Kongres AS Terkesima Lihat Masjid Al Akbar Surabaya
Kamis, 24 Februari 2011, 19:28 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA – Delegasi Kongres (legislator/DPR) Amerika Serikat (AS) merasa terkesan dengan kunjungan ke Masjid Nasional Al Akbar Surabaya (MAS), Kamis (24/2). “Kami sangat menikmati kunjungan ke Masjid Al Akbar dan kami sangat menghargai diskusi yang mendalam dengan para pengurus masjid,” kata pimpinan rombongan dan anggota California Congressman David Dreier.
Delegasi Kongres AS yang terdiri dari lima legislator itu tiba di MAS pukul 15.30 WIB dan diterima langsung oleh pengurus MAS yang diketuai Drs H Endro Siswantoro MSi di ruang Multazam MAS. Kelima anggota delegasi antara yang berkunjung adalah anggota California Congressman David Dreier (pimpinan rombongan), dan ranking member North Carolina Congressman, David Price.
Selain itu, California Congressman (anggota Kongres) Lois Capps, California Congressman (anggota Kongres) Sam Farr, dan Washington Congressman (anggota Kongres) Jim McDermott. “Mereka mengaku kagum saat melihat Masjid Al Akbar Surabaya yang merupakan simbol keagamaan di Provinsi Jawa Timur,” kata Kabag Humas dan Protokol MAS, Drs H Helmy M Noor.
Rasa kagum itu membuat mereka tidak terasa melakukan dialog dengan pengurus MAS, sehingga dialog yang dijadwalkan hanya 10 menit pun molor hingga 30 menit. “Selama ini, pertemuan mereka di Indonesia seperti bolak-balik ‘meeting’ tapi di Al Akbar justru dialogis, bahkan ada kue bikang dan roti maryam yang enak, kata mereka,” ujarnya.
Menurut Helmy, hal penting dalam dialog adalah pengurus MAS menitipkan kerukunan umat beragama dan toleransi beragama, terutama kaum Muslim AS yang minoritas. “Titipan itu ditanggapi anggota Kongres AS dengan positif. Mereka bilang kelompok minoritas di AS tetap dilindungi, termasuk kelompok Muslim, karena bila ada yang tidak terlindungi, maka hal itu berarti ada pelanggaran HAM,” katanya.
Dalam dialog itu, delegasi Kongres AS juga mengenalkan diri sebagai bagian dari The House of Democracy Partnership (HDP) atau Komisi Kemitraan Demokrasi yang melakukan serangkaian kunjungan ke kawasan Asia Tenggara. HDP atau Komisi Kemitraan Demokrasi itu bersifat bipartisan (dua partai)
sejumlah 22 anggota yang bekerja secara langsung dengan 14 negara mitra untuk mendukung perkembangan institusi legislatif yang efektif, independen, dan responsif.
Setelah berdialog dengan pengurus MAS selama 30 menit, anggota Kongres AS itu berjalan kaki menuju menara MAS dan mereka pun naik ke menara masjid setinggi 99 meter yang melambangkan ‘Asmaul Husna’ itu. Selanjutnya mereka pun berjalan kaki lagi menuju pintu utama di dekat air mancur dan akhirnya naik ke lantai 2 untuk melihat tempat shalat dari lantai 2.
Ketika turun, mereka menerima cendera mata berupa foto MAS dalam pigura serta setiap anggota Kongres AS menerima pin MAS yang disematkan Ketua MAS Drs H Endro Siswantoro MSi dan wakilnya. “Kunjungan dan pertemuan Kongres AS dengan pengurus Masjid Al Akbar itu penting untuk memperkuat hubungan masyarakat dari kedua negara. Para anggota Kongres menilai Al Akbar merupakan tempat yang penting,” kata Humas Konjen AS di Surabaya, Emmily Y Norris.
Red: Djibril Muhammad
Sumber: Antara
Masjid Koutoubia
Perpaduan Arsitektur Islam-Spanyol
arsitektur
Oleh Nidia Zuraya
Menara Masjid Koutobia merupakan bukti kesempurnaan dari perpaduan seni keramik Islam dan Spanyol yang dikenal dengan nama Hispano-Moresque.
Marrakech adalah kota bersejarah yang menjadi simbol negara Maroko. Orang Barat menyebutnya Marrakesh, dan literatur Indonesia menamainya Marrakus. Kota itu dibangun pada 1062 M oleh Yusuf bin Tasyfin dari Dinasti al-Murabitun. Dinasti itu merebut Maroko setelah kekuasaan Dinasti Fatimiyah di negeri itu tumbang.
Marrakech merupakan kota terbesar kedua di Maroko setelah Casablanca. Penguasa Dinasti Murabitun memilih Marrakech sebagai pusat pemerintahannya yang jauh dari gunung dan sungai. Marrakech dipilih karena berada di kawasan yang netral di antara dua suku yang bersaing untuk meraih kehormatan untuk menjadi tuan rumah di ibu kota baru itu.
