Jumat, 13 Maret 2015 – 03:04 WIB
Dr Ir Pandji R Hadinoto MH
Suara Pembaca:
Revolusi Karakter Bangsa Indonesia
Revolusi Mental yang dilontarkan Presiden JokoWi pada tahun 2014 tampaknya perlu juga pendampingan oleh Revolusi Karakter Bangsa menurut pemikiran M Soeparno [ISBN 929-161-567-6, Januari 2006] yang beridealisasi capaian sebagai berikut:
1) Bangsa Indonesia adalah manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, patuh kepada hukum, perundang-undangan serta peraturan yang berlaku;
2) Bangsa Indonesia adalah manusia yang bangga sebagai warga negara Indonesia serta mencintai Tanah Air dan Bangsanya, berbudi pekerti baik, siap membela negara dan bangsa demi tegaknya negara Republik Indonesia;
3) Bangsa Indonesia didalam kehidupan bermasyarakat, bernegara dan berbangsa adalah manusia yang memiliki jiwa kebersamaaan, gotong royong, toleransi serta anti segala bentuk kekerasan;
4) Bangsa Indonesia adalah manusia yang berbadan sehat, bersih, hemat, jujur, tertib, cermat, rajin, tepat waktu serta berdisiplin tinggi;
5) Bangsa Indonesia adalah manusia yang memiliki kemauan belajar dengan jangkauan masa depan, penuh inisiatif, kreativitas, inovasi yang dilandasi dedikasi yang tinggi demi kemajuan, pengabdian dan manfaat bagi kehidupan dirinya, bangsa dan negaranya serta umat manusia.
Pendampingan itu beralasan merujuk QS An-Nisa 9 yaitu “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang (bangsa) yang meninggalkan di belakang mereka anak-anak (generasi) yang lemah yang mereka khawatirkan kesejahteraannya (lahir dan batin) Maka hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”
Dengan pendampingan ini diharapkan Revolusi Mental tidak berganti makna jadi Revolusi “mental” (bouncing) kearah pro degradasi karakter bangsa seperti yang kini malah terindikasi di banyak tayangan layar kaca dan terberitakan di media-media cetak dan sosial elektronik.
Rekomendasi langkah pendampingan lain adalah memperbanyak pelantunan Hymne Pramuka yakni “Kami PRAMUKA Indonesia, Manusia Pancasila, Satyaku kudharmakan, Dharmaku kubaktikan, Agar jaya Indonesia, Indonesia tanah air ku, Kami jadi PANDUMU” diberbagai agenda kepemudaan, selain gerakan SAVE INDONESIA budayakan http://m.edisinews.com/berita-piagam-karakter-pandu-indonesia.html.
Jakarta, Jumat 13 Maret 2015
MAPINDO – Majelis Pandu Indonesia
Pandji R Hadinoto, Nasionalis Pancasila
MAPINDO Majelis Pandu Indonesia
MAPAN Majelis Adat Pancasila
Editor : www.jakarta45.wordpress.com
Sumber Berita: http://www.edisinews.com
http://edisinews.com/berita-revolusi-karakter-bangsa-indonesia.html#ixzz3UFl1XjPF
Fundamen, Pilar, Grundnorm, dan Oknum
Written by Administrator
“Fundamen”, “Pilar”, “Grundnorm” dan “Oknum”
oleh Ananda B. Kusuma*
Pendahuluan
Para pejabat dan tokoh sering menggunakan istilah secara sembarangan. Pejabat di istana negara pernah menggunakan kata “aubade” untuk acara sore hari penurunan bendera merah putih pada Hari Proklamasi Kemerdekaan. Arti “aubade” yang benar tercantum di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI); kata “aubade” berarti “nyanyian atau musik untuk penghormatan pada pagi hari”(1). Pejabat istana juga memberi nama gedung di komplex istana “Bina Graha” (Pembina Buaya ?). Kalau kita merujuk KBBI, disitu tercantum bahwa “graha” artinya “buaya”. Di KBBI tidak tercantum bahwa “graha” berarti “rumah” atau “gedung” karena bahasa Sansekerta “Grha” biasanya di transliterasi menjadi “griya” (rumah), bukan “graha”(2).
Banyak tokoh yang ingin bergaya, memakai yang mirip kata asing tetapi tidak dikenal di bahasa aslinya seperti kata “porno aksi” dan “solutif” (Anas Urbaningrum). Hal itu tidak menjadi persoalan bila tidak menyebabkan akibat hukum. Kesalahan memilih kata yang ada kemungkinan menganiaya seseorang, dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ketuanya, DR. Abraham Samad, menyatakan telah “membreidel” mobil yang disangkakan milik Lutfi Hasan Ishaaq. Seharusnya kata yang dipakai adalah “menyegel”. Selain itu seharusnya papan yang ditempelkan di rumah istri Fathanah bertulisan “disegel”, bukan “disita KPK”(3).
