SANGKRING ART SPACE
Ngilo karya Nasirun
pameran 1
Wirid “Kiai” Nasirun
Minggu, 11 Oktober 2009 | 03:01 WIB
Ilham Khoiri
Memperingati 1.000 hari meninggalnya sang ibu, pelukis Nasirun (44) menggelar pameran tunggal ”Salam Bekti” di Sangkring Art Space, Yogyakarta, 28 September-12 Oktober. Karya-karyanya mengusung wajah sinkretisme Jawa-Islam yang penuh getaran spiritual.
Boleh dibilang, ”Salam Bekti” adalah salah satu pameran penting dalam perjalanan kreatif Nasirun. Bayangkan saja, begitu memasuki dua lantai Sangkring Art Space, pengunjung langsung digedor lebih dari 20 lukisan gede-gede—satu lukisan bisa terdiri dari jejeran empat-enam panel selebar tujuh meter lebih. Semua karya itu digarap sungguh-sungguh demi mengenang orangtua dengan segala warisan budayanya.
Di lantai I, dekat pintu masuk, kita disambut kotak ”Damar Kurung”, semacam lampion besar yang dibungkus lukisan. Lukisan itu dipenuhi sosok Nasirun dengan rambut dan jenggot panjang tengah melaju dengan sepeda. Seperti wayang beber, sosok itu digambarkan bersukaria sambil merambah jalan, pepohonan, hewan, dan aneka makhluk lain.
Tak jauh dari situ, ada lukisan ”Wayang Ilang Gaphite”. Sosok-sosok wayang digambarkan terkulai lemas karena kehilangan gapit yang menopangnya. Di bawah setiap wayang tampak kepala Nasirun dengan rambut panjang tergelung.
Nasirun juga memajang banyak lukisan dengan kaligrafi Arab—sesuatu yang jarang diperlihatkannya. Di lantai II, misalnya, kita dikejutkan kotak mirip Kabah yang dibentuk dari susunan kanvas berjudul ”Duh Gusti”. Di tengah nuansa kanvas gelap itu tertoreh teks ingatan kepada Tuhan dalam huruf Jawa, Indonesia, dan Arab: ”Duh Gusti”, ”Lailaha illa Allah”, atau ”Allah”.
Lukisan lain, ”Ngilon”, menampilkan Nasirun sedang melihat dirinya dalam cermin bulat sambil memegang wayang. Di atasnya tercatat doa dalam kaligrafi Arab: ”… sebagaimana Engkau baguskan wujudku, baguskanlah budi pekertiku.”
Beberapa lukisan menampilkan spirit kejawen dan Islam yang berbaur jadi satu. Contohnya, satu lukisan yang dipenuhi para punakawan. Di antara sosok itu tertera kaligrafi Arab berbunyi ”fatruk al-bagha wa sammir al-khairat” (tinggalkan jalan menyimpang dan bergegaslah pada kebaikan). Konon, nama Petruk, Bagong, Semar, dan Gareng diambil dari kata-kata Arab itu.
Warisan
Masih banyak karya yang menyuguhkan pergulatan Nasirun dalam spiritualitas Jawa-Islam. Sebenarnya apa hubungan budaya sinkretis itu dengan salam bekti kepada orangtua—tema pameran ini? ”Budaya Jawa-Islam itu adalah warisan dari orangtua. Itu saya gauli secara intim sejak kecil,” kata Nasirun.
Seniman lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta tahun 1994 ini pun bercerita. Ayahnya, Sanrustam (meninggal saat Nasirun masih kecil), adalah tokoh tariqah Naksyabandiah yang punya otoritas membaiat anggota. Ibunya, Nyai Supiah, adalah sosok yang tekun dalam beribadah.
Sejak kecil, Nasirun terbiasa dengan ritual sembahyang dan mendengar orang membaca Alquran dan berzikir atau melantunkan puji-pujian kepada Allah. Begitu pun ketika dia belajar di madrasah ibtidaiyah di lingkungan pesantren di kampung Doklang, Adipala, Cilacap.
Kenangan dan penghayatan spiritualitas Islam-Jawa pesisiran itu terus melekat dalam dirinya. Ketika memasuki momen 1.000 hari wafatnya sang ibu dan haul ayahnya, juga kebetulan masuk suasana Idul Fitri, pelukis ini terkenang kembali pada asal-usulnya. Dia serta-merta menumpahkan kenangan itu di atas kanvas.
Lukisan ”Damar Kurung”, misalnya, menggambarkan tradisi masyarakat di kampung saat menyambut Idul Fitri dengan membuat lampion. Biasanya, anak-anak merayakan hari besar itu dengan berkeliling kampung.
”Wayang Ilang Gaphite” terinspirasi dari pesan ibunya. ”Ibu saya bilang, segagah apa pun kamu nanti, jangan nakal. Kalau nakal, kamu akan seperti wayang kehilangan gapitnya,” katanya.
