Posts Tagged ‘Ministrial

27
Oct
09

Politik : Drama Cikeas dan Sandera Getok Tular

DIK

ANALISIS POLITIK
Drama Cikeas dan Sandera Getok Tular

Selasa, 27 Oktober 2009 | 03:21 WIB

EEP SAEFULLOH FATAH

Sungguh tak mudah menjadi Susilo Bambang Yudhoyono. Partai Demokrat yang dipimpinnya berhasil meraih 20,85 persen suara dalam pemilu legislatif. Ia lalu terpilih secara meyakinkan sebagai presiden dengan mengantongi 60,8 persen dukungan pemilih. Namun, ketika membentuk kabinet, mau tak mau, ia harus mengakomodasi kepentingan empat partai lain penyokong pencalonannya, yang sesungguhnya secara bersama-sama ”hanya” meraih 24,15 persen suara dalam pemilu legislatif.

Jika kita gunakan logika presidensialisme murni, kemenangan mutlak yang diraih Yudhoyono semestinya membuat dia amat sangat leluasa menyusun kabinetnya. Namun, mengingat sistem multipartai yang mengantarnya ke kursi presiden, kabinetnya mau tak mau mesti mengakomodasi dan merepresentasikan kepentingan partai-partai peserta koalisi.

Siapa pun presiden Indonesia mau tak mau akan berada di tengah tarik-menarik presidensialisme dan sistem multipartai itu. Yang kemudian menegaskan kualitas politik sang presiden adalah dua kemampuan sekaligus. Pertama, seberapa jauh ia pandai mengelola hubungan mandat-akuntabilitas-keterwakilan dengan publik sebagaimana diamanatkan presidensialisme. Kedua, seberapa cerdas ia mengelola keterwakilan partai secara substantif untuk membuatnya selamat di tengah kepentingan banyak partai yang berjalin kelindan.

Saya menilai Yudhoyono cukup berhasil menunaikan dua tuntutan itu, tetapi dengan sedikit catatan berikut.

Drama Cikeas

Manakala menjalankan fungsi presidensialnya berhadapan dengan tuntutan mandat-keterwakilan-akuntabilitas publik, Yudhoyono lebih banyak bermain di level kemasan ketimbang substansi. Fakta ini terwakili oleh drama tiga hari di Cikeas.

Selama tiga hari sejumlah calon menteri berdatangan ke Cikeas untuk menjalani semacam uji kepatutan dan kelayakan. Para calon menteri itu menunggu di pendapa sebelum ”diwawancara” Yudhoyono dan wakil presiden terpilih Boediono. Lalu, selepas ”wawancara”, mereka berbicara di hadapan publik melalui corong para jurnalis.

Selepas itu, media (baca: kita) mulai membuat spekulasi mengenai siapa akan menjabat apa. Beredarlah perkiraan pengisian pos-pos departemen, kementerian negara, dan pos-pos setingkat menteri negara.

Pada titik itulah drama tiga hari di Cikeas itu lebih banyak berhenti di level kemasan, bukan substansi. Dalam format seperti itu—mengulang format serupa lima tahun lampau—audisi para calon menteri tak bisa disebut sebagai fenomena transparansi dan pertanggungjawaban publik kerja seorang presiden. Rentetan kejadian itu pun lebih banyak menjadi adegan-adegan drama yang miskin substansi.

Drama itu pun terasa mengganggu karena beberapa faktor. Publik tak diberikan penjelasan memadai tentang ”siapa hendak ditaruh di pos apa lantaran alasan apa”. Jika prosesi itu hendak dimaknai sebagai mekanisme demokratis pembentukan kabinet, selepas wawancara setiap tokoh seyogianya juru bicara presiden menjelaskan kepada publik sang tokoh hendak diposisikan di pos mana berikut alasan-alasannya. Lalu, sang tokoh berbicara untuk menceritakan identitas dirinya serta menegaskan kesiapannya mengemban tugas.

Selain itu, dengan keleluasaan waktu yang dimilikinya, presiden terpilih sesungguhnya bisa mengadakan uji kelayakan itu lebih awal. Dengan demikian, publik diberikan penerangan dalam rentang waktu yang memadai.

Dengan demikian, prosesi itu pun menjadi semacam prosesi transparansi dan akuntabilitas publik kerja presiden tanpa mencederai hak prerogatif presiden dalam menyusun pemerintahan. Prosesi itu pun terlepas dari dramatisasi berlebihan sambil tetap menjaga prinsip-prinsip pokok presidensialisme.

Sandera getok tular

Di luar kebutuhan menegakkan prinsip presidensialisme secara elegan itu, presiden juga dituntut berkemampuan mengelola keterwakilan partai. Ditilik secara statistik, Yudhoyono sukses mengelola perkara terakhir ini. Ada 19 wakil partai dan 18 tokoh nonpartai terakomodasi dalam Kabinet Indonesia Bersatu II.

Namun, sukses statistik itu harus diuji secara politik. Benarkah bahwa komposisi itu menggambarkan terakomodasinya kepentingan partai-partai politik dan bukan sekadar tersalurkannya kehendak segelintir elite partai? Seberapa jauh ”kabinet pelangi” ini berkemampuan menjaga disiplin koalisi selama pemerintahan berlangsung hingga lima tahun depan? Seberapa efektif kontrak politik, kontrak kinerja, dan pakta integritas yang dibuat antara Yudhoyono-Boediono dengan partai dan para tokohnya itu akan berfungsi mengefektifkan pemerintahan?

Jika komposisi kabinet yang akomodatif terhadap partai-partai itu ternyata tak mendekatkan kita pada jawaban-jawaban positif atas deretan pertanyaan di atas, boleh jadi yang kita sua di balik koalisi besar itu sekadar fenomena ”sandera getok tular”. Presiden diam-diam menyandera partai-partai dengan mengikat kepentingan segelintir elite partai itu, lalu segelintir elite partai tadi diam-diam menyandera partainya sendiri.

