitkan mereka untuk melatih baris-berbaris dan kedisplinan serta keterampilan lain yang diperlukan. Mereka sudah mendapat pendidikan itu sewaktu masih aktif di gerakan kepanduan.

Atas jasa-jasanya dalam kepanduan itulah, patung Dr. Moewardi yang cukup besar didirikan di depan Bumi Perkemahan Pramuka di kawasan Jurug, Solo, pada November 1988. Bahkan kini sejumlah kalangan mengusulkan pula agar Dr. Moewardi dapat diberi gelar Bapak Pandu Indonesia.

Di lingkungan Gerakan Pramuka sendiri telah ada Bapak Pramuka Indonesia. Gelar yang disematkan kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX melalui Keputusan Musyawarah Nasional Gerakan Pramuka di Dili, Timor Timur (sekarang Timor Leste), pada 1988. Sri Sultan Hamengku Buwono IX memang sangat besar jasanya pada pembentukan Gerakan Pramuka, bahkan dialah yang menerima Panji Gerakan Pramuka pertama kalinya dari tangan Presiden Soekarno pada 14 Agustus 1961.

Jadi, ada yang mengusulkan agar generasi muda, khususnya dari kalangan kepramukan, tidak lupa sejarah gerakan pendidikan non-formal itu, mungkin tidak salah bila Dr. Moewardi dijadikan Bapak Pandu Indonesia bersanding dengan Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai Bapak Pramuka Indonesia. Sehingga terlihat kesinambungan sejarah dari masa kepanduan sebelum 1961 ke masa kepramukaan setelah 1961.

Persoalannya, ada juga menganggap Pandu itu ya Pramuka, dan Pramuka itu ya Pandu. Cukup satu saja yang diberi sebutan Bapak Pramuka atau Bapak Pandu Indonesia. Karena Sri Sultan Hamengku Buwono IX sudah lebih dulu diberi gelar itu, maka cukup satu saja.

Walaupun demikian, tentu saja kita –terutama para Pramuka– tak boleh melupakan jasa-jasa Dr. Moewardi dalam mengembangkan gerakan pendidikan kepanduan. Kalau pun tak disebut sebagai Bapak Pandu Indonesia agar tidak membuat orang bingung kenapa ada Bapak Pandu dan ada Bapak Pramuka, seyogyanya nama Dr. Moewardi tetap ditulis dengan ‘tinta emas’ dalam sejarah gerakan pendidikan kepanduan di Tanah Air.

Nama Dr. Moewardi memang sejak lama telah diabadikan sebagai nama salah satu bangunan di Taman Rekreasi Wiladatika, kompleks pendidikan dan rekreasi Gerakan Pramuka di Cibubur, Jakarta Timur. Namun rasanya pantas pula bila pimpinan Kwartir Nasional Gerakan Pramuka memberikan penghargaan tertinggi Gerakan Pramuka, Lencana Tunas Kencana.

(Kisah ini belum selesai, nantikan kisah berikutnya).

Dr. Moewardi atau Lainnya?

Tulisan saya bertajuk “Dr. Moewardi, Bapak Pandu Indonesia?” ternyata mendapat sambutan hangat para Kompasianer. Kurang dari sehari, yang membaca sudah lebih dari 375 orang, belum lagi yang menanggapi. Soal yang menanggapi ini, ada yang langsung berkomentar di bawah tulisan itu pada Kompasiana, namun ada juga yang berkomentar ketika saya menyertakan tautan tulisan tersebut di akun Facebook saya.

Banyak yang setuju terhadap besarnya jasa Dr. Moewardi kepada kepanduan Indonesia sehingga layak disebut “Bapak Pandu Indonesia”. Tetapi ada juga yang mempertanyakan nama-nama lain seperti Presiden Soekarno, Jenderal Soedirman, dan KH Agus Salim. Termasuk pula yang rupanya tidak membaca teliti tulisan saya tadi, menanyakan kembali kenapa bukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang disebut Bapak Pandu Indonesia.

Padahal, dalam tulisan tersebut sudah saya jelaskan bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono IX  adalah Bapak Pramuka Indonesia yang ditetapkan melalui Keputusan Musyawarah Nasional Gerakan Pramuka di Dili, Timor Timur (sekarang Timor Leste), pada 1988. Jadi bisa saja Dr. Moewardi dijadikan Bapak Pandu Indonesia bersanding dengan Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai Bapak Pramuka Indonesia. Dari Pandu ke Pramuka, agar terlihat kesinambungan sejarah dari masa kepanduan sebelum 1961 ke masa kepramukaan setelah 1961.

Walaupun, masih dalam tulisan tadi, saya juga mengungkapkan, ada juga yang menganggap Pandu adalah Pramuka, dan Pramuka adalah Pandu. Maka, cukup satu saja yang diberi sebutan Bapak Pramuka atau Bapak Pandu Indonesia. Karena Sri Sultan Hamengku Buwono IX sudah lebih dulu diberi gelar itu, maka cukup satu saja.

Tapi, baiklah kembali ke soal nama-nama yang disebutkan dalam komentar menanggapi tulisan saya. Presiden Soekarno, jelas beliau bukan tokoh pandu, karena beliau itulah yang meleburkan semua organisasi kepanduan ke dalam satu wadah, Gerakan Pramuka. Lalu tentang Jenderal Soedirman, yang memang pada masa mudanya pernah ikut dalam kegiatan kepanduan. Namun, dari catatan-catatan sejarah yang ada, Jenderal Soedirman lebih dikenal sebagai seorang pejuang dalam bidang kemiliteran dan merupakan salah satu organisasi nasional tentara Republik Indonesia yang kini dikenal dengan nama Tentara Nasional Indonesia (TNI). Itulah sebabnya, Pak Dirman – panggilan akrabnya – juga disebut sebagai Panglima Besar TNI.

Lalu bagaimana dengan KH Agus Salim? Menurut data sejarah, Agus Salim dilahirkan dengan nama Mashudul Haq di Kota Gadang, Sumatera Barat, pada 8 Oktober 1884. Berarti ketika gerakan pendidikan kepanduan masuk ke bumi Nusantara pada 1912, Agus Salim telah berusia sekitar 28 tahun. Usia itu menunjukkan bahwa dia tak mungkin lagi mengecap pendidikan kepanduan sebagai peserta didik, yang umumnya di negara mana pun berusia antara 6 atau 7 tahun sampai 23 atau 25 tahun.

