|
Dari Bung Karno Sampai Pak SBY
Di antara enam presiden yang dihasilkan Indonesia merdeka, yang biasa dipanggil dengan “Bung” hanyalah Bung Karno seorang. Lainnya biasa dipanggil Pak Harto, Pak Habibie, dan Pak SBY. Atau “Gus” untuk Gus Dur dan “Ibu” untuk Ibu Megawati. Panggilan “Bung” adalah refleksi kultur egalitarian semasa revolusi yang tidak hanya milik Bung Karno, melainkan juga milik Hatta, Sjahrir, dan banyak yang lain, seperti Bung Adam Malik.
Sampai detik ini, dalam pergaulan sehari-hari, panggilan “Bung” masih setia bersama kita. Saya biasa memanggil Bung Taufiq, Bung Rendra, Bung Gunawan, dan Bung Ajip. Semuanya teman-teman di Akademi Jakarta. Panggilan “Bung” terasa lebih akrab dibandingkan dengan sebutan “Pak”, kecuali barangkali untuk mereka yang sudah terlalu lansia. Tetapi, untuk seorang Rosihan Anwar yang telah berusia 87 tahun, panggilan “Pak” mungkin lebih tepat oleh mereka yang lebih muda, tetapi panggilan “Bung” juga tidak ada masalah jika disampaikan oleh mereka yang hampir sebaya.
Saya tidak tahu mengapa, pasca-Bung Karno, panggilan “Bung” menghilang dari kosakata kepresidenan kita. Apakah karena telah terjadi pergeseran dari kultur demokrasi ke kultur semi-feodal. Boleh jadi demikian. Presiden Soeharto, misalnya, akan merasa kurang sreg jika dipanggil Bung Harto. Presiden Habibie kemudian terbawa-bawa. Padahal, sebagai seorang demokrat sejati, panggilan “Bung” tentu tidak ada masalah baginya. Panggilan “Gus” untuk Presiden Abdurrahman Wahid sebenarnya sedikit berbau santri-feodal, khas Jawa Timur.
Karena panggilan “Bung” untuk presiden telah ditinggalkan dan ditanggalkan, maka lidah kita akan kaku jika kita pasangkan untuk SBY, misalnya menjadi Bung SBY. Padahal dulu, untuk seorang Jenderal Soedirman, baik ungkapan “Pak” maupun “Bung” bisa dipakai bergantian. Sebenarnya, jika kita sepakat, untuk presiden perempuan atau tokoh perempuan lainnya, saya sarankan memakai kata “Bing” (belum muncul dalam kamus). Maka, jadilah Bing Megawati, Bing Musdah, dan ratusan “Bing” yang lain.
Bagi saya sendiri, yang berusia dengan kepala tujuh, panggilan “Bung” terasa lebih nyaman tinimbang “Buya” atau “Abuya”, sesuatu yang tidak enak bagi saya. Mentang-mentang saya berasal dari Ranah Minang. Sahabat saya, Teuku Kamaruzzaman, mantan juru runding GAM (Gerakan Aceh Merdeka), dalam SMS selalu menggunakan “Abuya” untuk saya, untuk menunjukkan rasa hormat kepada orang Minang yang lebih tua. Risi rasanya.
Mungkin untuk Buya Hamka sudah sepantasnya. Bahkan seorang Mohammad Natsir yang piawai itu biasa dipanggil Bung Natsir, di samping Pak Natsir. Untuk Jenderal Prabowo Subianto, panggilan Bung Prabowo jauh lebih manis, sedangkan panggilan Pak Prabowo lebih baik dihindari, lagi-lagi demi pesan egalitarian. Begitu juga untuk Jenderal A.M. Hendropriyono, panggil saja Bung Hendro, pasti akan lebih efektif untuk menghilangkan sekat-sekat kultur dalam pergaulan harian.
SBY juga saya rasa tidak keberatan jika dipanggil Bung SBY. Bergantung pada kita semua, tentu dimulai dari deklarasi yang bersangkutan. Panggilan serupa juga kita harapkan berlaku bagi Bung JK, Bung Wiranto, Bung Boediono. Saya ingin demokrasi Indonesia tidak hanya berkutat pada jargon demokrasi prosedural atau demokrasi teknis yang sering melelahkan, melainkan juga merambah ke ranah demokrasi kultural, dalam pergaulan antar dan lintas manusia. Jika pemimpin puncak Indonesia mau memulai tradisi “Bung” dan “Bing” itu, percayalah, dalam tempo singkat gaungnya akan cepat menjalar jauh sampai ke udik-udik Nusantara.
Kultur semi-feodal, yang dulu akan dibersihkan oleh kekuatan pergerakan nasional yang sarat dengan gagasan demokrasi egalitarian dan kemudian dikukuhkan lagi dalam arus revolusi kemerdekaan, kenapa masih bertahan sampai sekarang? Jawaban sederhananya tentu terletak pada faktor sejarah, jauh sebelum lahirnya Indonesia sebagai bangsa, tahun 1920-an. Nusantara ini adalah pusat feodalisme, sekalipun dengan gradasi yang berbeda.
Semakin merasuk ke pedalaman –dengan pengaruh Hindu yang pekat– kultur feodal itu sangat menjangkar. Sedangkan di kawasan pantai di lingkungan alam maritim, dengan kegiatan dagangnya yang dinamis dan terbuka, kultur egalitarian lebih dirasakan. Tentu tidak sepi dari feodalisme, tetapi lapisannya semakin menipis. Dalam feodalisme, kultur politik yang berkembang adalah ”daulat tuanku”. Dalam demokrasi: ”daulat rakyat”.
Pertanyaannya kemudian: apakah Indonesia merdeka masih mau melestarikan kultur ”daulat tuanku” dengan mengorbankan ”daulat rakyat”? Jawabannya pasti tidak! Jika memang itu jawabannya, ke depan sebutan “Bung” dan “Bing” perlu lebih dipopulerkan. Maka, Bung Karno mesti disusul oleh “Bung” atau “Bing” yang lain: Bung SBY, Bung JK, Bung Wiranto, Bung Prabowo, Bung Boediono, dan Bing Megawati. Cukup gaul, bukan?
Ahmad Syafii Maarif
Guru Besar Sejarah, Pendiri Maarif Institute
[Perspektif, Gatra Nomor 36 Beredar Kamis, 16 Juli 2009] |
Recent Comments