11
Sep
13

Patriot : Tionghoa Veteran 45 yang terlupakan

Para Tionghoa Veteran 45 Yang Terlupakan

Monday, 11 February 2013

Viewed 3455 times, 3 times today | 13 Comments |

Iwan Ong Santosa

Bercelana rombeng berlubang, kemeja lusuh, seorang kakek tua berdarah Tionghoa tinggal rumah berdinding gedek yang atapnya bocor di sana-sini tempat air hujan deras mengalir di sudut Kota Tulung Agung, pelosok Jawa Timur. Itulah sosok Oei Hok San (86) Veteran Pejuang Kemerdekaan 1945 mantan Tentara Pelajar (TP) di Kediri Jawa Timur yang terlupakan.

Oei Hok San tinggal di sebuah gubuk yang disewanya di belakang garasi bus Lestari di RT 01 RW 07 di Kelurahan Kedung Waru, Kecamatan Kedung Waru, Jalan Pahlawan Nomor 17 Kota Tulung Agung. Dia menceritakan dengan lirih, betapa di Tulung Agung terdapat 350-an pejuang yang ditembak mati Belanda di dua buah toko dan sebuah gudang. Sebanyak 300 pejuang suku Jawa dan 50 pejuang suku Tionghoa ditembak mati ketika itu.

merah-putih

Semasa perang kemerdekaan 1945-1949 banyak pejuang dari suku Tionghoa yang juga terlibat dalam pertempuran melawan Belanda di garis depan, garis belakang mau pun daerah pendudukan Belanda. Para Veteran tersebut ditemui di berbagai daerah seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jakarta, Sumatera dan daerah lain di Indonesia.

Ardian Purwoseputro yang aktif membuat dokumenter sejarah di Jawa Timur mengaku di kalangan sesepuh TP dan TRIP Jawa Timur diakui banyak komandan Tionghoa terlibat dalam perjuangan di garis depan di Front Jawa Timur.

Perjuangan di Tulung Agung adalah salah satu contohnya. Oei Hok San menceritakan ayahnya Oei Djing Swan memerintahkan seorang pejuang bernama Tan Bun Yin membalas dendam terhadap seorang Mayor KL (Koninlijk Leger) yang menembak mati Dokter Tan Ping Djiang seorang republiken yang menentang Belanda saat Clash II terjadi tahun 1949. Dokter Tan yang beristerikan seorang perempuan Belanda memerintahkan komandan Belanda memberitahukan H.J. van Mook bahwa Indonesia dan Asia sudah merdeka. “Kasih tahu van Mook, Belanda silahkan mundur dari Indonesia,” kata Hok San menirukan ucapan dokter Tan Ping Djiang.

Akhirnya dokter Tan ditembak mati serdadu Belanda dari Princess Irene Brigade. Selanjutnya, Mayor Belanda yang memerintahkan eksekusi dokter Tan tersebut, ditembak dari jarak dekat di Restoran Baru di dalam Kota Tulung Agung sebelah barat alun-alun oleh seorang pemuda Tan Bun Yin atas suruhan ayah Hok San.

Saat Belanda menduduki Tulung Agung, aksi pembersihan terhadap unsur Republikein berlangsung. Para pemuda Jawa dan Tionghoa yang berjuang, dikumpulkan di Gudang OTB, Toko Perca dan Gudang Kobong. Mereka diberondong peluru tentara Belanda di sana. Tidak sebuah monumen pun didirikan bagi mereka…

Oei Hok San sesudah pengakuan kedaulatan bergabung dengan Batalyon 507-Sikatan. Dia ikut operasi penumpasan RMS di Ambon, pemberantasan DI-TII di Makassar dan Jawa Barat hingga Operasi Mandala-Trikora merebuat Irian Barat.

Pertempuran 10 November

Keberadaan para Tionghoa Veteran 45 juga dapat ditemui di Kota Pahlawan Surabaya. Sebutlah Liauw Thian Moek alias Leo Wenas (89) yang tinggal di Jalan Raya Gubeng. Mantan Anggota BKR itu masih bersemangat menceritakan para Arek Suroboyo berjuang melawan Inggris-Belanda. Pemuda yang kala itu sempat hampir menghancurkan kekuatan Inggris di Gedung Internatio harus mundur mengikuti perintah Bung Karno yang diminta SEAC (South East Asia Command) untuk menjadi mediator. Namun, gencatan senjata yang hanya berlangsung tiga hari, digunakan pihak Inggris mundur ke Tanjung Perak, memperkuat diri dan terjadilah pertempuran berdarah 10 November 1945 dengan korban hampir 10.000 pemuda-pemudi Indonesia.

“Kami bermodal bambu runcing berusaha menjebak serdadu Inggris yang lengah. Pernah satu jip berisi Gurkah terjebak lalu dikerubuti pemuda beramai-ramai. Mereka semua tewas,” kata Liauw Thian Moek.

