Posts Tagged ‘Moslem Wisdom



25
Apr
10

Hikmah : Cinta Kasih, Pemimpin Beriman, Kasih Sayang, Resep Nikmat

Siapa Pemilik Cinta Kasih

Republika, Sabtu, 24 April 2010, 16:31 WIB

Siapa Pemilik Cinta Kasih

ilustrasi

Oleh Prof Dr Nasaruddin Umar

Kata ummah berasal dari bahasa Hebrew dari akar kata  alef dan  mim, berarti cinta kasih. Ibu, bahasa arabnya ummun karena pemilik cinta kasih yang tulus.

Dari akar kata yang sama membentuk:  Amam (di depan),  imam (imam shalat/pemimpin),  ma’mum (makmum/rakyat yang dipimpin), imamah (konsep yang mengatur antara pemimpin dan rakyat), dan ummah ialah komunitas yang diikat oleh suatu aturan dan tali cinta kasih sebagai sesama hamba Tuhan dengan pemimpin yang disegani, rakyat yang santun tapi kritis, tetapi pemimpin itu tidak otoriter karena rakyat laki-laki atau perempuan diberi kewenangan untuk menegur.

Jika dalam shalat imam melakukan kekeliruan, makmun laki-laki menegur dengan membaca  subhanallah dan untuk perempuan menegur dengan menepuk anggota badan sehingga kedengaran oleh sang imam. Analoginya, jika menjadi pemimpin, rakyat berhak memberikan peringatan dan teguran pada sang pemimpin agar menjadi benar. Jika demikian, arti  ummah, maka tidak otomatis setiap komunitas Muslim disebut  ummah.

Alquran menyebut sejumlah konsep komunitas. Antara lain,  sya’bun (komunitas yang dihimpun oleh hubungan genetik sebagai suatu marga);  qabilah (komunitas oleh ikatan primordialisme hubungan genetik, kedaerahan, dan persamaan tradisi);  qaum, komunitas kepentingan sosial dan ekonomi dengan visi dan misi yang sama;  khizbun, komunitas yang dipersatukan oleh persamaan sejarah dan kepentingan politik (ideologi).

Ummah lebih dari sekadar sya’bun, qabilah, qaum, atau  khizbun. Yang paling menonjol dari  ummah ialah ikatan spiritual keagamaan sebagai sesama hamba Tuhan dan umat Nabi Muhammad SAW. Ummah melintasi batas-batas geografis, menembus lapis budaya, dan menerobos sekat-sekat politik dan ideologi. Ummah bentuk final dari segala bentuk komunitas.

Tujuan atau misi utama Nabi Muhammad SAW adalah menghijrahkan umat manusia dari masyarakat  sya’bun, qabilah, qaum, dan khizbun menjadi masyarakat ummah. Dalam masyarakat qabilah atau sya’b, promosi karier hanya bergulir di kalangan laki-laki. Perempuan jangan bermimpi untuk menjadi pemimpin. Dan istilah pemimpin perempuan saja tidak ada dalam kamus bahasa Arab. Kata  imamah digunakan dalam arti kepemimpinan, dan kata  khalifah, digunakan untuk pemimpin laki-laki.

Dalam masyarakat  qabilah dan  sya’b diwarnai dengan struktur dan stratifikasi sosial yang berlapis-lapis. Kalangan masyarakat bawah, apalagi budak, tidak boleh bermimpi menjadi raja atau pemimpin. Karena raja atau pemimpin sudah monopoli kalangan bangsawan. Sedangkan dalam konsep  ummah, siapa pun dan dari kelas manapun sama-sama berhak untuk menjadi imam atau pemimpin, asal memenuhi beberapa syarat yang diajukan masyarakat. Apakah komunitas Islam di Indonesia sudah layak disebut ummah?

Red: irf

Sembiln Langkah Menjadi Pemimpin Orang Beriman

Republika, Jumat, 23 April 2010, 08:11 WIB

Sembilan Langkah Menjadi Pemimpin Orang Beriman

ilustrasi

Oleh Ustaz Muhammad Arifin Ilham

Menjadi pemimpin bukan semata-mata kemenangan karena terpilih, tapi lebih dari itu, sebagai amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Banyak hal yang harus diejawantah sebagai pemimpin orang beriman.

Pertama, teladan dalam ketakwaan dan paham kitabullah dan sunah (QS 65: 2). Sangat sulit disebut pemimpin jika tidak ada keteladanan dalam pencarian ridha Allah. Abu Bakar ash-Shiddiq menyeru ketika dilantik jadi khalifah, ”Jika kepemimpinanku benar menurut Alquran dan  as-sunnah , maka ikuti aku. Tapi jika salah, tinggalkan aku.”

Kedua, wara’ (berhati-hati dengan hukum Allah) dan istikamah. Tidak ada niat melabrak hukum Allah, bahkan konsisten dengan keimanan dan istikamah di jalan-Nya. (QS 41: 30-33).

Ketiga, sehat, kuat, cerdas, dan visioner. Seorang pemimpin harus punya visi dalam membangun dan menyejahterakan rakyat (QS 59: 18). Karena itu, daya tunjang kesehatan, fisik yang kuat dan kemampuan mengeksplorasi kecerdasan menjadi hal mutlak bagi seorang pemimpin. (QS 2: 247).

Keempat, ahli ibadah, zikir, tadabbur Quran, berjamaah di masjid, puasa sunah, dan ahli tahajjud. Memimpin butuh efektivitas dan kearifan. Hal ini akan didapatkan jika pemimpin itu ahli ibadah, gemar berzikir, suka membaca Alquran, kaki dibawa ke masjid, berlapar-lapar dengan puasa sunah, serta mau menyingkap selimut di waktu malam untuk bertahajud menghadap Allah. (QS 17: 79).

Kelima, tsiqah (bisa dipercaya), adil, jujur, amanah, tepat janji, tegas, dan berani. ”Sesungguhnya Allah memerintahkanmu memberikan amanah kepada yang berhak menerimanya. Jika hendak menetapkan hukum di antara manusia, berilah hukuman dengan adil ….” (QS 4: 58).

Keenam, rendah hati, merakyat, tulus mencintai rakyatnya, serta dekat dengan anak yatim piatu dan fakir miskin (QS 4: 10). ”Hendaklah rendahkan hatimu kepada orang-orang yang beriman yang mengikutimu ….” (QS 26: 215).

Ketujuh, jabatan menjadi  washilah dakwah (QS 41: 34). Kedudukannya sebagai pemimpin bukan sebagai kehormatan, tetapi untuk kepentingan dakwah, yaitu mengajak umat dan rakyat makin dekat dengan Allah.

Kedelapan, sangat mendengar nasihat ulama, siap dikritik, terus belajar, dan tidak mudah tersinggung apalagi marah (QS 11: 88).

Terakhir, selalu berdoa untuk rakyatnya disertai tawakkal yang kuat. Indah sekali jika ada pemimpin, di siang hari ia berjibaku melayani rakyat, sedangkan malamnya ia tahajjud lalu mengangkat tangan dan berserah diri kepada-Nya. ”Maka jika kamu telah bertekad mengerjakan sesuatu (setelah berusaha) maka serahkan kepada Allah ….” (QS 3: 159). Wa Allahu a’lam.

Red: irf

Menajamkan Naluri Kasih Sayang

Republika, Rabu, 21 April 2010, 07:26 WIB

Menajamkan Naluri Kasih Sayang

ilustrasi

Oleh KH Didin Hafidhuddin

Peristiwa bentrokan berdarah yang terjadi antara sebagian masyarakat dengan anggota Satpol PP di Koja Tanjung Priok Rabu (14/4) lalu merupakan sebuah tragedi kemanusiaan yang sangat memilukan. Betapa tidak, setiap kelompok yang terlibat berlomba-lomba mencederai lawannya, tanpa sedikit pun terlihat rasa malu dan belas kasihan. Sebaliknya, justru tampak amarah dan kebencian yang sangat mendalam. Padahal, rakyat negeri ini merupakan masyarakat religius dan mayoritas beragama Islam.

Inti ajaran Islam adalah menebarkan kedamaian dan kasih sayang. Rasulullah SAW menyatakan, salah satu kunci untuk masuk ke dalam surga adalah menebarkan salam (kedamaian dan keselamatan). Dari Ibn Thabari dari Ibn Umar, Rasul SAW bersabda, ”Seutama-utamanya keimanan dan keislaman seseorang adalah apabila Muslim yang lain terselamatkan dari caci-maki lisannya dan kekerasan serta kekasaran tangannya.”

Rasulullah SAW juga menyatakan, kalau kita ingin meraih kasih sayang Allah SWT dan para malaikat-Nya, maka tebarkan kasih sayang dan kecintaan kepada seluruh umat manusia dan makhluk lainnya yang ada di muka bumi ini (irhamu man fil ardi, yarhamkum man fissamaa`).

Dari keterangan tersebut di atas, dapatlah diketahui bahwa tidak ada iman, Islam, dan agama tanpa menebarkan kasih sayang, cinta dan kedamaian kepada sesama. Karena itu, upaya untuk menajamkan naluri kasih sayang dan kecintaan ini harus dilakukan terus-menerus.  Pertama, komunikasi, dialog, dan musyawarah harus menjadi acuan utama dalam memecahkan berbagai macam persoalan, sehingga tidak terjadi miskomunikasi antarberbagai pihak yang sedang memiliki masalah.

Rasul SAW menyatakan, ”Tidak akan merugi orang suka istikharah (meminta yang terbaik kepada Allah SWT) dan tidak akan pernah bersedih orang yang mengedepankan musyawarah.”  Kedua, Penyelesaian dilakukan secara adil  (islah) atas dasar hukum dan undang-undang yang berlaku yang disertai dengan petunjuk dari Alquran dan sunah Rasul SAW (lihat QS Al-Hujurat: 8-9).

Ketiga, jauhkan sikap arogansi kekuasaan dan fanatisme kelompok yang melahirkan kekerasan tanpa dilandasi pemikiran-pemikiran yang jernih dan rasional.  Keempat, semua pihak yang bersengketa harus mengedepankan kejujuran dan keadilan dalam menyelesaikan berbagai macam masalah.

Di samping itu, bimbingan dan suri teladan dari para pejabat, para tokoh, dan pemimpin umat menjadi suatu keharusan, sekaligus suatu keniscayaan. Mudah-mudahan tragedi kemanusiaan seperti di Koja, Tanjung Priok, tidak akan berulang kembali dalam sejarah kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia yang religius.  Wa Allahu a’lam.

Red: irf

Resep Mudah Melipatkan Nikmat

Republika, Selasa, 20 April 2010, 11:05 WIB

Resep Mudah Melipatkan Nikmat

ilustrasi

Oleh: Mukhyar Imran Lc

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya, jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu. Dan, jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’.” (QS Ibrahim [14]: 7).

Sudah seharusnya kita sebagai hamba bersyukur dengan nikmat yang diberikan Allah kepada kita. Mulai dalam kandungan ibu sampai menjadi manusia yang bisa berpikir hingga kembali pada-Nya adalah nikmat Allah yang tidak terhingga. Mulai dari kesenangan hidup, rezeki, dan kasih sayangnya yang tak pernah putus.

Akankah kita mengingkari, menentang, melanggar, dan tidak mau mengabdikan diri kepada-Nya? Dari ayat di atas, kita dapat menarik hikmah bahwa bersyukur adalah sebuah jalan untuk mencari keridhaan-Nya. Sebaliknya, bila manusia mengingkari nikmat-Nya, bersiaplah menerima azab yang sangat pedih.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita harus senantiasa bersyukur atas segala nikmat dan anugerah yang diberikan Allah. Kita mesti bersyukur saat memperoleh kesenangan dan bersabar saat tertimpa musibah.

Rasulullah SAW bersabda, “Perkara orang Mukmin itu mengagumkan. Sesungguhnya, semua perihalnya baik dan itu tidak dimiliki seorang pun selain orang Mukmin. Bila tertimpa kesenangan, ia bersyukur dan syukur itu baik baginya. Bila tertimpa musibah, ia bersabar dan sabar itu baik baginya.” (HR Muslim No 5318).

Sesungguhnya, nikmat yang telah diberikan Allah kepada kita sangat banyak jumlahnya dan tak terhingga. Semua yang diberikan itu, sekiranya  suatu saat Allah menagihnya, kita tidak akan sanggup untuk membayarnya. Sebab, nikmat itu diberikannya setiap saat dan tak pernah berhenti, mulai dari bangun tidur hingga kita tertidur lagi. Alangkah pengasih dan penyayangnya Allah kepada kita, umat manusia.

Allah SWT berfirman, “Dan, Dia telah memberikanmu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan, jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya, manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS Ibrahim [14]: 34).

Rasulullah SAW mengajarkan umatnya untuk bersyukur kepada manusia. Karena, syukur kepada manusia merupakan salah satu bentuk tanda syukur kepada Allah SWT.

“Siapa yang tidak pandai bersyukur (berterima kasih) kepada manusia, berarti ia belum bersyukur kepada Allah.” Abu Isa berkata, “Ini adalah hadis hasan sahih.” (HR Tirmidzi No 1877). Dengan memperbanyak syukur, manusia akan menyadari segala kelemahan dan kekurangannya di hadapan Allah. Semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang pandai bersyukur.

Red: irf

06
Apr
10

Hikmah : Penjilat, Pengabdian, Neraka

Tiga Kiat Menaklukkan Penjilat

Republika, Senin, 05 April 2010, 21:35 WIB

Tiga Kiat Menaklukkan Penjilat

ilustrasi

Oleh Abdullah Hakam Shah MA

Pujian merupakan fenomena umum yang sering kita temui sehari-hari. Secara garis besar, pujian bisa diklasifikasikan dalam tiga kategori: pujian yang diucapkan untuk menjilat, pujian yang sifatnya basa-basi, serta pujian yang dilontarkan sebagai ekspresi kekaguman.

Bila disikapi secara sehat dan proporsional, pujian bisa memotivasi kita untuk meraih pencapaian-pencapaian baru. Namun, kenyataannya, pujian justru lebih sering membuat kita lupa daratan. Semakin sering orang lain memuji, semakin besar potensi kita untuk terlena dan besar kepala. Sebab itulah, Ali RA berkata, “Kalau ada yang memujimu di hadapanmu, akan lebih baik bila kamu melumuri mulutnya dengan debu daripada terbuai oleh ucapannya.”

Agar dapat menyikapi pujian secara sehat, Rasulullah SAW memberikan tiga kiat yang menarik untuk diteladani. Pertama, selalu mawas diri supaya tidak terbuai oleh pujian orang lain. Oleh karena itu, setiap kali ada yang memuji beliau, Rasulullah SAW menanggapinya dengan doa, “Ya Allah, janganlah Engkau hukum aku karena apa yang dikatakan oleh orang-orang itu.” (HR Bukhari).

Lewat doa ini, Rasulullah SAW mengajarkan bahwa pujian adalah perkataan orang lain yang potensial menjerumuskan kita. Ibaratnya, orang lain yang mengupas nangka, tapi kita yang kena getahnya.

Kedua, menyadari hakikat pujian sebagai topeng dari sisi gelap kita yang tidak diketahui orang lain. Karena, ketika ada yang memuji kita, itu lebih karena ketidaktahuannya akan sisi gelap kita. Oleh sebab itu, kiat kedua Rasulullah SAW dalam menanggapi pujian adalah dengan berdoa, “Ya Allah, ampunilah aku dari apa yang tidak mereka ketahui (dari diriku).” (HR Bukhari).

Dan ketiga, kalaupun sisi baik yang dikatakan orang lain memang benar ada dalam diri kita, Rasulullah SAW mengajarkan agar memohon kepada Allah SWT untuk dijadikan lebih baik lagi. Maka, kalau mendengar pujian seperti ini, Rasulullah SAW kemudian berdoa, “Ya Allah, jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka kira.” (HR Bukhari).

Tiga kiat yang dicontohkan Rasulullah SAW di atas, hakikatnya mengisyaratkan betapa hati manusia sangat rentan terhadap provokasi dari luar. Alih-alih pujian yang dilontarkan dengan tulus, pujian yang tujuannya untuk menjilat pun bisa dengan mudah membuat manusia terbuai.