Tetapi sebagai tokoh Sarekat Islam, KH Agus Salim memang menaruh perhatian pada pendidikan kepanduan. Dia juga yang mengusulkan penggunaan kata “pandu” dan “kepanduan” untuk mengganti istilah padvinder dan padvinderij dalam Bahasa Belanda. Usulan itu disebabkan adanya larangan bagi organisasi-organisasi kepanduan yang didirikan dan beranggotakan bumiputera untuk menggunakan istilah dan nama padvinder dan padvinderij. Saat itu, dalam masa pendudukan Belanda dan Indonesia masih bernama Hindia-Belanda, memang pemerintah kolonial Belanda yang berkuasa penuh.

Namun untuk tetap mengembangkan kegiatan pendidikan kepanduan, kaum bumiputera tak kalah akal. Antara lain Agus Salim yang mengemukakan agar digunakan saja kata “pandu” (pandoe) dan “kepanduan” (kepandoean). Dia mengemukakan hal itu pertama kali dalam kongres Sarekat Islam Afdeeling Padinderij (SIAP) di Banjarnegara, Banyumas, Jawa Tengah, pada 1928. SIAP adalah bagian atau divisi dari Sarekat Islam untuk kegiatan kepanduan. Sesuai usul Agus Salim, SIAP berubah kepanjangannya menjadi Sarekat Islam Afdeeling Pandoe.

Dari data sejarah tercatat memang KH Agus Salim itulah yang mengusulkan penggunaan kata “pandu” dan “kepanduan”. Tetapi bisa dikatakan, sama seperti Wage Rudolf Supratman, komponis yang menggubah lagu Indonesia Raya, yang kelak menjadi lagu kebangsaan Republik Indonesia. Supratman sering disebut bukan seorang Pandu – kalau pun dia ikut kegiatan kepanduan hanya sekadar anggota biasa yang kurang berperan – tetapi dia begitu terinspirasi dengan kata “Pandu”, sehingga memasukkan kata itu dalam lirik lagunya, “Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku, di sanalah aku berdiri, jadi Pandu ibuku, ……”. Boleh juga disebutkan sama seperti Presiden Soekarno. Bisa dikatakan dia yang membentuk Gerakan Pramuka, namun dia bukan Bapak Pramuka Indonesia.

Seperti itu juga keberadaan Dr. Moewardi. Dia bukan sekadar anggota biasa di kepanduan, namun dia adalah anggota yang aktif sejak menjadi peserta didik di usia mudanya. Bahkan karena cintanya kepada kepanduan nasional dan Tanah Airnya, dia menolak diangkat sebagai Troep Leider atau pimpinan pasukan saat masih bergabung dengan dalam organisasi Nederlandsch Indische Padvinders Vereeniging (NIPV). Moewardi menolak dan memilih ke luar, karena dia diharuskan mengucapkan janji setia kepada Raja Belanda.

Tapi justru dengan keluarnya dari NIPV, Moewardi membentuk Jong Java Padvinders (JJP) yang kemudian berubah menjadi Pandoe Kebangsaa). Dalam aktivitasnya di kepanduan, Moewardi bahkan mencapai jabatan tertinggi sebagai Komisaris Besar, baik di JJP dan Pandoe Kebangsaan, maupun di Kepandoean Bangsa Indonesia (KBI), yang lahir dari penyatuan Pandoe Kebangsaan, Pandoe Pemoeda Sumatera (PPS), dan Indoneisch Nationale Padvinders Organisatie (INPO).

Penyatuan ketiga organisasi itu juga adalah atas usulannya, karena dia berpendapat semua Pandu adalah saudara satu dengan lainnya, dan sebaiknya organisasi pandu yang bermacam-macam disatukan saja. Dia dan teman-temannya sepakat menggunakan nama KBI untuk menunjukkan inilah organisasi pandu bangsa Indonesia. Suatu organisasi gerakan pendidikan kepanduan bangsa Indonesia yang lahir 13 September 1930 atau 15 tahun sebelum Indonesia merdeka.

plakat-2-572c45a1c0afbd6812d5dc55.jpg

Bapak Witjaksono Moewardi, anak keenam Dr. Moewardi, menjelaskan tentang foto Patung Dr. Moewardi yang didirikan di Bumi Perkemahan Jurug di Solo, Jawa Tengah. (Foto: R. Andi Widjanarko, ISJ)

Hal ini jugalah yang dibincangkan sejumlah anggota komunitas Indonesia Scout Journalist (ISJ) ketika berkunjung ke Museum Dr. Moewardi di bilangan Bintaro, Jakarta Selatan. Ketika berjumpa dengan Bapak Witjaksono Moewardi, anak keenam Dr. Moewardi, perbincangan ini disampaikan juga kepadanya. Apalagi sebelumnya telah ada usulan menjadikan Dr. Moewardi sebagai Bapak Pandu Indonesia dari komunitas lain maupun beberapa kalangan perorangan.

Mengenai hal ini, Pak Witjaksono menjawab dengan rendah, “Sebaiknya dilihat dan dicari dulu tokoh-tokoh lainnya”, maksudnya agar tidak terburu-buru menyebut Dr. Moewardi sebagai Bapak Pandu Indonesia. Dia menyarankan agar sejarah kepanduan Indonesia diteliti data-data yang ada selengkap  mungkin.

Namun biar bagaimana pun, jelas sekali betapa besar jasa Dr. Moewardi terhadap perkembangan gerakan pendidikan kepanduan di Indonesia. Ada baiknya juga bila Himpunan Pandu dan Pramuka Wreda (Hipprada) yang merupakan organisasi bagi mereka yang pernah aktif di kepanduan dan kepramukaan, dapat membantu menelusuri hal ini. Hipprada yang kini dipimpin oleh Prof. Dr. Haryono Suyono, mempunyai anggota-anggota yang mungkin masih menyimpan data-data sejarah kepanduan Indonesia. Hal itu dapat dimanfaatkan untuk menelusuri sejarah kepanduan dan kepramukaan di Indonesia lebih lengkap lagi. Bukan mustahil pula, nantinya dapat dikumpulkan memorabilia atau artefak sejarah kepanduan Indonesia dalam berbagai bentuk. Bisa untuk disumbangkan ke Museum Dr. Moewardi, dan dapat juga dijadikan bahan untuk mendirikan Museum Kepanduan Indonesia. Siapa tahu?!