Jika fenomena ”sandera getok tular” itu yang kemudian terbangun, prosesi-prosesi politik selepas Pemilu 2009 akan mengakumulasikan keuntungan kepada Yudhoyono dan Partai Demokrat. Sebaliknya, rentetan prosesi itu makin menumpukkan kerugian pada partai-partai peserta koalisi lainnya.

Saya berharap bukan itu yang sedang terjadi. Saya berharap lima tahun ke depan Yudhoyono bukan saja akan sukses menjaga stabilitas pemerintahannya, tetapi juga meningkatkan efektivitas presidensialisme dan produktivitas demokrasi kita.

EEP SAEFULLOH FATAH Pemerhati Politik dari Universitas Indonesia

23
Oct
09

Kesehatan : Dicari Menteri yang Pro Amerika

Dicari Menteri Kesehatan yang Pro Amerika?

lokasi: Home / Berita / Nasional / [sumber: Jakartapress.com]

Kamis, 22/10/2009 | 01:38 WIB Dicari Menteri Kesehatan yang Pro Amerika?

Jakarta – Benarkah Menteri Kesehatan (Menkes) Siti Fadilah Supari tidak dijadikan menteri lagi akibat wanita yang ceplos-ceplos ini anti Amerika Serikat (AS) dengan berupaya menutup Namru-2, lembaga riset Angkatan Laut AS di Indonesia, dan bahkan dia menolak ‘impor’ flu burung dan flu babi yang konon dari luar negeri?

Namun yang jelas, penggantinya bukan berarti sosok Menkes yang pro AS. Pasalnya, munculnya pejabat eselon II Endang Rahayu Sedyaningsih sebagai Menkes yang baru dalam Kabinet Indonesia Bersatu II, Rabu (21/10) malam, memunculkan tudingan dia terlalu pro AS. Tetapi hal itu dibantah oleh mantan staf peneliti Namru 2 tersebut.

Endang mengakui bahwa semasa Menkes Siti Fadhilah Supari, dia sempat diskors karena dianggap berpihak kepada AS dalam soal virus flu burung. “Bagi saya ini persoalan yang tidak penting-penting amat. Dan ini wajar kalau atasa tidak senang kemudian menskors bawahannya,” kilah Endang seperti dilansir Media Indonesia.

Endang juga menampik bahwa sikapnya selama ini terlalu pro AS. Tudingan itu karena dia merupakan orang yang memiliki akses untuk masuk ke Namru 2, lembaga riset penyakit tropis yang masuk dalam bagian Angkatan Laut AS dan telah berada di Indonesia sejak tahun 70-an. Lembaga itu kemudian menjadi polemik, seiring dengan penolakan Indonesia mengirimkan contoh virus flu burung.

Lepas dari itu semua, Endang–doktor ilmu kesehatan masyarakat lulusan Harvard AS–mengaku akan melanjutkan program menteri lama seperti gizi buruk, soal rumah sakit internasional, serta menekan angka kematian ibu.

Endang Rahayu Sedyaningsih adalah mantan staf Namru (The US Naval Medical Reseach Unit Two) atau Unit 2 Pelayanan Medis Angkatan Laut AS. Ada dugaan, Endang dimutasi di lingkungan Departemen Kesehatan karena adanya dugaan bahwa dia melarikan virus ke luar negeri tanpa izin.

Dipilihnya Endang sebagai Menkes juga membuat kaget Siti Fadilah Supari yang pernah memutasi Enadang saat menjadi Menkes. “Semua juga kaget, ternyata, kok bisa dia. Dia itu eselon II dan tidak punya jabatan,” ungkap Siti Fadilah dalam perbincangan dengan tvOne, Rabu (21/10) malam, setelah Presiden SBY mengumumkan susunan kabinet baru.

Apalagi, lanjutnya, Endang sangat dekat dengan NAMRU, laboratorium milik Angkatan Laut AS di Depkes. “Saya juga kaget, kalau eselon II di Depkes itu seabrek-abrek, ada ratusan tapi kenapa yang dipilih yang didekat Namru,” ungkap Siti Fadilah.

Menurutnya, Endang memang lulusan dari Amerika Serikat dan dikenal sebagai staf Departemen Kesehatan yang ‘dekat’ dengan Namru. “Dia (Endang) adalah mantan pegawai Namru. Dia memang sekarang ini tidak mempunyai jabatan khusus sebagai peneliti biasa,” papar Menkes yang mau diganti ini.

Bahkan, Siti Fadillah Supari mengungkapkan dirinya sebagai Menkes pernah memutasi Endang Rahayu Sedyaningsih. “Bu Endang pernah dimutasi karena alasan tertentu,” beber Siti Fadilah tanpa menjelaskan apa alasan tertentu yang dimaksud.

Endang Rahayui Sedyaningsih mendapat gelar keserjanaannya di bidang kedokteran dari Universitas Indonesia (UI) pada 1979, dan memperoleh doktor dari Universitas Harvard, AS, di bidang kesehatan masyarakat. Saat ini, Endang berkantor Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis dan Farmasi, di Institut Nasional Pengembangan dan Penelitian Kesehatan sebagai Direktur. Dalam berbagai penelitiannya, Endang cenderung pada penanganan penyebaran HIV/AIDS dan Flu Burung (H1N1).

Mantan Menkes Siti Fadilah Supari menyebut Endang merupakan orang yang paling dekat dengan Namru 2 (The US Naval Medical Research Unit Two). Dia memiliki akses untuk keluar masuk dengan bebas di Namru. Sebagai seorang peneliti, karya-karya Endang lumayan terbilang banyak baik dari dalam dan luar negeri. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Pengembangan Jaringan Virologi dan Epidemiologi Influenza di Indonesia. Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (2007).

2. Karakteristik kasus-kasus flu burung di Indonesia, Juli 2005 – Mei 2006 (Characteristics of human H5N1 cases in Indonesia, July 2005 – May 2006).

3. Kajian penelitian sosial dan perilaku yang berkaitan dengan Infeksi Menular Seksual, HIV / AIDS di Indonesia, 1997-2003 (Review of Social and Behavioral Studies Related to STI, HIV/AIDS in Indonesia,(1997-2003).