“Namun, bagi orang-orang yang menjaga kebeningan hati, setiap pujian akan membuatnya sadar bahwa hanya secuil itulah kelebihan yang dimilikinya, di antara sekian banyak kekurangan yang tidak Allah tampakkan kepada orang lain,” kata Ibnu al-Mubarak sebagaimana dinukil al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulumiddin.

Red: irf

Puncak Pengabdian Seorang Hamba

Republika, Ahad, 04 April 2010, 06:30 WIB

Puncak Pengabdian Seorang Hamba

ilustrasi

Oleh Prof Dr Nasaruddin Umar

Kata mujahadah tidak lebih populer daripada kata jihad atau ijtihad. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa ijtihad lebih utama daripada jihad. Rasulullah SAW bersabda, ”Goresan tinta para ulama lebih utama daripada tumpahan darah para syuhada.”

Namun, masih ada yang lebih utama dari ijtihad, yakni mujahadah. Mujahadah ialah perjuangan yang mengandalkan unsur batin atau kalbu. Seusai sebuah peperangan yang amat dahsyat, Rasulullah SAW menyampaikan kepada para sahabatnya, ”Kita baru saja pulang dari peperangan yang kecil ke peperangan yang lebih besar.”

Lalu beliau menjelaskan bahwa peperangan terbesar ialah melawan diri sendiri, yakni melawan hawa nafsu. Dalam buku Ihya Ulum al-Din, Imam Al-Gazali mengungkapkan, mujahadah satu jam lebih utama daripada beribadah (formalitas) setahun. Ini artinya, mujahadah merupakan puncak pengabdian seorang hamba kepada Tuhannya.

Jihad, ijtihad, dan mujahadah, berasal dari satu akar kata yang sama, yaitu jahada yang berarti bersungguh-sungguh. Jihad adalah perjuangan sungguh-sungguh secara fisik; ijtihad perjuangan sungguh-sungguh melalui pikiran dan logika; dan mujahadah merupakan perjuangan sungguh-sungguh melalui kalbu. Bagi masyarakat awam, jihad itulah ibadah yang paling tinggi. Namun dalam perspektif tasawuf, mujahadah menempati posisi yang lebih utama.

Mujahadah bisa mengantar manusia meraih predikat tertinggi sebagai manusia paripurna (insan kamil). Dan ia merupakan kelanjutan dari jihad dan ijtihad. Seseorang yang mendambakan kualitas hidup paripurna tidak bisa hanya mengandalkan salah satu dari ketiga perjuangan tadi. Tetapi, ketiganya harus sinergi di dalam diri.

Rasulullah SAW adalah contoh yang sempurna. Beliau dikenal sangat terampil dalam perjuangan fisik. Hal itu terbukti dengan keterlibatannya dalam beberapa peperangan. Dan beliau sendiri tampil sebagai panglima perang. Beliau juga seorang yang cerdas pikirannya, dan panjang tahajudnya.

Dalam konteks kekinian, komposisi ketiga unsur perjuangan di atas sebaiknya diatur sesuai dengan kapasitas setiap orang. Hal ini bertujuan untuk mewujudkan masyarakat Muslim terbaik (khaira ummah).

Seseorang yang hanya memiliki kemampuan fisik, maka jihad fisik baginya adalah perjuangan yang tepat. Bagi seorang ulama, jihad paling utama baginya ialah menulis secara produktif untuk mencerahkan dan mencerdaskan umat. Namun, untuk mujahadah, sesungguhnya dapat diakses setiap orang dari golongan manapun. Mari memopulerkan mujahadah di samping jihad dan ijtihad dalam masyarakat.

Red: irf

Manusia yang Menyukai Neraka

Republika, Jumat, 02 April 2010, 22:22 WIB

Manusia yang Menyukai Neraka

ilustrasi

Oleh: Prof Dr Ali Mustafa Yaqub

Ketua sebuah pengajian meminta maaf kepada penceramah karena jamaah yang hadir dalam pengajian tersebut tidak banyak. Ia semula mengharapkan agar jamaah yang datang dapat mencapai ribuan orang, tetapi ternyata hanya ratusan orang. Ia khawatir apabila penceramah kecewa dengan jumlah yang sedikit itu.

Apa komentar penceramah tersebut? Ia justru bersyukur dan tidak merasa kecewa. Katanya, ”Memang calon penghuni surga itu jumlahnya lebih sedikit dibandingkan calon penghuni neraka.” Ia pernah membaca koran bahwa di Ancol diadakan pagelaran maksiat. Yang hadir dalam pesta kemungkaran itu mencapai 700 ribu orang. Kendati pesta itu dimulai jam delapan malam, pengunjung sudah mulai datang sejak jam satu siang.

Penceramah kemudian bertanya kepada para hadirin, ”Apakah ada pengajian yang dihadiri oleh 700 ribu orang?” Hadirin pun serentak menjawab, ”Tidak ada.” Ia kemudian bertanya lagi, ”Apakah ada pengajian yang dimulai jam delapan malam, tetapi jamaahnya sudah datang jam satu siang?” Hadirin kembali serentak menjawab, ”Tidak ada.” Penceramah kemudian berkata, ”Itulah maksiat, dan inilah pengajian. Kalau ada pengajian dihadiri oleh ratusan ribu orang, boleh jadi pengajian itu bermasalah.”

Ia juga mencontohkan dakwah Nabi Nuh AS. Beliau berdakwah selama hampir seribu tahun, tetapi pengikut beliau hanya 40 orang. ”Karena itu, kalau yang datang di pengajian ini mencapai ratusan orang, itu sungguh sudah bagus. Dan, begitulah calon-calon penghuni surga,” tambahnya.

Lebih jauh, ustaz yang masih muda itu menyampaikan sebuah hadis tentang apa yang akan terjadi pada hari kiamat. Dalam hadis sahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa nanti pada hari kiamat, Nabi Adam AS akan dipanggil oleh Allah SWT. Beliau diperintahkan oleh Allah SWT untuk memisahkan anak-cucunya, mana yang akan masuk surga dan mana yang akan masuk neraka. ”Ternyata,” kata Nabi Muhammad SAW selanjutnya, ”Dari seribu anak-cucu Adam, 999 (sembilan ratus sembilan puluh sembilan) masuk neraka, dan hanya satu yang masuk surga.”

Ia kemudian mengajak jamaah untuk mengamati perilaku manusia setiap hari. ”Coba kita amati kehidupan manusia sehari-hari. Kita lihat mereka di pasar, pusat perbelanjaan modern atau mal, televisi, dan di mana saja. Ternyata lebih banyak yang senang bermaksiat daripada yang taat kepada Allah SWT. Orang bohong, penipu, ada di mana-mana, sementara yang shalat di masjid sepi-sepi saja. Ternyata manusia itu lebih menyukai neraka daripada surga.”

Red: irf

31
Mar
10

Hikmah : Virus Penghancur Kekuasaan

Virus Penghancur Kekuasaan

Republika, Selasa, 30 Maret 2010, 08:22 WIB

Kekuasaan zalim, menghasilkan kesenjangan dan kemiskinan.

Oleh Andri Rosadi MA

Kita sering menggunakan ataupun mendengar kata adil dan zalim yang terkadang dikaitkan dengan perilaku penguasa. Adil merupakan kemampuan untuk meletakkan sesuatu pada tempatnya tanpa mengurangi hak yang lain, sedangkan zalim sebaliknya.

Perilaku seseorang akan selalu berada dalam dua posisi ini: adil atau zalim. Tidak ada satu pun manusia biasa yang akan mampu berlaku adil 100 persen. Tapi, ini bukanlah pembenaran bahwa kezaliman merupakan suatu hal yang lazim.

Lantas, seberapa eratkah hubungan antara keadilan atau kezaliman dengan kekuasaan? Jawabannya: sangat erat. Keadilan merupakan kunci keberlangsungan suatu kekuasaan, dan sebaliknya, kezaliman merupakan virus utama yang menghancurkan kekuasaan itu.

Al-Ghassani, seorang ahli sejarah Arab klasik mengatakan, ”Kekuasaan bisa bertahan dalam kekafiran, tapi tidak akan bertahan dalam kezaliman.” Untuk melihat kebenaran kata hikmah ini, ada baiknya kita melihat bukti-bukti sejarah mengenai jaya dan runtuhnya suatu kekuasaan.

Menjelang jatuhnya kekuasaan Abbasiyah di Baghdad, ada beberapa fakta sejarah yang perlu kita renungkan. Pada saat itu, terjadi kesenjangan yang besar antara orang-orang di lingkaran kekuasaan dan rakyat jelata.

Kelompok pertama hidup sangat mewah, sedangkan kelompok kedua hidup dalam kondisi yang memprihatinkan. Disebutkan, pada saat itu, ulama yang paling hebat hanya berpendapatan 12 dinar per bulan, sedangkan pendapatan rakyat jelata jauh lebih rendah. Akan tetapi, ‘Alauddin al-Zhahiri, salah seorang staf kerajaan, berpendapatan 300 ribu dinar dan rumahnya termasuk yang termewah di Baghdad.

Yang juga mencengangkan, Khalifah al-Mustanshir, dalam pesta pernikahannya, memberikan hadiah 100 ribu dinar. Pada pesta pernikahannya pula, Khalifah al-Musta’shim memberikan hadiah 300 ribu dinar. Pendapatannya per tahun mencapai lebih dari 500 ribu dinar. Sebuah jumlah yang sangat fantastis jika dibandingkan pendapatan sehari-hari rakyat jelata.

Bisa dikatakan bahwa pada saat itu, harta negara sebagian besar hanya berputar di kalangan kaum elite, entah itu untuk keperluan berbagai macam pesta, hadiah, ataupun fasilitas pribadi. Tak perlu diragukan lagi, ini merupakan suatu kezaliman.

Berdasarkan kata-kata al-Ghassani di atas, kehancuran Khalifah Abbasiyah merupakan suatu keharusan. Setiap perilaku yang bertentangan dengan asas keadilan akan tersingkir, sebab dunia ini berjalan berdasarkan asas keadilan. Kita perlu berkaca, betapa banyak pemimpin yang jatuh atau dijatuhkan akibat ketidakadilan mereka dalam menjalankan amanat.

Red: irf

27
Mar
10

Hikmah : Manusia, Pendusta, Surga Ibu

Manusia di Cangkang Telur

Republika, Sabtu, 27 Maret 2010, 17:45 WIB

ilustrasi

Oleh Prof Dr Ali Mustafa Yaqub

Dalam sebuah hadis sahih riwayat Imam Muslim, Nabi Muhammad SAW membandingkan antara dunia dan surga. Kata beliau, “Kavling yang paling kecil di surga nanti adalah seperti dunia ini ditambah sepuluh kali lipatnya.”

Tentu ada orang yang kemudian bertanya, “Di mana pula lokasi surga itu? Padahal, dunia ini sudah sangat luasnya, dan tampaknya tidak ada seorang pun yang pernah menapakkan kakinya di atas semua dataran dunia ini?”

Pertanyaan orang tadi mencerminkan keraguannya atas adanya alam surga sebagaimana yang diilustrasikan oleh Nabi SAW. Dan orang tersebut mewakili salah satu dari tiga tipe orang dalam menyikapi surga khususnya, dan alam akhirat umumnya.

Ibarat anak ayam yang masih berada di dalam cangkang telur, begitulah manusia di dunia ini. Ibaratnya pula, anak ayam yang belum menetas itu diberi tahu bahwa setelah tiba saatnya, mau atau tidak, ia akan keluar meninggalkan dunia telur ayam tersebut, dan akan masuk ke dalam alam yang luasnya jauh bermiliar-miliar lebih besar daripada dunianya di dalam cangkang telur yang ia diami sekarang ini.

Dalam menyikapi berita tersebut, ada tiga tipologi anak ayam. Pertama, anak ayam yang sama sekali tidak percaya terhadap berita itu. Di mana ada alam yang besar seperti itu, sedangkan baginya, dunia telur ayam itu sudah sangat lebar. Ia bisa bermain ke kanan kiri dengan leluasa. Begitu alur pikirannya.

Kedua, anak ayam yang tidak mau tahu-menahu tentang berita itu. Baginya, itu adalah urusan nanti. Seperti halnya anak ayam yang pertama, ia tidak pernah membuat persiapan untuk hidup di alam nanti.

Dan ketiga, anak ayam yang percaya mutlak bahwa apa yang diberitahukan kepadanya itu benar. Alasannya, pihak yang memberi tahu itu adalah pihak yang dipercaya. Maka, kendati ia belum pernah melihat alam itu, ia pun percaya hal itu sepenuhnya. Sebagai bukti atas keyakinannya itu, ia pun membuat persiapan-persiapan untuk memasuki alam tersebut nantinya.

Setelah tiba masanya, ketiga anak ayam itu akan meninggalkan dunia telur ayam dan masuk ke alam dunia. Dan anak ayam yang pertama dan kedua baru percaya bahwa apa yang pernah diberitahukan kepada mereka itu benar.

Begitulah manusia di dunia ini menyikapi adanya alam surga nanti. Ada yang tidak percaya, tidak tahu menahu, dan percaya sepenuhnya. Bila sudah tiba saatnya, mereka akan keluar dari alam dunia ini, dan masuk ke alam akhirat yang luasnya jauh lebih besar dari dunia ini. Dan dari tiga tipe manusia itu, hanya satu yang akan tinggal di surga, yaitu yang percaya dan mempersiapkan diri untuk itu.

Red: irf
Rep:
Sumber:

Manusia Paling Ajaib

Republika, Jumat, 26 Maret 2010, 17:18 WIB

ilustrasi

Oleh KH A Hasyim Muzadi

Periode yang paling membanggakan dalam konteks perkembangan Islam adalah zaman ketika Baginda Nabi Muhammad SAW masih hidup. Saat itulah bermunculan para pembela Islam sejati, para sahabat paling setia, para penjaga Alquran paling tepercaya, dan para syuhada paling menakjubkan. Itulah pencapaian paling agung yang lahir berkat kepemimpinan Nabi SAW yang agung.

Mengenai ini, banyak hadis, atsar, serta laporan para sahabat dan tabiin yang saleh sampai kepada kita. Bahkan, Nabi SAW kerap kali membanggakan para sahabatnya: orang-orang saleh yang juga menjadi kebanggaan kita semua. Kalau para sahabat memiliki tingkat keimanan yang menjulang, boleh jadi akan ada yang berdalih bahwa itu semata karena ‘tangan’ Rasulullah yang selalu menebarkan berkah.

Rasulullah, para malaikat, para penghuni langit, serta segenap makhluk hidup memang membanggakan mereka. Karena itu, kita selalu berharap mendapatkan keberkahan ketika menyebut nama Baginda Rasulullah serta para sahabatnya.

Lalu, apakah dengan demikian telah hilang peluang bagi kita untuk merasa ‘dekat’ dengan Rasulullah supaya kita bisa merasakan manisnya keimanan? Sekali waktu, Rasulullah memberi penjelasan kepada para sahabatnya soal golongan manusia yang beliau sebut sebagai saudara terkasih dan terus ditunggu oleh beliau.

Mereka lalu bertanya, bukankah mereka adalah para sahabat terdekat beliau dan karena itu merupakan saudara-saudara terkasihnya? Rasulullah menyangkal para sahabat sambil menjawab, mereka semua adalah sahabat-sahabat terbaik dan terdekatnya. Namun, mereka bukanlah para saudara terkasih yang tengah ditunggu-tunggu dan dirindukannya.

Rasulullah lalu menjelaskan bahwa keimanan ‘saudara terkasih’ itu sangat menakjubkan dibandingkan kualitas keimanan makhluk lainnya. Keimanan mereka berbeda dengan keimanan para malaikat, tidak sama dengan keimanan para nabi dan rasul, serta berbeda dengan keimanan para sahabat Rasulullah.

Keimanan para malaikat tentu menakjubkan karena mereka mengelola dinamika alam semesta sesuai perintah Allah. Keimanan para nabi dan rasul juga menakjubkan karena mereka selalu berurusan dengan para malaikat yang mulia. Dan, keimanan para sahabat tentu juga menakjubkan karena mereka menyaksikan mukjizat dan bergaul dengan Rasulullah.

“Akan tetapi, keimanan manusia yang paling menakjubkan adalah mereka yang datang setelahku, lalu beriman kepadaku. Mereka tidak menyaksikanku, tetapi membenarkan kenabian dan kerasulanku. Merekalah saudara-saudaraku.” Hadis ini diriwayatkan oleh sahabat, Ibnu Abbas RA.

