30
Jan
14

Politik : Kontroversi Pemilu 2014

Kontroversi Pemilu 2014

Rabu, 2014 Januari 29 08:34

Maraknya pemberitaan tentang kontroversi keputusan MK tentang pelaksanaan pemilu serentak tahun 2019 telah mengundang komentar banyak ahli terutama ahli tatanegara. Salah satunya adalah Prof. Yusril Ihza Mahendra yang menganggap pemilu 2014 sebagai inkonstitusional karena banyak pasal-pasal dalam UU Pilpres telah dibatalkan.

Tapi Wasekjen PDIP Hasto Kristiyanto, usai diskusi di kantor KPU Jalan Imam Bonjol, Jakpus, Selasa (28/1/2014) mengkritik Yusril. Hasto tak sepakat dengan argumentasi yang dibangun mantan menteri kehakiman tersebut. Ia menganggap argumen itu emosional dan semacam ada beban yang dipegang Yusril.

“Itu sikap emosional dan hanya kepentingan pribadi. Dan kita lihat inkonsisten bang Yusril sebagai pengamat hukum tata negara, itu artinya merendahkan diri beliau sebagai pakar hukum tata negara dong,” tuturnya.

“Saya yakin suara hati bang Yusril akan menolak hal tersebut (Pemilu 2014 inkonsitusional), karena putusan MK tak berlaku seketika sebagai hukum saat dibacakan. Perlu ada UU yang dibuat oleh DPR dan pemerintah. Sebelum ada UU, Pemilu serentak yang putusan MK nggak berlaku dong?,” imbuh Hasto.

Hasto mengatakan, DPR bisa membuat ketentuan tentang Presidential Treshold (PT) sebagai kelanjutan putusan MK bahwa Pemilu 2019 serentak. Ketentuan parliamentary dan presidential treshold itu sah ditentukan DPR.

“Jangan kemudian ambisi seseorang ingin jadi capres lalu kepentingan pribadi mengalahkan kepentingan besar,” sindirnya.

Sementara itu, dalam acara Indonesia Lawyer Club selasa malam (28/1), Yusril menyesalkan pihak-pihak yang menuduh upayanya ini sebagai kepentingan pribadi. Selain menjelaskan berbagai aspek kejanggalan putusan MK, yang berpotensi membuat pemilu 2014 tidak legitimate, Yusril juga menilai, banyak pihak yang khawatir atas pelaksanaan pemilu serentak karena bisa mengubah konstelasi politik. Dalam pemilu serentak, rakyat memilih partai sekaligus presiden, sehingga sangat mungkin partai kecil bisa mendapat suara banyak ketika calon presiden partai itu disukai rakyat.

“Tidak mungkin seseorang memilih presiden dari partai A, lalu dia mencoblos partai B untuk parlemen,” kata Yusril. Yusril mencontohkan di Jawa Timur, sangat mungkin karena kasus Lapindo, orang Jatim tidak mau mencoblos ARB, sekaligus tidak mau mencoblos Golkar, maka akan terjadi perubahan konstelasi politik besar di Jatim.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-undang tentang pemilihan presiden dan wakil Presiden yang diajukan Aliansi masyarakat Sipil untuk pemilu serentak. Uji materi tersebut di antaranya diajukan oleh  Dosen Universitas Indonesia Effendi Gazali. Pasal yang diajukan ialah Pasal (3) Ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 Ayat (1) dan (2), Pasal 14 Ayat (2), dan Pasal 112.

Mahkamah mempertimbangkan tahapan penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2014 telah dan sedang berjalan serta mendekati waktu pelaksanaan. Peraturan perundang-undangan, tata cara pelaksanaan pemilihan umum, dan persiapan teknis juga telah diimplementasikan. Jika pemilu serentak ditetapkan tahun ini, menurut Mahkamah, tahapan pemilihan umum tahun 2014 yang saat ini telah dan sedang berjalan menjadi terganggu atau terhambat karena kehilangan dasar hukum.

Selain itu, Mahkamah mempertimbangkan, jangka waktu yang tersisa tidak memungkinkan atau tidak cukup memadai untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang baik dan komprehensif jika pemilu serentak digelar pada Pemilu 2014.

Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, pemilu presiden dan wakil presiden serta pemilihan umum legislatif  dilakukan serentak pada tahun 2019. Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva mengatakan jika pemilu serentak dilaksanakan pada tahun 2014, maka tahapan Pemilu yang saat ini sedang berlangsung menjadi terganggu dan terhambat karena kehilangan dasar hukum.
Selain itu, Mahkamah mempertimbangkan, jangka waktu yang tersisa tidak memungkinkan atau tidak cukup memadai untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang baik dan komprehensif jika pemilu serentak digelar pada Pemilu 2014.

