21
Jan
13

Pendidikan Karakter Bangsa

PENEGAK KONSTITUSI PROKLAMASI 1945

OLEH

LETJEN TNI H. MOETOJIB

Ketua Umum Yayasan Jati Diri Bangsa

ARTI DAN PERAN PENTING

KARAKTER DAN BERKARAKTER

DALAM KEHIDUPAN

 

  1. I.      Pendahuluan

 

  1. a.   Yayasan Jati Diri Bangsa ( YJDB )

1). Yayasan Jati Diri Bangsa (YJDB) adalah kumpulan individu warga Negara Indonesia yang independen, bersifat lintas suku, agama, ras, etnik, budaya dan golongan, yang merasa terpanggil untuk berbuat sesuatu betapapun kecilnya demi kebangkitan Indonesia menuju bangsa dan Negara yang maju, sejahtera, berdaulat dan bermartabat.

2). Visi YJDB adalah : Terbangunnya jati diri dan karakter anak bangsa, agar jati diri bangsa yang tidak lain adalah Pancasila teraktualisasikan secara mantap dalam keseharian kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sedangkan misi YJDB adalah membina ketauladanan terutama di kalangan generasi muda, agar kelak dapat tampil sebagai pemimpin yang berjati diri dan berkarakter. Ketauladanan yang di maksud adalah dalam berprilaku terpuji, yang rujukannya adalah nilai-nilai Pancasila, sehingga diharapkan setiap anak bangsa akan tampil religius, humanis, patriotik/nasionalistik, demokrat dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dalam perilaku kesehariannya.

  1. b.   Pengertian-pengertian

1)   Jati Diri

a)  Jati diri didasarkan pada kesadaran tentang essensi keberadaan kita sebagai manusia, baik sebagai mahluk individu, mahluk sosial dan mahluk Tuhan, disertai kesadaran yang kuat bahwa hidup adalah perjuangan.

b)  Secara umum jati diri diartikan sebagai identitas yang mengandung ciri-ciri khusus yang berfungsi sebagai penanda keberadaan maupun pembeda bagi seseorang dan yang lain. Di samping itu, jati diri juga mengandung pengertian “siapa diri kita sesungguhnya” (bahasa jawa : sejatining diri). Di sini hakekat jati diri adalah fitrah manusia yang juga disebut nur illahi/hati nurani yang berisikan percikan-percikan sifat ilahiah dalam batas-batas kemampuan insani yang di berikan sejak lahir.

c)  Menurut psychologi islami, ada tiga komponen yang membentuk manusia, yaitu nyawa/ruh, jiwa dan raga. Jiwa terdiri dari : qalbu, akal pikiran dan nafsu. Hati nurani/nurillahi bersemayam di dalam qalbu. Jernih atau buram/gelapnya hati nurani menyinari akal pikiran seseorang sangat tergantung dari seberapa pekat kotoran batin yang menutupi qolbunya (kotoran-kotoran batin berupa sifat-sifat iri, dengki, dendam, benci, pemarah, malas, serakah dan semacamnya).

d)  Cita-cita YJDB melalui visinya yaitu : terbangunnya jati diri dan karakter anak bangsa tidak lain adalah untuk mewujudkan anak bangsa yang “berjati diri” , dalam arti selalu mengedepankan “hati nuraninya” dalam setiap pemikiran sikap dan perilakunya. Kalau hal ini dapat terwujud, pasti akan terwujud pribadi-pribadi anak bangsa yang berkarakter dan berjati diri (mulia ahlaknya, luhur budi pekertinya) “Bangsa yang berkarakter dan berjati diri akan jaya, sedangkan bangsa yang kehilangan jati dirinya akan musnah demikian kata orang bijak.