Red: irf
Rep:
Sumber:

Siapa Pendusta Agama

Rabu, 24 Maret 2010, 17:59 WIB

edwin/republika

ilustrasi

Oleh Anang Rikza Masyhadi

“Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Yaitu, orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka, celakalah orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai terhadap shalatnya, yang berbuat riya, dan enggan memberikan bantuan.” (QS Almaun [107]: 1-7)

Dalam surah tersebut, Allah SWT demikian lugas mengaitkan agama dengan keberpihakan kepada kaum dhuafa. Seseorang dikategorikan telah berdusta atau berkhianat kepada agamanya manakala ia mengabaikan anak yatim dan orang miskin.

Surah Almaun diawali dengan pertanyaan, “Tahukah kamu orang yang mendustakan agama?” Menurut banyak ahli tafsir, hal itu dimaksudkan untuk menggugah hati pendengarnya agar memberikan perhatian lebih kepada apa yang selanjutnya akan ditunjukkan pada ayat-ayat berikutnya.

Anak yatim dan orang miskin adalah dua kelompok yang paling rentan di masyarakat. Mereka digolongkan orang-orang yang lemah. Itulah mengapa Islam mewajibkan kita menolong mereka. Islam mendorong umatnya agar dalam beragama tidak selalu mementingkan aspek ibadah mahdhoh yang bersifat vertikal saja.

Islam juga menganjurkan ibadah sosial, seperti memerhatikan nasib orang-orang lemah. Jadi, surah Almaun seolah ingin menegaskan bahwa pendusta agama bukan hanya orang yang mengaku Muslim, tetapi tidak mau shalat. Lebih dari itu, orang yang mengaku Muslim, tetapi tidak punya kepekaan sosial dan tidak peduli pada lingkungan sekitar.

Ayat selanjutnya bertutur tentang orang-orang yang lalai dalam shalatnya dan riya. Lalai dalam shalat berarti bahwa orang itu fisiknya shalat; tetapi hati, jiwa, dan perilakunya tidak ikut shalat. Yaitu, yang shalatnya tidak berdampak pada perilaku sosialnya sehari-hari. Dalam shalat, banyak hikmah yang terkandung. Ada yang berpendapat, ketika shalat dibuka dengan takbiratulihram, itu berarti kita menyapa Allah. Kemudian, diakhiri dengan salam, yang artinya menyapa manusia.

Menengok ke kanan dan kiri sebagai tanda akhir shalat menunjukkan bahwa kita peduli pada kondisi lingkungan sekitar atau tetangga di kanan dan kiri. Dengan demikian, salah satu pesan fundamental shalat adalah kepedulian pada orang lain.

Kisah berikut menarik untuk disimak. KH Ahmad Dahlan, konon pada tahun 1912-an, mengajarkan santri-santrinya surah Almaun selama beberapa bulan. Ketika ditanya alasannya, beliau menjawab bahwa selama mereka belum ada yang  elaksanakannya, ia tetap akan mengajari Almaun itu. Baru, setelah diketahui ada salah seorang santrinya yang memelihara anak yatim di rumahnya, beliau melanjutkan pelajaran ke surah-surah lainnya.

Red: irf
Rep:
Sumber:

Meraih Surga Ibu

Republika, Senin, 22 Maret 2010, 18:11 WIB

ilustrasi

Oleh Wiyanto Suud

Syahdan, seorang laki-laki suatu ketika bertanya kepada Ibn Abbas RA, ”Saya meminang seorang wanita, tetapi dia menolak pinangan saya. Setelah itu, datang orang lain meminangnya, lalu dia menerimanya. Saya menjadi cemburu dan membunuhnya. Apakah tobat saya diterima?”

Ibn Abbas bertanya, ”Apakah ibumu masih hidup?” Dia menjawab, ”Tidak.” Ibn Abbas berkata, “Bertobatlah kepada Allah dan mendekatlah kepada-Nya semampumu.” Atha’ bin Yasar yang hadir ketika itu bertanya kepada Ibn Abbas, “Mengapa engkau bertanya kepada lelaki itu, apakah ibunya masih hidup?” Ibn Abbas menjawab, “Saya tidak tahu perbuatan yang paling mendekatkan (seseorang) kepada Allah SWT, melainkan berbakti kepada ibu.” (HR Bukhari).

Demikian mulia kedudukan seorang ibu. Di antara bapak dan ibu, ibulah yang lebih berhak untuk menerima perhatian dari seorang anak. Tidak hanya itu, dalam sebuah sabda Nabi Muhammad SAW yang masyhur, ibu memiliki hak tiga kali lipat lebih besar daripada seorang bapak.

Ada beberapa alasan mengapa seorang ibu memiliki hak tiga kali lipat lebih besar daripada seorang bapak. Pertama, seorang ibu menanggung berbagai kesusahan, baik ketika mengandung maupun melahirkan. Bahkan, ketika anaknya sudah berumur empat puluh tahun pun, perhatian seorang ibu tidak pernah berhenti, ia terus mendoakan anaknya (QS Al-Ahqaf [46]: 15).

Kedua, kesusahan ketika mengandung itu bertambah dan semakin bertambah (QS Luqman [31]: 14).

Ketiga, kesusahan seorang ibu mencapai puncaknya ketika hendak melahirkan. Alquran memberi gambaran betapa sakit waktu melahirkan dengan ungkapan bahwa Maryam binti Imran menginginkan kematian atau menjadi barang yang tidak berarti (QS Maryam [19]: 23).

Keempat, setelah melahirkan, kewajiban ibu belum selesai. Ia harus menyusui dan merawat anaknya. Ia tidak akan pernah merasa tenang jika keselamatan dan kenyamanan sang anak terancam. Hal ini seperti ibu dari Nabi Musa AS ketika ia diperintahkan Allah untuk menghanyutkan anaknya di sungai (QS Alqashash [28]: 7-13).

Empat perkara ini cukup menjelaskan mengapa Allah dan Rasul-Nya menempatkan derajat ibu lebih tinggi daripada bapak. Bahkan, surga–sebagai sebaik-baik tempat kembali bagi manusia sesudah mati–diasosiasikan berada di bawah telapak kaki seorang ibu.

Red: irf
Rep:
Sumber:

22
Mar
10

Hikmah : Hamba Allah, Jihad dan Teror, Buah Musibah, Bidadari Surga

Republika, Senin, 15 Maret 2010, 13:25 WIB

Hamba Allah

Oleh Dr Dimyati Sajari MAg

Di kalangan umat Islam, ada yang ketika berinfak tidak mau disebutkan namanya, tetapi dia meminta disebutkan nama ‘hamba Allah’ sebagai pengganti namanya yang sebenarnya. Atau, kadang-kadang orang atau lembaga yang diberi infak itu mengusulkan memakai nama ‘hamba Allah’ saja. Siapakah ‘hamba Allah’ yang sebenarnya?

Ayat berikut ini memberikan gambaran yang jelas mengenai ciri-ciri hamba Allah. “Dan, Aku tidak menciptakan jin dan manusia itu kecuali untuk menyembah-Ku (mengabdi kepada-Ku) (QS Aldzariyat [51]: 56). Berdasarkan ayat tersebut, berarti hanya orang yang benar-benar mengabdi kepada Allah-lah yang berkedudukan sebagai hamba-Nya.

Dijelaskan oleh Abu Nashr al-Sarraj dalam kitabnya al-Luma’ , “Orang yang hatinya benar-benar bebas dari segala sesuatu selain Allah SWT; jika seseorang mampu melepaskan diri dari segala hal selain Allah, ia akan menjadi orang yang layak dipanggil sebagai hamba Allah ( ‘abd Allah ).”

Dengan demikian, hamba Allah adalah orang yang telah bebas dari segala hal selain Allah ( at-takhallush ‘an siwa Allah ), baik berkaitan dengan bisikan hatinya, perkataan lisannya, maupun perbuatan anggota badannya.

Artinya, hanya Allah-lah tujuan hidupnya dan keridhaan-Nya merupakan satu-satunya motivasi amaliahnya. Ungkapan yang terkenal di dunia tasawuf adalah anta maqshudi wa ridhaka mathlubi (Engkaulah tujuan kami dan hanya keridhaan Engkaulah yang kami cari).

Atas dasar itu, al-Sarraj mengatakan bahwa Allah tidak pernah menyebut orang beriman dengan sebutan yang lebih tinggi selain dari sebutan hamba (QS Alfurqan [25]: 63 dan QS Alhijr [15]: 49). Predikat tersebut juga disematkan oleh Allah kepada para malaikat-Nya (QS Al-Anbiya [21]: 26) dan kepada para nabi dan rasul-Nya (QS Shad [38]: 30, 41, dan 45).

Ayat di atas menjelaskan bahwa yang dimaksud hamba-hamba yang beriman adalah para malaikat, nabi, dan rasul atau orang yang keimanannya mendekati keimanan mereka. Berinfak dapat mendekatkan diri seperti keimanan mereka manakala amalan itu diniatkan dengan ikhlas dan membebaskan hati dari segala hal selain Allah. Atas dasar ini, meski dalam pengertian yang paling minimalis, pemberi infak boleh dipandang sebagai hamba Allah atau orang yang berusaha menjadi hamba Allah.

Red: irf

Republika, Rabu, 17 Maret 2010, 13:31 WIB

Antara Jihad dan Teror

Oleh A Ilyas Ismail

Banyak orang yang kurang mengerti tentang makna jihad yang sebenarnya. Bahkan, tidak sedikit pula orang yang salah paham dengan menyamakan begitu saja antara jihad dan teror. Pandangan semacam ini tentu bukan hanya sesat, melainkan juga menyesatkan.

Jihad dari akar kata al-juhd, menurut pakar bahasa, al-Ishfahani, berarti sesuatu yang sulit atau daya upaya secara maksimal. Ulama yang lain memahami jihad sebagai badzl-u al-juhd li nayl- al-mathlub (mengerahkan segala usaha untuk mencapai cita-cita).

Jihad, yang dapat dipahami sebagai konsep perjuangan, merupakan jalan panjang yang harus ditempuh untuk mencapai cita-cita (kemuliaan). Sebagai konsep dan jalan perjuangan, jihad tentu harus diaktualisasikan melalui kerja keras dan kerja cerdas, tanpa kenal lelah, dengan mengoptimalkan penggunaan segenap potensi dan kekuatan yang dimiliki, tak hanya kekuatan fisik, tapi juga kekuatan moral, intelektual, dan spiritual.

Dalam pengertian ini, jihad tak pelak lagi merupakan doktrin pokok Islam dan jalan hidup kaum Muslim menuju kesuksesan dan kemuliaan. Inilah sesungguhnya makna firman Allah SWT, “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (QS Al-Ankabut [29]: 69).

Jihad bila merujuk pada ayat di atas, menurut Zamahsyari, juga al-Nasafi, bersifat umum, tak hanya jihad fisik, tapi juga jihad batin dalam segala bentuknya. Ibn `Asyur memahaminya dalam arti moral (penguatan akhlak), sementara al-Razi memahaminya dalam arti pemikiran (penguatan intelektual).

Dalam maknanya yang umum, jihad memiliki cakupan dan spektrum yang luas, menyangkut setidak-tidaknya tiga bidang, yaitu jihad dalam lingkup sendiri jihad al-nafs (QS Al-Ankabut [29]: 6), lalu jihad dalam lingkup keluarga (QS Alfurqan [25]: 74), serta jihad dalam lingkup sosial. Dalam lingkup yang terakhir ini, jihad dilakukan dengan mengembangkan masyarakat Islam menuju kualitas “Khaira Ummah” (QS Ali Imran [3]: 110).

Jadi, jihad bukan teror, dan teror bukan pula jihad. Jihad adalah satu hal, dan teror adalah hal yang lain. Teror adalah tindakan pengecut yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak mampu bersaing secara sehat. Pelaku teror mengalami gangguan kejiwaan atau setidak-tidaknya mengalami kesalahan dalam membuat kategori.

Dikatakan demikian, karena faktanya, mereka merasa benar, tetapi sesat; merasa berbuat baik (shalih), tetapi buruk (thalih); merasa jihad, tetapi jahat; berharap mendapat rahmat, tetapi memperoleh laknat.

Red: irf

Republika, Kamis, 18 Maret 2010, 11:48 WIB

Buah dari Musibah
Oleh Imam Nur Suharno MPdI

Allah SWT akan senantiasa menguji hamba-Nya dengan dua bentuk ujian, yaitu berupa nikmat (kesenangan) dan bencana (keburukan). Sayyid Quthb mengatakan, banyak orang yang bisa tabah saat menghadapi ujian berupa kesulitan. Tetapi, banyak orang yang terlena dan lalai saat diuji berupa kesenangan.

Karena itu, bersabar dan bersyukur adalah kunci keberhasilan bagi seorang Mukmin dalam menghadapi kedua ujian itu. Rasulullah SAW bersabda, ”Orang Mukmin memiliki keunikan sehingga seluruh urusannya itu baik untuknya, dan keunikan ini tidak dimiliki oleh siapa pun kecuali oleh orang Mukmin, yaitu: apabila ia mendapatkan kenikmatan, ia bersyukur, hal ini baik baginya, dan apabila ia mendapatkan musibah, ia bersabar, hal ini juga baik baginya.” (HR Muslim).

Untuk mencapai pemahaman yang baik tentang hakikat ujian yang datang, seseorang harus mengetahui rahasia di balik setiap ujian. Rahasia tersebut adalah:

Pertama, kemuliaan Allah dan kekuatan kehendak-Nya. Ibnu al-Qayyim berkata tentang rahasia Perang Uhud, ”Di antara buah (dari kesusahan yang dialami dalam Perang Uhud) adalah memunculkan status kehambaan para wali-Nya dan para pengikut agama-Nya dalam kondisi senang ataupun susah, terhadap hal yang mereka sukai dan yang mereka benci, atau pada saat mereka harus kalah dan musuhnya yang menang. Jika pada semua kondisi tersebut mereka mampu tetap teguh di atas ketaatan dan beribadah kepada Allah maka mereka adalah hamba-hamba Allah sejati.”

Kedua, ujian menghapus dosa. Sabda Rasulullah, ”Tidaklah sesuatu yang menimpa seorang Muslim, baik itu penyakit biasa maupun penyakit menahun, kegundahan dan kesedihan, atau hanya duri yang menusuknya, kecuali Allah akan menghapus semua kesalahannya dengan semua penderitaan yang telah ia alami.” (HR Bukhari).

Ketiga, mengangkat derajat. Diriwayatkan oleh Tirmidzi, Rasulullah bersabda, ”Jika Allah menginginkan atas diri hamba-Nya suatu kebaikan maka Allah akan mempercepat baginya cobaan di dunia. Dan, jika Allah menginginkan atas diri hamba-Nya keburukan, maka Dia akan menahan cobaan tersebut dengan semua dosanya hingga dia menebusnya pada hari kiamat.”

Sungguh Allah telah menjanjikan sesuatu yang agung bagi mereka yang mampu bersabar atas ujian yang menimpanya. ”Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata, ‘Innalillahi wa Inna Ilaihi Rajiun’. Mereka itulah orang yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS Albaqarah [2]: 155-157).

Red: irf

Republika, Ahad, 21 Maret 2010, 11:57 WIB

Bidadari Surga

ilustrasi

Oleh Muhammad Arifin Ilham

Wahai, para suami, istri yang menemani kita sesungguhnya adalah bidadari yang diturunkan untuk menjadi pendamping kita di dunia. Ia juga yang kelak menemani kita saat menikmati kebahagiaan surga di akhirat.

Mari, kita kenali sifat-sifat istri yang memesona ini. Imam Ath-Thabrany mengisahkan sebuah hadis dari Ummu Salamah. “Wahai, Rasulullah, jelaskanlah kepadaku firman Allah tentang bidadari-bidadari yang bermata jeli?” Beliau menjawab, “Bidadari yang kulitnya putih, matanya jeli dan lebar, serta rambutnya berkilau seperti sayap burung nasar.”

“Lalu, bagaimana tentang firman Allah, ‘Laksana mutiara yang tersimpan baik’.” (QS Alwaqi’ah [56]: 23). Jawabnya, “Kebeningannya seperti mutiara di kedalaman lautan yang tidak pernah tersentuh tangan manusia.”