Penggagas uji materi, Effendi Gazali mengatakan keputusan MK seharusnya datang lebih cepat sehingga bisa diterapkan pada pemilu 2014,  Ini  dikarenakan  putusan sudah dibuat pada Mei tahun lalu tetapi hakim baru membacakan putusan itu pada hari Kamis (23/1) ini. Effendi mengatakan pemilu yang berlangsung dua kali telah menyalahi konstitusi dan memboroskan uang rakyat hingga Rp120 triliun.
Meski menjatuhkan putusan mengenai Pasal 3 Ayat (5), Pasal 12 Ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 Ayat (2), dan Pasal 112 UU 42/2008, menurut Mahkamah Konstitusi, penyelenggaraan Pilpres dan Pemilu Legislatif tahun 2009 dan 2014 yang diselenggarakan secara tidak serentak dengan segala akibat hukumnya harus tetap dinyatakan sah dan konstitusional.(IRIB Indonesia/Liputan Islam/kompas/merdeka)

Kamis, 30/01/2014 10:22 WIB

Ingin Pemilu Serentak 2014, Yusril Perbaiki Permohonan ke MK

Elvan Dany Sutrisno – detikNews

Jakarta – Eks Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra berharap Pemilu serentak bisa digelar di tahun 2014. Yusril pun memperbaiki permohonan uji materi UU Pilpres ke Mahkamah Konstitusi (MK).

“Sekarang ini ada masalah dengan keputusan MK ini dan sekarang saya meneruskan permohonan saya ke MK, saya sudah perbaiki sehingga MK bisa mengkoreksi yang potensial melahirkan krisis legitimasi dengan putusan Effendi Gazali sekarang ini,” kata Yusril kepada detikcom, Kamis (30/1/2014).

Yusril meminta MK menganulir pasal-pasal tertentu di UU Pilpres. Dia juga meminta agar MK menafsirkan sejumlah pasal di UUD 1945.

“Kalau permohonan saya dikabulkan misalnya ditafsirkan bahwa pasangan capares diusulkan parpol peserta Pemilu sebelum Pemilu dilaksanakan, kalau ditafsirkan tidak perlu UU dan tidak lagi digantungkan karen aputusan MK itu berlaku seketika diucapkan,” katanya.

Menurut Yusril, jika gugatannya dikabulkan maka Pemilu serentak daksanakan tahun ini. Bukan tahun 2019 yang membuat Pemilu 2014 kehilangan legitimasi karena persoalan dasar hukum yang sudah dianulir MK.

“Bisa tahun ini sih, tak ada yang susah cuma ngundurin tanggal, misalnya Pemilu Legislatif 9 April dan Pilpres sekitar 9 Juli ya tinggal dimundurkan saja bersama-sama. Dan KPU akan lebih siap melaksanakan karena sampai saat ini DPR belum selesai, tender juga belum dimulai,” pungkasnya.

Ikuti berbagai informasi menarik hari ini di “Reportase Sore” Trans TV pukul 16.30 WIB

Al Faqir Ilmi

Jan 28 at 11:44 AM

Menyoal Legitimasi Presiden & Wakil Terpilih Di Mata Hukum

by @YusrilIhza_Mhd

Saya telah kemukakan pendapat bahwa dengan UU Pilpres yg pasal2nya dinyatakan MK bertentangan dengan UUD 45. Dan MK telah menyatakan bahwa pasal2 tsb tidak mempunyai kekuatan mengikat, namun dijadikan dasar utk melaksanakan Pilpres 2014. Maka siapapun yang terpilih menjadi Presiden/Wkl Presiden rawan menghadapi krisis legimitasi

Ada yang bantah saya dengan mengatakan tdk akan ada krisis lehitimasi, karena Presiden/wkl Presiden itu dipilih oleh rakyay dan sah. Saya katakan bahwa legitimasi itu bukan semata urusan politik, tetapi juga sosiologis dan normatif atau hukum. Seseorang disebut dan diakui sebagai kiyai atau ulama legitimasinya bersifat sosiologis, tergantung anggapan dan penerimaan masyarakat. Tdk ada institusi apapun yg berwenang mengangkat atau mengeluarkan SK mengangkat seseorang jadi kiyai atau ulama. Ini soal hukum. Begitu pula tidak diperlukan legitimasi politik untuk akui seseorang sebagai kiyai atau ulama. Mereka tak berurusan dg kekuasaan formal. Sebaliknya ada seseorang mengaku dirinya Bupati karena dia dipilih oleh 90 persen suara dalam Pilkada. Rakyatnya akui dia sebagai bupati. Itu berarti secara sosiologis dan politis orang tsb mendapatkan legitimasi sebagai bupati. Tapi ternyata orang itu dipilih jadi bupati oleh pilkada yang diselenggarakan oleh KPU Kabupaten yang tidak sah alias illegal. Maka orang yg mengaku bupati itu, meskipun mendapat legitimasi politis dan sosiologis, dia tidak legitimate di mata hukum. Dengan tidak legitimate di mata hukum, maka apapun keputusan dan tindakan yg dilakukan oleh bupati tsb tidak mempunyai kekuatan hukum. Dengan kata lain, bupati tadi adalah bupati illegal. Apapun tindakannya tidak sah dan tidak bernilai di mata hukum