2)   Karakter

a)    Arti kata “karakter” sebetulnya adalah “ciri khas”. Namun dalam psikologi artinya dapat : watak, sifat luhur/nurani, kepribadian. Istilah “karakter” digunakan untuk menunjukkan hal-hal yang berkaitan dengan baik buruk, dan merupakan sesuatu yang terbentuk melalui interaksi subyek dengan lingkungan terdekat ( orang tua, guru, dll). Hasil interaksi ini berada di “dalam” diri seseorang dan merupakan landasan seseorang berperilaku yang kaya karakternya baik, akan mewujudkan kebajikan universal dalam masyarakat.

b)   Karakter memang sulit didefinisikan, namun barangkali akan lebih mudah dipahami melalui uraian-uraian berisi pengertian sbb :

(1) Quraish Shihab :

Karakter merupakan himpunan pengalaman, pendidikan dan lain-lain yang menumbuhkan kemamapuan di dalam diri kita, sebagai alat ukir yang mewujudkan pemikiran, sikap dan prilaku antara lain akhlak mulia dan budi pekerti luhur.

(2) Nani Nurrahman :

Karakter merupakan sistem daya juang yang menggunakan nila-nilai moral yang terpatri dalam diri kita, yang melandasi sikap dan perilaku.

(3) HD. Bastaman :

Karakter merupakan aktualisasi potensi dari dalam dan internalisasi nilai-nilai moral dari luar, yang menjadi bagian kepribadiannya.

(4) Soemarno Soedarsono :

Karakter merupakan nilai-nilai moral yang terpatri dalam diri kita melalui pendidikan, pengalaman, percobaan, pengorbanan dan pengaruh lingkungan, menjadi nilai intrinsik yang mewujud dalam sisitem daya dorong/juang, yang melandasi pemikiran sikap dan perilaku kita.

(5) Sigmund Freud :

Karakter merupakan kumpulan tata nilai yang mewujud dalam suatu sistem daya juang, yang melandasi pemikiran, sikap dan perilaku.

(6) Imam Al Ghazali  :

Ahlak adalah sifat yang tertanam, menghunjam di dalam jiwa dan dengan sifat itu seseorang akan secara spontan dapat dengan mudah memancarkan sikap tindakan dan perbuatan.

(7) Yayasan Jati Diri Bangsa :

Karakter merupakan sistem daya juang/dorong yang menggunakan nilai-nilai moral yang terpatri dalam diri kita (perpaduan aktualisasi potensi dari dalam dan internalisasi nilai-nilai moral dari luar) yang melandasi pemikiran sikap dan perilaku

(8) Penulis :

  • Karakter merupakan aktualisasi potensi dari dalam dan internalisasi nilai-nilai moral dari luar
  • Menjadi nilai intrinsik yang terpatri di dalam diri kita
  • Mewujud menjadi sistem daya dorong/juang yang melandasi pemikiran, sikap dan perilaku.

(9) Orang yang berjati diri :

Orang yang senantiasa mengedepankan penggunaan hati nuraninya, melandasi pemikiran, sikap dan perilaku.

(10) Orang yang berkarakter :

Adalah orang yang memiliki daya dorong/juang yang tinggi/sangat tinggi, untuk mewujudkan kebajikan yang diyakininya, yang selalu bermanfaat bagi orang banyak/sesamanya.

c)    Karakter tidak datang dengan sendirinya, melainkan harus dibentuk, ditumbuh kembangkan dan dibangun secara sadar dan sengaja bahkan kadang-kadang melalui perjuangan yang keras dengan pengorbanan yang besar. Terbentuknya karakter juga dipengaruhi lingkungan, dan ditentukan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh yang bersangkutan. Kebiasaan berperilaku baik akan menuai karakter baik, sedangkan kebiasaan berperilaku buruk akan menuai karakter buruk. Kebiasaan-kebiasaan (baik maupun buruk) yang telah membentuk karakter seseorang akan menjadi daya dorong dan melandasi pemikiran, sikap dan perilaku yang bersangkutan selanjutnya.

Oleh karena itu membangun karakter anak bangsa tidak bisa tidak harus dengan jalan  membangun kebiasaan-kebiasaan berperilaku terpuji bagi anak bangsa teresebut.