Hilang, Tapi Tak Terlupakan

Berkunjung ke Museum Dr Moewardi di kawasan Bintaro, Jakarta Selatan, membuat kami – para anggota komunitas Indonesia Scout Journalist (ISJ), komunitas pewarta Pramuka dan Pramuka pewarta – mengenang kembali tokoh pahlawan nasional tersebut. Ditemani anak keenam Dr. Moewardi, Bapak Witjaksono Muwardi, dan suami anak ketujuh Dr. Moewardi, Bapak Hardjanto Sugiharto, sambil melihat foto-foto yang terpampang di museum itu, kami seolah dibawa kembali ke masa kehidupan Dr. Moewardi.

Dari data sejarah diketahui bahwa Dr. Moewardi dilahirkan di Desa Randukuning, Pati, Jawa Tengah, pada 1907. Tidak banyak tulisan yang menyebut tanggal dan bulan lahirnya, namun dari salah satu data diketahui Moewardi dilahirkan pada 30 Januari 1907, bahkan lengkap dengan pertanggalan Jawa, yaitu Rebo Pahing, pukul 22.15 WIB.

Dia merupakan anak ketujuh dari Mas Sastrowardojo dan Roepeni. Setelah menempuh pendidikan dasar dan menengah di Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Kudus, Jawa Tengah,  dan di Europesche Lagere School (ELS) di Pati, Jawa Tengah, ayahnya mendorong Moewardi untuk masuk ke sekolah dokter School Tot Opleiding Voor Indische Arsten (STOVIA). Pada 1926, dia telah tercatat sebagai seorang mahasiswa tingkat tiga STOVIA. Ia kemudian melanjutkan belajar di Nederlansch Indische Arts School (NIAS) hingga lulus sebagai dokter pribumi pada 1931.

Setelah 5 tahun berpraktek sebagai dokter umum, ia kembali memperdalam ilmunya dengan mengambil spesialisasi Telinga, Hidung, Tenggorok (THT) di Geneeskundig Hoogeschool (GH) Salemba dan menjadi asisten pada rumah sakit CBZ, yang sekarang dikenal dengan nama Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo atau popular dengan sebutan RSCM. Pada 1939, Dr. Moewardi resmi menjadi dokter spesialis THT.

Dalam kariernya sebagai dokter, dia benar-benar berpihak pada pelayanan untuk rakyat. Bahkan dari cerita yang ada, beliau pernah mendapat panggilan Dokter Gembel, karena pergaulannya yang sering membantu masyarakat kelas bawah yang sering disebut gembel atau gelandangan.  Bahkan karena tekadnya yang begitu besar untuk membantu orang yang membutuhkan pertolongan medis, membuat dia tak ragu mempertaruhkan jiwa raganya.

Dalam suasana revolusi kemerdekaan Republik Indonesia yang situasinya masih “panas”, ditambah lagi adanya pemberontakan PKI pada 1948, Dr. Moewardi tetap melanjutkan tugasnya sebagai dokter. Pada 13 September 1948, ia berangkat ke Rumah Sakit Jebres untuk melakukan operasi terhadap seorang pasien. Dalam perjalanan naik andong ke rumah sakit itulah Dr Moewardi diculik dan dibawa entah ke mana. Meskipun tidak jelas oleh siapa, namun menurut situasi saat itu, besar kemungkinan kalau Dr. Moewardi telah diculik orang-orang PKI. Merujuk kepada dua anak buahnya, Darmosalimin dan Citromargongso, yang juga hilang dan akhirnya ditemukan di sebelah selatan tanggul Keraton Kasunanan Surakarta. Berbeda dengan dua anak buahnya, jenazah Dr. Moewardi tidak pernah ditemukan sampai kini.

Berbicara tentang anak buah, Dr. Moewardi selain aktif sebagai seorang dokter yang sampai akhir hayatnya melayani rakyat, dia juga seorang pejuang kemerdekaan. Dia bisa dikatakan salah seorang tokoh Barisan Pelopor yang kemudian menjadi saksi sejarah dibacakannya Proklamasi Kemerdekaan RI oleh Ir. Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta, pada 17 Agustus 1945.

moewardi-1-5729ebad569773f806e88854.jpg

Foto koleksi Museum Dr. Moewardi yang memperlihatkan Bung Karno sedang membaca doa selesai mengucapkan teks Proklamasi RI pada 17 Agustus 1945. Dr Moewardi berdiri di sebelah kirinya, dan paling kiri adalah Latief Hendraningrat. (Foto: Istimewa)

Bahkan saat pembacaan itu, Dr. Moewardi merupakan salah satu yang berdiri paling dekat dengan Bung Karno. Konon, setelah pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan RI dan Bung Karno memimpin doa, maka Dr. Moewardi termasuk salah satu dari empat orang yang memberikan kata sambutan. Dimulai dari Bung Karno, kemudian Bung Hatta, selanjutnya Suwirjo, dan berikutnya Dr. Moewardi.

Lahirnya pasukan pengamanan Presiden yang saat ini kita kenal sebagai Paspampres, tak lepas dari jasa seorang Dr. Moewardi. Setelah Kemerdekaan RI, dia membentuk Barisan Pelopor istimewa untuk mengawal Presiden Soekarno. Atas jasanya itu, Dr. Moewardi pernah ditawari jabatan Menteri Pertahanan, namun ditolaknya karena dia ingin terus bekerja sebagai dokter secara penuh waktu, mendedikasikan keahlian dalam bidang medis untuk masyarakat luas.

Dalam perjalanan perjuangan berikutnya, Dr. Moewardi juga membentuk Barisan Banteng. Ada juga yang mengatakan bahwa Barisan Banteng ini adalah penjelmaan dari Barisan Pelopor, setelah Barisan Pelopor itu pusatnya dipindahkan dari Jakarta ke Solo.

Anak buahnya dari Barisan Banteng itulah yang kemudian ikut hilang dan ditemukan sudah tak bernyawa. Sedangkan Dr. Moewardi sendiri tetap hilang, tak bisa ditemukan lagi. Tentu saja kehilangannya itu dicari oleh banyak pihak dan keluarganya. Dalam Museum Dr. Moewardi ada fotokopi surat keterangan yang diberikan Gubernur Militer Solo, Gatot Subroto, kepada istri Dr. Moewardi untuk mencari sang suami.