“Jelaskan lagi kepadaku firman Allah, ‘Di dalam surga-surga itu, ada bidadari-bidadari yang baik-baik dan lagi cantik-cantik’.” (QS Arrahman [55]: 70). Beliau menjawab, “Akhlaknya baik dan wajahnya cantik jelita.”

Saya berkata lagi, “Jelaskanlah firman Allah, ‘Seakan-akan mereka adalah telur (burung unta) yang tersimpan dengan baik’.” (QS Ashshaffat [37]: 49). Beliau menjawab, “Kelembutannya seperti kelembutan kulit yang ada di bagian dalam telur dan terlindung kulit telur bagian luar.”

“Manakah yang lebih utama, wanita dunia atau bidadari yang bermata jeli?” Rasulullah berkata, “Wanita-wanita dunia lebih utama dari bidadari-bidadari yang bermata jeli, seperti kelebihan apa yang tampak dengan apa yang tak tampak.”

“Karena apa wanita dunia lebih utama dari mereka?” Beliau menjawab, “Karena, shalat, puasa, dan ibadah mereka. Sehingga, Allah meletakkan cahaya di wajah mereka. Tubuh mereka seperti kain sutra, kulitnya putih bersih, pakaiannya berwarna hijau, perhiasannya kekuning-kuningan, sanggulnya mutiara, dan sisirnya terbuat dari emas.”

Sungguh indah gambaran Nabi SAW tentang bidadari. Namun, lebih indah lagi penjelasannya tentang wanita di dunia yang taat kepada Allah. Hanya ada dua syarat untuk menjadi wanita mulia seperti itu. Pertama, taat kepada Allah dan rasul-Nya. kedua, taat kepada suami.

Yang pertama berarti mencintai Allah dan Rasulullah melebihi apa pun. Yang diperintahkan ia kerjakan dan yang dilarang ia tinggalkan. Kepada orang tua ia berbakti dan dengan sesama mau hidup berbagi (sedekah).

Sementara itu, taat kepada suami di antaranya tampil menyenangkan di hadapan suami serta menjaga kehormatan diri, anak-anak, dan harta suami. Ia juga tidak membantah suami dalam kebenaran, tidak jalan dan berkhalwat dengan lelaki yang bukan mahram, serta segalanya selalu dalam kebaikan. Dialah bidadari surga itu. Red: irf

13
Mar
10

Hikmah : Kebahagiaan Bersama Rasulullah

Kebahagiaan Bersama Rasulullah

Republika, Rabu, 10 Maret 2010, 07:18 WIB

Oleh A Ilyas Ismail

Kebahagiaan bersama Nabi Muhammad SAW sesungguhnya tak hanya milik para sahabat dan kaum Muslimin yang hidup di awal periode Islam. Kebahagiaan itu juga milik semua orang yang beriman kepada beliau, meskipun mereka tidak pernah bertemu dan melihatnya secara langsung.

Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Rasul SAW memberikan penghormatan lebih besar justru kepada orang-orang Islam generasi belakangan. Katanya, ”Berbahagialah orang yang melihatku dan beriman kepadaku, lalu berbahagialah (Rasul mengulang tiga kali) orang yang tidak melihatku, tetapi beriman kepadaku.” (HR Ahmad dari Abi Sa`id al-Khudri).

Dalam hadis Ahmad yang lain dari Abi Umamah, juga dari Anas Ibn Malik, diterangkan bahwa penghormatan Nabi itu diungkapkan bukan tiga kali, melainkan tujuh kali. Pertanyaannya, mengapa Rasul memberikan penghargaan begitu besar justru kepada orang-orang yang beriman dari generasi belakangan? Apakah penghormatan itu pantas buat mereka?
Jawabannya, penghargaan itu tentu saja tepat dan pantas buat mereka karena tiga alasan berikut ini.

Pertama, mereka beriman kepada Rasul meski tak pernah melihat dan bertemu beliau secara langsung. Mereka tetap beriman meski tidak menyaksikan wibawa dan mukjizat Rasul dalam kehidupan sehari-hari. Ini merupakan suatu keutamaan. Di sini, menurut al-Manawi, pengarang Faydh al-Qadir, terkandung ‘kekuatan iman’ yang sangat kuat pada kaum Muslim generasi belakangan.

Kedua, bila kaum Muslim generasi awal mendapat kemuliaan karena fitnah dan ujian berat yang mereka derita, maka fitnah dan ujian yang sama juga bisa menimpa kaum Muslim generasi belakangan, bahkan bisa lebih berat lagi. Ingat sabda Nabi, ”Islam datang sebagai sesuatu yang asing, dan akan kembali menjadi asing, maka berbahagialah orang-orang yang asing.” (HR Muslim dari Abu Hurairah).

Ketiga, penghormatan itu berkenaan dengan peluang dan kesempatan dakwah yang dimiliki kaum Muslim generasi sekarang. Dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, kaum Muslim sekarang bisa berdakwah dan mengembangkan Islam secara lebih luas, tak hanya pada tataran nasional, tapi juga regional dan global.

Dengan begitu, kaum Muslim sekarang bisa memperoleh keutamaan, seperti kaum Muslim generasi awal, bahkan keutamaan yang lebih besar, asalkan mereka teguh beriman kepada Rasul, mengikuti ajaran dan sunahnya, serta berjihad dan mendakwahkan Islam dengan segala kemampuan dan kekuatan yang dimiliki di tengah-tengah masyarakat yang makin rusak dan jauh dari petunjuk Islam.
Redaksi – Reporter

Red: irf
Berdamai dengan Masa Lalu
Republika, Selasa, 09 Maret 2010, 08:11 WIB

Oleh: Wiyanto Suud

Belenggu masa lalu sering kali menghalangi seseorang untuk maju. Belenggu itu bisa berupa pengalaman buruk karena kelalaian dan kesalahan; bisa juga berupa romantisme sejarah karena prestasi dan kejayaan di masa silam. Padahal, nilai kehidupan seseorang ditentukan oleh apa yang telah ia kerjakan. Allah SWT berfirman, ”Dan kamu tidak dibatasi, kecuali dengan apa yang telah dikerjakan.” (QS Yasin [36]: 54)

Imam Al-Ghazali pernah bertanya kepada murid-muridnya tentang sesuatu yang paling jauh dari keberadaan mereka sekarang. Di antaranya, ada yang menjawab negara Cina, bulan, matahari, dan bintang-bintang. Ia lalu menjelaskan bahwa semua jawaban itu benar, tapi yang paling benar adalah masa lalu. Karena, masa lalu tidak akan pernah kembali lagi.

Oleh sebab itu, setiap orang haruslah menyikapi masa lalunya secara arif. Kearifan di sini bisa dianalogikan dengan seorang sopir. Ketika mengendarai mobil, si sopir sesekali melihat kaca spion. Kaca spion digunakan untuk melihat dan mengantisipasi kondisi di belakang kendaraan, agar perjalanan ke depan berjalan mulus. Meski rutin melihat spion, fokus pandangan sopir tetap ke depan.

Demikianlah gambaran bagaimana seharusnya manusia menyikapi sejarah dan masa depannya. Ia tidak menafikan sejarah masa lalunya, tetapi justru menjadikannya acuan untuk membangun kehidupan yang lebih baik di masa mendatang. Allah SWT berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, takutlah kepada Allah, dan hendaklah setiap jiwa melihat apa yang telah ia lakukan untuk masa depannya.” (QS Al-Hasyr [59]: 18).

Mengenai masalah ini, Imam Hasan Bashri berwasiat, ”Tidaklah ada satu hari pun di mana fajar merekah, kecuali si hari berseru, ‘Wahai anak Adam, aku adalah makhluk yang baru, dan menjadi saksi atas perbuatanmu. Maka ambillah bekal dariku, karena aku tidak akan pernah kembali sampai hari kiamat kelak.”’

Oleh karena itu, kalau kita bisa berdamai dengan masa lalu, kita bisa terlepas dari belenggu. Kita bisa melangkah maju tanpa beban, lebih dinamis, dan penuh dengan sikap optimis. Ketika selesai dari satu pekerjaan, hendaknya setiap orang dari kita segera beralih melakukan pekerjaan baru. Dan, mengerjakan segala sesuatu itu dengan sungguh-sungguh. (QS Al-Insyirah [94]: 7)
Redaksi – Reporter

Red:
irf
Memburu Teri Kehilangan Kakap
Republika, Kamis, 11 Maret 2010, 10:53 WIB

Oleh Prof Dr Ali Mustafa Yaqub

Boleh jadi Anda pernah melihat Kebun Raya Bogor, atau minimal pernah mendengar tentang taman itu. Sebuah taman yang luas, dipagari besi keliling, dengan pohon-pohon tinggi dan rindang. Di dalamnya terdapat istana yang dikelilingi padang rumput hijau dengan kijang-kijang cantik yang dilepas bebas merumput di atasnya. Masih ada lagi, di dalam kebun yang beraneka pohon itu melintas sungai yang airnya gemericik mengalir tanpa henti.

Kebun Raya Bogor dengan istana di dalamnya adalah salah satu surga dari surga-surga di dunia. Kebun seperti itu mengingatkan kita tentang surga yang sebenarnya di akhirat. Ada mahligai, kebun-kebun dengan pohon-pohon yang rindang, dan sungai-sungai yang airnya mengalir di dalamnya. Surga-surga dunia seperti itu menjadi dambaan banyak orang.

Banyak orang di dunia ini yang mengejar-ngejar surga dunia itu. Pergi pagi pulang malam, gedebak-gedebuk membanting tulang, badannya tidak pernah istirahat, lupa anak dan istri, bahkan terkadang lupa makan, demi meraih surga dunia dambaannya itu. Apabila surga dunia belum dapat diraih dengan cara-cara yang legal, tidak sedikit orang mengejarnya dengan cara-cara ilegal.

Padahal, sebesar-besar surga di dunia, belum apa-apa bila dibanding dengan surga akhirat. Sabda Nabi Muhammad SAW, seperti diriwayatkan oleh Imam Muslim, ”Sekecil-kecil kavling di surga adalah sebesar dunia ini ditambah sepuluh kali lipatnya.” Artinya, penghuni surga yang paling ‘melarat’ adalah yang kavlingnya sebesar sebelas kali lipat dunia ini. Subhanallah. Itu baru kavlingnya, bagaimana fasilitasnya?

Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda, ”Fasilitas terendah yang diberikan kepada penghuni surga adalah seseorang yang diberi pembantu sebanyak 80 ribu orang.” Belum cukup sampai di situ. Kata Beliau lagi, masih riwayat Imam Ahmad bin Hanbal, ”Fasilitas terkecil bagi penghuni surga adalah seseorang yang dijodohkan oleh Allah SWT dengan 72 bidadari selain istrinya di dunia.” Ya, salam . Dalam riwayat Imam al-Bukhari, Nabi SAW bersabda, “Apabila wanita surga itu meludahi dunia, maka dunia ini akan harum seluruhya.”

Apalah artinya surga dunia dibandingkan dengan surga akhirat. Kita sampai-sampai tidak mampu membayangkan surga di akhirat karena keluarbiasaannya. Kendati begitu, banyak orang yang justru mengejar surga dunia dengan cara-cara yang dilarang oleh Allah SWT. Ia mengejar yang kecil dan kehilangan yang amat besar. Ibaratnya, ia mengejar teri, tetapi kehilangan kakap. Atau dalam pepatah Jawa mburu uceng kelangan deleg .
Redaksi – Reporter

Red: irf

Mengakui Kekurangan Diri

Republika, Jumat, 12 Maret 2010, 18:20 WIB

Oleh Fauzi Bahreisy

Awal malapetaka dan kehancuran seseorang terjadi ketika penyakit sombong dan merasa diri paling benar bersemayam dalam hatinya. Inilah sifat yang melekat pada iblis. Sifat inilah yang berusaha ditransfer iblis kepada manusia yang bersedia menjadi sekutunya.

Sifat ini ditandai dengan ketidaksiapan untuk menerima kebenaran yang datang dari pihak lain; keengganan melakukan introspeksi (muhasabah); serta sibuk melihat aib dan kesalahan orang lain tanpa mau melihat aib dan kekurangan diri sendiri.

Padahal, kebaikan hanya bisa terwujud manakala seseorang bersikap rendah hati (tawadu); mau menyadari dan mengakui kekurangan diri; melakukan introspeksi; serta siap menerima kebenaran dari siapa pun dan dari mana pun. Sikap seperti ini sebagaimana dicontohkan oleh orang-orang mulia dari para nabi dan rasul.

Nabi Adam AS dan Siti Hawa saat melakukan kesalahan dengan melanggar larangan Tuhan, alih-alih sibuk menyalahkan iblis yang telah menggoda dan memberikan janji dusta, mereka malah langsung bersimpuh mengakui segala kealpaan seraya berkata, “Ya, Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi.” (QS Al-A’raf [7]: 23).

Demikian pula dengan Nabi Yunus AS saat berada dalam gelapnya perut ikan di tengah lautan. Ia tidak menyalahkan siapa pun, kecuali dirinya sendiri, seraya terus bertasbih menyucikan Tuhan-Nya. Ia berkata, “Tidak ada Tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau. Sesunguhnya, aku termasuk orang-orang yang zalim.” (QS Al-Anbiya [21]: 87).

Bahkan, Nabi Muhammad SAW selalu membaca istigfar dan meminta ampunan kepada Allah SWT sebagai bentuk kesadaran yang paling tinggi bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Karena itu, ia harus selalu melakukan introspeksi. Beliau bersabda, “Wahai, manusia, bertobatlah dan mintalah ampunan kepada-Nya. Sebab, aku bertobat sehari semalam sebanyak seratus kali.” (HR Muslim).

Begitulah sikap arif para nabi yang patut dijadikan teladan. Mereka tidak merasa diri mereka sudah sempurna, bersih, dan suci. Allah SWT berfirman, “Janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui orang yang bertakwa.” (QS Annajm [53]: 32).

Karena itu, daripada mengarahkan telunjuk kepada orang, lebih baik mengarahkan telunjuk kepada diri sendiri. Daripada sibuk melihat aib orang, alangkah bijaknya kalau kita sibuk melihat aib sendiri. Dalam Musnad Anas ibn Malik RA, Nabi SAW bersabda, “Beruntunglah orang yang sibuk melihat aib dirinya sehingga tidak sibuk dengan aib orang lain.”
Redaksi – Reporter

Red: irf
06
Mar
10

Hikmah : Konsisten Mengimani Kebenaran dan Maulid Nabi

Konsisten Mengimani Kebenaran

Selasa, 02 Maret 2010, 10:12 WIB
BLOGSPOT

BLOGSPOT

Oleh Anang Rikza Masyhadi

Alquran adalah sebuah kitab kebenaran. Rasulullah SAW melalui risalah kenabiannya, diutus mendakwahkan kebenaran itu kepada manusia seluruhnya. Sepeninggal Rasul, para ulama mewarisi risalah itu. Namun, dalam realitas dakwah selalu saja terdapat orang-orang yang sulit diajak menerima kebenaran. Bahkan, tidak jarang yang kemudian melakukan perlawanan.

Dalam sunnatullah, dialektika antara kebenaran dan kebatilan akan selalu terjadi di panggung sejarah kehidupan manusia. Pasang surut perseteruan keduanya adalah hal lumrah. Terhadap kenyataan ini, manusia diberi dua pilihan: tunduk atau membangkang, iman atau kafir, syukur atau kufur. Setiap jalan memiliki konsekuensinya sendiri.

”Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.” (QS Al-Insan [76]: 3). Firman Allah lainnya, ”Dan katakanlah, ‘Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barang siapa yang ingin beriman hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin kafir biarlah ia kafir.’ Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka.” (QS Alkahfi [18]: 29).

Jadi, setiap Mukmin harus punya ketegasan sikap, tidak boleh ragu, dan bermuka dua. Keraguan berpotensi memunculkan kemunafikan, suatu sikap menduakan kebenaran yang amat ditentang agama. ”Amat besar dosanya di sisi Allah bahwa kamu mengatakan sesuatu yang kamu sendiri tidak mengerjakannya.” (QS As-Shaff [61]: 3).

Secara psikologis pun kemunafikan membuat orang tidak tenteram, karena sikapnya itu akan selalu bertentangan dengan kata hati nuraninya sendiri (QS Albaqarah [2]: 8-20). Ada pepatah mengatakan: kamu bisa membohongi orang lain selamanya, tetapi tidak pada diri sendiri. Jadi, orang munafik itu sebetulnya hatinya selalu tertekan.

