Nurani & Dzulmani
oleh Jalaluddin Rakhmat
Menurut para sufi, manusia adalah mahluk Allah yang paling sempurna di dunia ini. Hal ini, seperti yang dikatakan Ibnu Arabi, manusia bukan saja karena merupakan khalifah Allah di bumi yang dijadikan sesuai dengan citra-Nya, tetapi juga karena ia merupakan madzaz (penampakan atau tempat kenyataan) asma dan sifat Allah yang paling lengkap dan menyeluruh.
Allah menjadikan Adam (manusia) sesuai dengan citra-Nya. Setelah jasad Adam dijadikan dari alam jisim, kemudian Allah meniupkan ruh-Nya ke dalam jasad Adam. Allah berfirman, “Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.” (QS Al-Hijr: 29)
Jadi jasad manusia, menurut para sufi, hanyalah alat, perkakas atau kendaraan bagi rohani dalam melakukan aktivitasnya. Manusia pada hakikatnya bukanlah jasad lahir yang diciptakan dari unsur-unsur materi, akan tetapi rohani yang berada dalam dirinya yang selalu mempergunakan tugasnya.
Karena itu, pembahasan tentang jasad tidak banyak dilakukan para sufi dibandingkan pembahasan mereka tentang ruh (al-ruh), jiwa (al-nafs), akal (al-‘aql) dan hati nurani atau jantung (al-qalb).
Ruh dan Jiwa (Al-Ruh dan Al-Nafs)
Banyak ulama yang menyamakan pengertian antara ruh dan jasad. Ruh berasal dari alam arwah dan memerintah dan menggunakan jasad sebagai alatnya. Sedangkan jasad berasal dari alam ciptaan, yang dijadikan dari unsur materi. Tetapi para ahli sufi membedakan ruh dan jiwa. Ruh berasal dari tabiat Ilahi dan cenderung kembali ke asal semula. Ia selalu dinisbahkan kepada Allah dan tetap berada dalam keadaan suci.
Karena ruh bersifat kerohanian dan selalu suci, maka setelah ditiup Allah dan berada dalam jasad, ia tetap suci. Ruh di dalam diri manusia berfungsi sebagai sumber moral yang baik dan mulia. Jika ruh merupakan sumber akhlak yang mulia dan terpuji, maka lain halnya dengan jiwa. Jiwa adalah sumber akhlak tercela, Al-Farabi, Ibnu Sina dan Al-Ghazali membagi jiwa pada; jiwa nabati (tumbuh-tumbuhan), jiwa hewani (binatang) dan jiwa insani.
Jiwa nabati adalah kesempurnaan awal bagi benda alami yang organis dari segi makan, tumbuh dan melahirkan. Adapun jiwa hewani, di samping memiliki daya makan untuk tumbuh dan melahirkan, juga memiliki daya untuk mengetahui hal-hal yang dan daya merasa, sedangkan jiwa insani mempunyai kelebihan dari segi daya berfikir (al-nafs al-nathiqah).
Daya jiwa yang berfikir (al-nafs al-nathiqah atau al-nafs al-insaniyah). Inilah, menurut para filsuf dan sufi, yang merupakan hakikat atau pribadi manusia. Sehingga dengan hakikat, ia dapat mengetahui hal-hal yang umum dan yang khusus, dzatnya dan penciptaannya.
Karena pada diri manusia tidak hanya memiliki jiwa insani (berpikir), tetapi juga jiwa nabati dan hewani, maka jiwa (nafs) manusia mejadi pusat tempat tertumpuknya sifat-sifat yang tercela pada manusia. Itulah sebabnya jiwa manusia mempunyai sifat yang beraneka sesuai dengan keadaannya.