Selama berabad-abad, Marrakech sangat dikenal dengan sebutan Seven Saints, atau tujuh orang suci. Ketika sufisme begitu populer semasa kekuasaan Moulay Ismail, di Marrakech sering diadakan festival Seven Saints. Pada 1147 M, Marrakech diambil alih Dinasti al-Muwahiddun. Pada masa itu, bangunan penduduk dan ibadah yang dibangun pada masa Dinasti al-Murabitun dihancurkan.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu, penguasa Muwahiddun kembali merekonstruksi seluruh bangunan, termasuk Masjid Koutoubia yang menjadi ikon kota Marrakech hingga saat ini. Mengutip laman Wikipedia, Masjid Koutoubia merupakan masjid terbesar di Marrakech.
Yulianto Sumalyo dalam Arsitektur Masjid dan Monumen Sejarah Muslim mengungkapkan bahwa rekonstruksi terhadap bangunan Masjid Koutoubia semasa Dinasti Muwahiddun dilakukan dalam dua tahap. Pertama, pada 1147 M, yakni ketika penguasa pertama Dinasti Muwahiddun, Abdul Mukmin, berhasil merebut Kota Marrakech dari tangan penguasa Dinasti Murabitun dan memproklamasikan dirinya sebagai khalifah.
Pada tahun tersebut, Abdul Mukmin dapat menguasai berbagai kota di Spanyol dan Afrika Utara, termasuk Marrakech. Penguasaan Kota Marrakech oleh pasukan Abdul Mukmin menjadi tonggak sejarah berakhirnya kekuasaan Dinasti Murabitun dan berdirinya Dinasti Muwahiddun. Sejalan dengan peristiwa tersebut, dari segi perkembangan seni dan arsitektur, mulai berkembang corak klasik khas Muwahiddun, antara lain yang terdapat dalam bangunan Masjid Koutoubia.
Sementara itu, rekonstruksi tahap kedua diperkirakan selesai pada 1158. Pada rekonstruksi tahap kedua ini dilakukan perubahan terhadap arah kiblat Masjid Koutoubia, yakni dibuat menyamping ke kanan lebih kurang lima derajat ke arah utara dari posisi kiblat sebelumnya.
Perubahan arah kiblat tersebut dilakukan kemungkinan karena arah kiblat pada rekonstruksi masjid tahap pertama setelah selesai dibangun diketahui kurang tepat, kemudian dikoreksi pada saat dilakukan rekonstruksi tahap kedua. Perubahan arah kiblat itu menyebabkan dinding masjid bagian kiri-kanan atau yang menghadap timur dan barat terlihat patah di bagian tengahnya.
Legenda bola emas
Dalam rekonstruksi tahap kedua juga dibangun sebuah menara di bagian sudut kiri-bawah atau di bagian barat daya dari bangunan masjid. Menara tersebut memiliki denah bujur sangkar. Dengan ketinggian 77 meter, menara Masjid Koutoubia ini terlihat menguasai langit-langit di area Old Medina. Pembangunan menara diselesaikan pada masa pemerintahan Khalifah Muwahiddun, Yaqub al-Mansur (1184-1199 M).
Desain menara Masjid Koutoubia menampilkan gaya arsitektur Muwahiddun klasik dengan empat buah bola tembaga menghiasi bagian puncak menara. Menurut cerita yang berkembang di tengah masyarakat Kota Marrakech, pada mulanya bola yang menghiasi puncak menara ini terbuat dari emas murni. Namun, jumlahnya hanya tiga buah.
Sementara bola emas keempat, masih menurut cerita tersebut, disumbangkan oleh istri Khalifah Yaqub al-Mansur sebagai kompensasi atas kegagalannya untuk menjaga puasa selama satu hari penuh selama Ramadhan. Istri Khalifah al-Mansur kemudian mendermakan sejumlah perhiasan emas miliknya untuk dilebur dan kemudian dicetak menjadi bola emas.
Menara masjid ini merupakan bukti kesempurnaan dari perpaduan seni keramik Islam dan Spanyol yang dikenal dengan nama Hispano-Moresque. Selain keramik, material yang digunakan untuk membangun menara yang megah ini adalah perpaduan dari bata merah, semen, dan batu.
Karena keunikan yang dimilikinya, menara Masjid Koutoubia ini menjadi model untuk pembangunan menara Masjid Giralda di Kota Sevilla, Spanyol; dan menara Masjid Hassan II di Rabat, Maroko. Karena kemiripan bentuk dan desainnya, ketiga menara ini kerap disebut sebagai tiga seri menara kembar. Dalam perkembangan berikutnya, model yang ditampilkan oleh menara Masjid Koutoubia dan Masjid Giralda ini banyak diadopsi oleh menara-menara gereja di Spanyol dan Eropa Timur.
