
(ANTARA/Ardiansyah Indra Kumala)
Jakarta (ANTARA News) – Hari Raya Idul Fitri telah tiba, hari kemenangan di mana kita kembali kepada fitrah dan jati diri sebagai hamba Allah SWT yang patuh kepada-Nya.
Kembali kepada fitrah berarti kembali kepada naluri kemanusiaan yang bersih dan kembali dari segala kepentingan duniawi.
Idul Fitri harus menjadi ajang tasyakur, refleksi diri untuk kembali mendekatkan diri pada Allah SWT. Idul Fitri harus menjadi momen untuk mengasah kepekaan sosial dan melakukan evaluasi diri pada ibadah puasa yang telah dikerjakan.
Apakah puasa yang kita lakukan telah memberi makna, atau hanya sekedar puasa menahan lapar dan dahaga saja.
Pahala puasa tidak tergantung seberapa jauh kita lapar atau haus melainkan tergantung pada apakah kita menjalankannya dengan iman kepada Allah serta penuh introspeksi atau tidak.
Idul Fitri akan menjadi sempurna apabila kita dapat meningkatkan kesalehan sosial kita yaitu rasa empati terhadap mereka yang kurang beruntung secara ekonomi dan sosial serta berbagi kebahagiaan kepada orang lain.
Selama puasa Ramadhan kita diajak merasakan kelaparan, kesusahan dan penderitaan kaum tidak mampu.
Oleh sebab itu pada akhir Ramadhan, umat Islam diwajibkan membayarkan zakat fitrah dan zakat mal atau pun membayar shodaqoh.
Agama mengajarkan kepada manusia untuk tolong-menolong dalam kebaikan dan taqwa. Agama juga mengajarkan bahwa dalam harta yang kita miliki terdapat hak fakir miskin, hak orang yang meminta-minta, dan hak orang yang tidak mendapatkan bagian.
Terdapat banyak saluran untuk menyampaikan kepedulian sosial kepada sesama. Agama mengajarkannya dalam bentuk zakat, infaq maupun shodaqoh. Saluran lainnya, dalam hal ini diatur oleh negara, adalah dalam bentuk pajak.
Perlu direnungkan bahwa pajak sesungguhnya juga merupakan ibadah kepada Allah demi kemaslahatan bersama.
Dalam banyak hal pajak merupakan bentuk aktualisasi strategis dari sedekah atau kesetiakawanan sejati bagi sesama, karena uang pajak dimanfaatkan seluruhnya untuk kepentingan masyarakat.
Bagi yang lemah, apa pun agama, keyakinan, dan warna kulitnya, pasti sudah mendapatkan manfaat pajak yang disalurkan dalam bentuk program-program pengentasan kemiskinan seperti Jamkesmas dan Bantuan Sosial.
Selain sebagai sumber pendapatan negara, pajak juga berfungsi untuk mewujudkan keadilan sosial, yaitu dengan cara melakukan
distribusi kesejahteraan.
Hal ini dilaksanakan dengan menerapkan tarif progresif bagi masyarakat yang berpenghasilan besar dan membebaskan pajak bagi yang kurang mampu. Kemudian uang pajak akan dimanfaatkan dalam
prioritas-prioritas anggaran bagi pembangunan yang berpihak kepada kepentingan rakyat.
Dengan semakin banyak rakyat yang
membayar pajak dengan benar, semakin banyak uang yang dimanfaatkan untuk pembangunan. Pada akhirnya, semua pihak akan merasakan “kemenangan” seperti halnya kemenangan pribadi di hari yang suci.
Masyarakat yang merasakan kemenangan akan menjadikan negaranya maju dan bermartabat seperti yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa.
Mari kita sempurnakan Idul Fitri kita dengan meningkatkan kepedulian sosial terhadap sesama agar kemenangan Idul Fitri dapat dirasakan seluruh umat.
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1433 H, mohon maaf lahir dan batin.
COPYRIGHT © 2012
Ujian dari Kemenangan
Senin, 20 Agustus 2012 00:00 WIB
SELAIN permohonan maaf, selamat kemenangan menjadi kata lazim di hari Lebaran. Menang dan Idul Fitri memang sejatinya bagai dua sisi mata uang.
Seperti yang selalu disampaikan para ulama, Idul Fitri bermakna kembali ke fitrah atau yang dalam bahasa kita bisa diartikan sebagai asal kejadian atau sesuatu yang suci juga benar.
Di kehidupan dunia yang sulit luput dari dosa, keberhasilan kembali suci tentulah sebuah kemenangan besar. Layaknya semua kemenangan, perayaan menjadi sesuatu yang wajar untuk meluapkan kegembiraan dan bersyukur. Namun di Tanah Air, perayaan itu tidak jarang terlihat sebagai suka cita yang memuaskan nafsu.
Suguhan berlimpah serta pernik dan perangkat baru seolah menjadi keharusan. Lebaran bagaikan panggung untuk pamer kesuksesan dan kekayaan kepada kerabat. Nilai-nilai warisan Ramadhan pun luntur hanya sehari setelah ia berlalu.
Memang bagian tersulit dari segala kemenangan ialah mempertahankannya. Lihat saja ajang Olimpiade, di mana kemenangan hal yang diperebutkan.