Menurut Witjaksono, walaupun telah ditempuh berbagai cara, namun keberadaan Dr. Moewardi tetap tak dapat dilacak. Dokter Moewardi telah hilang, namun tetap tak terlupakan. Jasa-jasanya kepada rakyat, bangsa, dan negara Republik Indonesia tetap dikenang dan diingat sepanjang masa. Sebagai dokter dia telah membuktikan kesetiaannya pada sumpah dokter untuk senantiasa menolong orang yang membutuhkan, termasuk rakyat kecil.

Sebagai pejuang kemerdekaan, dia pun telah membuktikan dirinya benar-benar membaktikan diri bukan untuk jabatan. Buktinya, jabatan sebagai Menteri Pertahanan ditolaknya, dan dia memilih berjuang dengan memimpin Barisan Pelopor yang kemudian menjadi Barisan Banteng, di samping tetap menjalankan tugasnya sebagai dokter.

Kami, para anggota komunitas ISJ yang mendatangi Museum Dr. Moewardi terkagum-kagum atas jasa dan baktinya kepada Tanah Air. Namun yang lebih mengagumkan lagi bagi kami para pewarta Pramuka dan Pramuka pewarta, karena Dr. Moewardi adalah seorang tokoh Pandu yang tak kecil jasanya – bila tak mau dibilang sangat besar – dalam mengembangkan gerakan pendidikan kepanduan di bumi tercinta kita ini.

(Kisah ini belum selesai, nantikan kisah berikutnya).

 

Saksikan Pameran Tokoh Dr. Moewardi di Museum Sumpah Pemuda

Sudah beberapa kali hari ini, Kamis, 20 Oktober 2016, saya membuka Kompasiana. Alih-alih meneruskan janji saya untuk membuat serial tulisan menyambut peringatan Hari Sumpah Pemuda, saya justru hanya membaca-baca saja isi Kompasiana. Padahal, sudah sejak pukul 13.30 WIB, saya mempunyai waktu luang. Dapat membuka komputer jinjing saya, dan… tak tahu apa yang ingin ditulis.

Kemarin siang (Rabu, 19 Oktober 2016), saya mendapat pesan melalui WA, “Berth, besok ada pembukaan pameran Muwardi di Mus Sumpah Pemuda jam 9, diundang gak?” Pesan itu datang dari sahabat saya yang juga seorang Kompasianer, Djulianto Susantio. Saya jawab tidak dan dia meneruskan pesannya, “Lo kalo ada waktu datang aja ya… gw diundang pake nama komunitas… gw juga kenal ama kepala museumnya.”

Itulah sebabnya, Rabu pagi saya sudah mengarah ke Museum Sumpah Pemuda yang terletak di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta Pusat. Dalam perjalanan, tiba-tiba ada pesan WA lain masuk. “Selamat pagi mas Berthold (resmi nih). Mohon maag telat menginfokan. Hari ini ada Ceramah Ilmiah ttg Situs Trowulan dr Mbak Watty Joesman. Tempat di Adt Gedung B MNI pk 09.30….“

Pesan tersebut mengajak saya ke Museum Nasional Indonesia (MNI) di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Namun, karena saya sudah janji dengan Djulianto, saya pun mengarahkan kendaraan ke Museum Sumpah Pemuda. Saya berencana cukup satu jam saja di Museum Sumpah Pemuda dan dari situ ke MNI.

Kutipan kalimat dari Dr. Moewardi. (Foto: BDHS)
Kutipan kalimat dari Dr. Moewardi. (Foto: BDHS)

Ketika tiba di Museum Sumpah Pemuda, acara belum dimulai. Padahal, saat itu sudah pukul 9.10 WIB, dan undangan sudah cukup banyak memenuhi halaman depan museum tersebut. Saya bertemu dengan beberapa tokoh permuseuman di DKI Jakarta, serta teman-teman dari Komunitas Pencinta Museum Indonesia (KPMI), suatu komunitas yang digagas Djulianto dan teman-temannya.

Tak berapa lama, acara pun dimulai. Ketika sedang mengikuti rangkaian acara pembukaan pameran, teman dari KPMI memberi tahu bahwa jalan ke arah Istana Negara macet, karena ada demonstrasi alias unjuk rasa yang kabarnya terkait dengan dua tahun pemerintahan Jokowi-JK. Mengingat MNI berada di Medan Merdeka Barat dan dekat dengan Istana Negara, dan daripada nanti terjebak macet di sana, saya memutuskan tidak jadi ke MNI.

Lagi pula, saat itu waktu sudah sekitar pukul 10.00 WIB. Kalaupun saya memaksakan diri ke MNI, paling cepat mungkin sampai sekitar pukul 10.30, berarti sudah satu jam sejak pelaksanaan ceramah ilmiah di sana. Daripada terlambat dan tidak dapat mengikuti keseluruhan acara, saya memutuskan untuk tetap di Museum Sumpah Pemuda saja.

Bagi saya pribadi, kehadiran menyaksikan pameran bertajuk “Pameran Tokoh Dr. Moewardi – Pengabdian Seorang Dokter Nasionalis” yang berlangsung sebulan penuh sejak 20 Oktober 2016 ini juga penting. Bukan berarti bahwa seminar tentang Situs Trowulan tidak penting. Walaupun lebih banyak penelitian dari naskah teks, skripsi saya sebagai Sarjana Arkeologi dari Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya) Universitas Indonesia puluhan tahun silam, sedikit banyak juga terkait dengan Trowulan, situs bersejarah dari zaman Kerajaan Majapahit, yang terletak di Jawa Timur. Skripsi saya “Nagarakrtagama, Sebuah Tinjauan Jurnalistik” membahas dan menelaah naskah Nagarakrtagama karya Mpu Prapanca, berupa laporan perjalanan sang pujangga – Mpu Prapanca – mengikuti perjalanan dinas Hayam Wuruk, Raja Majapahit yang terkenal itu.

Namun kini, bagi saya sosok Dr. Moewardi juga tak kalah menarik untuk diamati. Sebagai seorang anggota Gerakan Pramuka dan pemerhati sejarah kepanduan di Indonesia, saya melihat Dr. Moewardi merupakan tokoh kepanduan di Indonesia yang tak dapat dilupakan namanya.

Suasana pameran tokoh Dokter Moewardi. (Foto: BDHS)
Suasana pameran tokoh Dokter Moewardi. (Foto: BDHS)

Ketika pembukaan pameran itu, mewakili pihak keluarga, anak Dr. Moewardi yang bernama Ir. Banteng Witjaksono juga sudah mengungkapkan, bahwa ayahnya adalah tokoh nasional yang bergerak di dua bidang, yaitu bidang kepanduan dan bidang kedokteran.