Apabila jiwa menyerah dan patuh pada kemauan syahwat dan memperturutkan ajakan syaithan, yang memang pada jiwa itu sendiri ada sifat kebinatangan, maka ia disebut jiwa yang menyuruh berbuat jahat. Firman Allah, “Sesungguhnya jiwa yang demikian itu selalu menyuruh berbuat jahat.” (QS Ar-Ra’d: 53)
Apabila jiwa selalu dapat menentang dan melawan sifat-sifat tercela, maka ia disebut jiwa pencela, sebab ia selalu mencela manusia yang melakukan keburukan dan yang teledor dan lalai berbakti kepada Allah. Hal ini ditegaskan oleh-Nya, “Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang selalu mencela.” (QS Al-Qiyamah: 2)
Tetapi apabila jiwa dapat terhindar dari semua sifat-sifat yang tercela, maka ia berubah jadi jiwa yang tenang (al-nafs al-muthmainnah). Dalam hal ini Allah menegaskan, “Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rasa puas lagi diridhai, dan masuklah kepada hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam Surga-Ku.” (QS Al-Fajr: 27-30)
Jadi, jiwa mempunyai tiga buah sifat, yaitu jiwa yang telah menjadi tumpukan sifat-sifat yang tercela, jiwa yang telah melakukan perlawanan pada sifat-sifat tercela, dan jiwa yang telah mencapai tingkat kesucian, ketenangan dan ketentraman, yaitu jiwa muthmainnah. Dan jiwa muthmainnah inilah yang telah
dijamin Allah langsung masuk surga.
Jiwa muthmainnah adalah jiwa yang selalu berhubungan dengan ruh. Ruh bersifat Ketuhanan sebagai sumber moral mulia dan terpuji, dan ia hanya mempunyai satu sifat, yaitu suci. Sedangkan jiwa mempunyai beberapa sifat yang ambivalen. Allah sampaikan, “Demi jiwa serta kesempurnaan-Nya, Allah mengilhamkan jiwa pada keburukan dan ketaqwaan.” (QS Asy-Syams: 7-8). Artinya, dalam jiwa terdapat potensi buruk dan baik, karena itu jiwa terletak pada perjuangan baik dan buruk.
Akal
Akal yang dalam bahasa Yunani disebut nous atau logos atau intelek (intellect) dalam bahasa Inggris adalah daya berpikir yang terdapat dalam otak, sedangkan “hati” adalah daya jiwa (nafs nathiqah). Daya jiwa berpikir yang ada pada otak di kepala disebut akal. Sedangkan yang ada pada hati (jantung) di dada disebut rasa (dzauq). Karena itu ada dua sumber pengetahuan, yaitu pengetahuan akal (ma’rifat aqliyah) dan pengetahuan hati (ma’rifat qalbiyah). Kalau para filsuf mengunggulkan pengetahuan akal, para sufi lebih mengunggulkan pengetahuan hati (rasa).
Menurut para filsuf Islam, akal yang telah mencapai tingkatan tertinggi—akal perolehan (akal mustafad)—ia dapat mengetahui kebahagiaan dan berusaha memperolehnya. Akal yang demikian akan menjadikan jiwanya kekal dalam kebahagiaan (surga). Namun, jika akal yang telah mengenal kebahagiaan itu berpaling, berarti ia tidak berusaha memperolehnya. Jiwa yang demikian akan kekal dalam kesengsaraan (neraka).
Adapun akal yang tidak sempurna dan tidak mengenal kebahagiaan, maka menurut Al-Farabi, jiwa yang demikian akan hancur. Sedangkan menurut para filsuf tidak hancur. Karena kesempurnaan manusia menurut para filsuf terletak pada kesempurnaan pengetahuan akal dalam mengetahui dan memperoleh kebahagiaan yang tertinggi, yaitu ketika akan sampai ke tingkat akal perolehan.