Endang Rahayu adalah kepala laboratorium di Namru-2 dan bekerja di Litbang Depkes. Soal kasus Namru-2 terungkap, setelah Menkes Siti Fadilah membeberkan bahwa izin Namru sudah habis. Bahkan ,saat itu Juru Bicara Kepresidenan Dino Patti Djalal disebut-sebut terlibat dalam perpanjangan izin Namru.

Siti Fadilah sebagai Menkes yang menutup Namru sehingga lembaga AS itu tdika beroperasi lagi di Indonesia. “Surat resmi penghentian kerjasama dengan Namru resmi dilayangkan dubes AS di Indonesia tanggal 16 Oktober kemarin. Jadi perjanjian yang diawali 16 Januari 1970 sudah resmi berakhir 16 Oktober kemarin,” ungkap Siti Fadilah.

Menkes ‘demisioner’ ini menyatakan, keberadaan Namru-2 mengganggu kedaulatan Indonesia. Sebab, pusat penelitian itu meneliti virus yang dilakukan Angkatan Laut AS. “Saya tidak akan rela kalau di wilayah yang berdaulat ini ada penelitian tapi ada militernya, tapi kok tidak jelas. Mudah-mudahan tidak terjadi lagi,” tegas wanita yang suka ceplas ceplos ini.

Oleh karena itu Siti Fadilah berharap pada penerusnya, Endang Rahayu Edyaningsih, agar tidak membuka lagi Namru-2. “Saya kira Ibu Endang bisa mengikuti langkah-langkah yang telah kita ambil pada periode ini, di mana Namru sudah secara resmi ditutup, dan saya mohon jangan dibuka lagi,” pintanya. (*)

21
Oct
09

Daftar Kabinet dan Staf WaPres, dihadang demonstrasi

Inilah Daftar Kabinet 2009-2014
Inilah sejumlah calon menteri kabinet SBY-Boediono.
Rabu, 21 Oktober 2009, 22:19 WIB
Ismoko Widjaya, Nur Farida Ahniar
Presiden, Wapres dan Menteri Kabinet Indonesia Bersatu (ANTARA/Widodo S. Jusuf)

VIVAnews – Presiden Susilo Bambang Yudhoyono malam ini mengumumkan secara resmi susunan kabinet 2009-2014. Berikut nama para menteri.

1. Menko Polhukam: Djoko Suyanto
2. Menko Perekonomian: Hatta Rajasa
3. Menko Kesra: Agung Laksono
4. Menteri Sekretaris Negara: Sudi Silalahi
5. Menteri Dalam Negeri: Gamawan Fauzi
6. Menteri Luar Negeri:Marty Natalegawa
7. Menteri Pertahanan: Purnomo Yusgiantoro
8. Menteri Hukum dan HAM: Patrialis Akbar
9. Menteri Keuangan: Sri Mulyani
10. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral: Darwin Saleh
11. Menteri Perindustrian: M.S Hidayat
12. Menteri Perdagangan: Mari Elka Pangestu
13. Menteri Pertanian: Suswono

14. Menteri Kehutanan: Zulkifli Hasan

15. Menteri Perhubungan: Fredy Numberi
16. Menteri Kelautan dan Perikanan: Fadel Muhammad
17. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi: Muhaimin Iskandar
18. Menteri Pekerjaan Umum: Djoko Kirmanto
19. Menteri Kesehatan: Endang Rahayu Setyaningsih
20. Menteri Pendidikan Nasional: M Nuh
21. Menteri Sosial: Salim Segaf al Jufrie

22. Menteri Agama: Suryadharma Ali
23. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata: Jero Wacik
24. Menteri Komunikasi dan Informatika: Tifatul Sembiring
25. Menteri Negara Riset dan Teknologi: Suharna Surapranata
26. Menteri Negara Koperasi dan UKM: Syarief Hasan
27. Menteri Negara Lingkungan Hidup: Gusti Muhammad Hatta,
28. Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak: Linda Agum Gumelar,
29. Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara: EE Mangindaan,
30. Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal: Helmy Faishal Zaini
31. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas:  Prof. Armida Alisjahbana
32. Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara: Mustafa Abubakar
33. Menteri Negara Perumahan Rakyat: Suharso Manoarfa

34. Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga: Andi Mallarangeng

• VIVAnews

Inilah Empat Staf Khusus Boediono
Satu berpengalaman di media, satu ekonom, satu praktisi ekonomi & satu guru besar hukum.
Rabu, 21 Oktober 2009, 14:42 WIB
Arfi Bambani Amri
Boediono (Antara)

VIVAnews – Wakil Presiden Boediono memiliki empat staf khusus yang akan membantu kerjanya selama lima tahun ke depan. Keempatnya memiliki kapasitas dan kompetensi di bidang-bidang tertentu.

Staf khusus pertama adalah yang membidangi media massa. Adalah mantan Pemimpin Redaksi Tabloid Kontan, Yopie Hidayat, yang ditunjuk sebagai staf khusus yang juga berfungsi Juru Bicara itu.

“Wakil Presiden itu kan menurut aturan bisa memiliki lima staf khusus,” kata Yopie dalam perbincangan dengan VIVAnews melalui telepon, Rabu 21 Oktober 2009. Namun Boediono sampai hari ini baru menunjuk empat staf termasuk Yopie.

“Selain saya, yang sudah confirm adalah M Ikhsan, Farid Harianto dan Satya Arinanto,” kata Yopie. “Sementara baru itu,” ujar peraih gelar master di bidang Public Policy dari Lee Kuan Yew School of Public Policy, Singapura, itu.

M Ikhsan adalah ekonom yang dikenal sangat dekat dengan Boediono. Ikhsan menjadi staf khusus Boediono saat masih menjabat Menko Perekonomian. Selain sebagai dosen Fakultas Ekonomi UI, Ikhsan juga menjadi Direktur di Lembaga Penyelidik Ekonomi Masyarakat UI.

