Oleh: K.H. Athian Ali M. Da’i, MA
Disadari atau tidak, dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara kita saat ini sedang dilanda “krisis keteladanan”, di mana dalam kehidupan keseharian kita masih sering melihat fenomena yang cukup memprihatinkan jika dilihat dari sisi aqidah Islam. Degradasi sikap wara’ dari sebagian orang yang seharusnya menjadi teladan di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat kini sudah mulai luntur bahkan mungkin telah hilang.
Padahal Allah SWT telah mengingatkan kita dalam menjalani seluruh aspek kehidupan ini agar kita meneladani kehidupan Rasulullah Saw karena, “Sungguh pada diri Rasulullah itu teladan yang baik bagi kamu, bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan hari kemudian dan banyak mengingat Allah” (QS. Al Ahzaab, 33:21). Dan, Rasulullah Saw telah berpesan kepada kita lewat sabdanya: “Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara. Kalian tidak akan sesat selama berpegang dengannya, yaitu Kitabullah (Al Qur’an) dan sunnah Rasulullah Saw” (HR. Muslim)
Di tengah-tengah kehidupan yang sedang dalam “krisis keteladanan”, kini sudah seharusnya kita mau mencoba kembali membuka sejarah kehidupan para sahabat Rasul yang penuh perjuangan, pengorbanan dan kemuliaan. Salah satu yang layak kita coba buka sejarahnya adalah kisah hidup Abdullah bin Umar. Sahabat yang satu ini, dikenal banyak meriwayatkan hadits, namun beliau tidak akan pernah meriwayatkan hadits sebelum beliau benar-benar yakin bahwa yang akan disampaikannya tidak berkurang atau bertambah sedikit pun walau satu huruf dari teks asli yang disampaikan Rasulullah Saw. Demikianlah kehati-hatian beliau dalam meriwayatkan hadits begitu pula dalam berfatwa.
Dikisahkan suatu ketika seorang laki-laki meminta fatwa kepada beliau terhadap suatu masalah, beliau menjawab: “Saya tidak punya ilmu sedikit pun tentang apa yang kamu tanyakan”. Maka laki-laki tersebut pun pergi, tidak berapa lama setelah yang bersangkutan pergi, Ibnu Umar lalu menepuk tangannya sendiri sambil bergembira dan berkata pada dirinya, “Putra Umar ditanyai sesuatu yang tidak tahu maka ia menjawab “saya tidak tahu jawabannya”. Hal ini hendaknya menjadi perhatian kita semua, bahwa kita harus berhati-hati dalam mengeluarkan fatwa hukum. Jika “tidak tahu” jawablah “tidak tahu”. Jika memaksakan diri untuk menjawab ternyata jawaban tersebut salah tentu akan menyesatkan banyak orang, padahal pertangungjawabannya sangat berat di akhirat nanti, “Mereka memikul seluruh dosa mereka pada hari kiamat dan dosa-dosa orang-orang yang mereka sesatkan tanpa pengetahuan. Ingatlah, amat buruk apa yang mereka pikul” (QS. An Nahl, 16:25). Ayat ini mengisyaratkan, bahwa di samping ia berdosa atas kesalahannya sendiri juga ia harus menanggung dosa-dosa orang yang telah disesatkannya akibat fatwa yang salah tersebut.
Dikisahkan pula, Abdullah bin Umar suatu ketika pernah menolak ketika beliau ditawari jabatan strategis oleh Khalifah Utsman ra. menjadi qadli atau hakim sampai Khalifah agak marah karena merasa tidak dihargai sambil mengatakan: “Adakah kamu bermaksud membantah perintahku? Jawab Ibnu Umar: “Tidak! Saya tidak siap memegang jabatan tersebut semata-mata karena saya pernah mendengar dari Rasululah Saw menyatakan bahwa pada diri seorang qodli atau hakim itu hanya ada tiga kemungkinan. Pertama, qodli yang masuk neraka jahannam karena kajahilannya. Dari sisi Islam hanya dikenal dua hukum, yakni hukum Islam dan Jahiliyyah. Hakim yang menetapkan suatu perkara tidak berdasarkan atau bahkan jelas bertentangan dengan aturan dan hukum Allah adalah hakim yang melandasi hukumnya secara “jahil” tempatnya di neraka. Kedua, qodli yang menetapkan hukum berdasarkan hawa nafsunya maka ia pun juga dalam neraka. Ketiga, qodli yang berijtihad dan ijtihadnya benar, dia tidak berdosa tapi tidak pula berpahala. Khalifah Utsman mengabulkan keberatan Ibnu Umar setelah mendapat jaminan bahwa ia tidak akan menceritakan hal itu kepada siapa pun. Karena Khalifah merasa khawatir jika masyarakat mengetahui keberatan Ibnu Umar maka tidak ada seorang pun yang shaleh yang mau ditunjuk sebagai qodli.