Hati Sukma (Qalb)
Hati atau sukma terjemahan dari kata bahasa Arab qalb. Sebenarnya terjemahan yang tepat dari qalb adalah jantung, bukan hati atau sukma. Tetapi, dalam pembahasan ini kita memakai kata hati sebagaimana yang sudah biasa. Hati adalah segumpal daging yang berbentuk bulat panjang dan terletak di dada sebelah kiri. Hati dalam pengertian ini bukanlah objek kajian kita di sini, karena hal itu termasuk bidang kedokteran yang cakupannya bisa lebih luas, misalnya hati binatang, bahkan bangkainya.
Adapun yang dimaksud hati di sini adalah hati dalam arti yang halus, hati-nurani –daya pikir jiwa (daya nafs nathiqah) yang ada pada hati, di rongga dada. Dan daya berfikir itulah yang disebut dengan rasa (dzauq), yang memperoleh sumber pengetahuan hati (ma’rifat qalbiyah). Dalam kaitan ini Allah berfirman, “Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan memahaminya.” (QS Al-A’raaf: 179)
Dari uraian di atas, dapat kita ambil kesimpulan sementara, bahwa menurut para filsuf dan sufi Islam, hakikat manusia itu jiwa yang berfikir (nafs insaniyah), tetapi mereka berbeda pendapat pada cara mencapai kesempurnaan manusia. Bagi para filsuf, kesempurnaan manusia diperoleh melalui pengetahuan akal (ma’rifat aqliyah), sedangkan para sufi melalui pengetahuan hati (ma’rifat qalbiyah). Akal dan hati sama-sama merupakan daya berpikir.
Menurut sufi, hati yang bersifat nurani itulah sebagai wadah atau sumber ma’rifat—suatu alat untuk mengetahui hal-hal yang Ilahi. Hal ini hanya dimungkinkan jika hati telah bersih dari pencemaran hawa nafsu dengan menempuh fase-fase moral dengan latihan jiwa, serta menggantikan moral yang tercela dengan moral yang terpuji, lewat hidup zuhud yang penuh taqwa, wara’ serta dzikir yang kontinyu, ilmu ladunni (ilmu Allah) yang memancarkan sinarnya dalam hati, sehingga ia dapat menjadi sumber atau wadah ma’rifat, dan akan mencapai pengenalan Allah. Dengan demikian, poros jalan sufi ialah moralitas.
Latihan-latihan ruhaniah yang sesuai dengan tabiat terpuji adalah sebagai kesehatan hati dan hal ini yang lebih berarti ketimbang kesehatan jasmani sebab penyakit anggota tubuh luar hanya akan membuat hilangnya kehidupan di dunia ini saja, sementara penyakit hati nurani akan membuat hilangnya kehidupan yang abadi. Hati nurani ini tidak terlepas dari penyakit, yang kalau dibiarkan justru akan membuatnya berkembang banyak dan akan berubah menjadi hati dzulmani—hati yang kotor.
Kesempurnaan hakikat manusia (nafs insaniyah) ditentukan oleh hasil perjuangan antara hati nurani dan hati dzulmani. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah yang artinya, “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang mensucikan jiwanya, dan rugilah orang yang mengotorinya.” (QS Asy-Syams: 8-9)
Hati nurani bagaikan cermin, sementara pengetahuan adalah pantulan gambar realitas yang terdapat di dalamnya. Jika cermin hati nurani tidak bening, hawa nafsunya yang tumbuh. Sementara ketaatan kepada Allah serta keterpalingan dari tuntutan hawa nafsu itulah yang justru membuat hati-nurani bersih dan cemerlang serta mendapatkan limpahan cahaya dari Allah SWT.
Bagi para sufi, kata Al-Ghazali, Allah melimpahkan cahaya pada dada seseorang, tidaklah karena mempelajarinya, mengkajinya, ataupun menulis buku, tetapi dengan bersikap asketis terhadap dunia, menghindarkan diri dari hal-hal yang berkaitan dengannya, membebaskan hati nurani dari berbagai pesonanya, dan menerima Allah segenap hati. Dan barangsiapa memiliki Allah niscaya Allah adalah miliknya. Setiap hikmah muncul dari hati nurani, dengan keteguhan beribadah, tanpa belajar, tetapi lewat pancaran cahaya dari ilham Ilahi.