Untuk itu kurikulum yang berorientasi pada pembangunan karakter di samping berbasis kompetensi mutlak diperlukan dalam sistem pendidikan kita.

d)   Menurut pemahaman YJDB, pada tingkat individu yang dimaksudkan dengan “orang yang berkarakter” adalah orang yang mempunyai karakter baik dan kuat. Oleh karena itu orang yang berkarakter pastilah orang yang baik, sedangkan orang yang baik belum tentu berkarakter, karena mungkin yang bersangkutan lemah karakternya.

3)   Karakter Bangsa.

a)    Terbangunnya jati diri dan karakter anak bangsa yang baik secara akumulatif akan menjadi modal utama pembangunan bangsa selanjutnya. Dengan modal karakter anak-anak bangsa yang baik tersebut, maka nilai luhur budaya bangsa (Pancasila) pasti akan dapat teraktualisasikan secara baik pula. Teraktualisasinya nilai-nilai Pancasila merupakan perwujudan kebajikan universal yang ditampilkan oleh anak-anak bangsa yang berkarakter dan berjati diri. Pancasila adalah kebajikan yang mencakup nilai-nilai spiritualitas, keadilan dan kemanusiaan. Dengan demikian negara dan bangsa Indonesia yang maju, sejahtera, berdaulat dan bermartabat bukan lagi hanya sebatas impian, tetapi akan menjadi kenyataan. Cita-cita bangsa dan negara kita yang tersurat dan tersirat dalam pembukaan UUD 1945, akan dapat dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia.

b)   Untuk itu, peran KEMENDIKNAS dalam gerakan pembangunan karakter dan jati diri bangsa, melalui system pendidikan yang berorientasi pada pembangunan karakter, di samping berbasis kompetensi adalah mutlak sangat-sangat menentukan.

c)    Dalam bahasa politik secara popular karakter anak-anak bangsa ini sering kita sebut “karakter bangsa”

4)   Jati Diri bangsa

a)    Jati diri bangsa merupakan nilai luhur budaya bangsa yang oleh para pendiri bangsa dirumuskan sebagai pancasila. Sebagai nilai luhur budaya bangsa, nilai-nilai pancasila harus teraktualisasikan dan menjiwai perilaku segenap anak bangsa pada kesehariannya dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.

Teraktualisasinya nilai-nilai pancasila dalam keseharian kehidupan anak bangsa tidak mungkin hanya dilakukan melalui : diajarkan, diceramahkan, ditatarkan bahkan diindoktrinasikan sekalipun. Nilai-nilai tersebut harus dibudayakan melalui pembiasaan-pembiasaan dengan menggunakan berbagai jalur, baik jalur keluarga, jalur masyarakat dan terutama jalur persekolahan. Strategi yang ditempuh adalah dengan membangun jati diri dan karakter pribadi anak  bangsa secara bottom up, dibarengi ketauladanan secara top down, dengan menggunakan Pancasila sebagai perangkat nilainya.

b)   Jati diri bangsa juga mengandung pengertian sebagai identitas bangsa yang berfungsi sebagai penanda keberadaan, pencerminan kondisi, dan pembeda dengan bangsa lain. Dalam pengertiannya sebagai identitas bangsa, jati diri bangsa mencakup Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Keempatnya merupakan empat pilar bagi bangsa dan negara kita yang harus kita jaga keberadaannya.

c)    Dalam perkembangan selanjutnya kita mengharapkan Pancasila sebagai jati diri bangsa Indonesia menjadi  “IKON” bagi bangsa kita,sebagaimana kata  “BUSHIDO” bagi orang jepang yang terpacu semangatnya bile mendengar kata tersebut.

Demikian juga ungkapan  “ America’s Dream” yaitu, “TO BE THE BEST” yang memacu orang Amerika untuk berusaha meraih yang terbaik. Harapan kita kata “Pancasila” juga dapat memicu setiap orang Indonesia untuk menjadi  “orang baik” dalam arti  “berjati diri dan berkarakter”. Orang yang berjati diri adalah orang yang selalu mengedepankan  “Hati Nuraninya” dalam setiap pemikiran sikap dan perilakunya. Orang yang berkarakter adalah orang yang memiliki daya dorong dan daya juang yang kuat untuk mengamalkan kebajikan yang diyakininya, yang selalu bermanfaat bagi orang banyak/sesamanya.