Beliau pun dikenal sangat rajin membaca Al Qur’an, dan seperti halnya ayahnya, Umar bin Khatthab yang senantiasa tidak bisa menahan derai air matanya jika sedang membaca atau dibacakan firman-firman Allah. Suatu ketika diriwayatkan seorang sahabat beliau yakni ‘Ubeid bin ‘Umeir membacakan di hadapan beliau firman Allah: “Maka bagaimanakah (keadaaan orang kafir kelak) apabila Kami datangkan seorang saksi (Rasul) dari setiap umat dan Kami datangkan engkau (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu? Pada hari itu orang-orang kafir dan orang-orang yang durhaka kepada Rasul ingin supaya mereka disamaratakan dengan bumi, dan mereka tidak akan dapat menyembuyikan perkataan terhadap Allah” (QS. An Nisaa’, 4:41-42). Maka menangislah Ibnu Umar sampai basah seluruh janggutnya oleh air matanya.
Dikisahkan pula, suatu ketika beliau berkumpul dengan para sahabatnya lalu beliau membacakan ayat 1-6 QS. Al Muthaffifiin: “Celakalah bagi orang-orang yang curang (yaitu) orang-orang yang apabila timbangan dari orang lain, mereka minta dipenuhi. Dan apabila mereka menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidaklah mereka itu mengira bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan pada suatu hari yang besar, pada hari itu manusia berdiri di hadapan Tuhan semesta alam”. Saat membacakan ayat terakhir, “Pada hari itu manusia berdiri di hadapan Tuhan semesta alam”, yang diulang-ulang sambil air matanya terus mengalir, deras bak hujan yang turun sampai akhirnya beliau pun jatuh karena duka dan tangisnya sendiri.
Sikap wara’ sahabat Rasul, Abdullah bin Umar ini hendaknya menjadi teladan kita khususnya bagi para penentu kebijakan di negeri ini.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Redaksi – Reporter
Pidato Opsi A
Kompas, Sabtu, 6 Maret 2010 | 05:03 WIB
Effendi Gazali
Sulit disangkal bahwa pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menanggapi hasil akhir Pansus DPR tentang Hak Angket Bank Century, Kamis (4/3), relatif sangat mirip dengan opsi A yang dihasilkan Pansus. Dan opsi tersebut sudah kandas dengan selisih 113 suara (212 melawan 325).
Dengan demikian, bagi rakyat yang menunggu-nunggu sesuatu yang baru dari bagian-bagian awal pidato Presiden, barangkali mereka akan kecewa.
Di bagian depan, Presiden tampak menekankan kesan bahwa apa yang sudah dilakukan Pansus serta paripurna DPR, bahkan juga aktivitas ekstra-parlementer masih kurang dari standar Presiden tentang ”sebuah demokrasi yang lebih sejati, lebih bermakna, dan lebih bermartabat, sebagaimana yang kita cita-citakan melalui gerakan reformasi sejak 1998” (bagian dalam tanda petik merupakan kutipan langsung dari pidato Presiden).
Memang masih ada frasa pelembut, semacam ”Presiden sangat menghormati proses politik yang telah berjalan di DPR dan mengikuti dengan cermat semua dinamika yang terjadi di dalam maupun di luar Gedung DPR”.
Namun, impresi sesungguhnya yang ingin disampaikan Presiden tampak dominan dalam ungkapan-ungkapan seperti: ”Kita perlu mencermati dengan saksama proses itu dan melihatnya sebagai bagian dari perkembangan, pertumbuhan, dan pembelajaran demokrasi yang kian hari kian dituntut untuk memenuhi tidak saja prinsip-prinsip rule of law, tetapi juga rule of reason, yaitu demokrasi berdasarkan hukum dan akal sehat”.