Hati atau sukma dzulmani selalu mempunyai keterkaitan dengan nafs atau jiwa nabati dan hewani. Itulah sebabnya ia selalu menggoda manusia untuk mengikuti hawa nafsunya. Kesempurnaan manusia (nafs nathiqah), tergantung pada kemampuan hati-nurani dalam pengendalian dan pengontrolan hati dzulmani.
Nasikh dan Mansukh
Oleh Ustadz Muslim Al-Atsari
Naskh secara bahasa artinya: menghilangkan, menghapuskan, memindahkan, menulis. Adapun secara istilah, maka ada dua macam: Pertama. Naskh menurut istilah para ulama ushul fiqih Muta-akhirin. Mereka memiliki ta’rif yang berbeda-beda.
Al-Baidhowi rahimahullah (wafat 685 H) mendefinisikan dengan, “Naskh adalah penjelasan berhentinya hukum syari’at dengan jalan syar’i yang datang setelahnya.”
Ibnu Qudamah rahimahullah (wafat 620 H) menyebutkan definisi naskh dengan menyatakan, “Menghilangkan hukum yang ada dengan perkataan (dalil) yang dahulu, dengan perkataan yang datang setelahnya.”
Di antara ta’rif yang ringkas dan mencakup adalah yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, yaitu, “Menghapuskan hukum dalil syar’i atau lafazhnya dengan dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah.”
Kedua, Naskh menurut istilah Salafush Shalih Mutaqoddimin. Istilah naskh yang ada pada mereka lebih luas daripada definisi para ulama ushul Mutaakhirin.
Hudzaifah ra berkata, “Yang memberi fatwa kepada manusia hanyalah tiga orang; Orang yang mengetahui yang mansukh dari Al-Qur’an, atau amir (pemimpin) yang harus (berfatwa), atau orang dungu yang memaksakan diri.”
Imam Ibnul Qayyim berkata mengomentari perkataan di atas: “Yang dimaksudkan oleh beliau (Hudzaifah) dan yang dimaksudkan oleh kebanyakan Salaf dengan (istilah) nasikh dan mansukh terkadang adalah menghapuskan hukum sekaligus. Dan ini merupakan istilah mutaakhirin, dan terkadang adalah menghapus penunjukkan dalil ‘am, muthlaq, zhahir, dan lainnya. Kemungkinan dengan takhshish (pengkhususan), taqyid (penentuan), atau membawa yang muthlaq kepada muqayyad (yang ditentukan), dan tafsir (penjelasan) serta tanbih (mengingatkan).
Nasikh artinya yang menghapuskan, yaitu dalil Al-Kitab atau As-Sunnah yang menghapuskan hukum dalil syar’i atau lafazhnya. Pada hakikatnya nasikh (yang menghapuskan) adalah Allah Azza wa Jalla.
Mansukh artinya yang dihapuskan, yaitu hukum dalil syar’i atau lafazhnya yang dihapuskan.
Penunjukkan Adanya Naskh dalam Syari’at
Perlu diketahui bahwa adanya naskh dalam syari’at atau adanya ayat Al-Qur’an yang mansukh (dihapus hukumnya/lafazhnya) oleh ayat lain ditunjukkan oleh dalil naql (ayat/hadits), dalil akal, dan ijma’.
Dalil Naql
Firman Allah SWT: “Apa saja ayat yang kami nasakhkan (hapuskan)…” (QS Al Baqarah: 106).