Farid Harianto adalah mantan Wakil Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Farid dikenal sebagai eksekutif profesional yang dekat dengan sejumlah konglomerat Indonesia, khususnya Grup Lippo. Kini, dia juga menjabat sebagai direktur di sejumlah perusahaan Grup Lippo.

Satya Arinanto adalah Guru Besar Hukum Tata Negara di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Pria kelahiran 16 November 1965 ini seringkali diminta menjadi narasumber dalam pembahasan Rancangan Undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat, di antaranya pembahasan RUU Pemerintahan Aceh dan RUU Kewarganegaraan.

• VIVAnews

2 Unjuk Rasa Jakarta

detikcom

detikcom – Rabu, Oktober 21
Pasca Pelantikan Presiden, 2 Unjuk Rasa Goyang Jakarta

Ibukota Jakarta memang tidak pernah sepi dari aksi unjuk rasa. Pasca pelantikan Presiden dan Wakil Presiden periode 2009-2014, hari ini 2 aksi unjuk rasa mewarnai Jakarta.

Demikian seperti dilansir dari situs Traffic Management Center (TMC) Direktorat Lantas Polda Metro Jaya, Rabu (21/10/2009).

Pukul 09.00 WIB, di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat akan digelar aksi oleh Senat Mahasiswa Sekolah Tinggi Theologia Injili Asastamar.

Kemudian selanjutnya Gerakan Oposisi Rakyat akan melakukan unjuk rasa di Bundaran HI dan depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, pukul 10.00 WIB.

Tidak diketahui berapa banyak massa yang akan terlibat unjuk rasa. Namun, jika anda tidak ingin terhadang macet dalam perjalanan anda, sebaiknya hindari ruas-ruas jalan tersebut. Lebih baik anda memilih jalur alternatif agar bisa sampai di tempat tujuan dengan tepat waktu.

03
Oct
09

Kenegaraan : SBY Harus Pertimbangkan Faktor Cluster, Competencies, dan Chemistry

Cl, Co, dan Ch

detikcom – Sabtu, Oktober 3
SBY Harus Pertimbangkan Faktor Cluster, Competencies, dan Chemistry

Pembentukan kabinet SBY jilid II hendaknya mempertimbangkan tiga faktor
utama, yakni cluster, competencies, dan chemistry. SBY juga sebaiknya
mengakomodasi kandidat dari Indonesia bagian Timur dalam komposisi kabinet
mendatang.

“Saya membayangkan dalam menentukan kabinet nanti lebih baik akan mempertimbangkan tiga hal, di antaranya, cluster yang meliputi representasi
kedaerahan, etnis, umur dan agama. Kedua, competencies yang meliputi track
record dan integritas. Dan ketiga adalah chemistry, kedekatan dan loyalitas,” ujar Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Bima Arya Sugiarto.

Pendapat itu dikemukakan dalam diskusi public bertajuk ‘Kontribusi Saudagar dan Pengusaha dalam Kabinet SBY Jilid II’ di Restoran Sindang Reret, Jl Wijaya I, Jakarta, Jumat (2/10/2009).

Bima juga menyoroti pentingnya akomodasi kandidat dari Indonesia bagian Timur dalam komposisi kabinet mendatang.

“Rahmat Gobel dan Felix Wanggai adalah dua contoh kandidat yang dapat mewakili Indonesia bagian Timur. Gobel misalnya, seorang pengusaha, berasal dari Indonesia Timur dan berusia muda,” tandas Bima.

Selain itu, Bima berpendapat bahwa pengusaha yang masuk bursa kabinet hendaknya bukan pengusaha hitam. “Lebih baik pengusaha yang berdarah-darah dalam membangun usahanya bisa masuk kabinet, bukan pengusaha rente atau pengusaha hitam,”pungkasnya.

04
Sep
09

Politik : Kabinet SBY-Boediono

Kabinet SBY-Boediono

KOMPAS, Jumat, 4 September 2009 | 02:49 WIB

Miftah Thoha

Menjelang pelantikan presiden, 10 Oktober 2009, banyak dikemukakan harapan, ramalan, dan suara-suara komentar bagaimana SBY-Boediono membentuk kabinet.

Tulisan ini juga ikut nimbrung meramaikan ramalan kabinet yang akan datang. Kabinet baru banyak menarik perhatian masyarakat karena dari susunan kabinet yang baik diharapkan akan membawa perbaikan kondisi masyarakat.

Kabinet yang baik pasti akan diisi oleh orang-orang yang baik, profesional, ahli di bidangnya, dan mengetahui seluk-beluk kementerian yang dipimpinnya.

Kondisi

Bentuk kabinet nanti dapat diramalkan dan dipastikan tidak bakal ramping, besar, dan kuat, tetapi melemahkan kontrol dari DPR dan desentralisasi pemerintahan daerah. Mengapa demikian? Karena ada tiga kondisi yang sekarang mulai tampak pada saat-saat SBY-Boediono mau dilantik dan menyusun anggota kabinetnya.

Ketiga kondisi itu, pertama, UU No 39/2009 tentang Kementerian Negara. Kedua, partai-partai koalisi yang pasti menginginkan jatah kementerian. Ketiga, upaya Partai Demokrat yang mabuk kemenangan melakukan silaturahim ke PDI-P dan Golkar ditambah Gerindra.

Undang-undang tentang kementerian, bagaimanapun akan dijadikan landasan penyusunan kabinet. Jika tidak, kabinet yang akan datang tidak patuh dan tak mau melaksanakan undang-undang dan ini akan menyalahi sumpah presiden.

Dalam undang-undang kementerian, hal ini sudah ditentukan jumlahnya, tidak boleh lebih dari 34 kementerian. Jumlah ini kira-kira tidak jauh dari jumlah kabinet SBY-JK.

Jika kabinet ini besar, resentralisasi kekuasaan akan melemahkan proses desentralisasi ke daerah. Proses desentralisasi ke daerah yang selama era reformasi telah kita mulai akan tersendat.