Sayangnya, pidato Presiden ini menjadi cenderung salah waktu dan salah tempat. Andai saja pidato ini disampaikan sebelum Pansus Century merumuskan rekomendasi dan kesimpulan, hal tersebut mungkin bisa menjadi pertimbangan Pansus.
Bisa saja konstelasi hasil akhir bukan 325 lawan 212! Atau bahkan jika saja Presiden mau berbicara di hadapan Pansus, barangkali logika-logika yang dikedepankan Presiden lebih memperkuat aliansi untuk memilih opsi A!
Tak boleh diskriminatif
Setelah mendapat pengantar pidato seperti itu, tentu akan bermanfaat bila semua bagian tanggapan Presiden melalui pidato tersebut diaplikasikan terhadap rule of law dan rule of reason yang sama.
Misalnya saja terhadap ungkapan berikut ini: ”Boleh jadi di masa krisis dan keadaan yang serba darurat, ketika keputusan harus diambil dengan sangat cepat, ada masalah-masalah teknis yang mungkin terlewatkan. Namun, tidak berarti kebijakannya salah dan harus dipidanakan. Sangat sulit membayangkan negara kita dapat berjalan baik dan efektif jika setiap kebijakan yang tepat justru berujung dengan pemidanaan”.
Sekiranya pun kita setuju dengan pernyataan dan niat tulus ini, logika sehat kita akan sampai pada fakta berupa perlakuan diskriminatif. Mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Aulia Tantowi Pohan divonis empat tahun enam bulan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Padahal, ia tidak terbukti memperoleh sesuatu ataupun keuntungan dari pengeluaran uang lewat Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia yang dipermasalahkan.
Dengan fakta ini, terbuka dua logika yang saling berhadapan. Pertama, Aulia Pohan tidak boleh diperlakukan diskriminatif dan karena itu harus diperjuangkan segera kebebasannya.
Kedua, bila tidak demikian, bisa timbul kesan bahwa seorang pejabat publik baru diperjuangkan haknya atas kebijakan yang diperbuat apabila terkait dengan implikasi politis yang signifikan saja. Dalam konteks terkini, katakanlah isu pemakzulan yang juga disinggung Presiden dalam pidatonya.
Politik akal sehat
Di luar isu di atas, pidato Presiden memang lebih menggunakan akal sehat dibanding proses yang terjadi di DPR. Presiden—menurut hemat saya—tetap setia pada opsi A sejak dari awal hingga akhir pidatonya. Sementara di DPR, kita lihat terjadi pelanggaran-pelanggaran akal sehat.
Pertama, amat sulit memahami rasionalitas dari mereka yang mengusulkan opsi A digabung dengan opsi C menjadi sebuah obyek voting baru. Kita tidak perlu menjadi pakar ilmu roket untuk mengatakan opsi A (yang esensinya mengindikasikan ”not guilty”) memiliki kontradiksi internal hakiki dengan opsi C (yang basisnya mengindikasikan ”guilty”).
Di sana-sini ada beberapa tambahan kembangan frasa yang agak berdekatan, tetapi hakikat pokoknya sangat berbeda.
Yang lebih parah lagi adalah—jika kita mau jujur—fraksi yang ikut bersusah payah memperjuangkan pada voting pertama agar opsi A + C bisa diterima sebagai obyek pemungutan suara baru, tetapi pada voting kedua menolak mendukung opsi A.
Sekali lagi, apabila sudah yakin bahwa opsi A hakikatnya bertentangan dengan opsi C, mengapa susah-payah memperjuangkan ”makhluk aneh A + C”? Namun, itulah realitas politik kita dewasa ini.
Puncak pelanggaran akal sehat bisa terjadi ketika opsi C sudah menang telak, tetapi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak mampu membongkar kasus Century karena tidak didukung kejaksaan dan kepolisian. Sampai kini, sudah dua kali ajakan KPK untuk berkoordinasi menuntaskan kasus ini terkesan ditolak dengan aneka alasan.
Akhirnya, bersamaan dengan kritik dan harapan dari pidato Presiden, pujian tetap harus kita berikan pada bintang-bintang muda Pansus lintas-fraksi. Mereka mampu menyusun argumen dengan baik dan sistematis.
Sekalipun kita harus menyatakan sinyalemen Presiden soal komunikasi politik yang lebih bermartabat ada benarnya, tetapi tampaknya bukan bintang-bintang muda ini yang terkena.