Ketika itu banyak pemuda-pemudi Tionghoa juga terlibat dalam pertempuran sebagaimana dicatat Pramoedya Ananta Toer dalam Kronik Revolusi Indonesia Jilid I dan juga catatan khusus BM Diah dalam edisi khusus Merdeka mengenang enam bulan kemerdekaan Republik Indonesia bulan Februari 1945. Pramoedya mencatat, siaran radio pejuang Tionghoa di Surabaya mendesak dunia internasional menekan Inggris-Belanda yang melakukan agresi serta tindakan keji di Kota Pahlawan.

Tidak kalah seru cerita Letnan Kolonel (Purn) Ong Tjong Bing alias Daya Sabdo Kasworo (90)   ikut merawat korban pertempuran 10 November 1945 yang dibawa ke Malang. Pria asal Desa Kerebet itu kemudian mengikuti pendidikan tekniker gigi dan dokter gigi lalu bergabung sebagai militer tahun 1953 sebagai pegawai sipil. Dia mulai menyandang pangkat militer sebagai Kapten tahun 1955 di bawah Resimen Infanteri RI-18 Jawa Timur.

Ong Tjong Bing yang sangat Kejawen itu terlibat dalam operasi anti PRII-Permesta, DI-TII hingga Operasi Mandala-Trikora. Dia mengalami dikepung gerombolan DI-TII di Jawa Barat, diminta komandan menggalang masyarakat Tionghoa Pekanbaru saat operasi PRII-Permesta hingga akhirnya diminta mendirikan RS militer di Soekarnopura (Jayapura) dan RS sipil di kota tersebut.

Dia adalah kepala Kesehatan Kodam (Kesdam) Cendrawasih pertama. Menpangad Jenderal Ahmad Yani beserta sejumlah asisten mengenal dia secara pribadi dan selalu mengabulkan permintaan Tjong Bing alias Kasworo. Dia pun turut dalam sejumlah patroli garis depan dan memegang senjata langsung termasuk menghadapi kelompok “Merah” (Komunis) seperti dalam tanggap bencana letusan Gunung Agung di Bali.

Dia berharap generasi muda Tionghoa tidak trauma dengan peristiwa 1965 dan berperan di masyarakat dalam beragam sendi kehidupan dan tidak hanya terlibat di dunia perdagangan belaka. Dia pensiun di tahun 1976 dengan pangkat Letnan Kolonel. Keputusannya menjadi militer tidak pernah disesali oleh pria yang kemudian menjadi ketua Kelenteng di Malang.

Cerita serupa didapat dari keluarga Almarhum Lie Yun Fong atau Ali Sudjianto. Menurut Lie Ie Tjing puteri Ali, ayahnya adalah wartawan Sin Po kelahiran Canton, kini Guangzhou, China tahun 1909 yang mewartakan kemerdekaan RI dalam bahasa Mandarin yang kemudian dikutip oleh BBC. “Dia juga ikut hijrah dari Jakarta ke wilayah pedalaman di Jogjakarta mengikuti pemerintahan Soekarno-Hatta. Dia pernah bekerja bersama sebagai senior dari Adam Malik dan turut ditawan Belanda saat Clash ke-II,” kata Ie Tjing.

Keluarga besar Ie Tjing kini bermukim di Semarang dan mengurus Toko Boma di Jalan Pekojan nomor 50 Semarang peninggalan Lie Yun Fong. Ie Tjing meningat pesan ayahnya agar tidak “aji mumpung”. Semasa Adam Malik menjadi Wakil Presiden, beberapa kali mereka didorong untuk minta fasilitas dari orang nomor dua di Republik Indonesia itu.

“Papi berpesan yang penting Indonesia sudah merdeka. Kita tidak usah mikir fasilitas macam-macam dari pejabat,” kata Ie Tjing.

Sedangkan di Bogor, Serma (Purn) Ong Tjin Siong alias Anton Santoso (89) mantan Komandan Seksi Tentara Pelajar Detasemen 217, Comal, Jawa Tengah masih aktif dalam kegiatan veteran serta mengunjungi Kelenteng Pasar Bogor. Dia menceritakan, ketika itu lazim pemuda Tionghoa terutama di pedesaan dan kota kecil bergabung di Tentara Pelajar atau pun TRIP.

“Kita sering berpatroli. Menjebak Belanda dengan menyodorkan PSK lalu senjata serdadu Belanda kita curi. Selain itu TP juga mengurusi Laskar-Laskar yang bertindak sekehendak hati dan tidak tunduk pada komando militer resmi Republik Indonesia,” ujar Anton Ong.

veteran-tionghoa

Kambing Hitam G30-S PKI

Sayang situasi politik pasca G-30S membuat banyak perwira dan prajurit TNI menjadi korban. Tidak terkecuali banyak prajurit Tionghoa yang dikambing-hitamkan. Pada tahun 1968, Oei Hok San pun meninggalkan kesatuan dan berusaha menyembunyikan identitasnya pernah mengabdi sebagai seorang sersan infanteri di salah satu batalyon kebanggan Kodam Brawijaya itu.