Peran kementerian yang seharusnya tidak terlalu besar hanya membuat kebijakan strategis yang bisa berupa norma, standar, dan pedoman pokok akan mulai mengatur dan mengintervensi peran daerah dalam melaksanakan standar, norma, dan pedoman pokok tadi.

Diperkirakan penghapusan peraturan daerah oleh kementerian akan lebih banyak dilakukan. Kejadian seperti ini membuat peran kementerian semakin kuat dan tidak hemat anggaran.

Kehadiran partai-partai politik pendukung atau koalisi yang tujuannya akan mendapat jatah kementerian akan membuat tidak efektifnya kabinet presidensial.

Kewenangan dan diskresi presiden untuk mengatur dan menyusun kabinetnya akan berkurang. Desakan partai politik menjadi pertimbangan bagi presiden untuk mengakomodasi susunan kementerian.

Kementerian yang dibentuk karena pertimbangan ini tidak akan efektif menyejahterakan masyarakat, sebaliknya akan menjadi lumbung atau ATM bagi partai partai politik itu. Hubungan jabatan politik yang dari parpol dengan pejabat karier di birokrasi pemerintah tidak serasi dan harmonis.

Orang-orang dari elite partai politik selama 10 tahun ini belum ada yang menampakkan diri sebagai calon menteri yang profesional, ahli, dan memahami seluk-beluk kementerian, apalagi sangat minim sebagai negarawan.

Sebaiknya partai-partai politik bisa menahan diri dan tidak mengandalkan tekanan kepada presiden sebagaimana terjadi saat SBY-JK menyusun kabinet.

Partai Demokrat

Kemenangan Partai Demokrat tampaknya membuat partai ini merasa besar dan ada di atas angin. Karena itu, Partai Demokrat mulai merintis mendekati dua partai politik besar yang menjadi rival SBY-Boediono dalam pilpres yang lalu.

Golkar dan PDI-P jika konsekuen tidak tergoda di kabinet, dua partai ini akan berada menyeimbangkan kekuasaan sebagai pengontrol pemerintah di DPR. Kejadian ini yang ditakuti Partai Demokrat terhadap jalannya pemerintahan lima tahun ke depan.

Karena itu, Partai Demokrat mencoba menjinakkan kedua partai besar ini agar kelak tidak galak di DPR. Bisa dibayangkan, kontrol DPR tidak setajam DPR kemarin dan akan mengulang DPR Orde Baru. Jika ini terjadi, jelas akan membahayakan demokrasi yang selama ini dikembangkan dan kita akan terperangkap hal-hal yang bisa memandulkan demokrasi.

Karena itu, diharapkan Partai Demokrat tidak perlu takut dan khawatir jika kabinet presidensial itu diberi kewenangan dan diskresi presiden sepatutnya kepada SBY dan Boediono. Golkar dan PDI-P tidak perlu dirayu. Biarkan dua partai besar ini bermain cantik sebagai oposan di DPR. Dengan cara ini, demokrasi kita akan semakin meyakinkan.

Miftah Thoha Guru Besar UGM

03
Aug
09

Prerogatif Presiden dan Kapling Kabinet

SUARA PEMBARUAN

ZOOM2009-08-03Prerogatif Presiden dan Kapling Kabinet
Bambang Nuroso
Pascapemilihan presiden (pilpres) dengan kemenangan Dr Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden RI (2009-2014) muncul frakmentasi politik tentang prerogatif presiden atas pengangkatan kabinet dan berbagai tuntutan kapling kabinet. Koalisi politik bukan saja menyulitkan presiden. Di satu sisi, mengenai kabinet sebenarnya sepenuhnya menjadi hak prerogatif presiden, namun dalam realita politik, presiden dari awal sudah membuka pintu koalisi dengan kekuatan-kekuatan politik lainnya. Pertimbangannya mudah ditebak, bahwa perlu kerja sama eksekutif dan legislatif yang lebih solid, serta memudahkan setiap pengambilan kebijakan publik . Partai-partai politik mitra koalisi di parlemen tentu akan meratakan jalan presiden dan jelas membantu mengurangi risiko hambatan legislasi.

Era kepresidenan kedua SBY akan sangat berat, karena harus membuktikan janji-janji politiknya. Bukan saja janji politik kampanye, tetapi kompleksitas akumulasi harapan di tengah masyarakat yang sedang dilanda kesulitan dan frustasi. Oleh karena itu, jajaran kabinet dituntut lebih mewakili “profesionalitas”, apalagi sistem pemerintahaan yang kita anut adalah presidensial, dan bukan lagi karena tekanan politik mitra koalisi layaknya sistim parlementer. Prerogatif itu harus tegak dan tidak main-main membawa amanat rakyat, yang telah membiayai pemilu dengan sangat mahal.

Hak prerogatif presiden hendaknya tidak disertai dengan menyuguhkan calon menteri. Biarkan dan pastikan bahwa presiden dengan keleluasaannya memilih para kandidat/tim kabinetnya. Presiden sudah punya mekanisme yang tidak perlu diragukan oleh publik, karena pasti presiden tidak ingin kecolongan atau salah pilih.Tenggat waktu tiga bulan sejak resmi diumumkannya hasil perolehan pilpres oleh KPU hingga Oktober 2009 nanti adalah waktu yang cukup bagi presiden terpilih untuk memilih bakal calon pembantunya sebelum ia (presiden) dilantik.

Maraknya isu tentang pembagian kursi kabinet justu kontra poduktif dengan apa yang sebenarnya menjadi prerogatif presiden. Seyogianya, para elite lebih meningkatkan political awareness mereka sebagai simbol kedewasaan politik di dalam nadi demokrasi. Demokrasi tidak akan berjalan baik, kalau para penyandang otoritas politik masih tenggelam dalam political ego, yang sarat dengan keringnya nilai kenegarawanan.