Presiden harus lebih berani juga melakukan evaluasi komunikasi politik bermartabat di antara anggota Pansus dari partai yang dibinanya.
Effendi Gazali
Koordinator Program Master Komunikasi Politik UI
SBY Menjawab
Kompas, Sabtu, 6 Maret 2010 | 05:02 WIB
J Kristiadi
Dalam perspektif pertarungan kekuatan, pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menanggapi hasil Rapat Paripurna DPR soal skandal Bank Century, Kamis (4/3) malam, adalah laporan Presiden kepada rakyat, terutama para pendukung dan pemilihnya yang berjumlah 60 persen dari warga yang berhak memilih.
Pidato tersebut mengawali ”perlawanan” Presiden terhadap DPR, terlebih terhadap mitra koalisi yang dianggap sudah merusak tata krama koalisi. Pidato Presiden tidak terlalu panjang, tetapi cukup komprehensif, tegas, dan jelas. Intinya: pertama, tuduhan penyertaan modal sementara kepada Bank Century telah disalahgunakan untuk mendukung tim kampanye pasangan capres-cawapres tertentu tidak terbukti. Oleh sebab itu, ke depan harus menghentikan praktik-praktik buruk yang penuh prasangka jahat.
Kedua, mengingatkan, kebijakan penyelamatan Century diambil dalam masa sulit di tengah-tengah puncak krisis ekonomi yang melanda dunia akhir 2008. Informasi tak selalu lengkap, situasi dinamis dan berubah-ubah. Ketiga, kebijakan Komite Stabilitas Sektor Keuangan yang dipimpin Sri Mulyani Indrawati dan Boediono—yang rekam jejaknya dikenal sebagai tokoh kompeten, kredibel, dan mempunyai integritas pribadi—melakukan bail out Century untuk menyelamatkan perekonomian nasional adalah benar serta dapat dipertanggungjawabkan.
Keempat, pemerintah serius memerhatikan masukan DPR dan jika dalam pelaksanaan kebijakan terdapat kesalahan dan penyimpangan, baik secara administratif maupun hukum, harus ditindak tegas. Kelima, Presiden lebih memprioritaskan suksesnya program-program prorakyat, bukan isu koalisi partai politik yang mendukung pemerintah karena telah banyak agenda strategis yang tertunda.
Pidato Presiden yang dengan tandas membenarkan kebijakan bail out serta membela habis-habisan kedua tokoh yang menjadi sasaran sentral dari beberapa mitra koalisi tentu akan menimbulkan reaksi balik. Terutama dari mereka yang mempunyai target tertentu, khususnya untuk melengserkan Boediono dan Sri Mulyani, baik karena alasan ketidakpuasan dalam negosiasi pembagian kekuasaan menjelang pemilihan presiden maupun ancaman kasus-kasus hukum dan kepentingan subyektif lainnya.
Upaya tersebut tecermin dari sikap mitra koalisi yang secara terang benderang dan gigih serta sengit menganggap kedua orang itu paling bertanggung jawab terhadap kebijakan yang dianggap salah dan melanggar hukum. Oleh sebab itu, diperkirakan pidato ini awal dari pertarungan berikutnya. Iklim politik yang sudah telanjur memanas dan Pansus yang telah jadi bola liar tidak mudah dipadamkan.
Dalam menghadapi dinamika konfliktif, pemerintahan SBY harus memilih satu dari dua kemungkinan sebagai berikut. Pertama, kompromi maksimal apabila pidato Presiden mendapatkan reaksi yang sangat keras dari kekuatan politik di parlemen ataupun di jalanan.
Hal ini dapat terjadi karena di balik argumen yang luhur, seperti mencari kebenaran, tersembunyi kepentingan yang sangat pragmatis, antara lain dalam politik target. Secara kasatmata, politik target ditampilkan dalam sikap mitra koalisi menolak dengan keras kebijakan bail out, bahkan ingin ”menggusur” dua orang yang dianggap bertanggung jawab, tetapi mereka tetap ingin menjadi bagian dari pemerintahan SBY.
Politik target
Tidak berlebihan kalau dikatakan politik target sudah menjadi pertarungan ”hidup atau mati”. Kalau kekuatan ini terus memberikan tekanan yang dapat mengganggu jalanya pemerintahan, tidak mustahil Presiden akan mengalah. Intinya, meskipun Boediono dan Sri Mulyani tokoh yang bersih, tetapi demi kepentingan bangsa dan negara supaya mundur.