Makna kata “ayat” di dalam firman Allah ini adalah ayat Al-Qur’an, sebagaimana penafsiran Salafush Shalih yang kami ketahui. Seperti riwayat dari Ibnu Abbas, Mujahid, sahabat-sahabat Ibnu Mas’ud, Abul ‘Aliyah, Muhammad bin Ka’b Al-Qurodhi, Adh-Dhahhak, ‘Atho’, As-Suddi, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Jarir, dan Ibnu Katsir.
Adapun manafsirkan kata “ayat” pada firman Allah di atas dengan “mukjizat”, sebagaimana dalam Tafsir Qur’an Al-Furqan, karya A Hassan, maka kami khawatir itu merupakan tafsir bid’ah. Walaupun secara bahasa dibenarkan, namun bertentangan dengan ijma’ ahli tafsir sebagaimana di atas.
Firman Allah: “Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempat ayat yang lain.” (QS An Nahl: 101).
Demikian juga ayat ini juga nyata menunjukkan adanya ayat Al-Qur’an yang nasikh dan mansukh, bukan hanya nasikh saja! Ayat yang Allah jadikan pengganti adalah nasikh, ayat yang digantikan adalah ayat mansukh. Dan ini sangat jelas, sebagaimana kita lihat. Adapun sebagian dari contoh-contoh ayat mansukh akan kami sampaikan di bawah insya Allah. Lebih luas dapat dilihat dalam kitab-kitab ushul fiqih.
Dalil Aql
Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata, “Naskh boleh terjadi menurut akal dan nyata terjadi menurut syari’at. Adapun bolehnya terjadi menurut akal, karena segala perkara di tangan Allah, segala hukum (keputusan) milik-Nya, karena Dia adalah Ar-Rabb (Sang Penguasa) Al-Malik (Sang Pemilik). Maka Dia berhak mensyari’atkan bagi hamba-hamba-Nya apa yang dituntut oleh hikmah-Nya dan rahmat-Nya. Apakah akal menolak jika Sang Pemilik memerintahkan kepada apa yang Dia miliki dengan apa yang Dia kehendaki?”
Dalil Ijma’
Banyak ulama telah menyatakan adanya ijma’ tentang adanya naskh dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Al-Baji berkata, “Seluruh umat Islam berpendapat bolehnya/ mungkinnya naskh syari’at menurut akal dan syara’.”
Al-Kamal Ibnul Humam berkata, “Pengikut syari’at-syari’at telah sepakat atas bolehnya (naskh, secara akal) dan terjadinya (secara syari’at).”
Macam-Macam Naskh
Pertama, macam-macam naskh, dilihat dari nash yang mansukh (dihapus) ada tiga bagian:
1. Nash Yang Mansukh Hukumnya, Namun Lafazhnya Tetap
Inilah jenis nash mansukh yang paling banyak. Yaitu hukum syar’i dihapuskan, tidak diamalkan, namun lafazhnya tetap.
Hikmah naskh jenis ini adalah tetapnya pahala membaca ayat tersebut dan mengingatkan umat tentang hikmah naskh, terlebih dalam hukum yang diringankan dan dimudahkan.
Contohnya firman Allah: “Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantaramu, maka mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.” (QS Al Anfal: 65).
Ayat ini menunjukkan kewajiban bersabarnya 20 umat Islam berperang menghadapi 200 orang-orang kafir. Dan bersabarnya 100 umat Islam berperang menghadapi 1.000 orang-orang kafir.
Kemudian hukum ini dihapus dengan firman Allah selanjutnya: “Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui padamu bahwa ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS Al Anfal: 66).
Abdullah bin Abbas berkata, “Ketika turun (firman Allah): “Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh.” (QS Al-Anfal: 65), hal itu berat atas umat Islam, yaitu ketika diwajibkan atas mereka, bahwa satu orang tidak boleh lari menghadapi 10 (musuh). Kemudian datanglah keringanan, Allah berfirman: “Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui padamu bahwa ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang.” (QS Al-Anfal: 66). Ketika Allah telah meringankan dari mereka jumlah (musuh yang wajib dihadapi), kesabaran pun berkurang seukuran apa yang Allah telah meringankan dari mereka.” (HR Bukhari).