Namun demikian, tidak bisa dimungkiri pula bahwa perubahan zaman seringkali mengaburkan nilai-nilai kebenaran. Pada saat yang sama etos furqan, yaitu etos membedakan antara kebenaran dan kebatilan, menjadi melemah. Allah menegaskan dalam firman-Nya, ”Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu. Sebab itu, jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” (QS Albaqarah [2]: 147).

Seorang Mukmin harus teguh dan konsisten mengimani kebenaran Islam. Dengan kata lain, ia harus senantiasa memegang kebenaran itu, melakukannya, dan mendakwahkannya kepada seluruh manusia, betapa pun risikonya. Rasul berpesan, ”Katakanlah, ‘Aku beriman kepada Allah’, kemudian istikamahlah dengan (perkataanmu) itu.” (HR Ahmad).
Redaksi – Reporter

Red: taqi

Sisi Lain Maulid Nabi

Rabu, 03 Maret 2010, 10:09 WIB

Oleh Prof Dr Ali Mustafa Yaqub

Seorang kawan mengeluh kepada kami. Katanya, sekarang ini banyak anggota GAM di Jakarta. “Eh, yang benar saja. Mana ada anggota Gerakan Aceh Merdeka di Jakarta,” begitu kami menyanggah. “Ini bukan GAM yang berarti Gerakan Aceh Merdeka, tetapi GAM yang berarti Gerakan Anti Maulid,” kata kawan tadi menjelaskan.

“Apa argumen mereka?” Tanya kami mengejar. “Mereka bilang peringatan maulid itu tidak pernah dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW. Jadi, ini termasuk bid`ah,” jelasnya. “Wah, kalau yang namanya bid`ah itu adalah ibadah yang tidak pernah dikerjakan Nabi SAW, akan banyak ibadah yang menjadi bid`ah,” jelas kami.

“Banyak ibadah menjadi bid`ah? Apa maksud Ustaz?” Begitu kawan tadi bertanya penasaran. “Ya, kalau ibadah yang tidak pernah dikerjakan Rasulullah SAW itu disebut bid`ah, umrah Ramadhan adalah bid`ah. Karena, Rasulullah selama hidup tidak pernah menjalankan umrah pada bulan Ramadhan. Kita mengeluarkan zakat fitri dengan beras juga bid`ah, karena Rasulullah tidak pernah mengeluarkan zakat fitri dengan beras.” Begitu kami menjelaskan.

“Lalu, yang disebut bid`ah itu apa Ustaz?” Tanyanya lagi. “Dalam bidang ibadah, yang disebut bid`ah adalah ibadah yang tidak ada dalilnya dalam agama (dalil syar`i). Yang dimaksud dalil syar`i adalah Alquran, hadis, ijma`, qiyas, dan lain-lain,” tambah kami. “Contohnya apa, Ustaz?” Tanya dia lagi. “Contohnya, shalat Shubuh 10 rakaat. Tidak ada dalilnya dalam agama. Yang ada dalil olah raga. Pagi hari, semakin banyak bergerak semakin baik,” jelas kami.

“Lalu, apakah peringatan maulid Nabi SAW itu ada dalilnya dalam agama?” Tanyanya lagi. “Untuk menghukumi sesuatu, kita tidak boleh melihat namanya, tetapi kita lihat substansi perbuatan atau materinya. Apabila kita menghukumi sesuatu dari namanya, hotdog yang bahannya terigu dan daging ayam yang disembelih sesuai syariah Islam, hukumnya haram karena makanan itu bernama hotdog alias anjing panas.”

”Maka, seperti kata Syekh Dr Ahmad al-Syurbasyi dalam kitabnya Yasalunaka fi al-Din wa al-Hayah, untuk menghukumi maulid, kita harus melihat perbuatan yang dilakukan dalam maulid itu. Apabila maulid itu diisi dengan maksiat dan kemungkaran, hukumnya haram. Namun, apabila diisi dengan membaca Alquran, penerangan perjuangan Rasulullah SAW, dan sebagainya, semua itu ada dalil yang menganjurkannya. Begitu pendapat Syekh Dr Ahmad al-Syurbasyi dari Mesir,” jelas kami. “Wah, terima kasih, Ustaz. Sekarang saya sudah paham,” jawabnya.
Redaksi – Reporter

Red: irf
06
Mar
10

Hikmah : Koalisi dan Akibat Zina

Koalisi

Kamis, 04 Maret 2010, 15:57 WIB

Oleh Irfan Fajaruddin

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, koalisi diartikan kerja sama (politik) antarpartai politik untuk memperoleh kelebihan suara di parlemen. Suara yang dimaksud adalah jumlah person yang bersepakat untuk memutuskan suatu program dalam kerangka kerja pemerintahan.

Dalam ajaran Islam, berkoalisi sama halnya dengan bekerja sama atau tolong-menolong. Tertulis jelas dalam Alquran surah Almaidah [5] ayat 2, “Dan, tolong-menolonglah kalian dalam (berbuat) kebaikan dan takwa.” Artinya, bekerja sama atau tolong-menolong dalam bentuk apa pun hendaknya berorientasi kebaikan dan dalam rangka meningkatkan takwa atau berorientasi ketuhanan.

Dalam konteks kenegaraan dan politik Islam, koalisi dilakukan untuk menata kehidupan masyarakat yang Islami. Di sana, ada gerakan pengakuan Allah Yang Esa (tauhid), persaudaraan (ukhuwah), persamaan (musawah), berunding (musyawarah), berlomba dalam kebaikan, dan termasuk kebebasan.

Namun, terkadang dalam pelaksanaannya, terjadi semacam pertentangan antara satu anggota koalisi dengan yang lainnya. Pertentangan ini disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah faktor ideologis. Dalam hal ini, terdapat kesepakatan dasar koalisi yang tiba-tiba terlupakan. Ada juga faktor perubahan orientasi koalisi menjadi kebendaan dan materi, bukan lagi spiritual. Faktor eksternal juga bisa dihitung karena bisa saja ada yang bertujuan memecah belah persatuan ideologis-spiritualis ini.

Untuk itulah, Allah SWT mengingatkan orang-orang yang tengah bersepakat berkoalisi agar teguh memegang visi dan misi spiritual-kemasyarakatan dalam berpolitik dan bernegara. Peringatan Allah tersampaikan dalam surah Ali Imran [3]: 103, “Dan, berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali Allah dan janganlah kalian bercerai-berai. Dan, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan. Maka, Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah itu orang-orang yang bersaudara.”

Para ahli tafsir menafsirkan kata ‘tali Allah’ itu sebagai Alquran atau agama Islam. Menurut Buya Hamka, dengan berpedoman pada tali Allah, dirimu yang terpecah-pecah itu dengan sendirinya akan menjadi satu. Kalau hati telah menyatu, segala sesuatu menjadi ringan dipikul dan segala kesalahpahaman akan mudah diselesaikan.

Dengan terbangunnya koalisi yang berorientasi ketuhanan, membangun kehidupan Islami, serta berpedoman dan memegang kuat tali Allah; Allah akan membuka jalan bagi orang-orang untuk tetap bersatu dalam koalisi tersebut.
Redaksi – Reporter

Red: irf

Akibat Zina

Republika, Jumat, 05 Maret 2010, 13:04 WIB

Oleh Muhammad Arifin Ilham

Zina merupakan kejahatan yang sangat besar dan memberi kesan amat buruk bagi pelakunya, sekaligus kepada seluruh manusia. Tidak akan pernah ada kebaikan dari perbuatan zina. Yang ada hanya ‘kenikmatan’ yang sesaat dan menipu. Allah SWT berfirman, ”Jangan dekati zina. Karena ia merupakan perbuatan keji dan seburuk-buruk jalan.” (QS Al-Isra [17]: 32).

Realitas yang tidak bisa ditutupi di negeri ini adalah perbuatan zina yang sudah merajalela. Pelakunya tidak lagi orang dewasa, tetapi juga dari kalangan anak dan remaja. Miris jika kita melihat hasil survei tentang siapa saja pelaku zina dan apa dampaknya. Saatnya kita renungi apa saja akibat dari perbuatan zina ini.

Pertama, pelakunya tercatat sebagai pendosa besar. Bahkan, ia disejajarkan dengan pelaku syirik dan pembunuh. Malaikat turut melaknat dan Rasulullah SAW tidak sudi mengakui sebagai pengikutnya. Pelaku zina mendapatkan kemurkaan dari Allah SWT dan akan menerima azab yang sangat pedih dan berlipat (QS Alfurqan [2]: 68-70).

Kedua, dalam perbuatan zina terkumpul semua jenis keburukan, seperti lemahnya iman, hilangnya ketakwaan, dan hancurnya akhlak terpuji. Karena itu, sanksi yang tegas adalah dirajam (dilempari batu berukuran sedang) hingga mati bagi yang sudah menikah, dan 100 cambukan bagi yang belum menikah.

Ketiga, perbuatan zina dapat membunuh rasa malu sehingga menjadikan seseorang tidak tahu malu. Perbuatan zina mempengaruhi keceriaan wajah sehingga menjadikannya kusam, kelam, dan tampak layu bagaikan orang yang mengalami kesedihan mendalam. Sehingga, ujung-ujungnya selalu sial jika melakukan sebuah pekerjaan.

Keempat, dengan berzina hilanglah sebutan hamba yang ‘afif (pemelihara kehormatan diri). Bahkan sebaliknya, masyarakat akan menjulukinya sebagai hamba yang jahat, fasik, pelacur, dan pengkhianat. Bahkan, sebuah hadis menyebutkan, zina hanya akan menghanguskan amal ibadah yang telah dilakukannya selama 40 tahun.

Di samping kerugian tersebut, pelaku zina juga berpotensi mati dalam keadaan terburuk atau su’ul khatimah; dan akan dibangkitkan dengan muka hitam legam dan dicelupkan ke dalam telaga ghilthoh yang berisi didihan nanah yang busuk.

Siapa pun yang menginginkan kenikmatan hidup, tetapi meraihnya dengan cara bermaksiat kepada Allah, di antaranya dengan berzina, Dia pasti akan mengazabnya dengan kebalikan apa yang diinginkannya. Semua kenikmatan yang ada di sisi Allah tidak akan bisa diraih kecuali dengan taat kepada-Nya. Allah sama sekali tidak pernah menjadikan suatu kemaksiatan sebagai penyebab untuk memperoleh kebaikan.
Redaksi – Reporter

Red: irf
06
Mar
10

Dakwah : Krisis Keteladanan

Krisis Keteladan

Republika, Selasa, 02 Maret 2010, 11:09 WIB

Oleh: K.H. Athian Ali M. Da’i, MA

Disadari atau tidak, dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara kita saat ini sedang dilanda “krisis keteladanan”, di mana dalam kehidupan keseharian kita masih sering melihat fenomena yang cukup memprihatinkan jika dilihat dari sisi aqidah Islam. Degradasi sikap wara’ dari sebagian orang yang seharusnya menjadi teladan di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat kini sudah mulai luntur bahkan mungkin telah hilang.

Padahal Allah SWT telah mengingatkan kita dalam menjalani seluruh aspek kehidupan ini agar kita meneladani kehidupan Rasulullah Saw karena, “Sungguh pada diri Rasulullah itu teladan yang baik bagi kamu, bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan hari kemudian dan banyak mengingat Allah” (QS. Al Ahzaab, 33:21). Dan, Rasulullah Saw telah berpesan kepada kita lewat sabdanya: “Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara. Kalian tidak akan sesat selama berpegang dengannya, yaitu Kitabullah (Al Qur’an) dan sunnah Rasulullah Saw” (HR. Muslim)

Di tengah-tengah kehidupan yang sedang dalam “krisis keteladanan”, kini sudah seharusnya kita mau mencoba kembali membuka sejarah kehidupan para sahabat Rasul yang penuh perjuangan, pengorbanan dan kemuliaan. Salah satu yang layak kita coba buka sejarahnya adalah kisah hidup Abdullah bin Umar. Sahabat yang satu ini, dikenal banyak meriwayatkan hadits, namun beliau tidak akan pernah meriwayatkan hadits sebelum beliau benar-benar yakin bahwa yang akan disampaikannya tidak berkurang atau bertambah sedikit pun walau satu huruf dari teks asli yang disampaikan Rasulullah Saw. Demikianlah kehati-hatian beliau dalam meriwayatkan hadits begitu pula dalam berfatwa.

Dikisahkan suatu ketika seorang laki-laki meminta fatwa kepada beliau terhadap suatu masalah, beliau menjawab: “Saya tidak punya ilmu sedikit pun tentang apa yang kamu tanyakan”. Maka laki-laki tersebut pun pergi, tidak berapa lama setelah yang bersangkutan pergi, Ibnu Umar lalu menepuk tangannya sendiri sambil bergembira dan berkata pada dirinya, “Putra Umar ditanyai sesuatu yang tidak tahu maka ia menjawab “saya tidak tahu jawabannya”. Hal ini hendaknya menjadi perhatian kita semua, bahwa kita harus berhati-hati dalam mengeluarkan fatwa hukum. Jika “tidak tahu” jawablah “tidak tahu”. Jika memaksakan diri untuk menjawab ternyata jawaban tersebut salah tentu akan menyesatkan banyak orang, padahal pertangungjawabannya sangat berat di akhirat nanti, “Mereka memikul seluruh dosa mereka pada hari kiamat dan dosa-dosa orang-orang yang mereka sesatkan tanpa pengetahuan. Ingatlah, amat buruk apa yang mereka pikul” (QS. An Nahl, 16:25). Ayat ini mengisyaratkan, bahwa di samping ia berdosa atas kesalahannya sendiri juga ia harus menanggung dosa-dosa orang yang telah disesatkannya akibat fatwa yang salah tersebut.

Dikisahkan pula, Abdullah bin Umar suatu ketika pernah menolak ketika beliau ditawari jabatan strategis oleh Khalifah Utsman ra. menjadi qadli atau hakim sampai Khalifah agak marah karena merasa tidak dihargai sambil mengatakan: “Adakah kamu bermaksud membantah perintahku? Jawab Ibnu Umar: “Tidak! Saya tidak siap memegang jabatan tersebut semata-mata karena saya pernah mendengar dari Rasululah Saw menyatakan bahwa pada diri seorang qodli atau hakim itu hanya ada tiga kemungkinan. Pertama, qodli yang masuk neraka jahannam karena kajahilannya. Dari sisi Islam hanya dikenal dua hukum, yakni hukum Islam dan Jahiliyyah. Hakim yang menetapkan suatu perkara tidak berdasarkan atau bahkan jelas bertentangan dengan aturan dan hukum Allah adalah hakim yang melandasi hukumnya secara “jahil” tempatnya di neraka. Kedua, qodli yang menetapkan hukum berdasarkan hawa nafsunya maka ia pun juga dalam neraka. Ketiga, qodli yang berijtihad dan ijtihadnya benar, dia tidak berdosa tapi tidak pula berpahala. Khalifah Utsman mengabulkan keberatan Ibnu Umar setelah mendapat jaminan bahwa ia tidak akan menceritakan hal itu kepada siapa pun. Karena Khalifah merasa khawatir jika masyarakat mengetahui keberatan Ibnu Umar maka tidak ada seorang pun yang shaleh yang mau ditunjuk sebagai qodli.

Beliau pun dikenal sangat rajin membaca Al Qur’an, dan seperti halnya ayahnya, Umar bin Khatthab yang senantiasa tidak bisa menahan derai air matanya jika sedang membaca atau dibacakan firman-firman Allah. Suatu ketika diriwayatkan seorang sahabat beliau yakni ‘Ubeid bin ‘Umeir membacakan di hadapan beliau firman Allah: “Maka bagaimanakah (keadaaan orang kafir kelak) apabila Kami datangkan seorang saksi (Rasul) dari setiap umat dan Kami datangkan engkau (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu? Pada hari itu orang-orang kafir dan orang-orang yang durhaka kepada Rasul ingin supaya mereka disamaratakan dengan bumi, dan mereka tidak akan dapat menyembuyikan perkataan terhadap Allah” (QS. An Nisaa’, 4:41-42). Maka menangislah Ibnu Umar sampai basah seluruh janggutnya oleh air matanya.