Kalau skenario ini yang dipilih, konsekuensinya SBY dianggap terlalu lemah dan sisa pemerintahan hanya akan selalu tunduk kepada permainan politik transaksional dan kepentingan pragmatis partai tertentu. Selain itu, kehilangan kedua tokoh, pemerintahannya akan mengalami kemerosotan kredibilitas.
Mungkin menggantikan Sri Mulyani relatif tidak terlalu sulit karena terdapat beberapa ekonom yang dapat dijadikan alternatif. Namun, tidak demikian dengan menggantikan Boediono. Kalau penggantinya adalah figur yang kontroversial, justru akan semakin menenggelamkan kualitas pemerintahan SBY.
Kedua, kompromi minimal. Presiden tetap mau kukuh mempertahankan kedua tokoh tersebut. Kalau demikian halnya, Presiden harus lebih tegas dan mencoba terus melakukan lobi kepada partai yang lain, termasuk kepada Gerindra dan Hanura, tetapi yang lebih penting adalah PDI-Perjuangan (PDI-P).
Siapa tahu, dalam Kongres PDI-P pada April 2010, partai ini merevisi sikap politiknya tidak menjadi oposisi melainkan bersedia menjadi partner kritis pemerintah. Sikap cair PDI Perjuangan mulai ditunjukkan oleh tokoh penting PDI-P, Taufik Kiemas. Dengan demikian, lobi ke PDI-P sangat penting untuk mengantisipasi jika Golkar dan PKS meninggalkan koalisi. Meskipun bagi Golkar kecil kemungkinannya mengingat budaya politik partai tersebut selalu menjadi bagian kekuasaan. Kompromi ini juga menuntut SBY supaya tidak terlalu berhati-hati dalam mengambil keputusan, bahkan harus lebih deterministik.
Memang, bagi Presiden, pilihan tidak banyak. Dalam sistem ketatanegaraan yang masih belum mapan dan rancu, sangat diperlukan kepemimpinan kuat dan tegas meskipun tetap santun sebagaimana ditunjukkan oleh Presiden dalam menjawab hasil kerja Pansus Bank Century.
J Kristiadi Pengamat Politik CSIS
PROSES HUKUM
Gelar Perkara Century
Sabtu, 6 Maret 2010 | 03:20 WIB
Jakarta, Kompas – Komisi Pemberantasan Korupsi tidak terpengaruh dengan dinamika politik di Dewan Perwakilan Rakyat ataupun pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait pengungkapan kasus Bank Century.
”KPK bekerja sesuai aturan dalam penegakan hukum. Jika ada aturan yang dilanggar dengan alat bukti minimal dua, kasus ini akan kami angkat ke penyidikan,” jelas Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan Bibit Samad Rianto di Jakarta, Jumat (5/3).
Pernyataan itu disampaikan sesaat sebelum melakukan gelar perkara kasus Bank Century. Bibit menegaskan, KPK tetap bekerja secara independen dan tidak akan terpengaruh dengan tekanan politik dari luar.
Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan M Jasin menambahkan, dalam perspektif KPK, kebijakan tetap bisa dipidanakan. ”Semua kebijakan bergantung pada niatnya, ada tersirat niat melanggar hukum atau tidak. Itulah yang harus dibuktikan,” kata dia.
Juru Bicara KPK Johan Budi mengatakan, seluruh pimpinan KPK, termasuk Pelaksana Tugas Ketua KPK Tumpak Hatorangan Panggabean, mengikuti gelar perkara kasus Bank Century ini. ”Kemungkinan sampai tengah malam,” katanya.
KPK, lanjut Johan, membentuk tim beranggotakan 22 orang dalam mengungkap kasus ini. ”Ini tim terbesar yang pernah dibentuk KPK dalam menangani sebuah kasus,” kata Johan. Hasil penyelidikan KPK bisa saja sama atau bisa juga berbeda dengan kesimpulan DPR tentang Hak Angket Bank Century.
Selain itu, kata Johan, KPK akan berkoordinasi dengan Polri dan Kejaksaan karena dalam kasus Bank Century kemungkinan ada tindak pidana lain. (aik)
PERNYATAAN PRESIDEN
Pidato Menambah Kekecewaan
Sabtu, 6 Maret 2010 | 03:18 WIB
Jakarta, Kompas – Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait kesimpulan Dewan Perwakilan Rakyat tentang kasus Bank Century, disampaikan Kamis, tidak menampakkan langkah konkret pemerintah. Pernyataan Presiden itu justru menambah ketidakpuasan masyarakat terhadap penanganan kasus Bank Century.