Fitnah dan menjadi korban kambing hitam pasca G-30S memang terjadi terhadap banyak prajurit TNI ketika itu. Kwik Kian Djin (Budi Setiadharma) adik kandung ekonom Kwik Kian Gie yang semasa itu berpangkat Letnan Satu TNI Angkatan Laut dalam satu percakapan di Semarang, Jawa Tengah, mengakui adanya kondisi tidak menentu dan pengkambinghitaman perwira TNI termasuk perwira Tionghoa. Dia malah diminta oleh komandannya untuk tidak kembali ke kesatuan demi keselamatan diri.

Para taruna Akademi Angkatan Udara (AAU) atau Karbol tahun 1965 yang lulus setelah G-30S juga tidak luput dari gonjang-ganjing politik. Angkatan yang disebut sebagai Angkatan Kalipepe itu terpaksa mengeluarkan (memecat) enam orang Karbol Tionghoa. Dalam buku angkatan Alumni AAU 1965 yang salah seorang tokohnya adalah Marsekal (Purn) Rilo Pambudi disebutkan para kadet berdarah Tionghoa tersebut “terlibat”.

Namun, sejatinya hubungan para kadet Tionghoa dengan teman-temannya dari suku lain tetap baik dan akrab hingga kini. Salah satu kadet Tionghoa tersebut kelak menjadi pilot pribadi di keluarga pengusaha rokok Gudang Garam di Kediri. Antonius Lukito putera seorang penerbang alumni AAU 1965 menceritakan para Karbol Angkatan 1965 masih saling menjaga persaudaraan.

Para Veteran Tionghoa itu berjuang seperti rekan-rekannya dari Suku Jawa, Madura, Bali dan lain-lain dengan satu harapan, Indonesia merdeka dan makmur. Indonesia memang sudah merdeka secara fisik tetapi belum lagi makmur.

Oei Hok San yang kehidupannya paling menderita dari para nara sumber tersebut tidak mengharapkan tunjangan dan hak-haknya sebagai Veteran 45 diberikan oleh negara. “Saya cuma berpesan agar ada monumen dibangun untuk menuliskan nama-nama teman-teman pejuang PEMTA. Kasihan mereka dilupakan begitu saja,” kata Hok San yang hidup menggelandang dari satu kelenteng ke kelenteng lain di hari tuanya.

Sungguh ironis nasib para Tionghoa Veteran 45 seperti Oei Hok San dibanding kehidupan para konglomerat Tionghoa pembeli konsesi politik-ekonomi yang bisa menghabiskan jutaan rupiah untuk sekali bersantap di restoran super mewah pada Perayaan Imlek.

Catatan dari Engkong Oei Hok San:

Ada yang tergerak buat monumen kecil di Tulung Agung buat mengenang 300 pejuang Jawa dan 50 pejuang Tionghoa yang dikumpulkan Belanda lalu dieksekusi waktu Clash ke-II? Itu pesan Engkong Oei Hok San, Veteran Tentara Pelajar (TP) Kediri yang kehilangan teman-temannya tersebut. Engkong Hok San hidup di rumah sewaan berdinding bilik dan atapnya bocor di sana-sini. Darah pejuang Jawa dan Tionghoa tumpah agar kita bisa hidup nyaman hari ini. Kamsiah buat Engkong Hok San dan para kawan-kawannya yang sudah gugur buat Merah Putih.

Kiong Hie buat semua. Iwan Ong

Note Redaksi:

Iwan Ong Santosa adalah seorang sahabat yang berkarya sebagai wartawan Kompas. Tulisan ini adalah salah satu liputan khusus dalam Kompas hari Sabtu tanggal 9 Februari 2013 yang dibagikannya kepada Baltyra.com. Sudah menerbitkan beberapa buku yang terspesialisasi seputar dunia militer dan budaya Tionghoa.

Selamat datang dan selamat bergabung! Make yourself at home, ditunggu tulisan-tulisannya yang lain…


0 Responses to “Patriot : Tionghoa Veteran 45 yang terlupakan”



  1. Leave a Comment

Leave a comment


Blog Stats

  • 4,407,364 hits

Archives

Recent Comments

Ratu Adil - 666 on Kenegarawanan : Harta Amanah B…
Ratu Adil - 666 on Kepemimpinan : Satrio Piningit…
Ratu Adil - 666 on Kepemimpinan : Satrio Piningit…
Ratu Adil - 666 on Kenegarawanan : Harta Amanah B…
Ratu Adil - 666 on Kenegarawanan : Harta Amanah B…