Saya membandingkan putusan MK tentang uji UU Pilpres yg dimohon Efendi Ghazali dg putusan Pengadilan Agama tentang perceraian. Ada orang yg bilang analogi saya itu tidak nalar, bukan qias yang ma’qul dalam hukum fikih, dan tdk masuk akal. Yang lebih celaka, yang bilang qiyas atau perbandingan saya itu tiak nalar, malah tidak mengemukakan nalar apapun sbg bantahan. Inilah penyakit manusia Indonesia di era reformasi. Kalau tdk setuju dengan pendapat seseorang main hujat saja, tanpa argumen apapun. Membantah apalagi menghujat pendapat seseorang tanpa hujah atau argumen membuat manusia Indonesia mundur 5000 tahun. Sebab zaman Nabi Ibrahim hidup saja, beliau membantah patung itu tuhan, beliau gunakan argumen, bukan main hujat seenaknya

Begini, soal perbandingan tadi putusan MK dg Pengadilan Agama tadi. Putusan pengadilan itu beda dengan pengesahan peraturan perundang2an. Putusan peraturan perundang2an itu berlaku sejak disahkan atau diundangkan dalam lembaran negara, berita negara atau berita daerah. Namun norma dalam peraturan perUUan tadi bisa dinyatakan berlaku ke depan atau bahkan berlaku surut ke belakang. Misalnya dalam peraturan perpajakan. Disebutkan bhw peraturan tsb berlaku sejak diundangkan tgl 2 Januari 2014. Namun ada pasal tertentu, misalnya pengenaan pajak tertentu baru berlaku 2 Juli 2014. Hal spt itu bisa dan biasa dlm peraturan perUUan. Bahkan di bidang hkm administrasi, peraturan bisa berlaku surut. Misalnya peraturan mengenai pengangkatan PNS. Misalnya peraturan pengangkatan PNS itu dikeluarkan Menpan 2 Januari 2014 dan berlaku sejak disahkan pd tanggal tsb. Namun dlm peraturan itu dinyatakan peraturan tsb berlaku surut sejak 2 Januari 2012 bagi pegawai honorer yg telah aktif sjk tgl tsb

Putusan pengadilan, MK atau pengadilan manapun, beda dg pengesahan peraturan perundang2an. Putusan pengadilan itu mempunyai kekuatan hukum mengikat seketika sejak putusan itu dibacakan dalam sidang yg terbuka untuk umum. Putusan pengadilan tidak bisa berlaku surut dan tidak bisa baru berlaku ke depan setelah putusan dibacakan dalam sidang terbuka utk umum, Sebab putusan pengadilan itu adalah penerapan hukum atau memutuskan sesuatu berdasarkan norma hukum utk ciptakan kepastian hukum. Bahwa dalam UU Perkawinan diatur perihal perceraian serta sebab2 perceraian dan prosedur perceraian.

Bagj mereka yang tunduk pada hukum Islam, prosedur pengajuan perceraian disampaikan kepada Pengadilan Agama. Ada seorang istri menggugat fasakh suaminya yg tidak memenuhi janji perkawinan yg diucapkan sang suami dalam sighat ta’lik talaq. Hakim Pengadilan Agama menerima gugatan fasakh (cerai) dari istri tsb dan putusannya diucapkan dalam sidang terbuka 10 Januati 2014. Putusan Pengadilan Agama itu inkracht dua minggu kemudian karena suami yg difasakh tidak mengajukan banding. Namun dalam diktum putusan Pengadilan Agama tadi dikatakan cerai fasakh tersebut baru berlaku tahun 2019, bukan ketika diputus thn 2014. Kedua pasangan tadi pulang ke rumahnya semula dan tinggal sama2. Tetangga bertanya, bukankah anda sdh bererai, kok msh serumah?. Keduanya menjawab, mereka memang sdh bercerai secara sah. Tapi pengadilan agama dlm putusannya menyatakan perceraian itu berlaku th 2019. Ketua RT di lingkungan tsb berpendapat, kedua orang tsb melakukan kumpul kebo, wong sdh cerai kok masih serumah. Ustadz yg ada di lingkungan tsb juga terlibat perdebatan sengiy mengenai keabsahan suami istri tsb yg sudah cerai kok berlaku 5 thn lagi. Maka suami istri itu mengalami krisis legimitasi mengenai keabsahan perkawinan dan perceraian mereka, yg bikin heboh orang sekampung

Sekarang bandingkan dengan putusan MK tentang uji UU Pilpres yg dimohon Efendi Ghazali. MK baik dlm pertimbangan hukum maupun dlm diktum putusannya menyatakan mengabulkan permohonan EG untuk sebagian. Sebagian besar pasal2 yg dimohon EG dinyatakan MK betentangan dengan UUD45 dan menyatakannya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Putusan itu diucapkan dalam sidang terbuka pada bln Januari 2014. Namun dinyatakan putusan baru berlaku dlm Pemilu 2019 dan seterusnya. MK dlm pertimbangan hukumnya mengatakan pasal2 UU Pilpres yg bertentangan dg UUD45 dan tdk punya kekuatan hukum mengikat itu tetap sah untuk digunakan sebagai dasar penyelenggaraan Pilpres thn 2014. Maka nanti nasib Presiden dan Wapres terpilih thn 2014 ini akan mirip dg nasib suami istri yg bercerai dg putusan Pengadilan Agama tadi