Inilah contoh hukum yang mansukh di dalam Al-Qur’an. Penjelasan mansukhnya hukum dalam ayat 65 surat Al-Anfal di atas, selain dari Ibnu Abbas, juga diriwayatkan dari Mujahid, Atho’, ‘Ikrimah, Hasan Al-Bashri, Zaid bin Aslam, ‘Atho Al-Khurosani, Adh-Dhohhak, dan lainnya. Orang yang menolak adanya mansukh dalam Al-Qur’an telah menyelisihi penafsiran mereka.
2. Nash Yang Mansukh Lafazhnya, Namun Hukumnya Tetap
Al-Aamidi menyatakan bahwa ulama telah bersepakat atas terjadinya naskh (penghapusan) tulisan/lafazh, tanpa naskh hukumnya, berbeda dengan anggapan kelompok yang menyendiri dari kalangan Muktazilah.
Hikmah naskh jenis ini adalah agar kadar ketaatan umat kepada Allah menjadi nampak, yaitu di dalam bersegera melakukan ketaatan dari sumber yang zhanni rojih (persangkaan kuat), yaitu sebagian dari As-Sunnah, bukan dari sumber yang seluruhnya yaqin, yaitu Al-Qur’an. Sebagaimana Nabi Ibrahim AS bersegera akan melaksanakan penyembelihan terhadap anaknya, Nabi Ismail, dengan sumber mimpi. Sedangkan mimpi adalah tingkatan terendah jalan wahyu kepada para nabi.
Selain itu, di antara hikmahnya adalah apa yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Ia berkata, “Hikmah naskh lafazh tanpa (naskh) hukumnya adalah untuk menguji umat terhadap amalan yang tidak mereka dapati di dalam Al-Qur’an, dan mewujudkan keimanan mereka dengan apa yang Allah turunkan. Berbeda dengan orang-orang Yahudi yang berusaha menutupi nash rajam di dalam Taurat.”
Contoh jenis naskh ini adalah ayat rajam. Umar bin Al-Khathab berkata, “Sesungguhnya aku khawatir, zaman akan panjang terhadap manusia sehingga seseorang akan berkata: “Kita tidak mendapati rajm di dalam kitab Allah”, sehingga mereka menjadi sesat dengan sebab meninggalkan satu kewajiban yang telah diturunkan oleh Allah. Ingatlah, sesungguhnya rajam adalah haq atas orang yang berzina dan dia telah menikah, jika bukti telah tegak, atau ada kehamilan, atau ada pengakuan.” Sufyan berkata, “Demikianlah yang aku ingat. Ingatlah, Rasulullah SAW telah melakukan rajam, dan kita telah melakukan rajam setelah beliau.” (HR Bukhari)
Adapun lafazh ayat rajam, disebutkan oleh sebagian riwayat dengan bunyi; “Laki-laki yang tua (maksudnya yang sudah menikah) dan wanita yang tua (maksudnya yang sudah menikah) jika berzina, maka rajamlah keduanya sungguh-sungguh, sebagai hukuman yang mengandung pelajaran dari Allah, dan Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.”
3. Nash Yang Mansukh Hukumnya dan Lafazhnya
Contoh, ayat yang menyatakan 10 kali penyusuan mengharamkan pernikahan. Aisyah berkata, “Dahulu di dalam apa yang telah diturunkan di antara Al-Qur’an adalah: “Sepuluh kali penyusuan yang diketahui, mengharamkan,” kemudian itu dinaskh (dihapuskan) dengan “Lima kali penyusuan yang diketahui.” Kemudian Rasulullah SAW wafat dan itu termasuk yang dibaca di antara Al-Qur’an.” (HR Muslim).