Dikisahkan pula, suatu ketika beliau berkumpul dengan para sahabatnya lalu beliau membacakan ayat 1-6 QS. Al Muthaffifiin: “Celakalah bagi orang-orang yang curang (yaitu) orang-orang yang apabila timbangan dari orang lain, mereka minta dipenuhi. Dan apabila mereka menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidaklah mereka itu mengira bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan pada suatu hari yang besar, pada hari itu manusia berdiri di hadapan Tuhan semesta alam”. Saat membacakan ayat terakhir, “Pada hari itu manusia berdiri di hadapan Tuhan semesta alam”, yang diulang-ulang sambil air matanya terus mengalir, deras bak hujan yang turun sampai akhirnya beliau pun jatuh karena duka dan tangisnya sendiri.

Sikap wara’ sahabat Rasul, Abdullah bin Umar ini hendaknya menjadi teladan kita khususnya bagi para penentu kebijakan di negeri ini.

Wallahu a’lam bish-shawab.
Redaksi – Reporter

Red: taqi
Pidato Opsi A

Kompas, Sabtu, 6 Maret 2010 | 05:03 WIB

Effendi Gazali

Sulit disangkal bahwa pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menanggapi hasil akhir Pansus DPR tentang Hak Angket Bank Century, Kamis (4/3), relatif sangat mirip dengan opsi A yang dihasilkan Pansus. Dan opsi tersebut sudah kandas dengan selisih 113 suara (212 melawan 325).

Dengan demikian, bagi rakyat yang menunggu-nunggu sesuatu yang baru dari bagian-bagian awal pidato Presiden, barangkali mereka akan kecewa.

Di bagian depan, Presiden tampak menekankan kesan bahwa apa yang sudah dilakukan Pansus serta paripurna DPR, bahkan juga aktivitas ekstra-parlementer masih kurang dari standar Presiden tentang ”sebuah demokrasi yang lebih sejati, lebih bermakna, dan lebih bermartabat, sebagaimana yang kita cita-citakan melalui gerakan reformasi sejak 1998” (bagian dalam tanda petik merupakan kutipan langsung dari pidato Presiden).

Memang masih ada frasa pelembut, semacam ”Presiden sangat menghormati proses politik yang telah berjalan di DPR dan mengikuti dengan cermat semua dinamika yang terjadi di dalam maupun di luar Gedung DPR”.

Namun, impresi sesungguhnya yang ingin disampaikan Presiden tampak dominan dalam ungkapan-ungkapan seperti: ”Kita perlu mencermati dengan saksama proses itu dan melihatnya sebagai bagian dari perkembangan, pertumbuhan, dan pembelajaran demokrasi yang kian hari kian dituntut untuk memenuhi tidak saja prinsip-prinsip rule of law, tetapi juga rule of reason, yaitu demokrasi berdasarkan hukum dan akal sehat”.

Sayangnya, pidato Presiden ini menjadi cenderung salah waktu dan salah tempat. Andai saja pidato ini disampaikan sebelum Pansus Century merumuskan rekomendasi dan kesimpulan, hal tersebut mungkin bisa menjadi pertimbangan Pansus.

Bisa saja konstelasi hasil akhir bukan 325 lawan 212! Atau bahkan jika saja Presiden mau berbicara di hadapan Pansus, barangkali logika-logika yang dikedepankan Presiden lebih memperkuat aliansi untuk memilih opsi A!

Tak boleh diskriminatif

Setelah mendapat pengantar pidato seperti itu, tentu akan bermanfaat bila semua bagian tanggapan Presiden melalui pidato tersebut diaplikasikan terhadap rule of law dan rule of reason yang sama.

Misalnya saja terhadap ungkapan berikut ini: ”Boleh jadi di masa krisis dan keadaan yang serba darurat, ketika keputusan harus diambil dengan sangat cepat, ada masalah-masalah teknis yang mungkin terlewatkan. Namun, tidak berarti kebijakannya salah dan harus dipidanakan. Sangat sulit membayangkan negara kita dapat berjalan baik dan efektif jika setiap kebijakan yang tepat justru berujung dengan pemidanaan”.

Sekiranya pun kita setuju dengan pernyataan dan niat tulus ini, logika sehat kita akan sampai pada fakta berupa perlakuan diskriminatif. Mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Aulia Tantowi Pohan divonis empat tahun enam bulan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Padahal, ia tidak terbukti memperoleh sesuatu ataupun keuntungan dari pengeluaran uang lewat Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia yang dipermasalahkan.

Dengan fakta ini, terbuka dua logika yang saling berhadapan. Pertama, Aulia Pohan tidak boleh diperlakukan diskriminatif dan karena itu harus diperjuangkan segera kebebasannya.

Kedua, bila tidak demikian, bisa timbul kesan bahwa seorang pejabat publik baru diperjuangkan haknya atas kebijakan yang diperbuat apabila terkait dengan implikasi politis yang signifikan saja. Dalam konteks terkini, katakanlah isu pemakzulan yang juga disinggung Presiden dalam pidatonya.

Politik akal sehat

Di luar isu di atas, pidato Presiden memang lebih menggunakan akal sehat dibanding proses yang terjadi di DPR. Presiden—menurut hemat saya—tetap setia pada opsi A sejak dari awal hingga akhir pidatonya. Sementara di DPR, kita lihat terjadi pelanggaran-pelanggaran akal sehat.

Pertama, amat sulit memahami rasionalitas dari mereka yang mengusulkan opsi A digabung dengan opsi C menjadi sebuah obyek voting baru. Kita tidak perlu menjadi pakar ilmu roket untuk mengatakan opsi A (yang esensinya mengindikasikan ”not guilty”) memiliki kontradiksi internal hakiki dengan opsi C (yang basisnya mengindikasikan ”guilty”).

Di sana-sini ada beberapa tambahan kembangan frasa yang agak berdekatan, tetapi hakikat pokoknya sangat berbeda.

Yang lebih parah lagi adalah—jika kita mau jujur—fraksi yang ikut bersusah payah memperjuangkan pada voting pertama agar opsi A + C bisa diterima sebagai obyek pemungutan suara baru, tetapi pada voting kedua menolak mendukung opsi A.

Sekali lagi, apabila sudah yakin bahwa opsi A hakikatnya bertentangan dengan opsi C, mengapa susah-payah memperjuangkan ”makhluk aneh A + C”? Namun, itulah realitas politik kita dewasa ini.

Puncak pelanggaran akal sehat bisa terjadi ketika opsi C sudah menang telak, tetapi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak mampu membongkar kasus Century karena tidak didukung kejaksaan dan kepolisian. Sampai kini, sudah dua kali ajakan KPK untuk berkoordinasi menuntaskan kasus ini terkesan ditolak dengan aneka alasan.

Akhirnya, bersamaan dengan kritik dan harapan dari pidato Presiden, pujian tetap harus kita berikan pada bintang-bintang muda Pansus lintas-fraksi. Mereka mampu menyusun argumen dengan baik dan sistematis.

Sekalipun kita harus menyatakan sinyalemen Presiden soal komunikasi politik yang lebih bermartabat ada benarnya, tetapi tampaknya bukan bintang-bintang muda ini yang terkena.

Presiden harus lebih berani juga melakukan evaluasi komunikasi politik bermartabat di antara anggota Pansus dari partai yang dibinanya.

Effendi Gazali

Koordinator Program Master Komunikasi Politik UI

SBY Menjawab

Kompas, Sabtu, 6 Maret 2010 | 05:02 WIB

J Kristiadi

Dalam perspektif pertarungan kekuatan, pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menanggapi hasil Rapat Paripurna DPR soal skandal Bank Century, Kamis (4/3) malam, adalah laporan Presiden kepada rakyat, terutama para pendukung dan pemilihnya yang berjumlah 60 persen dari warga yang berhak memilih.

Pidato tersebut mengawali ”perlawanan” Presiden terhadap DPR, terlebih terhadap mitra koalisi yang dianggap sudah merusak tata krama koalisi. Pidato Presiden tidak terlalu panjang, tetapi cukup komprehensif, tegas, dan jelas. Intinya: pertama, tuduhan penyertaan modal sementara kepada Bank Century telah disalahgunakan untuk mendukung tim kampanye pasangan capres-cawapres tertentu tidak terbukti. Oleh sebab itu, ke depan harus menghentikan praktik-praktik buruk yang penuh prasangka jahat.

Kedua, mengingatkan, kebijakan penyelamatan Century diambil dalam masa sulit di tengah-tengah puncak krisis ekonomi yang melanda dunia akhir 2008. Informasi tak selalu lengkap, situasi dinamis dan berubah-ubah. Ketiga, kebijakan Komite Stabilitas Sektor Keuangan yang dipimpin Sri Mulyani Indrawati dan Boediono—yang rekam jejaknya dikenal sebagai tokoh kompeten, kredibel, dan mempunyai integritas pribadi—melakukan bail out Century untuk menyelamatkan perekonomian nasional adalah benar serta dapat dipertanggungjawabkan.

Keempat, pemerintah serius memerhatikan masukan DPR dan jika dalam pelaksanaan kebijakan terdapat kesalahan dan penyimpangan, baik secara administratif maupun hukum, harus ditindak tegas. Kelima, Presiden lebih memprioritaskan suksesnya program-program prorakyat, bukan isu koalisi partai politik yang mendukung pemerintah karena telah banyak agenda strategis yang tertunda.

Pidato Presiden yang dengan tandas membenarkan kebijakan bail out serta membela habis-habisan kedua tokoh yang menjadi sasaran sentral dari beberapa mitra koalisi tentu akan menimbulkan reaksi balik. Terutama dari mereka yang mempunyai target tertentu, khususnya untuk melengserkan Boediono dan Sri Mulyani, baik karena alasan ketidakpuasan dalam negosiasi pembagian kekuasaan menjelang pemilihan presiden maupun ancaman kasus-kasus hukum dan kepentingan subyektif lainnya.

Upaya tersebut tecermin dari sikap mitra koalisi yang secara terang benderang dan gigih serta sengit menganggap kedua orang itu paling bertanggung jawab terhadap kebijakan yang dianggap salah dan melanggar hukum. Oleh sebab itu, diperkirakan pidato ini awal dari pertarungan berikutnya. Iklim politik yang sudah telanjur memanas dan Pansus yang telah jadi bola liar tidak mudah dipadamkan.

Dalam menghadapi dinamika konfliktif, pemerintahan SBY harus memilih satu dari dua kemungkinan sebagai berikut. Pertama, kompromi maksimal apabila pidato Presiden mendapatkan reaksi yang sangat keras dari kekuatan politik di parlemen ataupun di jalanan.

Hal ini dapat terjadi karena di balik argumen yang luhur, seperti mencari kebenaran, tersembunyi kepentingan yang sangat pragmatis, antara lain dalam politik target. Secara kasatmata, politik target ditampilkan dalam sikap mitra koalisi menolak dengan keras kebijakan bail out, bahkan ingin ”menggusur” dua orang yang dianggap bertanggung jawab, tetapi mereka tetap ingin menjadi bagian dari pemerintahan SBY.

Politik target

Tidak berlebihan kalau dikatakan politik target sudah menjadi pertarungan ”hidup atau mati”. Kalau kekuatan ini terus memberikan tekanan yang dapat mengganggu jalanya pemerintahan, tidak mustahil Presiden akan mengalah. Intinya, meskipun Boediono dan Sri Mulyani tokoh yang bersih, tetapi demi kepentingan bangsa dan negara supaya mundur.

Kalau skenario ini yang dipilih, konsekuensinya SBY dianggap terlalu lemah dan sisa pemerintahan hanya akan selalu tunduk kepada permainan politik transaksional dan kepentingan pragmatis partai tertentu. Selain itu, kehilangan kedua tokoh, pemerintahannya akan mengalami kemerosotan kredibilitas.

Mungkin menggantikan Sri Mulyani relatif tidak terlalu sulit karena terdapat beberapa ekonom yang dapat dijadikan alternatif. Namun, tidak demikian dengan menggantikan Boediono. Kalau penggantinya adalah figur yang kontroversial, justru akan semakin menenggelamkan kualitas pemerintahan SBY.

Kedua, kompromi minimal. Presiden tetap mau kukuh mempertahankan kedua tokoh tersebut. Kalau demikian halnya, Presiden harus lebih tegas dan mencoba terus melakukan lobi kepada partai yang lain, termasuk kepada Gerindra dan Hanura, tetapi yang lebih penting adalah PDI-Perjuangan (PDI-P).

Siapa tahu, dalam Kongres PDI-P pada April 2010, partai ini merevisi sikap politiknya tidak menjadi oposisi melainkan bersedia menjadi partner kritis pemerintah. Sikap cair PDI Perjuangan mulai ditunjukkan oleh tokoh penting PDI-P, Taufik Kiemas. Dengan demikian, lobi ke PDI-P sangat penting untuk mengantisipasi jika Golkar dan PKS meninggalkan koalisi. Meskipun bagi Golkar kecil kemungkinannya mengingat budaya politik partai tersebut selalu menjadi bagian kekuasaan. Kompromi ini juga menuntut SBY supaya tidak terlalu berhati-hati dalam mengambil keputusan, bahkan harus lebih deterministik.

Memang, bagi Presiden, pilihan tidak banyak. Dalam sistem ketatanegaraan yang masih belum mapan dan rancu, sangat diperlukan kepemimpinan kuat dan tegas meskipun tetap santun sebagaimana ditunjukkan oleh Presiden dalam menjawab hasil kerja Pansus Bank Century.

J Kristiadi Pengamat Politik CSIS

PROSES HUKUM
Gelar Perkara Century

Sabtu, 6 Maret 2010 | 03:20 WIB

Jakarta, Kompas – Komisi Pemberantasan Korupsi tidak terpengaruh dengan dinamika politik di Dewan Perwakilan Rakyat ataupun pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait pengungkapan kasus Bank Century.

”KPK bekerja sesuai aturan dalam penegakan hukum. Jika ada aturan yang dilanggar dengan alat bukti minimal dua, kasus ini akan kami angkat ke penyidikan,” jelas Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan Bibit Samad Rianto di Jakarta, Jumat (5/3).

Pernyataan itu disampaikan sesaat sebelum melakukan gelar perkara kasus Bank Century. Bibit menegaskan, KPK tetap bekerja secara independen dan tidak akan terpengaruh dengan tekanan politik dari luar.

Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan M Jasin menambahkan, dalam perspektif KPK, kebijakan tetap bisa dipidanakan. ”Semua kebijakan bergantung pada niatnya, ada tersirat niat melanggar hukum atau tidak. Itulah yang harus dibuktikan,” kata dia.

Juru Bicara KPK Johan Budi mengatakan, seluruh pimpinan KPK, termasuk Pelaksana Tugas Ketua KPK Tumpak Hatorangan Panggabean, mengikuti gelar perkara kasus Bank Century ini. ”Kemungkinan sampai tengah malam,” katanya.

KPK, lanjut Johan, membentuk tim beranggotakan 22 orang dalam mengungkap kasus ini. ”Ini tim terbesar yang pernah dibentuk KPK dalam menangani sebuah kasus,” kata Johan. Hasil penyelidikan KPK bisa saja sama atau bisa juga berbeda dengan kesimpulan DPR tentang Hak Angket Bank Century.

Selain itu, kata Johan, KPK akan berkoordinasi dengan Polri dan Kejaksaan karena dalam kasus Bank Century kemungkinan ada tindak pidana lain. (aik)

PERNYATAAN PRESIDEN
Pidato Menambah Kekecewaan

Sabtu, 6 Maret 2010 | 03:18 WIB

Jakarta, Kompas – Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait kesimpulan Dewan Perwakilan Rakyat tentang kasus Bank Century, disampaikan Kamis, tidak menampakkan langkah konkret pemerintah. Pernyataan Presiden itu justru menambah ketidakpuasan masyarakat terhadap penanganan kasus Bank Century.

Penilaian itu disampaikan Ahli Hukum Tata Negara Adnan Buyung Nasution di Jakarta, Jumat (5/3). ”Apa yang dikatakan Presiden sifatnya post factum, lewat waktu. Tak ada artinya lagi karena DPR sudah membuat kesimpulan. Masyarakat mengharapkan langkah konkret dari Presiden,” jelasnya.

Langkah konkret itu, kata Adnan Buyung, misalnya Presiden merombak kabinet serta mengurangi pekerjaan Wakil Presiden Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sehingga mereka lebih fokus pada kasus Bank Century yang sesuai temuan DPR terkait keduanya.