Bangunan menara Masjid Koutoubia terdiri atas enam lantai. Pada tiap-tiap lantai terdapat sebuah kamar. Untuk mencapai tiap bagian lantai itu, pengunjung harus melalui sebuah anak tangga yang berakhir di bagian lantai paling atas yang dinamakan balkon. Dari balkon inilah, muazin mengumandangkan azan setiap masuk waktu shalat wajib lima waktu.
Tata letak masjid yang dibangun dalam rekonstruksi tahap pertama dan kedua, tidak berbeda jauh dengan bangunan masjid di kota-kota Maroko lainnya. Persamaan tersebut menjadi ciri khas dari arsitektur masjid di zaman Muwahiddun, yaitu percampuran Islam-Spanyol dan Islam-Abbasiyah.
Persamaan yang paling menonjol dari bangunan-bangunan masjid di negeri-negeri yang pernah dikuasai oleh Dinasti Muwahiddun adalah bentuk T dari bagian koridor tengah masjid, dibentuk oleh kolom-kolom tengah dari haram, tegak lurus dengan sayap kiri-kanan dari deretan terdepan di depan dinding kiblat.
Bentuk T koridor tengah masjid yang dibangun pada tahap pertama dan kedua agak berbeda. Pada tahap pertama, huruf T terdiri atas tiga lajur berbeda dalam jarak dan bentuk dengan kolom lain di kiri-kanannya. Kedua bagian masjid yang masing-masing hampir sama dan sebangun ini bentuknya segi empat dengan luas masing-masing sekitar 90×60 meter persegi. Jumlah lajur dan deret pada masjid dibangun dalam dua tahap. Keduanya sama, yaitu 17 dan tujuh.
Bangunan Masjid Koutoubia ini mempunyai dua sahn (halaman terbuka), dua haram (ruang khusus bagi jamaah wanita), dan empat buah riwaq. Namun, hanya mempunyai sebuah mihrab. Kedua sahn tersebut relatif tidak luas, riwaq menyambung langsung dengan haram.
Sementara itu, bagian kolom-kolom masjid terbuat dari bata dan dihiasi dengan pelengkung kombinasi patah, majemuk, dan pelengkung lurus. Kesemua model pelengkung ini merupakan ciri khas dari arsitektur campuran Barat-Timur di wilayah Magrib atau Afrika Utara.N ed; heri ruslan
Landmark Kota Marakech
Oleh Nidia Zuraya
Kota Marrakech dibangun pada 1062 M oleh Yusuf bin Tasyfin atau Ibnu Tasyfin dari Dinasti al-Murabitun. Pada 1147 M, Marrakech diambil alih Dinasti Muwahiddun. Pada masa itu, rumah-rumah penduduk dan rumah ibadah yang dihancurkan. Penguasa dinasti itu lalu kembali merekonstruksi seluruh bangunan, termasuk pembangunan Masjid Koutoubia dan Menara Gardens.
Masjid Koutoubia merupakan landmark-ciri khas-Kota Marrakech hingga saat ini. Pada 1269 M, Marrakech diambil alih Dinasti Marrin, dan ibu kota dipindah ke Fez. Dinasti ini sempat mengalami kemunduran pada 1274 M hingga 1522 M.
Mulai 1522 M, Saadians mengambil alih kekuasaan Marrakech. Kota Marrakech yang berubah miskin itu kembali bergairah setelah dijadikan ibu kota Maroko Selatan. Pada akhir abad ke-16 M, Marrakech kembali mencapai kejayaannya. Secara budaya dan ekonomi, Marrakech menjadi kota terkemuka dan terdepan di Maroko. Saat itu, jumlah penduduknya mencapai 60 ribu orang.
Pada 1669, Marrakech dikuasai sultan Maroko, dan ibu kota kembali pindah ke Fez. Pada pertengahan abad ke-18, Marrakech kembali dibangun Sultan Muhammad III. Pada awal abad ke-20, Prancis banyak membangun bangunan bergaya Prancis. Ketika Maroko meraih kemerdekaan pada 1956, ibu kota kerajaan berpindah ke Rabat.
Kini, Marrakech menjadi salah satu kota budaya yang dilindungi UNESCO. Di kota itu banyak berdiri masjid serta madrasah peninggalan masa kejayaan Islam, antara lain Masjid Koutoubia, Madrasah Ben Youssef, Masji Casbah, Masjid Mansouria, Masjid Bab Doukkala, Masjid Mouassine, serta banyak lagi yang lainnya.
Di kota ini juga banyak ditemukan bangunan istana peninggalan kejayaan Islam, seperti Istana El Badi, Royal Palace, dan Istana Bahia. Di Marrakech juga banyak sentra kerajinan tangan. Sebagai kota tua yang dijadikan objek wisata, Marrakech juga banyak memiliki museum, seperti Museum Dar Si Sa’ad, Museum Marrakech, Museum Bert Flint, dan Museum Islamic Art. heri ruslan
Recent Comments