  1. c.    Beberapa Kata Bijak Tentang Arti dan Peran Penting Karakter.

1)   Samuel Smiles/ Hukum Panen

Barang siapa menanam pikiran,

Dia akan menuai tindakan

Barang siapa menanam tindakan

Dia akan menuai kebiasaan

Barang siapa menanam kebiasaan

Dia akan menuai karakter

Barang siapa menanam karakter

Dia akan menuai nasib.

2)   Billy Graham :

Bila harta hilang, sesungguhnya tak ada yang hilang,

bila kesehatan hilang, ada sesuatu yang hilang

tapi bila karakter hilang maka sesungguhnya, segalanya telah hilang.

3)   Bangsa yang maju dan jaya bukan semata-mata disebabkan karena kompetensi, sumber kekayaan alam maupun kecanggihan teknologinya tetapi yang utama dan terutama adalah karena dorongan semangat dan karakter bangsanya.

4)   Peran karakter bagi diri orang manusia, ibarat kemudi bagi sebuah kapal. Karakter adalah kemudi hidup yang menentukan arah yang benar bahtera kehidupan bagi seseorang.

5)   Antonin Scalia.

Satu-satunya yang tidak dapat diperjual belikan di dunia ini adalah karakter.

  1. II.   Manusia menurut psychology Islam.

 

  1. Seorang manusia terdiri dari tiga komponen yaitu : Nyawa/ruh, jiwa dan raga. Kalau seseorang ditinggalkan nyawanya, maka dia akan mati. Masalah raga dan nyawa tidak akan saya kupas di sini, tapi masalah jiwalah yang akan saya tonjolkan dalam pembahasan ini, karena komponen ini merupakan komponen yang sangat penting yang mempengaruhi perilaku manusia. Sedangkan pembangunan karakter sangat erat dengan pembangunan perilaku manusia.
  1. Komponen jiwa terdiri atas qalbu, akal dan nafsu.

1)  Qalbu.

Qalbu mempunyai kemampuan untuk memperoleh pengetahuan melalui cita rasa pengetahuan yang dirasakan qalbu adalah realitas abstrak seperti kasih sayang, kebencian, kegembiraan, kesedihan, ide-ide baru dan sebagainya. Bila pengetahuan ini berkembang secara wajar, maka orang itu akan mudah empati  artinya orang itu mempunyai kemampuan untuk memahami perasaan orang lain. Qalbu mempunyai kemampuan merasakan getaran perasaan yang ada dalam diri orang lain. Qalbu akan mencapai puncak pengetahuan apabila manusia telah menysucikan dirinya yang ditandai dengan adanya ilham (bisikan suci dari Tuhan). Dalam konsep Islam ada hubungan antara qalbu dan perilaku.

Bila seseorang mempunyai hati yang baik (qalbu salim/maka dia cenderung berperilaku positif. Tapi kadang-kadang hati yang baik tadi melahirkan perilaku negatif, karena pengaruh eksternal dari diri seseorang. Bila perilaku negatif  ini di ulang-ulang dan menjadi kebiasaan, maka keadaan qalbu akan terpengaruh. Qalbu akan menjadi substansi yang berpenyakit, yang ditandai oleh kecenderungan manusia untuk selalu memilih yang mendarat. Qalbu yang berpenyakit yang tidak memperoleh proses pencucian, akan mengantar seseorang pada “hati yang mati” (mati hati nuraninya). Di sinilah agama sangat berperan untuk “menyembuhkan” hati yang berpenyakit tadi.