Sebagian rakyat akan malas datang ke TPS untuk nyoblos dalam Pilpres. Buat apa, katanya, wong UU Pilpresnya aja gak sah. Ktk terpilih pasangan Presiden dan Wapres, akan ada rakyat yg ngomel dan protes, ngapain dengerin orang ini, wong dia Presiden gak sah. Lalu ada sejumlah advokat yg bawa permasalahan keabsahan Presiden dan Wapres ke MK atau Pengadilan TUN. Siapa yg jamin MK pasca Pilpres 2014 nanti akan sama pendapatnya dengan MK yg sekarang ini? Siapa ug jamin PTUN akan tolak perkats tsb?. Maka negara ini akan riuh rendah dalam pergunjingan dan perdebatan sah tidak sahnya Presiden dan Wakil Presidennya

Presiden dan Wapresnya menghadapi krisis legitimasi. Apa jadinya?. Krisis legitimasi perkawinan/perceraian/kumpul kebo saja sdh bikin heboh Ketua RT, RW, ustadz, jemaah masjid dan orang sekampung. Apatah lagi krisis legitimasi seorang Presiden dan Wakil Presiden di Negara Republik Indonesia. Krisis legitimasi seorang Jaksa Agung saja tempo hari sudah bikin geger ini Republik dan jadi bahan tertawaan orang di negara2 lain. Sekarang mau coba2 bikin krisis legitimasi Presiden dan Wakil Presidennya. Ahaaa…..Sekian. Wassalam. 

baca juga :

__._,_.___

 

News / Nasional

Yusril: Putusan MK soal Pemilu Serentak Sebabkan Kevakuman Hukum

Jumat, 24 Januari 2014 | 03:20 WIB
KOMPAS.COM/Sandro GatraYusril Izha Mahendra
JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Dewan Syuro Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra berpendapat putusan Mahkamah Konstitusi soal pemilu serentak menyebabkan kevakuman hukum dalam pelaksanaan pemilu.”Itu (kevakuman hukum) disebabkan Effendi Ghazali dan kawan-kawan tidak memberikan jalan keluar setelah pasal-pasal undang-undang Pilpres yang diuji dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945,” ujar Yusril dalam siaran pers yang diterima pada Kamis (23/1/2014).Hal ini karena pengajuan permohonan yang diajukan Effendi Ghazali dan kawan-kawan tidak meminta secara langsung maksud Pasal 6A Ayat (2) dan Pasal 22E UUD 1945.Yusril yang dalam kasus berbeda mengajukan pula uji materi atas UU 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden, mengatakan, dalam gugatannya dia meminta MK menafsirkan secara langsung maksud Pasal 6A Ayat (2) dan Pasal 22E UUD 1945.Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 berbunyi, “pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”Adapun Pasal 22E UUD 1945 berbunyi, “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.”Menurut Yusril, jika MK menafsirkan maksud Pasal 6A Ayat (2) dengan parpol peserta pemilu mencalonkan pasangan capres sebelum pileg, maka tak perlu lagi ada undang-undang untuk melaksanakannya.

“Kalau MK tafsirkan Pasal 22E Ayat (1) bahwa pemilu dilaksanakan sekali dalam lima tahun berarti pileg dan pilpres disatukan, tak perlu mengubah UU untuk melaksanakannya. Maka, penyatuan pileg dan pilpres dapat dilaksanakan pada 2014 ini juga,” papar Yusril.

Pemilu serentak

Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (23/1/2014), mengabulkan sebagian uji materi (judicial review) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan akademisi Effendi Gazali bersama Koalisi Masyarakat Untuk Pemilu Serentak. Namun, putusan itu dinyatakan berlaku untuk Pemilu Presiden 2019.

“Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva saat membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (23/1/2014). Permohonan yang dikabulkan adalah untuk uji materi atas Pasal (3) Ayat (5), Pasal 12 Ayat (1) dan (2), Pasal 14 Ayat (2), serta Pasal 112 UU 42 Tahun 2008.

Dalam amar putusan, majelis hakim konstitusi menyatakan bahwa putusan tersebut hanya berlaku untuk Pemilu 2019 dan seterusnya. Permohonan yang tidak dikabulkan adalah uji materi atas Pasal 9 UU 42 Tahun 2008 yang mengatur tentang besaran batas minimal perolehan suara partai politik untuk dapat mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential treshold).

Mahkamah menyatakan pula bahwa putusan tidak dapat digunakan untuk Pemilu 2014 agar tak muncul ketidakpastian hukum. Dalam pertimbangan putusan, MK menilai tahapan Pemilu 2014 sudah memasuki tahap akhir. Bila seperti lazimnya putusan berlaku seketika setelah dibacakan, majelis menilai yang terjadi adalah terganggunya Pemilu 2014.

Langkah membatasi akibat hukum dari putusan ini, menurut majelis, juga sudah memiliki preseden alias putusan serupa di masa lalu. Karenanya, majelis menegaskan putusan ini baru berlaku segera setelah seluruh rangkaian tahapan Pemilu 2014 rampung.

Meskipun lima dari enam gugatan uji materi dikabulkan, di luar isu presidential treshold, majelis berpendapat pelaksanaan Pemilu 2009 dan Pemilu 2014 dengan segala akibat hukumnya, harus tetap dinyatakan sah dan konstitusional. Putusan ditandatangani delapan hakim konstitusi, dengan dissenting opinion atau pendapat berbeda yang disampaikan Maria Farida Indrati.