Istilah yang artinya paling sering diselewengkan adalah kata “oknum”. Menurut KBBI “oknum” berarti “penyebut diri Tuhan di agama Katolik; pribadi: kesatuan antara Bapak, Anak dan Roh Kudus sebagai oknum keesaan Tuhan”. Artinya, kata “oknum” telah di degradasi sedemikian rendahnya, dari “bersifat Ketuhanan” menjadi “oknum” yang berarti “orang yang sifatnya kurang baik”. Degradasi kata “oknum” dilakukan oleh tokoh partai politik; anggotanya yang terbaik, yang dijadikan pucuk pimpinan partai, bila tersangkut kejahatan akan dinyatakan sebagai “oknum”, agar partainya tidak terseret. Sebagaimana diketahui, tokoh yang martabatnya diturunkan oleh teman-temannya adalah Anas Urbaningrum, ketua Partai Demokrat yang terpilih untuk jadi simbol anti korupsi dan Luthfi Hasan Ishaaq, presiden Partai Keadilan Sejahtera yang mengklaim sebagai partai yang “bersih”.
Demikian pula halnya dengan DR.Yudhoyono. Setelah menjadi presiden, beliau makin gemar berpidato dengan campuran bahasa Inggris. Sayangnya, kata asing yang diucapkannya, kadang-kadang, maknanya keliru sehingga menurunkan citranya sebagai orang yang cerdas, cermat dan tindakannya terukur. Hal itu terlihat pada ucapannya bahwa beliau tidak akan mencampuri “justice”, padahal, maksudnya, mungkin, tidak akan mencampuri “judiciary”. Nampaknya beliau lupa bahwa “criminal justice system” di USA (negerinya yang kedua) terdiri dari “Police, Court and Correctional Institution; sedangkan di Indonesia terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman dan Lembaga Pemasyarakatan. Jadi, DR.Yudhoyono sesungguhnya membawahi tiga lembaga dalam “integrated criminal justice system” kita. Artinya, presiden Yudhoyono harus bertanggung-jawab untuk mempercepat terlaksananya keadilan (speedy trial) dengan pedoman “Delayed justice is injustice”(4).
Kontroversi Pancasila sebagai pilar atau fundamen
Pada peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2006, presiden Yudhoyono mengucapkan pidato yang berjudul “Menata Kembali Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara”. Beliau mengingatkan bahwa konsensus dasar yang kita sepakati ada empat yaitu: Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Istilah yang dipakai adalah “konsensus dasar”, bukan “pilar”. Beliau menggunakan istilah “pilar” untuk kata lain,yaitu freedom atau “kebebasan”, rule of law atau “aturan hukum” dan tolerance atau “toleransi”.
Beberapa tahun kemudian, DR. (HC) Taufik Kiemas, menantu Bung Karno, setelah menjadi Ketua MPR, menyatakan bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara kita terdiri dari empat pilar yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pendapat pimpinan MPR itu ditentang oleh pejoang senior yang tergabung dalam Gerakan Pemantapan Pancasila (GPP), para cendekiawan senior dan para pemerhati kehidupan berbangsa pada umumnya. Tetapi, karena ada pasal 34 UU No. 11 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa “pendalaman mengenai empat pilar berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia” maka MPR tetap “ngotot” menyebar-luaskan “empat pilar” tersebut. Sebab itu GPP menyarankan agar pasal 34 ayat (a) tersebut di review oleh Mahkamah Konstitusi.
Pendapat Ketua MPR itu juga berbeda dengan pendapat Prof. Notonagoro yang menyatakan bahwa “Pembukaan merupakan dasar, rangka dan suasana yang meliputi seluruh kehidupan Bangsa dan Negara, serta tertib hukum Indonesia, sehingga kebaikan hukum positif Indonesia, termasuk UUD, harus diukur dari asas yang tercantum dalam Pembukaan. Dan karena itu Pembukaan dan Pancasila harus digunakan sebagai pedoman bagi penyelesaian soal-soal pokok kenegaraan dan tertib hukum Indonesia”. Pernyataan Prof. Notonagoro tersebut menunjukkan bahwa ada hirarkhi norma dan Pembukaan UUD 1945, termasuk Pancasila yang tercantum di alinea empat adalah Staatsfundamentalnorm (pokok kaidah negara yang fundamental) yaitu Norma Tertinggi.