2)  Akal

Akal yang berpusat di otak memiliki kemampuan memperoleh pengetahuan secara nalar, setelah itu menyimpan pengetahuan tersebut. Kemampuan memperoleh dan menyimpan pengetahuan ini berbeda-beda satu sama lain, tergantung besar kecilnya wadah kognitif yang dimiliki seseorang, semakin besar wadah kognitif seseorang, semakin banyak pengetahuan yang dapat diserap dan disimpannya.

Akal juga dapat menyimpulkan  hal-hal yang tidak diketahui melalui yang diketahui. Penggunaan akal untuk berfikir  akan mengantarkan individu dan masyarakat menjadi pribadi dan masyarakat yang unggul. Apabila akal dan qalbu bekerja secara optimal, maka produk yang keluar dari orang tersebut adalah produk yang optimal pula.

3)  Nafsu

Nafsu memiliki kekuatan mendorong melakukan sesuatu (Al Syahwat) dan menghindari diri untuk melakukan sesuatu ( Al Gadhab). Kecenderungan menghindari diri ini kalau tidak dituntun oleh qalbu dan akalnya akan membuat orang malas beramar makruf dan bernahi munkar, misalnya malas belajar, lari dari tanggung jawab dan sebagainya.

Demikian juga apabila dorongan syahwat ini tidak dikendalikan oleh qalbu dan akal, maka akan menguat apa yang namanya “hawa nafsu”, dan apabila hawa nafsu ini telah menguasai diri seseorang, maka dia akan tumbuh menjadi seeorang yang haus sex tanpa norma, memperoleh harta tanpa aturan, mencari kekuasaan dengan jalan pintas, tegasnya dia akan menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuannya.

Dari uraian tentang ketiga komponen  jiwa yaitu qalbu, akal dan nafsu tersebut di atas, maka untuk membangun karakter seseorang kita harus selalu mengasah qalbunya, agar senantiasa jernih cemerlang menyinari akal dan nafsunya (Dengan siraman-siraman rohani, berdzikir, berdoa serta ketauladanan dengan berprilaku terpuji).

  1. III.       Membangun karakter individu anak bangsa.

 

  1. Membangun karakter individu pada dasarnya dimulai ketika sang bapak berhubungan dengan sang ibu. Oleh karena itu pada saat itu dianjurkan keduanya dalam keadaan tenang, bukan hanya diliputi oleh gejolak nafsu semata. Pada saat si ibu hamil, bagi yang beragama Islam dianjurkan kedua orang tuanya banyak membaca Al Qur’an, agar anak yang dilahirkannya nanti menjadi anak yang soleh. (contoh : kisah kelahiran Rahwana). Di negara barat banyak ibu hamil dianjurkan mendengarkan musik klasik, seolah-olah si janin yang mendengarkan irama klasik ini perasaannya akan terpengaruh dan kelak akan menjadi halus perangainya.
  2. Pada masa anak berusia balita, maka peranan ibu sangat menentukan. Pemberian air susu oleh sang ibu bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan fisik si anak,tapi juga memperkenalkan pada si anak akan rasa cinta dan kasih sayang melalui pelukan dan dekapannya.

Pada masa ini sikap yang penuh cinta dan kasih sayang harus diberikan pada si anak, karena ini akan terekam dalam-dalam dibenak si anak, sehingga si anak akan bersikap seperti itu pula dalam pergaulannya kelak. Sikap-sikap ketauladanan harus ditampilkan oleh kedua orang tua, terutama dalam mengamalkan ibadah sesuai agamanya. Penyampaian nilai-nilai terutama nilai-nilai agama, penentuan-penentuan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh mulai sudah diperkenalkan pada si anak, juga hal-hal yang baik dan tidak baik dan si anak mulai dibiasakan untuk melakukan hal-hal yang baik.