Saya sendiri sudah menulis beberapa artikel tentang Dr. Moewardi, yang dalam salah satu tulisan saya telah digadang-gadang sebagai Bapak Pandu Indonesia, melengkapi Bapak Pramuka Indonesia, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, yang telah ditetapkan secara resmi (baca juga di sini).

Pameran yang ditampilkan, memang tidak terlalu banyak – kalau mau dibilang hanya sedikit – benda-benda bersejarah yang terkait dengan Dr. Moewardi. Lebih banyak reproduksi foto-foto dan panil keterangan tertulis tentang siapa dan mengapa Dr. Moewardi yang juga telah ditetapkan sebagai salah satu Pahlawan Nasional ini.

Meskipun benda koleksi bersejarah yang ditampilkan hanya sedikit, pameran itu tetap penting. Paling tidak dapat semakin memperkenalkan tokoh nasional yang jasanya amat besar dalam sejarah pergerakan perjuangan dan kemerdekaan Republik Indonesia. Bagi anggota Gerakan Pramuka, mengenal Dr. Moewardi berarti juga lebih mendalami sejarah perkembangan gerakan pendidikan kepanduan di Indonesia yang kini bernama Gerakan Pramuka itu.

Sejumlah tokoh permuseuman di Jakarta. (Foto; Anna CN Saragih)
Sejumlah tokoh permuseuman di Jakarta. (Foto; Anna CN Saragih)

Di luar itu, yang tak kalah menarik adalah pertemuan dengan tokoh-tokoh permuseuman di Jakarta. Baik yang masih aktif dalam pengelolaan permuseuman, maupun yang sudah pensiun tetapi tetap memantau perkembangan “dunia museum” di Jakarta dan di Tanah Air. Bincang-bincang upaya meningkatkan minat masyarakat terhadap museum, sampai percakapan tentang siapa sebenarnya Bapak Permuseuman Indonesia. Semua sepakat untuk menunjuk nama Moh Amir Sutaarga sebagai Bapak Permuseuman Indonesia, yang hampir sepanjang hayatnya terus membaktikan dirinya untuk mengembangkan permuseuman di Tanah Air.

Sejarah, “History”, dan “His Story” dari Dr. Moewardi

Dalam Bahasa Inggris kata “sejarah” disebut history. Pengertian history adalah studi tentang masa lalu, terutama tentang masalah-masalah manusia. Ada juga yang menyebutkan sebagai, keseluruhan dari serial kejadian di masa lalu yang terkait dengan seseorang atau sesuatu.

Namun, history sering juga dikomentari sebagai his story atau ceritanya. Rangkaian kisah sejarah memang banyak dicatat dari ceritanya atau cerita mereka. Ini merupakan salah satu sumber sejarah, di samping dalam bentuk fisik, seperti artefak atau peninggalan warisan budaya lainnya. Dan his story dianggap lebih otentik dalam bentuk tulisan dibandingkan hanya cerita lisan yang disebarkan dari satu ke lain orang. Apalagi kalau tulisan itu memang tulisan dari pelaku sejarah itu sendiri.

Walaupun tetap saja diperlukan penelitian kritis dengan membandingkan pula sumber-sumber lain yang terkait sejarah tersebut. Bisa saja, tulisan dari pelaku justru “menenggelamkan” sebagian sejarah sebenarnya. Contoh yang mungkin paling banyak diingat adalah foto pengibaran Bendera Merah Putih yang kelak disebut Bendera Pusaka saat Proklamasi Kemerdekaan RI dikumandang di Jalan Pegangsaan Timur No.56, Jakarta, pada 17 Agustus 1945.

Pada buku-buku sejarah yang diterbitkan Pemerintah “Orde Baru” foto itu dipotong sedemikian rupa, bahasa teknis fotografi di-cropping, sehingga Presiden Soekarno yang seharusnya terlihat dalam foto itu di posisi paling kiri, tidak terlihat. Dipotong dan hanya menyisakan Bung Hatta serta tokoh-tokoh lain yang mengibarkan dan menyaksikan pengibaran Bendera Pusaka.

Bahkan buku sejarah resmi yang dikeluarkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang namanya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) yang diberi judul “Sejarah Nasional Indonesia” dan terdiri dari enam jilid dari sejarah masa prasejarah sampai masa modern, foto Proklamasi Kemerdekaan RI juga sempat ditampilkan tanpa Bung Karno.

Untunglah belakangan hal itu dikoreksi, dan Bung Karno serta Bung Hatta mendapat tempat yang layak dalam panggung sejarah Republik Indonesia (RI). Termasuk dibuatkan patungnya di halaman bekas rumah Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur No.56 yang sekarang menjadi Gedung Pola, serta penamaan bandar udara internasional yang menjadi pintu masuk ke Jakarta, ibu kota RI, dengan nama Bandara Soekarno-Hatta.

Berbicara soal foto sejarah itu, semua foto-foto waktu Proklamasi Kemerdekaan RI dikumandang adalah karya dua bersaudara Frans dan Alex Mendur. Dua fotografer profesional itu menjadi saksi sejarah dan sekaligus mengabadikan bukti sejarah lahirnya negara baru yang bernama RI. Bahkan kabarnya, Frans Mendur sempat menyembunyikan rol-rol film hasil pemotretannya di Jalan Pegangsaan Timur No.56 Jakarta, ditanam di dalam tanah di bawah sebuah pohon rindang. Hal itu dilakukannya, karena dia khawatir Balatentara Jepang mencoba merampas hasil pemotretan yang menjadi bukti sejarah itu.

Di salah satu foto yang diabadikan Frans Mendur itulah, belakangan menjadi bukti pula besarnya peranan seorang bernama Dr. Moewardi, yang dalam foto bahkan sempat berdiri dekat sekali dengan Bung Karno sewaktu Bung Karno berdoa di depan seusai membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan RI. Selain sebagai pejuang kemerdekaan, Dr. Moewardi juga tercatat aktif sebagai dokter spesialis THT yang tak sungkan memberi pelayanan kesehatan bagi rakyat kecil tanpa bayaran, dan sekaligus aktif pula mengembangkan gerakan pendidikan kepanduan di Indonesia.