Kabinet tidak identik dengan kapling yang harus dibagi-bagi oleh karena alasan koalisi politik. Tetapi, kabinet adalah kunci mesin birokrasi yang sangat pofesional, yang tak bisa ditawar dan sepenuhnya di bawah tanggung jawab presiden. Kesalahan penempatan seseorang di dalam jajaran kabinet adalah dosa periode kepresidenan yang harus ditanggung seorang presiden, dan oleh karenanya, para elite partai tidak usah memaksakan kehendak. Waktunya negeri ini diisi oleh mereka yang berkompeten, dinamis, muda, cerdas, cepat, karena alasan sempitnya waktu untuk menolong mereka (rakyat) yang sedang terkapar dalam kesulitan.

Kabinet Ramping

Kabinet pun perlu tampil ramping, sehingga memudahkan presiden untuk mengoordinasikan berbagai program kerja masa kepresidenannya. Kabinet yang ramping memungkinkan presiden dengan mudah mengontrolnya, apalagi upaya rasionaliasi birokrasi nyaris belum tersentuh, selama ini. Perampingan kabinet otomatis akan mengurangi peluang pembagian kapling yang diperebutkan apalagi ditinjau dari segi efisiensi belanja negara. Dan perampingan akan menghindarkan presiden dari sandera politik karena pembagian kursi menteri. Logika koalisi politik tidak lagi termaknai hanya dengan pembagian kursi kabinet, melainkan tempat terhormat untuk membuka peluang komunikasi politik yang hidup antara presiden dan mitra koalisinya.

Meski tidak harus berada dalam jajaran kabinet, koalisi dinamis mencerminkan paradigma baru dalam tradisi politik di Indonesia. Konfigurasi politik akan terjadi dan terbangun, karena saling memahami posisi masing-masing tanpa adanya tekanan, hanya karena alasan balas budi. Kabinet yang ramping mencerminkan kehadiran pemerintahan yang efisien, efektif, dan prerogatif presiden tidak lagi harus terganggu dengan isu perampingan kabinet.

Penulis adalah staf pengajar Pascasarjana Kajian Wilayah Amerika Universitas Indonesia

03
Aug
09

Jajak Pendapat : Sosok Kabinet dalam Impian Publik

Jajak Pendapat Kompas
Sosok Kabinet dalam Impian Publik

KOMPAS, Senin, 3 Agustus 2009 | 03:08 WIB

Oleh GIANIE

Pascapenetapan hasil rekapitulasi suara pemilu presiden memastikan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan kembali memimpin negeri ini. Terkait dengan hal ini, publik berharap Presiden diperkuat oleh susunan kabinet pemerintahan yang bukan sekadar pemenuhan kepentingan partai politik.

Demikian salah satu kesimpulan dari hasil jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas, pekan lalu, untuk mengetahui harapan publik menjelang dibentuknya kabinet baru.

Dalam hal ini, mayoritas responden (89,1 persen) menginginkan kabinet yang terbentuk sepantasnya dipenuhi oleh sosok menteri yang profesional, yaitu orang-orang yang berkompeten di bidangnya, ketimbang perwakilan partai yang belum teruji kemampuannya.

Profesionalitas di mata publik merujuk pula pada berbagai kombinasi latar belakang para menteri. Latar belakang yang dimaksud menyangkut rekam jejak pengalaman mereka, baik dalam pekerjaan maupun berorganisasi, latar belakang pendidikan, dan sisi moral atau kepribadian calon menteri tersebut.

Adapun latar belakang afiliasi partai politik, kesukuan, dan bahkan agama calon, menurut hasil jajak pendapat ini, juga menjadi faktor turut menjadi pertimbangan.

Namun, kendati diperlukan, menurut responden, faktor-faktor tersebut tidak menjadi variabel penting dalam pertimbangan.

Konsistensi harapan

Tampaknya, bukan tanpa alasan masyarakat menginginkan presiden terpilih harus cermat dalam memilih para pembantunya. Alasannya, tantangan yang dihadapi bangsa ini ke depan tidaklah ringan. Terutama terkait dengan antisipasi dan pemulihan dari krisis ekonomi yang terjadi secara global serta tuntutan memperbaiki kesejahteraan rakyat.

Kecermatan semacam ini juga menjadi penting ketika suatu pemerintahan bersandar pada pencitraan. Terlebih, periode kedua kepemimpinan Presiden Yudhoyono kali ini menjadi ajang pembuktian bagi masyarakat akan berhasil atau tidaknya pemenuhan segenap program kerja ataupun janji-janji perbaikan yang telah dicanangkan pada masa sebelumnya.

Tuntutan masyarakat yang tinggi terhadap kualitas kabinet tecermin pula dalam setiap bidang persoalan dan tantangan persoalan tersebut pada masa mendatang.

Terkait dengan tantangan ekonomi ke depan, misalnya, harapan terhadap sosok menteri-menteri bidang ekonomi menjadi lebih tinggi. Hampir seluruh responden (di atas 90 persen) menginginkan jabatan-jabatan kunci, seperti menteri keuangan, menteri perdagangan, dan menteri pertanian, ditempati oleh orang-orang yang profesional di bidangnya (lihat grafis).

Juga terhadap jabatan menteri pendidikan dan menteri kesehatan yang menjadi indikator tingkat kualitas hidup masyarakat. Mereka yang pada posisi inilah yang berkaitan secara langsung dengan pembuatan kebijakan yang prorakyat dan tidak didasarkan pada pertimbangan kepentingan strategis partai politiknya.

Menelusuri lebih jauh, pandangan masyarakat yang mengedepankan aspek profesionalitas dalam penentuan susunan kabinet tidak baru muncul menjelang pembentukan kabinet Yudhoyono periode kedua ini.

Pada periode awal pemerintahan Yudhoyono pun publik telah mengharapkan menteri-menteri yang menangani bidang ekonomi, hukum, maupun kesejahteraan masyarakat berasal dari kaum profesional. Persentasenya berkisar antara 60 persen dan 70 persen. Hanya di bidang politik, sosok menteri bisa diakomodasi berasal dari bukan kalangan profesional.