(van/asp)

Sabtu, 25 Januari 2014 , 16:31:00

Yusril: Putusan MK Blunder
Gerindra Ajukan PK

Yusril Ihza Mahendra. JPNN.com
Yusril Ihza Mahendra. JPNN.com

JAKARTA –  Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang  memutuskan pemilu serentak baru bisa dilaksanakan pada Pemilu 2019 terus menuai reaksi. Selain dari petinggi parpol yang memberikan   reaksi beragam,  kemarin pakar hukum tata negara   Yusril Ihza Mahendra ikut angkat suara.  Ketua Dewan Syuro Partai Bulan Bintang (PBB) bahkan menyebut putusan itu blunder.

Putusan MK itu berdampak pada Pemilu 2014 yang inkonstitusional. Menurutnya, para hakim MK yang mengumumkan putusan pemilu serentak pada 2019 adalah langkah blunder. Alasan Yusril, di satu sisi MK menyatakan beberapa pasal di dalam UU Pilpres No 42 tahun 2008 bertentangan dengan UUD 45, namun di sisi lain memutuskan pemilu serentak baru pada 2019. Itu artinya Pemilu 2014 tetap berjalan seperti biasa dimana Pileg dan Pilpres dilaksanakan terpisah meskipun MK sendiri sudah menyatakan pasal-pasal dalam UU Pilpres bertentangan dengan UUD 1945.

”Padahal para hakim MK itu sangat sadar kalau putusan MK itu berlaku seketika setelah diucapkan di dalam sidang yang terbuka untuk umum. Artinya kalaul putusan itu berlaku seketika, namun baru belaku di Pemilu 2019 dan tahun selanjutnya, maka Pemilu 2014 dilaksanakan dengan pasal-pasal UU Pemilu yang inkonstitusional,” urai Yusril di Jakarta seperti yang dilansir INDOPOS (JPNN Group), Sabtu (25/1).

Dia menegaskan, MK harus tahu kalau melaksnakan pemilu dengan pasal-pasal di dalam undang-undang yang inkonstitusional,  maka hasilnya pun inkonstitusional. Sehingga konsekuensinya seluruh anggota DPR, DPD, DPRD tingkat I dan II maupun presiden dan wapres yang terpilih melalui Pemilu 2014 adalah inkonstitusional.

”Tapi anehnya MK seakan menutupi inkonstitusionalitas putusannya itu dengan merujuk putusan-putusan senada yang pernah diambil MK sebelumnya. Bahkan MK dalam pertimbangan hukumnya menyatakan pileg dan Pilpres 2014 adalah sah meskipun dilaksanakan dengan pasal-pasal UU Pilpres yang sudah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan telah dinyatakan tidak punya kekuatan hukum yang mengikat,” papar Yusril.

Dia pun mempertanyakan apakah benar semua hakim MK itu adalah negarawan yang  memahami konstitusi seperti yang disebutkan di dalam UUD 1945? Dia juga menilai sangat aneh atas putusan MK yang sebenarnya sudah diputuskan April tahun lalu, namun baru diumumkan sembilan bulan kemudian dimana tiga hakim MK yang membuat putusan itu sudah diganti yang lain.

”Seharusnya kan para hakim MK yang sekarang ini bermusyawarah lagi karena siapa tahu tiga hakim yang baru itu memiliki pendapat yang berbeda. Jadi kan aneh saja putusan itu kenapa baru dibacakan sekarang ?” tuturnya.

Yusril menduga kalau MK seperti dipaksa-paksa pihak tertentu untuk segera membacakan putusan permohonan gugatan uji materil yang disampaikan Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Serentak (KMUPS) pimpinan Effendi Gazali dkk. ”Karena dengan pengumuman putusan itu maka membuat permohonan uji materil saya seperti kehilangan relevansinya lagi untuk disidangkan. Inilah hal-hal misterius dalam putusan MK tersebut,” pungkasnya.

Sementara itu Partai Gerindra yang merupakan salah satu parpol peserta Pemilu 2014  langsung mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan yang baru berumur sehari tersebut. Partai besutan Prabowo Subianto itu menilai, MK keliru dalam memutuskan yang dimohonkan Aliansi Masyarakat Sipil Untuk Pemilu Serentak.

“MK menyatakan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat. Tapi, pelaksanaan Pemilu serentak baru diberlakukan pada 2019 mendatang,” ungkap Kuasa hukum Partai Gerindra, Habiburokhman, Jumat (24/1).

“Itu sangat kontradiktif. Itu merupakan kekhilafan fatal dari majelis hakim. Oleh karena itu, putusan tersebut harus dibatalkan karena ini kan dalam waktu dekat Pileg dan Pilpres. Kalau tidak serentak, maka dibiarkan Pemilu tidak konstitusional. Artinya tidak legitimate,” ujarnya.

Habib menegaskan, tidak ada alasan teknis dan substansial yang memaksa MK menunda berlakunya putusan tersebut. Sebab, jika petimbangan majelis hakim adalah karena tahapan Pemilu sudah berjalan, maka Pemilu Legislatif bisa dimundurkan dua hingga tiga bulan.