”Duh Gusti” bermula dari ingatan Nasirun pada ritual ayahnya saat memimpin zikir. Dalam kekhusyukan ritual, pujian kepada Tuhan diulang terus-menerus sampai menancap dalam hati. Itu seperti putaran orang mengelilingi Kabah.
Begitu pula lukisan ”Ngilon” yang berangkat dari doa bercermin warisan ibu. Adapun punakawan dari kalimat Arab mengenang kearifan Wali Songo yang mengawinkan Jawa dan Islam. Mereka menyisipkan nilai-nilai agama, tanpa mengganggu cerita pewayangan.
Ekspresif
Budaya sinkretis Jawa-Islam itu menjadi unik karena didekati dengan olah rupa yang ekspresif, kuat, sekaligus penuh permainan. Ekspresi lahir dari spontanitas Nasirun mengolah ingatan budaya dan menerjemahkannya dalam elemen-elemen visual yang cair-mengalir. Kadang dia menggambar metafor secara realistik, memasukkan teks, atau melukiskan hal-hal gaib yang aneh-aneh.
Kedalaman muncul dari kemampuan Nasirun menggali spiritualitas dan menelusupkannya pada tampilan rupa. Tak tampak basa-basi visual atau keinginan mengindah-indahkan warna, komposisi, garis, atau bidang. Dia membiarkan kekuatan naluri mistik menuntun dirinya bekerja.
”Dua puluhan lukisan besar-besar dalam pameran ini saya siapkan hanya dua bulan. Saya merasa dapat energi besar untuk ditumpahkan, seperti tak ada capeknya,” katanya.
Kekuatan itu mungkin juga dirasakan pengunjung saat menatap lukisan di ruang pameran. Menelusuri karya-karya Nasirun, kita seperti diajak untuk melakukan wirid, mengingat akan asal-usul, akan alam, akan Tuhan. Dalam momen-momen tertentu, lukisan itu seakan menjelma sebagai wirid rupa.
Ekspresi dan kedalaman itu tetap terasa renyah dan manusiawi karena digarap dengan penuh insting bermain, bergembira, kadang meledek diri sendiri. Permainan diwakili sosok Nasirun yang hadir pada hampir setiap lukisan atau pada pilihan idiom yang seenaknya, kadang mengagetkan. Lihat saja lukisan ”Nasirun” yang menampilkan profil dirinya berpeci dan tengah membawa kendi yang mengeluarkan buih kata-kata.
Begitulah. Nasirun yang dulu dikenal dengan lukisan-lukisan mistis dunia pewayangan Jawa kini memperlihatkan sisi lain dirinya: keislaman. Perpaduan ini mengantarkan dia pada gagasan, pendekatan, dan penyajian karya seni rupa yang menggugah dan kental nuansa lokal. Suatu capaian yang berharga di tengah arus umum lukisan kontemporer di Tanah Air yang cenderung berlanggam realistik-fotografis.
KATALOG PAMERAN
Who Wants To Be A President
Pameran 2
Memilih atau Mencipta Presiden?
Minggu, 11 Oktober 2009 | 03:00 WIB
Wayan Kun Adnyana
Perupa Pande Taman kelahiran kampung turis Desa Peliatan Ubud tahun 1970 memilih Dusun Jagalan, Muntilan, Jawa Tengah, sebagai tempat tinggal sekaligus studio kreatifnya. Jagalan tentu saja bukan sebuah kota, melainkan pedesaan yang sejuk, dengan sisi sekitar tetumbuhan hijau dan bukit-bukit. Pun, Taman beranjak dari komunitas perupa-perupa alumni ISI Yogyakarta yang kebanyakan bermukim di seputaran Nitiprayan, Bantul, Yogyakarta. Berjarak dari Bali juga sedikit berjalan menjauhi Yogyakarta, sosok yang lahir dari trah ahli keris dan alat persenjataan tradisional Bali ini seakan menempa diri dalam sunyi.
Sunyi bagi Taman adalah bara yang membakar jiwa kreatifnya. Sunyi pula yang mengobati dia dari kondisi-kondisi psikologisnya yang guncang. Taman sebagaimana dituturkan kurator Suwarno Wisetrotomo dalam katalog pameran tunggal Taman di Komaneka Gallery, Ubud, ”… tiba-tiba meminta dan memutuskan pulang, balik ke Bali, begitu pesawat yang ditumpanginya tiba di Bandara Chek Lap Kok, Hongkong. Beruntung Koman Wahyu Suteja yang mengajak Taman mampu menenangkannya dari suasana gegar seperti itu”. Taman memang acap kali teringsut dalam kondisi kejiwaan yang tidak menentu. Di Taman Jiwa—begitu Pande Taman memberi nama studionya—perlahan kepungan suasana psikologis ”chaotik” tadi, ditata, dipertanyakan kembali, disadarkan, pun diajak berdialog ke persoalan sosiologis makro kehidupan. Taman melahirkan karya dari proses terapi atas dirinya sendiri ini.