Konsistensi keinginan publik dari masa ke masa ini melahirkan pertanyaan, di manakah keberadaan dan peran partai politik dalam pemerintahan? Bagi publik, keberadaan partai politik bukan berarti harus dipinggirkan dalam penyusunan kabinet. Mereka menyadari bahwa parpol cukup berperan mengantarkan terbentuknya suatu pemerintahan. Oleh karena itu, keberadaan parpol bagi publik masih dapat diakomodasi di dalam pemerintahan sebagai bentuk kompromi. Namun, seberapa besar ruang yang bisa ditoleransi untuk parpol di kabinet ini bersifat relatif. Masyarakat memiliki persepsi yang berbeda dalam waktu yang berbeda pula mengenai tingkat toleransi tersebut.

Hasil jajak pendapat tiga bulan yang lalu yang dilakukan beberapa hari pascapemilu legislatif, misalnya, menunjukkan, sebagian besar responden menyatakan penerimaan mereka bahwa pemerintahan yang baru dalam memilih para menterinya dapat mengakomodasi unsur dari partai-partai politik yang memperoleh suara besar dalam pemilu legislatif. Sikap itu diutarakan oleh dua dari tiga responden (66,3 persen).

Hambatan politik

Perlunya menyusun kabinet yang mengakomodasi banyak kepentingan partai ini sempat pula diutarakan oleh Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono, sesaat setelah hasil hitung cepat pemilu legislatif menunjukkan bahwa partainya sebagai bakal pemenang.

Yudhoyono saat itu menyatakan bahwa berkaca pada pengalaman pemerintahan sebelumnya, koalisi parpol diperlukan di dalam pemerintahan yang baru. Akan tetapi, koalisi parpol yang terbentuk harus didasarkan pada kontrak politik. Bagi Yudhoyono, kontrak politik yang dibuat harus jelas, ada aturan tertulisnya, dan dipublikasikan kepada masyarakat sebagai bentuk kontrol.

Model kabinet yang mengakomodasi banyak kepentingan partai politik ini biasa disebut dengan kabinet pelangi. Sebenarnya, model semacam ini dimaksudkan agar kebijakan-kebijakan yang diinginkan serta yang dijalankan pemerintah tidak mendapat hambatan politik berarti, terutama di parlemen yang memang terdiri dari berbagai kekuatan politik yang tidak sepenuhnya dikuasai oleh partai politik yang menjadi basis kekuatan pemerintah saat ini.

Oleh karena itu, guna mengimbangi kekuatan yang ada di parlemen, presiden terpilih menghimpun kekuatan partai-partai politik lain dalam suatu koalisi politik. Sebagai konsekuensi, jalinan koalisi ini tecermin pula dalam susunan kabinet.

Namun, pada sisi lain model kabinet semacam ini tidak lepas pula dari berbagai gugatan. Persoalannya bermuara pada konsekuensi ”bagi-bagi” kekuasaan yang kerap kali berujung pada pemenuhan kepentingan partai politik dibandingkan dengan kepentingan masyarakat sebagai tujuan akhir dari kerja pemerintahan.

Persoalan semacam ini pula yang menjadi salah satu alasan mengapa publik lebih menyukai sosok profesional dalam susunan kabinet pemerintahan.

Akan tetapi, mereka pun menyadari, munculnya sosok menteri yang profesional dapat pula berasal dari partai politik. Hanya, masalahnya kini, dengan kondisi kabinet yang tersusun dari berbagai kekuatan politik, apakah presiden terpilih tidak akan terlemahkan oleh pengaruh dan tekanan politik dari koalisi politik yang dibentuknya sendiri?

Memang, hanya waktu yang akan membuktikan. Namun, apabila hal demikian ditanyakan kepada publik, saat ini lebih dari separuh bagian di antaranya menyatakan keyakinan mereka bahwa Presiden Yudhoyono akan mampu menghadapi pengaruh dan tekanan politik dari partai-partai yang mendukungnya. (LITBANG KOMPAS)

03
Aug
09

(Dis)Orientasi ParPol

(Dis)orientasi Parpol

Senin, 3 Agustus 2009 | 02:52 WIB

Oleh William Chang

Spekulasi susunan kementerian SBY-Boediono terus beredar setelah mereka keluar sebagai pemenang Pilpres Juli 2009. Sejumlah parpol koalitif mulai menagih kursi dalam kabinet SBY-Boediono.

Salah satu kearifan PPP yang tidak berniat mengemis kursi dalam kabinet 2009-2014 termasuk diskursus penting bagi dunia parpol di Tanah Air. Di balik kearifan virtual-politik ini terselubung sebuah ketulusan politik berwawasan luas. Parpol ini tidak menuntut balas budi kendati tidak sedikit anggotanya memilih SBY-Boediono.

Kematangan sikap ini mendukung SBY-Boediono dalam menerapkan prinsip the right man in the right place. Kepentingan parpol tunduk kepada kepentingan nasional.

Pembentukan setiap kabinet pemerintahan pada dasarnya tidak wajib memenuhi tuntutan parpol koalitif. Sebuah team work profesional, aktif, kreatif, dan sanggup menciptakan perbaikan sosial, ekonomi, politik, religius dan keamanan sedang dinantikan.

Betapapun, kecenderungan ”menuntut” kursi ministerial akan memengaruhi arah kebijakan SBY-Boediono lima tahun mendatang. Sejauh manakah menteri yang ditawarkan sanggup menjalankan program dan orientasi pemerintah demi kepentingan seluruh bangsa? Mampukah calon menteri ”tawaran” itu menempatkan kepentingan partial di bawah kepentingan seluruh bangsa?

(Dis)orientasi parpol

Dalam I partiti politici e l’ordine morale (1981), Gino Concetti menggarisbawahi keharusan setiap parpol untuk mengharmoniskan kegiatannya dengan parpol lain dalam sistem pemerintahan demokratis.

Lazim, parpol memiliki perwakilan dalam parlemen, tetapi tidak wajib mempunyai wakil dan kursi dalam pemerintahan. Kodrat koneksitas antarparpol dapat berupa kerja sama atau oposisi terhadap pemerintah.

Orientasi parpol berbeda dalam sistem pemerintahan totaliter dan demokratis. Dalam sistem totaliter biasanya pemerintah terbentuk dari anggota-anggota parpol tunggal yang mengontrol dan menguasai seluruh sistem pemerintahan.