“Lebih mudah mengundurkan Pileg dan Pilpres secara serentak pada tiga bulan ke depan. Karena itu hanya soal teknis saja, apa susahnya. Ketimbang hasil Pileg dan Pilpres tahun ini (2014) tak memiliki  legalitasnya,” tandasnya.

Sementara itu Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi School of Government Fadjroel Rachman mempertanyakan penundaan pembacaan putusan MK hingga sembilan bulan yang menjadikan jarak pembacaan putusan pemilu serentak dan pelaksanaan Pemilu 2014 menjadi begitu mepet, hanya selisih tiga bulan.

”Kenapa begitu lama diumumkannya putusan itu? ” tukasnya. Menurutnya, masalahan teknis dan prosedur tak bisa menjadi alasan penundaan hak konstitusional rakyat Indonesia hingga 2019.

Hal senada disampaikan kuasa hukum KMUPS, Wakil Kamal. Dia mengatakan Pemilu 2014 yang dilakukan terpisah antara pileg dan pilpres jelas-jelas inkonstitusional, maka penundaan pemilu serentak menjadi 2019 pun inkonstitusional.

”MK telah menyatakan pemilu terpisah itu adalah pelanggaran konstitusi, maka penundaan pemilu serentak dari 2014 ke 2019 jelas pelanggaran konstitusi pula. Ini  pelanggaran serius terhadap konstitusi karena menunda hak warga negara, hak pemilih untuk menggunakan hak pilih dengan cerdas,” jelasnya.

Terkait kesulitan KPU kalau pemilu serentak dilakukan tahun ini, menurut dia, dengan sedikit menunda waktu pemilu lantas menambah persediaan logistik pemilu seperti kotak suara, maka pemilu serentak niscaya dilakukan tahun ini ”Persoalan teknis tinggal ditunda misalnya dua bulan, lantas menambah kotak suara, saya kira KPU siap,” pungkas Kamal. (ind)

News / Nasional

Yusril: Dampak Putusan MK, Hasil Pemilu 2014 Rawan Digugat

Jumat, 24 Januari 2014 | 12:33 WIB
KOMPAS.COM/Sandro GatraYusril Izha Mahendra

JAKARTA, KOMPAS.com — Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan, jika Pemilu 2014 tetap dilaksanakan dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang pemilu presiden, maka hasil pemilu nantinya rawan digugat. Pasalnya, kata Yusril, pelaksanaan Pemilu 2014 yang akan tidak serentak bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi.

“Ini bisa saja digugat karena ada persoalan legitimasi. MK sudah membuat keputusan yang blunder dengan menyatakan bahwa pemilu serentak baru dilaksanakan pada tahun 2019,” ujar Yusril saat dihubungi, Jumat (24/1/2014), menyikapi putusan uji materi UU Pilpres terkait pemilu serentak.

Yusril menjelaskan, putusan pengadilan seharusnya berlaku semenjak diputuskan, demikian pula dengan putusan MK. Penundaan pelaksanaan putusan, menurut dia, akan menyebabkan kevakuman hukum.

“Ini keputusan yang aneh. Kalau satu undang-undang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak punya kekuatan hukum mengikat, tidak bisa menunggu 2019, harus saat itu juga. MK memakai pertimbangan hukum keputusan serupa pada kasus-kasus yang lain, yang saya sebut itu keputusan salah. Masa mau mempertahankan seperti itu?” kata Yusril.

Lebih lanjut, Ketua Dewan Syuro Partai Bulan Bintang itu memperkirakan bahwa putusan MK terkait pemilu serentak pada tahun 2019 akan berimplikasi serius. Dia yakin, akan ada masyarakat yang mempersoalkan hasil Pemilu 2014.

“Gugatan ini bisa mendeligitimasi kekuasaan negara. Persoalan legitimasi ini serius karena pemimpin ke depan dihasilkan oleh pemilu yang inskonstitusional,” kata bakal calon presiden PBB itu.

Seperti diberitakan, MK mengabulkan sebagian uji materi UU Pilpres yang diajukan akademisi Effendi Gazali bersama Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Serentak dengan putusan pemilu serentak pada 2019. Jika dilaksanakan pada 2014, menurut MK, maka pelaksanaan pemilu dapat mengalami kekacauan dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang justru tidak dikehendaki karena bertentangan dengan UUD 1945.

MK dalam putusannya menegaskan bahwa penyelenggaraan pileg dan pilpres yang berlangsung tidak serentak pada 2009, dan akan diulangi pada Pemilu 2014, tetap dinyatakan sah dan konstitusional. Untuk keputusan pemilu serentak, diperlukan aturan baru sebagai dasar hukum dalam melaksanakannya.

Dengan putusan MK itu, syarat pengusungan capres-cawapres pada Pilpres 2014 tetap berpegang pada UU Pilpres, yakni 20 persen perolehan kursi DPR atau 25 persen perolehan suara sah nasional. Jika tak cukup, maka parpol harus berkoalisi untuk mengusung capres-cawapres.


Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:

Penulis : Sabrina Asril
Editor : Sandro Gatra

Yusril Ihza: Putusan MK Misterius, Pemilu 2014 Inkonstitusional
Jum’at, 24 Januari 2014 , 02:26:00 WIB

Laporan: Ade Mulyana

RMOL. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Pileg dan Pilpres yang dilakukan serentak tahun 2019 mengusik nalar hukum pakar hukum tata negara Prof. Yusril Ihza Mahendra. Bagi Yusril, putusan MK tersebut blunder dan sangat misterius.

Di satu sisi MK menyatakan beberapa pasal dalam UU Pilpres bertentangan dengan UUD 45 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Tetapi di sisi lain, MK di dalam putusannya menyatakan pemilu serentak baru berlaku untuk Pemilu 2019.

“MK tahu putusan MK berlaku seketika setelah diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Kalau putusan itu berlaku seketika namun baru berlaku di Pemilu 2019 dan seterusnya, maka Pemilu 2014 dilaksanakan dengan pasal-pasal UU Pemilu yang inkonstitusional,” ujar Yusril dalam akun Twitter miliknya, @Yusrilihza_Mhd, jelang dinihari tadi.

Karena pelaksanaan Pemilu 2014 menggunakan pasal-pasal UU yang inkonstitusional, kata Yusril, maka hasil pemilunya juga inkonstitusional. Konsekuensinya, DPR, DPD, DPRD dan Presiden serta Wapres terpilih dalam Pileg dan Pilpres 2014 juga inkonstitusional.

Pertimbangan putusan MK yang menyatakan Pileg dan Pilpres 2014 sah dengan merujuk pada putusan-putusan yang diambil MK sebelumnya yang nyata-nyata salah, juga mengganggu nalar hukum Yusril. Bagi Yusril, pertimbangan MK tersebut hanya untuk menutupi inkonstitusionalitas putusannya.

“Saya justru mempertanyakan apakah benar semua hakim MK itu ‘negarawan yang memahami konstitusi’ seperti dikatakan oleh UUD 45? Jawaban saya ‘entahlah’. Kenyataannya seperti itulah MK,” tutur Yusril.

Bagi Yusril, putusan MK atas uji materi UU No 42/2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan akademisi Effendi Gazali bersama Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Serentak ini benar-benar misteri. Putusan tersebut telah diambil setahun lalu tapi baru dibacakan kemarin. Tidak hanya itu, tiga hakim yang memutusnya sudah berganti. Mahfud MD, Akil Mochtar dan Ahmad Sodiki yang memutus perkaranya sekarang sudah tidak menjadi hakim MK lagi.

“Pembacaan putusan seperti itu aneh bin ajaib. Harusnya MK sekarang musyawarah lagi, siapa tahu tiga hakim baru pendapatnya beda,” imbuh Yusril.

Yusril melihat MK nampak seperti dipaksa-paksa untuk membacakan putusan permohonan Effendi Ghazali bersama Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Serentak. Dia mengira putusan tersebut dibacakan untuk menjegal permohonan uji materi UU Pilpres yang disampaikannya belakangan.

Yusril sendiri menguji Pasal 14 Ayat 2 dan Pasal 112 UU Pilpres terhadap Pasal 6A Ayat 2 dan Pasal 22E UUD 1945. Yusril dalam pemohonanya meminta agar pelaksanaan pilpres bersamaan dengan pileg. Menurut Yusril, jika pilpres digelar setelah pileg seperti diatur dalam UU Pilpres, maka 12 parpol peserta Pemilu 2014 disebut parpol mantan peserta pemilu. Padahal dalam UUD disebutkan pengusung capres-cawapres adalah parpol atau gabungan parpol peserta pemilu.

Yusril dalam permohonanya juga meminta semua parpol peserta pemilu bisa mengusung pasangan capres-cawapres. Jika tuntutan Yusril dikabulkan, maka tidak berlaku lagi bataspresidential threshold.

“Dengan dibacakan putusan Effendi Ghazali dan kawan-kawan, maka permohonan saya seolah kehilangan relevansi untuk disidangkan,” demikian Yusril.[dem]

Baca juga:

Surya Paloh: MK Sudah Mengutamakan Kepentingan Bangsa
Pakar: Mahfud MD Orang yang Bertanggung Jawab!
Effendi Gazali Cs Disarankan Perkarakan Hakim MK ke Dewan Etik
PPP: Harus Dijelaskan Kenapa Uji Materi UU Pilpres Dibacakan Sekarang?
Golkar: Jika Jokowi Tidak Dicalonkan, ARB Jadi Presiden

Politisi PDIP: Sebut Pemilu 2014 Inkonstitusional Yusril Alami Kontroversi Hati

TRIBUNnews.comTRIBUNnews.com – Sel, 28 Jan 2014

  • KONTEN TERKAIT
  • Politisi PDIP: Sebut Pemilu 2014 Inkonstitusional Yusril Alami Kontroversi HatiLihat FotoPolitisi PDIP: Sebut Pemilu 2014 Inkonstitusional Yusril Alami Kontroversi Hati

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Dewan Syuro Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra tempo hari menilai hasil Pemilu 2014 nanti inkonstitusional, setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pemilu legislatif dan presiden serentak di Pemilu 2019 nanti.