Manusia tercepat Usain Bolt dan raja kolam renang Michael Phelps pun dihujani keraguan oleh orang banyak meski empat tahun sebelumnya telah panen emas dan langganan mencetak rekor dunia.
Kemenangan para pencetak sejarah itu masih selalu diikuti dengan tuntutan untuk mempertahankannya.
Meski tanpa bukti catatan waktu dan medali, kemenangan dari perjuangan mengarungi Ramadhan tentulah memiliki beban lebih besar. Terlebih tanggung jawab kemenangan spiritual itu harus dibuktikan kepada Sang Pemilik Alam Raya.
Ujian sesungguhnya bagi para pemenang Ramadhan akan menghampar selama 11 bulan ke depan. Mampukah menahan nafsu ketika tidak ada larangan untuk memuaskannya? Akankah kita berbesar hati dan ikhlas untuk berbagi, bersabar dan memaafkan tanpa ganjaran pahala berlipat seperti yang dijanjikan saat Ramadhan?
Bukan saja untuk kemuliaan dan jalan surga bagi diri sendiri, sesungguhnya memang nilai-nilai itulah pula yang dibutuhkan bangsa dan negara ini. Ketika godaan kekuasaan dan celah korupsi ada di mana saja, kekuatan iman yang ditempa saat bulan mulia seharusnya menjadi benteng yang lebih kuat dari ancaman jeruji besi.
Saat perbedaan kultur, keyakinan dan ras mencuat di tengah isu sosial, bekal latihan kelapangan hati seharusnya bisa menjadikan kita menerima dan melihat sisi positif dari keberagaman.
Kita semestinya menolak kekerasan. Kita semestinya mencintai perdamaian serta silaturahmi sebagaimana nilai-nilai itu dijunjung dalam Ramadhan.
Saat kemenangan dan kekalahan menjadi hal lumrah dalam kehidupan sehari-hari hingga panggung politik, maka bukan caci maki dan saling serang yang akan dikedepankan. Kebesaran jiwa untuk mengakui keunggulan lawan dan juga tekad untuk menjadi lebih baik semestinya bukan hal yang berat untuk bangsa ini.
Kita semestinya mudah terketuk ketika ketimpangan ekonomi dan sosial muncul di hadapan kita. Seperti yang tergambar dari kegiatan buka bersama maupun sahur keliling, berbagi pada mereka yang kekurangan tentunya menjadi hal yang selalu dirindukan para umat Nabi Muhammad SAW.
Tidak kurang pula, memperjuangkan hak kaum tertindas menjadi hal yang dicintai para muslim hingga para pemimpinnya.
Dengan semua kualitas itulah kita merayakan Lebaran.
Sabtu, 18/08/2012 01:54 WIB
Pilgub DKI Pertarungan Figur, Koalisi Besar Bukan Jaminan
Elvan Dany Sutrisno – detikNews
FOTO: Foto: detikcom
Jakarta – Menghadapi putaran kedua Pilgub DKI, Fauzi Bowo (Foke) panen dukungan dari banyak parpol besar. Namun Pilgub DKI adalah pertarungan figur, bukan sekedar pertarungan mesin partai.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis) Husin Yazid memandang Pilgub DKI adalah pertarungan figur. Peran partai tidak terlalu dominan dalam pemenangan Pilgub DKI. Karenanya meskipun didukung koalisi besar, tak serta-merta menjamin kemenangan Foke atas Joko Widodo (Jokowi) dalam babak kedua Pilgub DKI usai lebaran nanti.
Menjelang putaran dua, Puskaptis telah melakukan survei untuk membaca peta persaingan. Ada beberapa hal yang menarik dalam hasil survei yang baru akan dirilis setelah lebaran tersebut. Saat ditanyakan pada pemilih Golkar dan PPP, ternyata pilihannya masih begitu cair. Hal tersebut menunjukkan pemilih punya arah politik sendiri, tak mudah disetir elit partainya.
“Hati-hati bagi para tim sukses. Sekarang pertarungan figur,” ingat Husin, melalui siaran pers, Sabtu (18/8/2012).
Hasil survei tersebut menunjukkan hanya 25 persen konstituen partai yang mengikuti pilihan atau anjuran elit partainya. Sementara 75 persen pemilih akan memilih sesuai hati nuraninya.
“Bisa jadi koalisi besar itu hanya pepesan kosong,” kata Husin.
Seperti diketahui menjelang putaran dua Pilgub DKI, pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli berhasil mendapatkan dukungan baru dari PPP, Golkar dan PKS. Namun konstituen PKS diyakini tidak patuh terhadap sikap partainya, terbukti dengan kekalahan Hidayat Nurwahid di putaran pertama Pilgub DKI.
“Belum lagi pemilih Faisal Basri yang sangat mungkin beralih ke Jokowi,” ujarnya.
Selain melakukan survei terhadap kecenderungan pemilih, dilakukan juga survei menyangkut kampanye SARA yang digulirkan belakangan ini. Ternyata hanya 10 persen pemilih yang terpengaruh dengan isu SARA.
“Putaran dua Pilgub DKI juga adalah pertarungan antara figur populis melawan figur elitis. Jokowi yang informal, non birokrasi melawan Foke yang prosedural, formal dan birokratis,” tegasnya.
Recent Comments