Langkah konkret lainnya adalah dengan meminta Polri, Kejaksaan Agung, atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menindaklanjuti rekomendasi DPR agar kasus Bank Century diproses secara hukum. Dengan tidak adanya langkah konkret itu, lanjut Adnan Buyung, pidato Presiden justru menambah keruwetan dan ketidakpuasan publik.

Pleidoi politik

Ganjar Pranowo, mantan anggota Panitia Khusus DPR tentang Hak Angket Bank Century dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Jumat, menilai, pidato Presiden dan Wakil Presiden Boediono terkait kasus Bank Century adalah pleidoi politik. ”Jadi, wajar jika isinya menegasikan hasil kerja Pansus dan kesimpulan DPR,” katanya.

Namun, lanjut Ganjar, dengan pidato itu Presiden seperti tidak mengakui institusi DPR. Ini terlihat dari pernyataannya, penyelamatan Bank Century adalah kebijakan paling tepat. Pernyataan itu seperti ingin melawan keputusan DPR bahwa ada dugaan penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang dalam kebijakan penyelamatan Bank Century itu.

”Presiden minta kasus Bank Century dibuka agar terang benderang dan jika ada kejanggalan dibawa ke proses hukum. Pansus DPR menemukan dugaan masalah dalam kebijakan itu sehingga merekomendasikan dibawa ke proses hukum. Bukankah rekomendasi DPR itu sesuai keinginan Presiden?” tanya Ganjar.

Mantan anggota Pansus dari Golkar, Bambang Susatyo, menilai, pidato Presiden itu menunjukkan sikap yang mendua dan membingungkan. ”Presiden mendorong agar dibuka terang benderang. Saat 325 anggota DPR memutuskan ada dugaan pelanggaran hukum dan kerugian negara, Presiden mengatakan, tidak ada yang salah. Bagaimana ini?” tanyanya. (fer/nwo/tra)

Pidato SBY, Bank Century & Masalah Hukumnya

lokasi: Home / Berita / OPINI / [sumber: Jakartapress.com]

Sabtu, 06/03/2010 | 18:54 WIB Pidato SBY, Bank Century dan Masalah Hukumnya
OLEH: ARIEF TURATNO

DALAM pidatonya soal Bank Century, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengatakan tidak mungkin bukti-bukti yang ditemukan Pansus Hak Angket DPR RI soal Bank Century dibawa ke ranah hukum, atau sebagai alat bukti di pengadilan umum. Pertanyaan dan persoalannya adalah apakah dengan begitu kasus Bank Century akan bubar begitu saja? Dan bagaimana dengan nasib rekomendasi paripurna DPR yang menyebutkan supaya masalah Bank Century dilanjutkan dengan proses hukum?

Sehubungan dengan dua pertanyaan tersebut, mantan Presiden Megawati kepada pers menyatakan bahwa kasus Bank Century harus dilanjutkan ke proses hukum. Bagaimana dengan alat buktinya, karena tanpa alat bukti yang cukup, sulit bagi aparat penegak hukum yang dipercaya dapat menjerat para pihak yang ditengarai terlibat kasus tersebut. Sedangkan alat bukti yang ada dan dimiliki Pansus tidak dapat dijadikan alat bukti di persidangan umum?

Menurut Ketua Umum DPP PDIP itu, bukti yang dimaksud tidaklah terlalu sulit. Toh, pintu masuknya sudah dibuka Pansus. Jadi aparat penegak hukum, misalnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tinggal menelusuri jejaknya melalui pintu yang sama. Hanya persoalannya adakah kesungguhan atau tidak pihak KPK untuk mengungkap kasus tersebut? Juga apakah pihak penguasa akan melakukan intervensi atau tidak? Jika KPK serius dan tidak takut-takut sesungguhnya bukan hal yang sulit mengungkap persoalan tersebut. Juga, asalkan pihak penguasa tidak campur tangan.

Hanya siapa yang tahu  atau dapat menjamin kalau KPK akan bekerja sungguh-sungguh. Juga siapa yang percaya bahwa pemerintah atau penguasa tidak akan melakukan intervensi. Sementara semua orang tahu, jika persoalan Bank Century diusut dapat menyeret pejabat yang sangat berkuasa saat ini. Maka menurut hemat kita masalah ini menjadi aneh dan menggantung. Betapa tidak! Di satu sisi kita inginkan agar masalah tersebut dapat diusut tuntas melalui jalur hukum. Di sisi yang lain lagi kita membiarkan pihak-pihak yang akan diusut dan disidik dibiarkan tetap memegang jabatan dan kekuasaan. Sementara kita pun sangat paham benar bahwa pihak yang akan disidik mempunyai kekuasaan yang jauh lebih tinggi dari penyidik. Inilah sulitnya!

Namun bagi pengamat politik Burhanuddin Muhtadi mengatakan tidak susah mengusut kasus tersebut. Kalau KPK berhasil menemukan bukti yang arahnya sudah ditandai Pansus sebelumnya. Tinggal tetapkan saja para pejabat terkait sebagai tersangka, maka dengan demikian yang bersangkutan harus non aktif. Nah, saat itulah penyidikan dapat terus dilanjutkan dengan lebih leluasa. Namun itu harus dilakukan secepatnya. Sebab kalau lamban kita dalam bertindak, persoalan menjadi basi dan alat bukti yang kita harapkan akan hilang percuma! (*)

Mega Kecam Putusan Century DPR Tak Mengikat

lokasi: Home / Berita / Legislatif / [sumber: Jakartapress.com]

Sabtu, 06/03/2010 | 15:10 WIB Mega Kecam Putusan Century DPR Tak MengikatSurabaya – Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri (Mega) mengecam sikap DPR RI yang memutuskan kasus Bailout atau pemberian dana talangan Bank Century sifatnya tidak mengikat. Sikap DPR RI tersebut sama artinya dengan tidak menghargai kerja keras Pansus Bank Century.

“Saya pikir tidak tepat jika DPR RI sampai memutuskan kasus Bank Century tidak mengikat,” tegas Megawati di Bandara Juanda, Surabaya, Sabtu (6/3), sebelum bertolak ke Sumenep, Madura untuk membuka Koferda DPD PDIP Jatim.

Menurutnya, kalau sejak awal sudah diyakini tidak ada hasil yang signifikan, lebih baik DPR tidak usah membentuk Pansus. Pembentukan Pansus ini bertujuan untuk merespon keinginan masyarakat agar skandal Bank Century diungkap secara tuntas.

“Kalau tidak mengikat, berarti DPR mengingkari keinginan dan aspirasi rakyat. Ini artinya DPR tidak serius untuk mengungkap dan menyelesaikan kasus Bank Century ke ranah hukum,” ujarnya.

Seharusnya, lanjut mantan Presiden RI ini, hasil Pansus bisa ditindaklanjuti ke ranah hukum. Sebab, dalam melakukan pengusutan Pansus di lapangan banyak ditemukan fakta-fakta pelanggaran terkait Bailout Bank Century.

“Saya akan menginstruksikan seluruh kader PDIP yang duduk di DPR agar terus mengawal hasil Pansus sampai ke ranah hukum. Jangan sampai hasil Pansus terhenti ditengah jalan, karena bisa mencederai hati nurani rakyat,” paparnya.

Bagaimana jika dalam perkembangan nanti kasus Bank Century terhenti? Megawati menolak berandai-andai. “Jangan berandai-andai dulu. Yang pasti saya ingin fakta yang diungkap Pansus dapat menuntaskan kasus Bank Century,” tambahnya.

Dalam kesempatan itu, Megawati menyinggung belum keluarnya rekomendasi DPP terhadap calon walikota (cawali) dan calon wakil walikota (cawawali) Surabaya. Hal itu dikarenakan DPP perlu mempertimbangkan siapa yang layak memimpin Surabaya dalam lima tahun ke depan.

“Yang pasti PDIP akan memilih kader yang terbaik. Saat ini masih dalam pembahasan dan belum selesai. Saya tidak mungkin membocorkan ke wartawan, karena ini menyangkut rahasia partai,” ungkapnya. (Mb)

SBY Memperluas Zona Perang?

lokasi: Home / Berita / FOKUS / [sumber: Jakartapress.com]

Jumat, 05/03/2010 | 20:06 WIB SBY Memperluas Zona Perang?SBY Memperluas Zona Perang?

Presiden SBY menyebutkan keputusan Release & Discharge (R&D) (seperti yang dilakukan oleh pemerintahan Megawati) dalam pidatonya tadi malam ketika ia berusaha mencoba mempertahankan keputusan bailout Century. Ia juga secara tidak langsung mengatakan akan “mengejar” mereka yang bersembunyi dibelakang kasus Century (termasuk kasus pengemplangan pajak).

“Pertunjukan di DPR telah usai. Kini saatnya melancarkan serangan balasan” ujar salah satu sumber dari inner circle SBY. Politikus dari Partai Demokrat juga sering meluapkan rasa “penyesalan”, “kecemasan”, “frustrasi” kepada “teman-teman” mereka di koalisi. “Kita sekarang tahu siapa teman dan siapa lawan” ujar salah satu politisi Demokrat.

“Akan lebih baik bagi para anggota koalisi yang memilih bersebrangan dengan Presiden dalam kasus Century untuk menarik kembali anggotanya dari kabinet, ujar salah seorang politisi Demokrat yang lain. “Secara internal, presiden serius mempertanyakan koalisi,” “tambah Ahmad Mubarok, Wakil Ketua Umum DPP Partai Demokrat.

Mari diskusikan dinamika koalisi secara terpisah. Berawal dengan pidato presiden, SBY tidak menyebutkan nama Megawati, ketua dari partai oposisi PDI-P, namun jelas bahwa ia “menunjuk Megawati” ketika ia menyebutkan pemberian keputusan R&D. Para pengusaha seperti Salim, Nursalim, Sudwikatmono, Ibrahim Nirsyad, Nirwan Bakrie, dkk sangat menyetujui keputusan ini sebagai follow-up pelunasan hutang dengan Indonesia Bank Restructuring Agency (IBRA) saat krisis moneter 1997-1998.

Keputusan R&D adalah bagian dari kesepakatan (MSAA, MRNIA, dsb—tim SBY harus membaca kesepakatan ini dengan cermat)yang ditanda tangani oleh pemerintahan Soeharo dan Habibie dengan beberapa grup pengusaha. Pemerintahan Megawati melakukan R&D karena itu merupakan bagian dari perjanjian penyelesaian hutang yang ditanda tangani oleh pemerintah Indonesia dengan para grup pengusaha.

Mempertanyakan hal ini jelas dapat memperluas zona perang politik, yang sebenarnya para aparat dari pemerintahan Soeharto dan Habibie lah yang menanda tangani R&D. Lebih buruk lagi, beberapa grup pengusaha ini bisa berkontribusi besar ke dalam berbagai parpol, termasuk namun tidak dibatasi oleh kampanye SBY, di tahun belakangan. “Jadi seperti apa kata pepatah bilang, menepuk air di dulang, kena muka sendiri”

Bagaimana dengan “pengejaran” mereka yang bersembunyi dibelakan penyelidikan Century? Yah, SBY tidak menyebutkan secara spesifik tentang kasus-kasus belakangan ini seperti pengemplangan pajak. Namun mereka bisa menjadi target empuk. Jika benar presiden melakukannya, negara bisa memulihkan keuangan dari dana besar yang dikembalikan, lebih dari cukup untuk membangun sistem transportasi masal di Jakarta. Namun jika ada pengaruh politik, bersiaplah untuk menghadapi tensi politik yang lebih besar.

Seorang teman mengatakan, “Asyik untuk melihat para mafia berantem satu sama lain. Jadi kita ga perlu polisi buat membersihkan mereka.” “Para mafia mendanai sistem politik kita, kampanye, dsb. Pada dasarnya merekalah yang mengatur negara kita. Cara mafia menyelesaikan kasus Lapindo. Mereka menyelesaikan “konflik kepentingan”, menutupi pendanaan politik kotor, dsb. Jadi ketika mereka mengejek satu sama lain, kesempatan untuk melihat kebenaran jadi lebih terbuka.” Jadi, nikmati saja pertunjukannya! (Yosefardi.com/002)

21
Feb
10

PEPORA : Renungan Islami

Persaudaraan Sesama Muslim »

Kacang Lupa Kulitnya

“Dan jika kami melimpahkan kepadanya sesuatu rahmat dari Kami, sesudah dia ditimpa kesusahan, pastilah dia berkata “ini adalah hak aku”. (QS. Fushshilat, 50).

Allah selalu menguji hambanya dengan berbagai kesulitan yang menghimpit. Ketika ujian telah berlalu, dan Allah menggantinya dengan kenikmatan yang melimpah, apa yang terjadi? Manusia itu akhirnya tidak bersyukur. Bahkan tidak sadar bahwa kekayaan itu juga merupakan ujian baginya. Semua limpahan kekayaan dianggap sebagai jerih payahnya, hasil peras keringatnya sendiri. Allah swt memberikan peringataan manusia seperti itu, dalam kisah Qorun, dalam Al-Quran  sebagai berikut:

“(Qarun) berkata : sesungguhnya aku diberi harta kekayaan ini, tiada lain karena ilmu yang ada padaku” (QS. Al-Qashash, 78).

Qarun adalah salah satu hamba yang diberikan kekayaan yang melimpah. Akan tetapi dia kufur atas nikmat yang telah Allah limpahkan kepadanya. Kisah itu menyebutkan bahwa Qorun mempunyai kekayaan yang disimpan dalam gudang yang jumlahnya ribuan, dengan memiliki kunci yang sangat banyak. Untuk membawa kunci gudangnya saja, diperlukan sebanyak tujuh ekor unta. Semua kekayaan itu diakuinya sebagai hasil ilmu yang dimilikinya. Dan tidak mengakui sebagai pemberian Allah swt. Akhirnya Allah murka. Qorun dan seluruh harta kekayaannya ditenggelamkan kedalam perut bumi. ‘Audzubillahi mindzalik.

Ada suatu kisah lain yang menarik yang dapat dijadikan pelajaran bagi kita. Kisah ini terjadi pada kaum Bani Isroil. Kisahnya adalah sebagai berikut:

Ada tiga orang dari bani Israil, yaitu : penderita penyakit kusta, orang berkepala botak, dan orang buta. Kemudian Allah Subhanahu wata’ala ingin menguji mereka bertiga, maka diutuslah kepada mereka seorang malaikat.

Maka datanglah malaikat itu kepada orang pertama yang menderita penyakit kusta dan bertanya kepadanya: “Apakah sesuatu yang paling kamu inginkan?”, ia menjawab: “Rupa yang bagus, kulit yang indah, dan penyakit yang menjijikkan ini hilang dari diriku”. Maka diusaplah orang tersebut, dan hilanglah penyakit itu, serta diberilah ia rupa yang bagus, kulit yang indah, kemudian malaikat itu bertanya lagi kepadanya: “Lalu kekayaan apa yang paling kamu senangi?”, ia menjawab: “onta atau sapi”, maka diberilah ia seekor onta yang sedang bunting, dan iapun didoakan: “Semoga Allah memberikan berkahNya kepadamu dengan onta ini.”

Kemudian Malaikat tadi mendatangi orang kepalanya botak, dan bertanya kepadanya:“Apakah sesuatu yang paling kamu inginkan?”, ia menjawab: “Rambut yang indah, dan apa yang menjijikan dikepalaku ini hilang”, maka diusaplah kepalanya, dan seketika itu hilanglah penyakitnya, serta diberilah ia rambut yang indah, kemudian malaikat tadi bertanya lagi kepadanya: “Harta apakah yang kamu senangi?”. ia menjawab: “sapi atau onta”, maka diberilah ia seekor sapi yang sedang bunting, seraya didoakan: “Semoga Allah memberkahimu dengan sapi ini.”

Kemudian malaikat tadi mendatangi orang yang buta, dan bertanya kepadanya: “Apakah sesuatu yang paling kamu inginkan?”, ia menjawab: “Semoga Allah berkenan mengembalikan penglihatanku sehingga aku dapat melihat orang”, maka diusaplah wajahnya, dan seketika itu dikembalikan oleh Allah penglihatannya, kemudian malaikat itu bertanya lagi kepadanya: “Harta apakah yang paling kamu senangi ?”, ia menjawab: “kambing”, maka diberilah ia seekor kambing yang sedang bunting.