Pernyataan Yusril mendapat kritik, salah satunya dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI P). Wakil Sekjen DPP PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto menilai Putusan MK soal pemilu serentak di Pemilu 2019 sangat bijak, tepat dan harus ditaati.

Ia menilai, apa yang diucapkan Yusril soal hasil pemilu 2014 nanti, hanya pengalihan isu. Justru, pernyataan Yusril demikian menimbulkan kontroversi bagi publik. Sepertinya, Yusril sangat emosional setelah melihat putusan MK kemarin.

“Bahkan saya menilai saat ini, Yusril mengalami dilema sindrom kontroversi hati,” kata Hasto kepada wartawan usai diskusi di Media Center KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (28/1/2014).

Dengan pernyataan tersebut, Hasto menunjukkan kepentingan pribadi Yusril. Secara tidak langsung, Yusril telah merendahklan diri sebagai pakar hukum tata negara, kata Hasto.

Menanggapi putusan MK soal pemilu serentak, tak musti berlaku sejak dibacakan. Ia berdalih, imbas putusan pilpres tentu saja harus disesuaikan dengan undang-undang pemilu lainnya. Dan kini, baik pemerintah maupun DPR belum merumuskan hal tersebut.

Dengan begitu, pelaksanaan Pemilu 2014 tetap menggunakan undang-undang yang berlaku sebelumnya.

“Konstitusi itu nyawa demokrasi. Jangan dikorbankan oleh kepentingan pribadi dan ambisi politik,” ujar Hasto.

Baca Juga:

Ahmad Dhani Siap Dibui Usai Bikin Farhat Abbas Babak Belur

Mahfud MD: Yusril Marah karena Ada Kepentingan Politiknya

Bukan Kyai, Ahmad Dhani Enggan Berdamai ke Farhat Abbas

SELASA, 28 JANUARI 2014 | 07:29 WIB

Mantan Hakim MK: Pemilu 2014 Tetap Konstitusional

Mantan Hakim MK: Pemilu 2014 Tetap Konstitusional

Dalam melakukan aksi damai, sejumlah aktivi memainkan Barongsai saat membawa pesan TRI TURA (Tiga Tuntutan Rakyak) ke Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, (21/01). TEMPO/Dasril Roszandi

TEMPO.CO, Jakarta – Mantan hakim konstitusi Ahmad Sodiqi mengatakan pemilihan umum terpisah pada 2014 tetap konstitusional. Pemilu 2014 dianggap tetap sah kendati Mahkamah Konstitusi memutuskan pemilu harus serentak dalam uji materi Undang-Undang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.

“Ini jenis konstitusi bersyarat,” katanya usai berbicara dalam acara “Catatan Awal Tahun Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)” di Jakarta, Senin, 27 Januari 2014.

Maksud konstitusi bersyarat itu, kata Sodiq, adalah ada syarat khusus untuk memberlakukan putusan MK itu, yaitu baru bisa dilaksakan pada Pemilu 2009 dan seterusnya.

Menurut Sodiq, putusan seperti itu sebenarnya bukan pertama kali dibuat MK. Sebelumnya, kata Sodiq, MK pernah memutus uji materi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi soal Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Meskipun diputus tanggal 19 Desember 2006, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi baru dibentuk pada 2009 setelah undang-undangnya selesai dibuat.

“Putusan MK memang tak harus dilaksanakan setelah dibacakan,” kata Sodiq.

Sebelumnya, beberapa kalangan seperti pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menilai Pemilu 2014 yang masih dilakukan terpisah inkonstitusional. Pasalnya, MK telah memutuskan pemilu harus dilaksanakan serempak antara pemilihan legislatif dan presiden. Menurut Yusril, putusan MK harus berlaku segera setelah dibacakan.

KHAIRUL ANAM

Baca juga:
Cuit Anas Urbaningrum: Demokrat Ganti Ketua Umum
Survei: Jokowi Bertahan, Prabowo-Aburizal Jeblok
Suap di Bea Cukai, Kubu STAN vs Non-STAN Meruncing
Jazuli Laporkan Mahfud Md. ke Mabes Polri
Di mana Saja Duit Sogokan Akil Mochtar Diberikan?
Garap 400 Kasus, Akil Punya Jejaring Pemasaran
PKS Soal Jokowi: Populer Enggak Dicalonin, Ngapain ?
Ahok: Bawah Tanah Jakarta Dobel Semrawut
Bagaimana Kondisi Tanah Tol Cipularang KM 72?
Ratu Atut Dicopot dari DPP Partai Golkar

 


0 Responses to “Politik : Kontroversi Pemilu 2014”



  1. Leave a Comment

Leave a comment


Blog Stats

  • 4,407,462 hits

Archives

Recent Comments

Ratu Adil - 666 on Kenegarawanan : Harta Amanah B…
Ratu Adil - 666 on Kepemimpinan : Satrio Piningit…
Ratu Adil - 666 on Kepemimpinan : Satrio Piningit…
Ratu Adil - 666 on Kenegarawanan : Harta Amanah B…
Ratu Adil - 666 on Kenegarawanan : Harta Amanah B…