Membaca karya-karya Taman pada pameran tunggal bertajuk ”Taman (the garden)”, 25 September-25 Oktober 2009 kali ini, saya tertuju pada pertanyaan hakikat hak perilaku individu dan kolektif dalam membentuk konsensus, keidealan, dan bahkan ihwal kebenaran khusus. Perupa peraih penghargaan Excellent Achievement Award, Bali Biennale 2005 ini selalu membeberkan berpuluh, bahkan beratus muka manusia untuk menyuratkan subyek tertentu. Tema di setiap karya merupakan identifikasi wujud figurasi yang muncul dari tumpahan, jejeran, dan tumpukan kepala-kepala manusia dengan wajah nyaris tanpa ekspresi. Raut muka terlihat semuanya datar, dingin, tanpa senyum ataupun tangis. Contoh paling gamblang, lihat karya lukisnya yang berjudul ”Siapa yang Ingin Jadi Buddha?” (200 x 150 cm), atau ”Siapa yang Ingin Jadi Presiden?” (200 x 250 cm), siluet wajah Buddha dan Presiden dibentuk oleh deretan beratus muka manusia anonim.
Kedua karya ini mengernyitkan pemikiran saya tentang interaksi perilaku sosial dengan perilaku individu. Suatu hal, taruhlah sesosok presiden, sesungguhnya bukan dipilih oleh komunitas sosial sebuah negara, melainkan dibentuk dan diciptakan oleh perilaku sosial dominan. Jargon pemilihan umum, yang selama ini kita kenal, tidak lebih hanya sebagai peristiwa kebahasaan. Karena sesungguhnya memang presiden bukan ditentukan semata saat proses pemilihan umum, melainkan telah dibentuk dan diciptakan jauh-jauh hari oleh perilaku konsumsi, selera, pemikiran, ide-ide, juga cita-cita komunitas sosial dominan. Pemahaman ”dominan” tentu menunjuk pada relasi ”kawula-gusti”.
Karya-karya patung Taman juga sebentuk dunia kerumunan yang tanpa nama. Tubuh-tubuh berjejal, menumpuk, dalam berbagai fragmen kehidupan. Lihat karya patungnya berbahan kayu, ”Memetik Buah Surga” (110 x 235 cm) menggambarkan tubuh-tubuh manusia berbaris-sesak menghamba sesuatu. Karya ini mengesankan betapa keterkaitan perilaku konsumsi secara otomatis mencipta sebentuk habitus.
Pendek kata, kegelisahan dan keputusan Taman untuk berjarak dari interaksi sosial paling kompleks seperti Ubud akhirnya memang memuarakan kesejatian. Kesejatian yang mengarah pada kesadaran dan keseriusan untuk selalu melakukan pembertanyaan atas perilaku sosial hari ini.
Kehilangan kelakar
Beranjak menuju pertanyaan sosial, bagi Taman bukannya tanpa risiko. Secara tematis, karya-karya Taman kali ini kelihatan kehilangan kelakar, rasa humor, dan hal yang terkait dengan upaya ekspose perilaku individu. Kalau dalam lima tahun sebelumnya secara terang benderang, Taman mengajukan gugatan penuh satiristik tentang perilaku tubuh-tubuh personal. Semisal Taman memberi judul sebuah karyanya ”Aku Bukan Anjing” (2001) yang semata untuk menegaskan subyek karyanya itu memang sesosok binatang berbelalai selayak gajah. Boleh jadi logika satiristik seperti ini terilhami dari bagaimana Rene Magritte, terutama pada karyanya tentang ”Bukan Cangklong”, padahal jelas subyek karyanya tentang cangklong rokok, tetap saja kehendak untuk mengolok-olok antara batas kenyataan dan imaji telah dibersitkan Taman.
Atau seri karyanya yang bertajuk ”Don’t Put Head on Your Head” yang secara bergurau menertawakan diri pribadi dan karib sesama perupa dengan meminjam wajahnya berikut ia bubuhi gambar-gambar binatang seperti kura-kura, babi, dan monyet tepat di kepala. Teman perupa yang dilukis seperti itu hanya bisa tersenyum melihat ulah nakal Taman itu.
Upaya membangun relasi antara perilaku individu dan perilaku sosial dominan barangkali sebuah tawaran yang menarik untuk dilalui Taman pada hari esok. Bagaimanapun, di dalam sebuah komunitas komunal membutuhkan kelahiran patron baru, yang menawarkan perilaku pemikiran liyan, sebelum semua sisian sejarah ruang kolektif terjerembab dalam dekadensi berkepanjangan. Tanda-tanda terbangunnya ruang individu pada ruang sosial terbaca ketika muncul sosok, tokoh, dan juga pahlawan. Sekiranya seniman berkesempatan untuk mengorbitkan perilaku berpikir liyan yang menyosok itu.
Wayan Kun Adnyana Pengajar Seni Rupa di FSRD ISI Denpasar
Recent Comments