Lalu berkembangbiaklah onta, sapi dan kambing tersebut, sehingga yang pertama memiliki satu lembah onta, yang kedua memiliki satu lembah sapi, dan yang ketiga memiliki satu lembah kambing.

Beberapa tahun kemudian malaikat itu datang kembali kepada orang  yang sebelumnya menderita penyakit kusta, dengan menyerupai dirinya disaat ia masih dalam keadaan berpenyakit kusta, dan berkata kepadanya: “Aku seorang miskin, telah terputus segala jalan bagiku (untuk mencari rizki) dalam perjalananku ini, sehingga tidak akan dapat meneruskan perjalananku hari ini kecuali dengan pertolongan Allah, kemudian dengan pertolongan anda. Demi Allah yang telah memberi anda rupa yang tampan, kulit yang indah, dan kekayaan yang banyak ini, aku minta kepada anda satu ekor onta saja untuk bekal meneruskan perjalananku”, tetapi permintaan ini ditolak dan dijawab: “Hak-hak (tanggunganku) masih banyak”, kemudian malaikat tadi berkata kepadanya: “Sepertinya aku pernah mengenal anda, bukankah anda ini dulu orang yang menderita penyakit lepra, yang mana orangpun sangat jijik melihat anda, lagi pula anda orang yang miskin, kemudian Allah memberikan kepada anda harta kekayaan?”, dia malah menjawab: “Harta kekayaan ini warisan dari nenek moyangku yang mulia lagi terhormat”, maka malaikat tadi berkata kepadanya: “Jika anda berkata dusta niscaya Allah akan mengembalikan anda kepada keadaan anda semula”.

Kemudian malaikat tadi mendatangi orang yang sebelumnya berkepala botak, dengan menyerupai dirinya disaat masih botak, dan berkata kepadanya sebagaimana ia berkata kepada orang yang pernah menderita penyakita lepra, serta ditolaknya pula permintaanya sebagaimana ia ditolak oleh orang yang pertama. Maka malaikat itu berkata: “Jika anda berkata bohong niscaya Allah akan mengembalikan anda seperti keadaan semula”.

Kemudian malaikat tadi mendatangi orang yang sebelumnya buta, dengan menyerupai keadaannya dulu disaat ia masih buta, dan berkata kepadanya: “Aku adalah orang yang miskin, yang kehabisan bekal dalam perjalanan, dan telah terputus segala jalan bagiku (untuk mencari rizki) dalam perjalananku ini, sehingga kau tidak dapat lagi meneruskan perjalananku hari ini, kecuali dengan pertolongan Allah kemudian pertolongan anda. Demi Allah yang telah mengembalikan penglihatan anda, aku minta seekor kambing saja untuk bekal melanjutkan perjalananku”. Maka orang itu menjawab: “Sungguh aku dulunya buta, lalu Allah mengembalikan penglihatanku. Maka ambillah apa yang anda sukai, dan tinggalkan apa yang tidak anda sukai. Demi Allah, saya tidak akan mempersulit anda dengan mengembalikan sesuatu yang telah anda ambil karena Allah”. Maka malaikat tadi berkata: “Peganglah harta kekayaan anda, karena sesungguhnya engkau ini hanya diuji oleh Allah, Allah telah ridho kepada anda, dan murka kepada kedua teman anda”

Wallahua’lam Bishshowwab

Artikel terkait: Waspadalah Kufur Nikmat

Ya Rasulallah

Ada pepatah tak kenal maka tak sayang, maka kita harus lebih banyak mengenalnya agar lebih menyayanginya.
Berkaitan dengan keadaan kita di hari akhir, kita akan bersama dengan orang-orang yang disayang.
Jadi bagaimana kita akan berada di surga bersama Rasulullah, kalau tidak ada rasa cinta kepadanya?
Tidak ada kerinduan untuk bersamanya? Berterima kasih atas perjuangan mendakwahkan Islam sehingga sampai kepada kia?
Cinta memang tidak bisa datang dengan sendirinya, untuk menumbhkan kecintaan kepada Beliau, kita harus banyak mengetahui Beliau yang sebenarnya, melalui Al-Quran dan sunnah-sunnanya.
Sungguh Semakin mengenal Rasulullah Shalallahu ”alaihi wa sallam kita akan semakin mencintainya.

Berikut secuil kisah Rasulullah Shalallaahu ”alaihi wa sallam, agar kita lebih mengenal beliau dan lebih mencintainya.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa setelah dekat waktu wafatnya, Rasulullah memerintahkan Bilal supaya adzan. Memanggil manusia untuk sholat berjama”ah. Maka berkumpulah kaum Muhajirin dan Anshor ke Masjid Rasulullah saw. Setelah selesai sholat dua raka”at yang ringan kemudian beliau naik ke atas mimbar lalu mengucapkan puji dan sanjung kepada Allah swt, dan kemudian beliau membawakan khutbahnya yang sangat berkesan, membuat hati terharu dan menangis mencucurkan air mata. Beliau berkata antara lain :

” Sesungguhnya saya ini adalah Nabimu, pemberi nasihat dan da”i yang menyeru manusia ke jalan Allah dengan izin-Nya. Aku ini bagimu bagaikan saudara yang penyayang dan bapak yang pengasih. Siapa yang merasa teraniaya olehku di antara kamu semua, hendaklah dia bangkit berdiri sekarang juga untuk melakukan qishas kepadaku sebelum ia melakukannya di hari Kiamat nanti”

Sekali dua kali beliau mengulangi kata-katanya itu, dan pada ketiga kalinya barulah berdiri seorang laki-laki bernama ”Ukasyah Ibnu Muhsin”. Ia berdiri di hadapan Nabi s.a.w sambil berkata :

“Ibuku dan ayahku menjadi tebusanmu ya Rasullah. Kalau tidaklah karena engkau telah berkali-kali menuntut kami supaya berbuat sesuatu atas dirimu, tidaklah aku akan berani tampil untuk memperkenankannya sesuai dengan permintaanmu. Dulu, aku pernah bersamamu di medan perang Badar sehingga untaku berdampingan sekali dengan untamu, maka aku pun turun dari atas untaku dan aku menghampiri engkau, lantas aku pun mencium paha engkau. Kemudian engkau mengangkat cambuk memukul untamu supaya berjalan cepat, tetapi engkau sebenarnya telah memukul lambung-sampingku; saya tidak tahu apakah itu dengan engkau sengaja atau tidak ya…Rasul Allah, ataukah barangkali maksudmu dengan itu hendak melecut untamu sendiri ?”

Kemudian Nabi menyuruh Bilal supaya pergi ke rumah Fatimah, ” Supaya Fatimah memberikan kepadaku cambukku ” kata beliau

Bilal segera ke luar Masjid dengan tangannya diletakkannya di atas kepalanya. Ia heran dan tak habis pikir, “Inilah Rasulullah memberikan kesempatan mengambil qishas terhadap dirinya!”
Diketoknya pintu rumah Fatimah yang menyahut dari dalam : “Siapakah diluar?”, “Saya datang kepadamu untuk mengambil cambuk Rasullah” jawab Bilal.

” Duhai bilal, apakah yang akan dilakukan ayahku dengan cambuk ini?” tabta Fatimah kepada Bilal.

“Ya Fatimah ! Ayahmu memberikan kesempatan kepada orang lain untuk mengambil qishas terhadap dirinya ” Bilal menegaskan.

“Siapakah pula gerangan orang itu yang sampai hati mengqishas Rasulullah ?” tukas Fatimah keheranan. Biarlah hamba saja yang menjadi ganti untuk dicambuk.

Bilal pun mengambil cambuk dan membawanya masuk Masjid, lalu diberikannya kepada Rasulullah, dan Rasulullah pun menyerahkannya ke tangan ”Ukasyah

Suasana mulai tegang… Semua sahabat bergerak…. Semua berdiri…. Jangankan dicambuk, dicolek saja, ia akan berhadapan dengan kami. Mungkin begitu mereka bicara dalam hati. Semua mata melotot. Memandang Ukasyah dan sebilah cambuk.

Saat itulah, Abu Bakar dan Umar r.a. bicara, “Hai ”Ukasyah ! kami sekarang berada di hadapanmu, pukul qishas-lah kami berdua, dan jangan sekali-kali engaku pukul Rasulullah s.a.w !”

Mungkin saat itu Umar meraba pedangnya. Seandainya saja, diizinkan akan aku penggal kepala orang yang menyakiti Rasulullah.

Rasulullah menahan dua sahabatnya. Berkata sang pemimpin yang dicintai ini : “Duhai sahabatku, Duduklah kalian berdua, Allah telah mengetahui kedudukan kamu berdua!”

Kemudian berdiri pula Ali bin Abi Tholib sambil berkata. Kali ini lebih garang dari sahabat Abu Bakar : ” Hai Ukasyah! Aku ini sekarang masih hidup di hadapan Nabi s.a.w. Aku tidak sampai hati melihat kalau engkau akan mengambil kesempatan qishas memukul Rasulullah. Inilah punggungku, maka qishaslah aku dengan tangnmu dan deralah aky dengan tangn engkau sendiri!”
Ali tampil ke muka. Memberikan punggungnya dan jiwa serta cintanya buat orang yang dicintainya. Subhanallah… ia tak rela sang Rasul disakiti. Ia merelakan berkorban nyawa untuk sang pemimpin.

Nabi pun menahan. ” Allah swt telah tahu kedudukanmu dan niatmu, wahai Ali !”

Ali surut, bergantianlah kemudian tampil dua kakak beradik, Hasan dan Husein. ” Hai Ukasyah ! Bukankah engkau telah mengetahui, bahwa kami berdua ini adalah cucu kandung Rasulullah, dan qishaslah kami dan itu berarti sama juga dengan mengqishas Rasulullah sendiri !”

Tetapi Rasulullah menegur pula kedua cucunya itu dengan berkata “Duduklah kalian berdua, duhai penyejuk mataku!”

Dan akhirnya Nabi berkata : “Hai ”Ukasyah ! pukullah aku jika engkau berhasrat mengambil qishas!”

“Ya Rasul Allah ! sewaktu engkau memukul aku dulu, kebetulan aku sedang tidak lekat kain di badanku” Kata Ukasyah. kembali suasana semakin panas dan tegang. Semua orang berpikir, apa maunya si Ukasyah ini. Sudah berniat mencambuk Rasul, ia malah meminta Rasul membuka baju. “Kurang ajar sekali si Ukasyah ini. Apa maunya ini orang…”

Tanpa bicara….
Tanpa kata…
Rasulullah membuka bajunya.
Semua yang hadir menahan napas…
Banyak yang berteriak sambil menangis…
Tak terkecuali…. Termasuk Ukasyah…
Ada yang tertahan di dadanya. Ia segera maju melangkah, melepas cambuknya dan…

Kejadian selanjutnya tatkala ”Ukasyah melihat putih tubuh Rasulullah dan tanda kenabian di punggungnya, ia segera mendekap tubuh Nabi sepuas-puasnya sambil berkata : “Tebusanmu adalah Rohku ya Rasulallah, siapakah yang tega sampai hatinya untuk mengambil kesempatan mengqishas engkau ya Rasul Allah ? Saya sengaja berbuat demikian hanyalah karena berharap agar supaya tubuhku dapat menyentuh tubuh engkau yang mulia, dan agar supaya Allah swt dengan kehormatan engkau dapat menjagaku dari sentuhan api neraka”

Akhirnya berkatalah Nabi saw “Ketahuilah wahai para sahabat ! barang siapa yang ingin melihat penduduk surga, maka melihatlah kepada pribadi laki-laki ini!”

Lantas bangkit berdirilah kaum Muslimin beramai-ramai mencium ”Ukasyah di antara kedua matanya. Rasa curiga berubah cinta. Buruk sangka berubah bangga. Berkatalah mereka : “Berbahagialah engkau yang telah mencapai derajat yang tinggi dan menjadi teman Rasulullah s.a.w di surga kelak!”

Ya Allah! Demi kemuliaan dan kebesaran Engkau mudahkan jugalah bagi kami mendapatkan syafa”atnya Rasulullah s.a.w di kampung akhirat yang abadi ! Amien ! Mau”izhatul Hasanah

Allah SWT berfirman:
“Yaa siin…Demi Al Quran yang penuh Hikmah…
Sesungguhnya Engkau (Muhammad) sungguh sebagian dari para Rasul-rasul…
Yang berada di JALAN yang LURUS” (QS. Yaasiin : 3-4)

” Sesungguhnya Allah dan para Malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi,
Hai orang-orang yang beriman bershalawatlah kepadanya dan salam taslim kepadanya.” (QS Al Ahzab)

“Allahumma shalli ”alaa Nabiyinaa Muhammad wa”alaa aalihi wa shahbihi wa sallim”

Persaudaraan Sesama Muslim

Seorang muslim dengan muslim lainnya bagaikan saudarnya sendiri. Jika saudaranya mendapatkan kebahagiaan, maka dia ikut bersuka cita. Kesusahan yang dialami saudaranya, juga akan dirasakan oleh saudaranya yang lain. Disinilah akan terlihat saling bantu untuk meringankan beban yang sedang diderita oleh saudaranya. Interaksi seperti itu akan membentuk ikatan persaudaran yang kuat, saling menyayangi, saling mencintai.

Rasulullah saw. bersabda : Siapa yang menghilangkan kesulitan seorang mu’min, niscaya Allah menghilangkan kesulitannya pada hari kiamat. Dan siapa yang memudahkan urusan orang lain niscaya Allah mudahkan urusannya di dunia dan akhirat, dan siapa yang menutup aib seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat. Allah selalu menolong hambanya selama hambanya menolong saudaranya. Siapa yang menempuh jalan untuk mendapatkan ilmu, maka Allah mudahkan baginya jalan ke syurga. Suatu kaum yang berkumpul di salah satu rumah Allah membaca kitab-kitab Allah dan mempelajarinya di antara mereka, niscaya akan diturunkan kepada mereka ketenangan dan dilimpahkan kepada mereka rahmat, dan mereka dikelilingi malaikat serta Allah sebut-sebut mereka kepada makhluk disisi-Nya. Dan siapa yang lambat amalnya, hal itu tidak akan dipercepat oleh nasabnya.(HR. Muslim)

Orang yang membantu kesuliatan orang lain, maka Allah akan membalasnya dengan menghilagkan kesusahannya di hari kiamat. Jika kita memudahkan urusan orang lain, maka Allah juga akan memudahkan urusan kita. Ini adalah keberuntungan yang luar biasa. Kemudian lihat lagi hadis itu. Jika kita menutup aib orang lain, maka Allah juga akan menutup aib kita. Yaitu menghapus dosa dan kesalahan kita. Membicarakan kejelekan orang lain sangat dilarang dalam islam. Ingatlah amalan kebaikan kita akan habis dimakan oleh dosa ghibah.

Selain itu seorang muslim dengan muslim lainnya sangat dilarang saling membenci, saling menzalimi yang akan menimbulkan perpecahan dan permusuhan.

Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu dia berkata : Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : Janganlah kalian saling dengki, saling menipu, saling marah dan saling memutuskan hubungan. Dan janganlah kalian menjual sesuatu yang telah dijual kepada orang lain. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lainnya, (dia) tidak menzaliminya dan mengabaikannya, tidak mendustakannya dan tidak menghinanya. Taqwa itu disini (seraya menunjuk dadanya sebanyak tiga kali). Cukuplah seorang muslim dikatakan buruk jika dia menghina saudaranya yang muslim. Setiap muslim atas muslim yang lain; haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya.(HR. Muslim)

Begitu banyak aturan itu. Kita diperintahkan untuk saling menghormati dan dilarang saling menzalimi. Ajaran Islam sangat kuat dalam memperhatikan akhlak. Hal ini dilakukan dalam rangka menjaga perasaan sesama saudarnya. Kehormatan, harta, dan darahnya dijaga dan dijunjung tinggi untuk menghasilkan hubungan yang harmonis.

Wallahu’alam Bishshowwab.

Artikel Terkait : Menebar Kasih Sayang




Blog Stats

  • 4,407,483 hits

Archives

Recent Comments

Ratu Adil - 666 on Kenegarawanan : Harta Amanah B…
Ratu Adil - 666 on Kepemimpinan : Satrio Piningit…
Ratu Adil - 666 on Kepemimpinan : Satrio Piningit…
Ratu Adil - 666 on Kenegarawanan : Harta Amanah B…
Ratu Adil - 666 on Kenegarawanan : Harta Amanah B…