Artinya ada “axiological hierarchy” (hirarki nilai) dan hirarki norma (hierarchy of norms)(5). Pancasila adalah “sumber dari sumber”, “Fundamen”, “Dasar” dari “dasar”. Staatsfundamentalnorm dapat menurunkan “pilar” yang berbeda. Pembukaan UUD 1945 menghasilkan NKRI, Mukadimm Konstitusi RIS menurunkan negara federal, artinya sejumlah Pendiri Negara kita menyatakan bahwa NKRI bukan harga mati. Beliau-beliau itu memilih “Merdeka” (Liberty/Freedom), “Daulat Rakyat” (Popular Sovereignty), Republik dan “persamaan dimuka hukum” (equality before the law) adalah harga mati sebagai harga mati. Jadi, meskipun Staatsfundamentalnorm-nya sama, besar kemungkinan bahwa seorang Kepala Negara/Kepala Pemerintahan akan mengutamakan “pilar” tertentu, seperti halnya presiden Yudhoyono yang mengutamakan Freedom, Rule of Law dan Tolerance.
Dalih pimpinan MPR bahwa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata “pilar” juga berarti “dasar” tidak dapat diterima dengan alasan sebagai berikut:
- Menurut KBBI, “fundamen” berarti “ asas, dasar, hakikat”; “fundamental” berarti bersifat dasar (pokok)”. “Pilar” berarti “tiang penguat”; dasar (yang pokok). Sebenarnya KBBI telah menjelaskan bahwa “fundamen” lebih mendasar dari “pilar”, terlihat dari kata “hakikat” dan “asas”, sedangkan “pilar” sifatnya “penguat” atau “penyokong”. Tetapi, sayangnya, ada keterangan di KBBI yang kurang tepat, yaitu bahwa “pilar” berarti “dasar (yang pokok)”. Kata “kurang tepat” digunakan karena kata tersebut adalah serapan dari bahasa Inggris atau Belanda, tetapi kamus Inggris (Oxford, Thorndike, Webster) maupun kamus Belanda (Koenen) tidak ada yang menyatakan “pillar” atau “pilaar” yang berarti “dasar”, semuanya menyatakan bahwa “pilar” sifatnya “support” paling tinggi “important support”. Jadi, mengingat KBBI disusun oleh berpuluh-puluh petugas, besar kemungkinannya ada petugas yang membuat kesalahan, maka, sebaiknya, “Pusat Bahasa” menjelaskan mengenai hal tersebut.
- Menurut Bung Karno, Pancasila adalah philosofische grondslag, fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk diatasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang abadi. Sebagai insinyur, Bung Karno membuat kiasan (metafora) bahwa membangun gedung itu memerlukan fundamen yang kokoh, mendukung seluruh bangunan, sedangkan “pilar” hanya menyangga sebagian atap bangunan. Artinya, “fundamen” lebih mendasar dari “pilar”; fundamen gedung Mahkamah Konstitusi memerlukan dana dan daya lebih besar dari membangun 9 pilarnya.
- Menurut Dr. Radjiman Wedyodiningrat, Ketua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), tokoh yang menghimbau agar para anggota mengemukakan gagasan mengenai “Dasar Negara”, dalam Kata Pengantar buku “Lahirnya Pancasila” terbitan 1 Juli 1947, menyatakan bahwa Pancasila adalah Dasar (Beginsel) Negara. Radjiman menafsirkan bahwa Pancasila adalah suatu “demokratisch beginsel”, suatu Rechts-ideologie (Cita Hukum ) dari negara kita. Dalam bahasa Belanda, “grondslag” padanannya adalah “beginsel” artinya “asas”, “dasar” atau “principle” (Inggris). Kata ini nampaknya yang tidak difahami oleh pimpinan MPR sehingga keliru memilih istilah, “pilar” tidak pernah berarti “beginsel”, principle” atau “asas”.
Kontroversi tentang Grundnorm dan Staatsfundamentalnorm
Hasil Seminar tahun 2006 dibukukan dengan judul “Tentang Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas”. Di buku tersebut saya kemukakan bahwa Grundnorm sejajar dengan Staatsfundamentalnorm dan hierarchy-nya berada diatas UUD atau Grundgesetz. Saya kemukakan pula teori Hans Nawiasky mengenai Stufenordnung der Rechtsnormen yang mengemukakan adanya tiga lapis norma hukum. Di “Keabsahan UUD setelah Amendemen, 2007, penulis kemukakan bahwa menurut Hans Kelsen Grundnorm bersifat abstrak, “presuppose”, tidak termasuk tatanan hukum positif, namun menjadi dasar keberlakuan tertinggi bagi tatanan hukum positif, sifatnya meta juristic.
Pada bulan Juni 2011, Prof. Mahfud , di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, menyatakan bahwa:
- Staatsfundamentalnorm lebih tinggi daripada Grundnorm. Sebab, Staatfundamentalnorm berupa idee tentang hukum, sedangkan grundnorm sudah merupakan norma yang tertinggi yakni UUD (sic).