Penilaian itu disampaikan Ahli Hukum Tata Negara Adnan Buyung Nasution di Jakarta, Jumat (5/3). ”Apa yang dikatakan Presiden sifatnya post factum, lewat waktu. Tak ada artinya lagi karena DPR sudah membuat kesimpulan. Masyarakat mengharapkan langkah konkret dari Presiden,” jelasnya.
Langkah konkret itu, kata Adnan Buyung, misalnya Presiden merombak kabinet serta mengurangi pekerjaan Wakil Presiden Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sehingga mereka lebih fokus pada kasus Bank Century yang sesuai temuan DPR terkait keduanya.
Langkah konkret lainnya adalah dengan meminta Polri, Kejaksaan Agung, atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menindaklanjuti rekomendasi DPR agar kasus Bank Century diproses secara hukum. Dengan tidak adanya langkah konkret itu, lanjut Adnan Buyung, pidato Presiden justru menambah keruwetan dan ketidakpuasan publik.
Pleidoi politik
Ganjar Pranowo, mantan anggota Panitia Khusus DPR tentang Hak Angket Bank Century dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Jumat, menilai, pidato Presiden dan Wakil Presiden Boediono terkait kasus Bank Century adalah pleidoi politik. ”Jadi, wajar jika isinya menegasikan hasil kerja Pansus dan kesimpulan DPR,” katanya.
Namun, lanjut Ganjar, dengan pidato itu Presiden seperti tidak mengakui institusi DPR. Ini terlihat dari pernyataannya, penyelamatan Bank Century adalah kebijakan paling tepat. Pernyataan itu seperti ingin melawan keputusan DPR bahwa ada dugaan penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang dalam kebijakan penyelamatan Bank Century itu.
”Presiden minta kasus Bank Century dibuka agar terang benderang dan jika ada kejanggalan dibawa ke proses hukum. Pansus DPR menemukan dugaan masalah dalam kebijakan itu sehingga merekomendasikan dibawa ke proses hukum. Bukankah rekomendasi DPR itu sesuai keinginan Presiden?” tanya Ganjar.
Mantan anggota Pansus dari Golkar, Bambang Susatyo, menilai, pidato Presiden itu menunjukkan sikap yang mendua dan membingungkan. ”Presiden mendorong agar dibuka terang benderang. Saat 325 anggota DPR memutuskan ada dugaan pelanggaran hukum dan kerugian negara, Presiden mengatakan, tidak ada yang salah. Bagaimana ini?” tanyanya. (fer/nwo/tra)
Pidato SBY, Bank Century & Masalah Hukumnya
Sabtu, 06/03/2010 | 18:54 WIB Pidato SBY, Bank Century dan Masalah Hukumnya
OLEH: ARIEF TURATNO
DALAM pidatonya soal Bank Century, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengatakan tidak mungkin bukti-bukti yang ditemukan Pansus Hak Angket DPR RI soal Bank Century dibawa ke ranah hukum, atau sebagai alat bukti di pengadilan umum. Pertanyaan dan persoalannya adalah apakah dengan begitu kasus Bank Century akan bubar begitu saja? Dan bagaimana dengan nasib rekomendasi paripurna DPR yang menyebutkan supaya masalah Bank Century dilanjutkan dengan proses hukum?
Sehubungan dengan dua pertanyaan tersebut, mantan Presiden Megawati kepada pers menyatakan bahwa kasus Bank Century harus dilanjutkan ke proses hukum. Bagaimana dengan alat buktinya, karena tanpa alat bukti yang cukup, sulit bagi aparat penegak hukum yang dipercaya dapat menjerat para pihak yang ditengarai terlibat kasus tersebut. Sedangkan alat bukti yang ada dan dimiliki Pansus tidak dapat dijadikan alat bukti di persidangan umum?