Sudah banyak disebutkan, bahwa sebelum seluruh organisasi gerakan pendidikan kepanduan dileburkan menjadi satu dalam wadah Gerakan Pramuka pada 1961, sebenarnya keinginan menyatukan hal semacam itu telah diungkapkan oleh Dr. Moewardi lebih dari seperempat abad sebelumnya. Apa yang diungkapkan Dr. Moewardi juga mendahului slogan yang populer menjelang peringatan 50 tahun Gerakan Pramuka pada 2011 dan 100 gerakan pendidikan kepanduan di Indonesia pada 2012, yaitu “Satu Pramuka untuk Satu Indonesia”. Slogan itu dipopulerkan, karena setelah Reformasi pada 1998, sejumlah organisasi gerakan pendidikan kepanduan yang sebelumnya telah menyatu dalam Gerakan Pramuka, mencoba kembali berdiri sendiri.

buku-2-573045c5f77a614209ec80a9.jpg

Anak keenam Dr. Moewardi, Bapak Witjaksono Moewardi (kedua dari kiri), menjelaskan dua buku yang diberikannya. (Foto: Koleksi ISJ)

Jadi, melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka, ditegaskan kembali cukup satu (organisasi) Pramuka untuk satu Indonesia. Suatu hal yang kabarnya, telah diungkapkan Dr. Moewardi puluhan tahun sebelumnya dengan ungkapan “Satu Pandu untuk Satu Indonesia”.

Tapi bagaimana ucapan Dr. Moewardi sesungguhnya? Sungguh mengejutkan dan menyenangkan, kata-kata asli Dr. Moeewardi berhasil saya peroleh, ketika berkunjung ke Museum Dr. Moewardi di bilangan Bintaro, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.

Saya ke sana bersama teman-teman dari komunitas Indonesia Scout Journalist (ISJ). Di sana, anak keenam Dr. Moewardi, Bapak Witjaksono Moewardi, menyerahkan dua buku hasil reproduksi dari buku lama. Menurut Pak Witjaksono, dia mencari ke penjual buku bekas di berbagai tempat untuk memperoleh buku-buku yang terkait dengan aktivitas ayahnya mengembangkan gerakan pendidikan kepanduan di Indonesia.

Di antara buku-buku yang diperolehnya, dua buku berhasil direproduksi oleh Pak Witjaksono dan diserahkan kepada saya. Pertama adalah Gedenkboek Jong-Java 1915-1930, dan kedua adalah buku Penoendjoek Permainan KBI. Buku pertama diterbitkan oleh Pedoman Besar Jong Java pada 20 April 1930, sedangkan buku kedua diterbitkan oleh Kwartier Besar Kepandoean Bangsa Indonesia (KBI) pada 1933.

Buku Gedenkboek Jong Java 1915-1930 merupakan kitab peringatan dari organisasi Jong Java yang menceritakan sejarah organisasi kaum muda Jawa dari 1915 sampai 1930. Pada halaman 141 sampai 180 terdapat tulisan berjudul “Kepandoean dalam Jong Java” yang ditulis oleh Moewardi. Tulisan menceritakan mengenai organisasi kepanduan di dalam Jong Java yang diberi nama Jong Java Padvinders dan kemudian berubah menjadi Pandoe Kebangsaan (PK). Belakangan, PK dan sejumlah organisasi kepanduan lainnya menyaturkan diri dalam Kepandoean Bangsa Indonesia (KBI).

buku-3-57304608c222bdfd05796cda.jpg

Tiga anggota komunias Indonesia Scout Journalist (ISJ) memegang plakat yang berisi usulan menjadi Dr. Moewardi sebagai Bapak Indonesia dan dua buku yang diberikan anak Dr. Moewardi. (Foto: R. Andi Widjanarko, ISJ)

Pada halaman 148 buku itu, terdapat tulisan Moewardi yang bercerita, “Perloe kami katakan disini, bahwa Kepandoean Jong-Java pertama dari moela-moelanja bermaksoed oentoek mentjampoerkan dirinja dengan Kepandoean Indonesia oemoem….”.

Jadi dari tulisan itu, jelas bahwa walaupun Moewardi berasal dari organisasi pemuda Jawa, tapi semangat kebangsaannya, membuat dia ingin bergabung dan mendirikan suatu organisasi kepanduan nasional Indonesia. Semangat persatuan Moewardi membuatnya bercita-cita mengembangkan suatu gerakan kepanduan nasional.

Masih di halaman yang sama, Moewardi menulis juga pandangannya sebagai seorang Pandu yaitu, “bahwa haroesnja hanja diadakannja soeatoe Kepandoean di Indonesia ini”. Moewardi berpendapat, cukup satu organisasi kepanduan untuk Indonesia. Pemikiran yang mendahului zaman, karena baru pada 1961, semua organisasi gerakan pendidikan kepanduan di Indonesia disatukan dalam Gerakan Pramuka.

Pandoe jalah saudaranja Pandoe lainnja, maka ta’ ada pentjarian lagi bagi ia selainnja selekas-lekasnja mengoempoelkan saudara-saudaranja itoe menjadi satoe”, tulis Moewardi lagi.

Dari buku itu, dari his story Moewardi itu, jelaslah bahwa sangat besar peranan Dr. Moewardi dalam mengembangkan gerakan pendidikan kepanduan , untuk menyatukan berbagai organisasi kepanduan yang ada di Indonesia, untuk menjadi satu (organisasi) Pandu untuk satu Indonesia.

(Kisah ini belum selesai, nantikan kisah berikutnya).

Kisah Moewardi, Dokter Gembel dengan Bayaran Sukarela

Selasa siang lalu ketika sedang berkunjung ke Museum Seni Rupa dan Keramik di Jakarta Kota, telepon genggam saya berbunyi. “Pak, Kamis, 20 Oktober 2016 kami mengundang bapak untuk acara pembukaan pameran tokoh Dokter Moewardi. Undangan akan kami kirim lewat surat elektronik,” begitu kata staf Museum Sumpah Pemuda. Sorenya saya cek memang surat elektronik sudah masuk.

Nama dokter Moewardi jelas masih asing di telinga masyarakat. Di Jakarta nama Moewardi hanya diabadikan untuk nama jalan di bilangan Grogol, Jakarta Barat. Dikabarkan, nama Moewardi juga diabadikan sebagai nama jalan di beberapa kota. Di Surakarta, menjadi nama rumah sakit, lengkapnya RSUD Dokter Moewardi.