- Kelsen tak membedakan Grundnorm dan Staatsfundamentalnorm. Nawiasky membedakan keduanya. Staatsfundamentalnorm ada diatas Grundnorm, Staatfundamentalnorm tak bisa berubah, Grundnorm bisa berubah (sic).
Kemudian, pada bulan Februari 2012, di Metro TV, Prof. Mahfud membenarkan pendapat Wakil Ketua MPR, Lukman Hakim Saefudin, bahwa UUD adalah Grundnorm. Mengingat bahwa kuliah umum di UII tidak disertai referensi, saya menulis surat kepada Prof. Mahfud bahwa isi kuliahnya tidak sesuai dengan pendapat para pakar konstitusi yang tercantum di buku;
- Djokosoetono, Kuliah Hukum Tatanegara, Ghalia Indonesia, 1982.
- Caldwell, Peter C. Popular Sovereignty and The Crisis of German Constitutional Law, Durham and London, Duke University Press, 1997.
- Dyzenhaus, David. Legality and Legitimacy, New York, Oxford Universit Press, 2003.
- Jacobson, Arthur J and Bernard Schlink, Editors. Weimar, A Jurisprudence of Crisis, Berkeley, University of California Press, 2000.
- Frridrich, Carl J The Philosophy of Law in Historical Prespective, The University of Chicago Press, 1963.
Pada surat yang lalu saya tidak menyertakan cuplikan dari buku tersebut, sebab itu pada kesempatan ini saya kutipkan beberapa pendapat pakar tersebut.
- Konstitusi dalam arti mutlak: Verfassung im normatieven Sinne atau Norm der Normen atau Norma Normarum. Juga ada dua arti, pertama adalah Grundnorm dari Kelsen, disebut juga Ursprungnorm atau hypotheschenorm. Kedua ialah, menurut Struyken dan Greys, een wet van grondslagen en grondbeginselen (Djokosoetono, 1982:196).
- “A given norm was to be judged legal only if it was in accord with all higher level legal norms, up to and including what Kelsen termed the “originary norms” (Ursprungnorm) of the entire legal system” …….”And finally, the constitution was valid only if it is presupposed a hypothetical basic norm granting its validity” (Caldwell, 1997:91).
- “The validity of each norm within the system, what makes it count as a norm of that system, is determined not by an evaluation of its content, but in terms of tests that look solely at the issue whether that norm was produced or posited in accordence with the criteria for validity of some higher norm. In turn this high norm’s validity will be dependent on the existence of yet another norm in the hierarchy until, step by step, one reaches the top of the normative hierarchy, the basic norm or Grundnorm (Lihat Dyzenhaus, 2003:103).
- “The Pure Theory of Law is based on the separation of “is” and “ought”: Its foundation is the epistemological dualism of facts and values, proposition and norms, cognition and volition. In this way, its rejects all legal theoriesthat derive the validity of law from its efficacy. Ultimately, in order to justify the validity of a law, one must assume what Kelsen termed the “basic norm” Grundnorm. (Lihat Jacobson and Schlink, 2002:68).
- “If one asks upon what validity of these norms of the positive law rest, Kelsen and his school answer: upon the basic norm (Grundnorm). (Lihat Friedrich, 1963:173).
Demi kemajuan pengajaran Hukum Tatanegara, sebaiknya Prof. Mahfud menyertakan rujukan untuk mendukung pendapatnya yang dapat dikatakan menyimpang.
* Peneliti Senior di Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia
————————————————————————————————–
[1]Berasal dari bahasa Perancis. Tidak banyak digunakan dalam bahasa Inggris (Musical announcement of down). Digunakan dalam bahasa Belanda (ochtendbegroeting; ochtendhulde met muziek).
[2]Lihat L. Mardiwarsito, Kamus Jawa Kuna-Indonesia, Ende, 1981 da Sir Monier-Monier-Williams. A Sanskrit – English Dictionary, Oxford, 1899.
[3]Menurut KBBI, “menyegel” berarti “menutup” bangunan karena statusnya tidak jelas. “Sita” berarti “mengambil dan menahan barang menurut keputusan pengadilan oleh alat negara; membeslah = menyita. Papan di rumah Fathanah seharusnya tersurat “disegel”, bukan “disita” karena belum mendapat keputusan pengadilan. “Breidel” (“berangus”) biasanya dipakai hanya untuk Surat Kabar.
[4]DR.Yudhoyono seyogyanya mengingat pula ajaran Ibn Khaldun bahwa “negara adalah lembaga yang mencegah agar penduduk negeri tidak mengalami ketidak-adilan” (An institution which prevent injustice other than such as its commits itself).
[5] Ada “Core values” dan “values”. Ada Grundnorm dan norm yang tercantum di Grundgesetz (UUD), Sama sama memakai kata “grund” (“dasar”) tetapi tingkatnya berbeda. Jauh berbeda dengan “pilar”.