Menurut Ketua Umum DPP PDIP itu, bukti yang dimaksud tidaklah terlalu sulit. Toh, pintu masuknya sudah dibuka Pansus. Jadi aparat penegak hukum, misalnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tinggal menelusuri jejaknya melalui pintu yang sama. Hanya persoalannya adakah kesungguhan atau tidak pihak KPK untuk mengungkap kasus tersebut? Juga apakah pihak penguasa akan melakukan intervensi atau tidak? Jika KPK serius dan tidak takut-takut sesungguhnya bukan hal yang sulit mengungkap persoalan tersebut. Juga, asalkan pihak penguasa tidak campur tangan.
Hanya siapa yang tahu atau dapat menjamin kalau KPK akan bekerja sungguh-sungguh. Juga siapa yang percaya bahwa pemerintah atau penguasa tidak akan melakukan intervensi. Sementara semua orang tahu, jika persoalan Bank Century diusut dapat menyeret pejabat yang sangat berkuasa saat ini. Maka menurut hemat kita masalah ini menjadi aneh dan menggantung. Betapa tidak! Di satu sisi kita inginkan agar masalah tersebut dapat diusut tuntas melalui jalur hukum. Di sisi yang lain lagi kita membiarkan pihak-pihak yang akan diusut dan disidik dibiarkan tetap memegang jabatan dan kekuasaan. Sementara kita pun sangat paham benar bahwa pihak yang akan disidik mempunyai kekuasaan yang jauh lebih tinggi dari penyidik. Inilah sulitnya!
Namun bagi pengamat politik Burhanuddin Muhtadi mengatakan tidak susah mengusut kasus tersebut. Kalau KPK berhasil menemukan bukti yang arahnya sudah ditandai Pansus sebelumnya. Tinggal tetapkan saja para pejabat terkait sebagai tersangka, maka dengan demikian yang bersangkutan harus non aktif. Nah, saat itulah penyidikan dapat terus dilanjutkan dengan lebih leluasa. Namun itu harus dilakukan secepatnya. Sebab kalau lamban kita dalam bertindak, persoalan menjadi basi dan alat bukti yang kita harapkan akan hilang percuma! (*)
Mega Kecam Putusan Century DPR Tak Mengikat
Sabtu, 06/03/2010 | 15:10 WIB Surabaya – Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri (Mega) mengecam sikap DPR RI yang memutuskan kasus Bailout atau pemberian dana talangan Bank Century sifatnya tidak mengikat. Sikap DPR RI tersebut sama artinya dengan tidak menghargai kerja keras Pansus Bank Century.
“Saya pikir tidak tepat jika DPR RI sampai memutuskan kasus Bank Century tidak mengikat,” tegas Megawati di Bandara Juanda, Surabaya, Sabtu (6/3), sebelum bertolak ke Sumenep, Madura untuk membuka Koferda DPD PDIP Jatim.
Menurutnya, kalau sejak awal sudah diyakini tidak ada hasil yang signifikan, lebih baik DPR tidak usah membentuk Pansus. Pembentukan Pansus ini bertujuan untuk merespon keinginan masyarakat agar skandal Bank Century diungkap secara tuntas.
“Kalau tidak mengikat, berarti DPR mengingkari keinginan dan aspirasi rakyat. Ini artinya DPR tidak serius untuk mengungkap dan menyelesaikan kasus Bank Century ke ranah hukum,” ujarnya.
Seharusnya, lanjut mantan Presiden RI ini, hasil Pansus bisa ditindaklanjuti ke ranah hukum. Sebab, dalam melakukan pengusutan Pansus di lapangan banyak ditemukan fakta-fakta pelanggaran terkait Bailout Bank Century.
“Saya akan menginstruksikan seluruh kader PDIP yang duduk di DPR agar terus mengawal hasil Pansus sampai ke ranah hukum. Jangan sampai hasil Pansus terhenti ditengah jalan, karena bisa mencederai hati nurani rakyat,” paparnya.
Bagaimana jika dalam perkembangan nanti kasus Bank Century terhenti? Megawati menolak berandai-andai. “Jangan berandai-andai dulu. Yang pasti saya ingin fakta yang diungkap Pansus dapat menuntaskan kasus Bank Century,” tambahnya.
Dalam kesempatan itu, Megawati menyinggung belum keluarnya rekomendasi DPP terhadap calon walikota (cawali) dan calon wakil walikota (cawawali) Surabaya. Hal itu dikarenakan DPP perlu mempertimbangkan siapa yang layak memimpin Surabaya dalam lima tahun ke depan.