Pembukaan pameran berlangsung pagi hari, dimulai sekitar pukul 09.00 dengan lagu Indonesia Raya, sambutan, dan doa. Dari situ saya tahu bahwa Dokter Moewardi juga seorang pandu. Pamerannya sendiri bertema “Pengabdian Seorang Dokter Nasionalis” dan akan berlangsung hingga 20 November 2016 di aula Museum Sumpah Pemuda. Oh ya, museum ini beralamat Jalan Kramat Raya No. 106, tidak jauh dari perempatan Senen.

Pandu

Lumayan juga saya mendapat brosur. Dari situ saya tahu Moewardi lahir pada 30 Januari 1907 di Dusun Randu Kuning, Kecamatan Pati Lor, Jawa Tengah. Ia pernah bersekolah di Hollandsch Inlandsche School (HIS) dan Europeesche Lagere School (ELS). Pada 1921 ia tamat dari ELS, lalu melanjutkan ke sekolah kedokteran di Batavia yang populer disebut STOVIA. Moewardi lulus sebagai dokter bumiputera pada 1933.

Panel informasi tentang berbagai kegiatan dokter Moewardi. dokumentasi pribadi
Panel informasi tentang berbagai kegiatan dokter Moewardi. dokumentasi pribadi

Sebelum di STOVIA, Moewardi pernah menjadi pandu. Ia bergabung dengan Netherlands Indische Padvinder Vereniging (NIPV) saat menempuh pendidikan ELS di Pati. Ia memutuskan keluar dari NIPV saat di STOVIA karena menolak mengangkat sumpah tunduk dan taat kepada Ratu Belanda pada 1925.

Selepas itu Moewardi bergabung dengan Jong Java Padvinder (JJP). Pada 1929 nama JJV diubah menjadi Pandu Kebangsaan. Selanjutnya Pandu Kebangsaan, Pandu Sumatera (PPS), dan Indonesisch Nationale Padvinders Organisatie (INPO), melebur menjadi Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) pada 1930.

Dokter

Dari brosur diketahui pula Moewardi pernah mengabdi sebagai dokter. Sampai masa pendudukan Jepang, ia bertugas di CBZ, sekarang RSU Cipto Mangunkusumo. Ia pernah membuka praktek di Jalan Raden Saleh dengan bayaran sukarela. Begitu juga ketika berpindah ke Jalan Teuku Cik Ditiro.

Dokter Moewardi terkenal dengan sebutan Dokter Gembel. Ia memang senang bergaul dengan gembel daripada golongan atas. Tempat nongkrongnya di Tanah Abang (1930).

Pernak-pernik warisan dokter Moewardi. dokumentasi pribadi
Pernak-pernik warisan dokter Moewardi. dokumentasi pribadi

Dari Jakarta Dokter Moewardi pindah ke Surakarta. Ketika itu ia mendapat tugas dari pemerintah untuk mendirikan sekolah kedokteran di Rumah Sakit Jebres. Keterlibatan Dokter Moewardi dalam bidang pendidikan kedokteran berlangsung hingga digabungkannya pendidikan kedokteran di Surakarta dan di Klaten yang kemudian diadopsi menjadi sekolah pendidikan kedokteran di Universitas Gadjah Mada pada 1949.

Barisan Pelopor

Pada masa pendudukan Jepang, Dokter Moewardi menjadi ketua Barisan Pelopor Daerah Batavia. Organisasi ini menjadi wadah dan sarana perjuangan para pemuda. Pada masa sekitar proklamasi, dokter Moewardi ikut mengambil keputusan untuk menculik Soekarno ke Rengasdengklok.

Moewardi mengerahkan Barisan Pelopor sebanyak mungkin ke lapangan IKADA. Setelah proklamasi, nama Barisan Pelopor diubah menjadi Barisan Pelopor Republik Indonesia (BPRI). Setelah dipindahkan ke Surakarta pada 1946, nama Barisan Pelopor diubah lagi menjadi Barisan Banteng.

Dokter Moewardi bersama Maruto Nitimiharjo dan Rustam Effendi membentuk Gerakan Revolusi Rakyat (GRR) pada 6 Juni 1948. GRR dinyatakan sebagai musuh oleh Front Demokrasi Rakyat (FDR). Konflik antara GRR dengan FDR berujung pada penculikan dokter Moewardi pada 12 September 1948. Sejak penculikan itu jenazah dokter Moewardi tidak pernah ditemukan. Dokter Moewardi dianugerahi gelar pahlawan nasional pada 1964.

Nah, kalau penasaran dengan kisah heroik dokter Moewardi, langsung aja deh ke TKP. Selain info tentang Dokter Moewardi, Anda bisa melihat pernak-pernik peninggalannya. Pameran berlangsung tiap hari, kecuali Senin tutup.

Maju Bersama Menggapai Indonesia Baik

19 April 2015 23:20:28Diperbarui: 17 Juni 2015 07:54:28Dibaca : Komentar : Nilai :

Dalam suatu pembicaraan dengan kakak senior. Beliau termasuk aktivis yang bahkan sampai tahun terakhirnya pun masih tetap berusaha untuk tetap berkontribusi untuk umat. Beliau menganalogikan kebersamaan sebagai satu ikat lidi. Yaitu ketika hanya satu lidi digunakan untuk menyapu sampah yang berserakan tentu tidak akan bisa. Tetapi ketika banyak lidi yang diikat kemudian digunakan untuk menyapu sampah-sampah, tentu akan berfungsi dengan baik.memang lidi digunakan untuk membersihkan sampah, tapi jika dikumpulkan dalam jumlah banyak. Begitu pun seorang mahasiswa. Walau seorang mahasiswa itu sangat cerdas dan kritis dalam menghadapi berbagai masalah yang ada dalam bangsa ini. Mempunyai berbagai solusi atas kebobrokannya bangsa Indonesia. Tapi tetap saja, akan percuma jika ia hanya bergerak sendiri. Sama seperti sebuah lidi tadi, tetap tak berdaya membersihkan sampah yang berserakan. Seberapa jauh pun ia bergerak, tentu tak seberapa jika ia bergerak bersama.

Begitulah apa yang dipikirkan Dr. Moewardi, sebagai bapak pandu ia mengagas prinsip pandu yaitu, “pandu yang satu adalah saudara pandu yang lainnya. Oleh karena itu, seluruh pandu harus menjadi satu”.Beliau mengerti betapa pentingnya kebersamaan. Dimana dengan bersama maka akan mencapai hasil yang maksimal.