Hidup dan aktivitas komunitas diatur dan diarahkan parpol penguasa. Umumnya sistem totaliter ini dianut rezim militer. Sistem monopoli kekuasaan parpol sangat terasa.

Sementara dalam sistem demokratis seperti NKRI, pemerintah melakonkan peran khusus menurut ketentuan konstitusi. Pelayanan langsung dalam komunitas politik, ekonomi, sosial, agama, dan kebudayaan diterapkan sesuai dengan kebutuhan.

Pemecahan masalah-masalah sosial bukan hanya tanggung jawab parpol tunggal, tetapi diselesaikan menurut prinsip-prinsip konstitusional yang berlaku dalam sebuah komunitas.

Disorientasi politik akan terjadi kala parpol mulai mendominasi legitimitas otonomi pemerintah, sebab kedaulatan kekuasaan pemerintah berasal dari rakyat yang langsung memilih presidennya.

Parpol tidak dengan sendirinya identik dengan rakyat. Salah satu jalan keluar dalam mewujudkan kerja sama yang serasi antara parpol dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dalam sebuah demokrasi majemuk non-presidensial adalah membentuk sebuah sistem pemerintahan koalisi. Unsur-unsur parpol diperhatikan dan dipertimbangkan dalam mewujudkan sistem pemerintahan yang baik, bersih, transparan, dan bertanggung jawab.

Parpol, sekolah politik

Parpol yang bertumbuh ibarat jamur di musim hujan tidak saja mendatangkan rezeki, tetapi juga menimbulkan disorientasi politik. Jual-beli parpol sebagai perahu politik berlangsung selama pilkada dan pilpres.

Padahal, salah satu fungsi penting parpol adalah mengembangkan dimensi pendidikan politik. Yang sedang terjadi adalah peralihan peran utama parpol sebagai instrumen kekuasaan dan bukan sebagai promosi kemanusiaan.

Dalam konteks pendidikan ini, parpol lebih berperan sebagai ”radar” yang memantau dan mendengarkan kepentingan dan tuntutan dalam komunitas.

Parpol sebaiknya berperan sebagai ”nabi-nabi” atau ”saraf- saraf elektronik” yang dapat membaca tanda-tanda zaman, evolusi, dan modifikasi sosial. Nilai-nilai dasar kemanusiaan, keadilan, demokrasi, dan kesejahteraan dibela dalam sistem pendidikan parpol sehingga parpol tidak lagi terjerumus dalam kecenderungan brutal dalam menghadapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, dan agama.

Dimensi pluripartitisme perlu dipertimbangkan sebagai konsekuensi logis dari kebebasan berpendapat dan berorganisasi. Malah, dari sudut pandang antropologi-sosial, pluripartitisme ini membuktikan kekayaan sosial dalam sebuah masyarakat demokratis.

Gerakan-gerakan sektarian yang ingin membangkitkan kembali uniformisme tampaknya akan meruntuhkan bingkai pluripartitisme. Hanya, jumlah parpol yang berlebihan dalam sebuah negara akan membingungkan rakyat.

Tentu, disorientasi parpol akan teratasi dengan menggali makna utama pembentukan parpol dalam sebuah negara demokratis yang mempromosikan kemanusiaan, keadilan, dan kesejahteraan. Visi dan misi parpol perlu menanggalkan budaya komersialisasi diri dalam konteks pilkada atau pilpres. Tidak ada kewajiban bagi semua anak warga bangsa untuk menggabungkan diri dengan parpol tertentu.

William Chang Ketua Program Pascasarjana STT Pastor Bonus

11
Jul
09

Gerbong Menteri PAN

SUARA PEMBARUAN

ZOOM2009-07-10Gerbong Menteri PAN
Perpecahan di internal PAN menimbulkan dilema berkepanjangan. Pasca- kemenangan pasangan SBY- Boediono yang secara formal diusung pula oleh PAN, muncul persoalan terkait jatah menteri dari partai tersebut yang bakal duduk dalam kabinet pemerintahan mendatang.

Sebagaimana diketahui, setelah ketua umum Soetrisno Bachir (SB) tak mampu mengubah haluan partai yang sudah telanjur merapat ke Demokrat dan juga manuver sesepuh partai Amien Rais yang gagal menyandingkan Hatta Rajasa dengan SBY, kubu pendukung SBY-Boediono di PAN dikendalikan oleh Hatta.

Kini setelah SBY-Boediono menang, mencuat pertanyaan siapa yang akan mengajukan calon menteri PAN ke SBY?

Menurut sumber SP di tubuh PAN, SB sangat tahu diri sehingga tak berminat sedikit pun mengajukan calon menteri. “Mas Tris (panggilan akrab SB) sangat cuek dengan persoalan mengenai siapa-siapa yang akan menjadi menteri dari PAN. Sejak awal masa kampanye SBY-Boediono, Mas Tris tak mau masuk dalam tim kampanye. Hal inilah yang membuatnya enggan untuk mengusulkan calon menteri dari jalur resmi,” kata sumber SP, Jumat (10/9).

Soal adanya nama-nama kader PAN yang diusulkan masuk dalam gerbong kabinet pemerintahan 2009-2014, dia menegaskan bahwa mereka tidak pernah diusulkan oleh SB. Lantas siapa yang mengusulkan mereka?

Sumber lainnya mengatakan, “Hatta Rajasa memainkan peran penting di balik terpilihnya orang-orang PAN ke dalam kabinet.” [EMS/W-8]




Blog Stats

  • 4,407,564 hits

Archives

Recent Comments

Ratu Adil - 666 on Kenegarawanan : Harta Amanah B…
Ratu Adil - 666 on Kepemimpinan : Satrio Piningit…
Ratu Adil - 666 on Kepemimpinan : Satrio Piningit…
Ratu Adil - 666 on Kenegarawanan : Harta Amanah B…
Ratu Adil - 666 on Kenegarawanan : Harta Amanah B…