“Yang pasti PDIP akan memilih kader yang terbaik. Saat ini masih dalam pembahasan dan belum selesai. Saya tidak mungkin membocorkan ke wartawan, karena ini menyangkut rahasia partai,” ungkapnya. (Mb)
SBY Memperluas Zona Perang?
Jumat, 05/03/2010 | 20:06 WIB SBY Memperluas Zona Perang?
Presiden SBY menyebutkan keputusan Release & Discharge (R&D) (seperti yang dilakukan oleh pemerintahan Megawati) dalam pidatonya tadi malam ketika ia berusaha mencoba mempertahankan keputusan bailout Century. Ia juga secara tidak langsung mengatakan akan “mengejar” mereka yang bersembunyi dibelakang kasus Century (termasuk kasus pengemplangan pajak).
“Pertunjukan di DPR telah usai. Kini saatnya melancarkan serangan balasan” ujar salah satu sumber dari inner circle SBY. Politikus dari Partai Demokrat juga sering meluapkan rasa “penyesalan”, “kecemasan”, “frustrasi” kepada “teman-teman” mereka di koalisi. “Kita sekarang tahu siapa teman dan siapa lawan” ujar salah satu politisi Demokrat.
“Akan lebih baik bagi para anggota koalisi yang memilih bersebrangan dengan Presiden dalam kasus Century untuk menarik kembali anggotanya dari kabinet, ujar salah seorang politisi Demokrat yang lain. “Secara internal, presiden serius mempertanyakan koalisi,” “tambah Ahmad Mubarok, Wakil Ketua Umum DPP Partai Demokrat.
Mari diskusikan dinamika koalisi secara terpisah. Berawal dengan pidato presiden, SBY tidak menyebutkan nama Megawati, ketua dari partai oposisi PDI-P, namun jelas bahwa ia “menunjuk Megawati” ketika ia menyebutkan pemberian keputusan R&D. Para pengusaha seperti Salim, Nursalim, Sudwikatmono, Ibrahim Nirsyad, Nirwan Bakrie, dkk sangat menyetujui keputusan ini sebagai follow-up pelunasan hutang dengan Indonesia Bank Restructuring Agency (IBRA) saat krisis moneter 1997-1998.
Keputusan R&D adalah bagian dari kesepakatan (MSAA, MRNIA, dsb—tim SBY harus membaca kesepakatan ini dengan cermat)yang ditanda tangani oleh pemerintahan Soeharo dan Habibie dengan beberapa grup pengusaha. Pemerintahan Megawati melakukan R&D karena itu merupakan bagian dari perjanjian penyelesaian hutang yang ditanda tangani oleh pemerintah Indonesia dengan para grup pengusaha.
Mempertanyakan hal ini jelas dapat memperluas zona perang politik, yang sebenarnya para aparat dari pemerintahan Soeharto dan Habibie lah yang menanda tangani R&D. Lebih buruk lagi, beberapa grup pengusaha ini bisa berkontribusi besar ke dalam berbagai parpol, termasuk namun tidak dibatasi oleh kampanye SBY, di tahun belakangan. “Jadi seperti apa kata pepatah bilang, menepuk air di dulang, kena muka sendiri”
Bagaimana dengan “pengejaran” mereka yang bersembunyi dibelakan penyelidikan Century? Yah, SBY tidak menyebutkan secara spesifik tentang kasus-kasus belakangan ini seperti pengemplangan pajak. Namun mereka bisa menjadi target empuk. Jika benar presiden melakukannya, negara bisa memulihkan keuangan dari dana besar yang dikembalikan, lebih dari cukup untuk membangun sistem transportasi masal di Jakarta. Namun jika ada pengaruh politik, bersiaplah untuk menghadapi tensi politik yang lebih besar.
Seorang teman mengatakan, “Asyik untuk melihat para mafia berantem satu sama lain. Jadi kita ga perlu polisi buat membersihkan mereka.” “Para mafia mendanai sistem politik kita, kampanye, dsb. Pada dasarnya merekalah yang mengatur negara kita. Cara mafia menyelesaikan kasus Lapindo. Mereka menyelesaikan “konflik kepentingan”, menutupi pendanaan politik kotor, dsb. Jadi ketika mereka mengejek satu sama lain, kesempatan untuk melihat kebenaran jadi lebih terbuka.” Jadi, nikmati saja pertunjukannya! (Yosefardi.com/002)
Recent Comments