Prinsip inilah yang harusnya dipegang teguh seorang mahasiswa ataupun seorang aktivis. Dimana menjadi satu adalah cara terbaik. Sering mengadakan kajian-kajian untuk menyatukan persepsi. Sering berdialog dengan orang yang lebih mengerti mengenai suatu permasalahan yang terjadi agar action yang kita lakukan ada dasar yang kuat. Sering silaturahim dengan berbagai organisasi yang ada didalam kampus atau pun diluar kampus. Walau tidak satu persepsi dan satu bidang, mahasiswa tetaplah mahasiswa. Tanggung jawab yang ia emban adalah untuk kemaslahatan rakyat Indonesia. Sebagai apapun, dimana pun ia berada, ia tetap bagian dari rakyat Indonesia. Dan harus terus memperjuangkan hak-hak rakyat Indonesia dengan semaksimal mungkin.

Dr. moewardi juga dijuluku sebagai dokter gembel, karena ia lebih dekat dalam melayani pengobatan kepada para fakir miskin ataupun para gembel. Umurnya pun berakhir ketika ia menjalankan tugasnya sebagai dokter di suatu rumah sakit di pinggiran Solo. Ia diculik dan tidak diketemukan sampai sekarang. Selama 41 tahun ia baktikan hidupnya untuk Indonesia yang lebih baik.

Meski hilang dan tidak pernah ditemukan lagi, perjuangan dr. Moewardi tidak pernah hilang di benak bangsa Indonesia. Pahlawan nasional yang namanya diabadikan sebagai nama rumah sakit di Solo tersebut, telah banyak sekali berjasa bagi tanah airnya. Untuk mengenang perjuangan dr. Moewardi, Ikatan Alumni Fakultas Kedokteran (Iluni FK) UI bekerja sama dengan Perhimpunan Ahli THT Indonesia (PERHATI), Perhimpunan Sejarah Kedokteran Indonesia (PERSEKIN), RSUD Dr. Moewardi Solo, dan Yayasan Dokter Moewardi menyelenggarakan acara sarasehan dan pameran foto bertajuk “Jejak Langkah Pahlawan Nasional Dokter Moewardi, SpTHT, Membangkit Batang Terendam”. Acara sarasehan berlangsung pada Kamis (12/9) di Aula Fakultas Kedokteran UI. Pada hari yang sama berlangsung pula pembukaan pameran foto yang berisi foto-foto kenangan tentang dr. Moewardi.

Acara dibuka oleh sambutan dari Ketua Iluni FKUI Dr. Doddy P. Partomihardjo, Sp.M, Dekan FKUIDr. dr. Ratna Sitompul, Sp.M (K) dan Direktur RSUD Dr. Moewardi. Selanjutnya, dalam sarasehan hadir sebagai pembicara yaitu, Dr. dr. Rusdy Hoesein, M. Hum., yang merupakan perwakilan keluarga dr. Moewardi. Ia menyampaikan pemaparan secara garis besar tentang jejak langkah dr. Moewardi. Hadir pula Laksma TNI (Purn) Dr. Amoroso Katamsi, SpKJ, MM yang mengisahkan kiprah dr. Moewardi sebagai perintis pandu dan pramuka. Selain itu, hadir pula Prof. Dr. dr. Padmosantjojo yang menceritakan perjuangan dr. Moewardi sebagai dokter spesialis. Acara juga diramaikan dengan pembacaan puisi oleh cucu Dr. Moewardi, Alya Bambang Adhi. Selain itu ada juga nyanyian lagu pahlawan oleh anak dan cucu dr. Moewardi, yaitu Ir. Hardjanto Soegianto dan Amatta Hardjanto. Secara garis besar, acara ini bertujuan untuk menginspirasi kaum muda Indonesia untuk mencintai bangsa dan negara. Dengan mengenang pahlawannya, generasi muda juga diharapkan dapat memelajari dan menerapkan nilai kepahlawanan dalam kehidupan.

dr. Moewardi adalah alumni School Tot Opleiding Voor Indische Arsten (STOVIA), yang saat ini menjadi Fakultas Kedokteran UI. Ia lahir di Pati, Jawa Tengah pada tahun 1907 dari pasangan Sastrowardoyo dan Sastrowarsoyo. Setelah menamatkan kuliah di STOVIA, ia kemudian melanjutkan ke Geneeskuundige Hogeschool (GH) untuk mendapat gelar dokter atau Indische Arts. Di GH, pada 1939 ia berhasil lulus sebagai dokter spesialis Telinga Hidung Kerongkongan (THK). dr. Moewardi secara resmi dinobatkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional melalui SK Presiden RI No. 190 tahun 1964. Inisiator Pekan Olahraga Nasional pertama di Solo ini, juga adalah pelopor terbitnya Koran Jateng. Kiprah dr. Moewardi tidak sampai di situ saja. Ia juga pada 1929 memimpin Kepanduan Bangsa Indonesia yang berdasar pada tekad “Satu Pandu untuk Seluruh Indonesia”.

Selain menjalani tugas mulia sebagai dokter, dr. Moewardi juga memberikan kontribusi besar lain, salah satunya saat proklamasi kemerdekaan Indonesia. Pada saat itu, ia bertindak sebagai Ketua Barisan Pelopor cabang Jakarta yang mempersiapkan proklamasi kemerdekaan oleh Bung Karno dan Bung Hatta di Pegangsaan Timur. Tak berselang lama setelah proklamasi digulirkan, ia ditunjuk sebagai Ketua Umum Barisan Pelopor menggantikan Bung Karno. Pada tahun 1948, dr. Moewardi turun ke politik dan membentuk Gerakan Rakyat Revolusioner (GRR). Saat itu kondisi Jakarta sedang memanas dan GRR dibentuk untuk melawan aksi-aksi Front Demokrasi Rakyat (FDR), yang merupakan underbow Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada 13 September 1948 saat menjalankan praktek sebagai dokter di Rumah Sakit Jebres Solo, dr. Moewardi diculik dan sampai saat ini jasadnya tidak ditemukan. (KHN)


0 Responses to “Kenegarawanan : Moewardi Bapak Pandu Indonesia dan Pejoang45”



  1. Leave a Comment

Leave a comment


Blog Stats

  • 4,407,342 hits

Archives

Recent Comments

Ratu Adil - 666 on Kenegarawanan : Harta Amanah B…
Ratu Adil - 666 on Kepemimpinan : Satrio Piningit…
Ratu Adil - 666 on Kepemimpinan : Satrio Piningit…
Ratu Adil - 666 on Kenegarawanan : Harta Amanah B…
Ratu Adil - 666 on Kenegarawanan : Harta Amanah B…