Makna perkataan ‘Aisyah “dan itu termasuk yang dibaca di antara Al-Qur’an” adalah:
• Yaitu: Dibaca hukumnya, namun lafazhnya tidak.
• Atau: Orang yang belum kesampaian naskh bacaannya, masih tetap membacanya.
Kedua, macam-macam naskh dilihat dari nash yang nasikh (menghapus)–secara ringkas—ada empat bagian:
1. Al-Qur’an Dimansukh dengan Al-Qur’an
Jenis naskh ini disepakati adanya oleh para ulama, ada pun orang yang beranggapan tidak ada ayat mansukh di dalam Al-Qur’an, maka perkataannya tidak dianggap. Contohnya adalah ayat 65, yang mansukh oleh ayat 66 dari surat Al-Anfal.
Contoh lain firman Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu.Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Mujadilah: 12)
Ayat ini menunjukkan kewajiban shadaqah bagi yang mampu sebelum berbisik-bisik dengan Rasulullah. Kemudian ayat ini dimansukh ayat berikutnya yang menghapuskan kewajiban tersebut. “Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul. Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Mujadilah: 13)
2. Al-Qur’an Dimansukh dengan As-Sunnah.
Pada jenis ini ada dua bagian:
a). Al-Qur’an dimansukh dengan Sunnah (hadits) Mutawatir
Pada bagian ini ulama berselisih. Diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa beliau menyatakan, “Al-Qur’an tidak dinaskh (dihapus) kecuali oleh Al-Qur’an yang datang setelahnya…” Namun Syaekh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi berkata, “(Berdasarkan) penelitian, boleh dan terjadi naskh Al-Qur’an dengan Sunnah Mutawatir, contohnya: dihapusnya ayat 5 kali penyusuan dengan Sunnah Mutawatir, dihapusnya surat Al-Khulu’ dan Al-Hafd dengan Sunnah Mutawatir. Dan banyak contoh lainnya.”
b). Al-Qur’an dimansukh dengan Sunnah (hadits) Ahad
Pada bagian ini ulama juga berselisih. Yang rajih dan terjadi contohnya firman Allah: “Katakanlah: ‘Aku tidak mendapati dalam wahyu yang telah diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi—karena sesungguhnya semua itu kotor –atau binatang disembelih atas nama selain Allah.” (QS Al An’am: 145)
Ayat ini menunjukkan bahwa makanan yang diharamkan—pada saat ayat ini diturunkan—hanyalah empat jenis di atas. Ini berarti, pada saat itu, daging keledai jinak boleh dimakan, berdasarkan ayat ini. Kemudian kebolehan ini dihapuskan hukumnya oleh hadits-hadits shahih yang datang kemudian yang mengharamkan daging keledai jinak. Karena ayat di atas termasuk surat Al-An’am, yang merupakan surat Makiyyah, yang turun sebelum hijrah, dengan kesepakatan ulama. Adapun pengharaman daging keledai jinak dengan Sunnah terjadi setelah itu di Khaibar.
3. As-Sunnah Dimansukh dengan Al-Qur’an
Contoh jenis ini adalah syari’at shalat menghadap Baitul Maqdis, yang ini berdasarkan Sunnah, dihapuskan dengan firman Allah SWT: “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS Al-Baqarah: 144)
4. As-Sunnah Dimansukh dengan As-Sunnah
Contoh, sabda Nabi SAW, “Dahulu aku melarang kamu dari berziarah kubur, maka sekarang hendaklah kamu berziarah (kubur).” (HR Muslim)
Dengan penjelasan di atas jelaslah bahwa di dalam Al-Qur’an ada nasikh (ayat yang menghapus hukum yang sudah ada sebelumnya) dan mansukh (ayat yang dihapus) hukumnya atau lafazhnya. Wallahua’lam. Demikian, semoga bermanfaat.
0 Responses to “Tasawuf : Antara Sukma Nurani dan Sukma Dzulmani”