  1. Pada masa remaja, pada umumnya si anak sudah masuk pendidikan, di mana anak sudah menerima pendidikan/pengajaran dari guru-gurunya di samping orang tuanya. Pengaruh teman-teman sekolahnya juga harus diperhitungkan. Oleh karena itu ketahanan “si anak harus benar-benar dimantapkan”. Kita harus yakin “para guru akan memberikan yang terbaik bagi anak didik, tapi pengaruh lingkungan tidak boleh diabaikan.  Di sinilah pentingnya ketahanan “bagi si anak dengan bekal” nilai-nilai moral dan agama yang kuat.
  2. Pada masa dewasa, si anak sudah lebih luas pergaulannya, bukan hanya lingkungan keluarga dan sekolah tapi juga lingkungan masyarakat. Apabila si anak tadi sudah mantap “ ketahanannya” karena bekal nilai-nilai moral yang sudah menyatu dalam jiwanya maka tidak dikhawatirkan lagi akan karakter dan jati dirinya. Bahkan  si anak yang sudah dewasa tersebut dapat memancarkan ketauladanan bagi lingkungannya. (keluarga, sekolah, tempat bekerja dan masyarakat)
  3. Pada masa tua, seseorang yang telah terbina karakter dan jati dirinya diharapkan dapat menjadi panutan bagi lingkungannya di manapun dia berada. Dan sekaligus menularkan perilakunya yang terpuji pada siapapun.

Dari uraian di atas dapat saya sampaikan bahwa pembangunan karakter dilaksanakan mulai individu masih berupa janin, sampai tua, baik dalam lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat maupun lingkungan kerja. Adapun subtansinya adalah pemberian tata nilai, mana yang boleh/baik dan tidak boleh (tidak baik), pembiasaan dan ketauladanan.

  1. IV.  Pancasila sebagai jati diri bangsa.

 

  1. Nilai luhur budaya bangsa yang dirumuskan secara cerdas oleh para pendiri bangsa sebagai Pancasila adalah merupakan jatidiri bangsa Indonesia yang membedakan kita dengan bangsa lain. Nilai-nilai luhur inilah yang harus di wujud nyatakan oleh segenap anak bangsa ini terutama oleh para elite pimpinan di semua tingkatan dan para pemudanya. Secara umum kita harapkan segenap anak bangsa ini dalam kesehariannya tampil : Agamis, humanis, Nasionalistik/Patriotik. Demokratis yang menonjolkan musyawarah mufakat dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan.
  2. Berikut kita bahas nilai-nilai tersebut satu persatu
    1. 1.   Ketuhanan Yang Maha Esa

–     NKRI bukan Negara agama, juga bukan negara sekuler tapi negara yang Berketuhanan Yang Maha Esa.

–     Tiap warga negara berhak melaksanakan ibadah sesuai syarat agamanya masing-masing.

–     Toleransi guna mewujudkan kerukunan dalam kehidupan antar umat beragama, harus mampu mencegah konflik.

–     Menjadi landasan moral yang kokoh dan mendorong terselenggaranya pemerintahan yang baik.

–     Nilai-nilai sila pertama tersebut antara lain keimanan, ketakwaan, kejujuran, ketulusan, keiklasan, toleransi.

 

  1. 2.   Kemanusiaan yang adil dan beradab

–     Memancarkan sifat-sifat : menjunjung tinggi HAM, tenggang rasa/empati

–     Mencegah sifat-sifat :  – Suka memaksakan kehendak

– Suka menggunakan kekerasan

– Suka mementingkan diri sendiri, kelompok,

golongan

–     Nilai-nilai sila kedua tersebut antara lain tenggang rasa, kasih sayang, keadilan.

 

  1. 3.   Persatuan Indonesia

–       Walau terdiri dari berbagai suku, agama, ras dan budaya harus merasa satu, sebagai putra Indonesia.

–       Bersikap nasionalistik dan patriotik.

–       Cinta tanah air, relah berkorban jiwa raga untuk negara dan bangsa.

–       Nilai-nilai sila ketiga tersebut antara lain cinta tanah air/patriotisme. Persatuan/kerukunan, kerelaan berkorban, kebangsaan.

 

  1. 4.   Kerakyatan Yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan.

–       Demokrasi perwakilan yang mengedepankan musyawarah untuk mencapai mufakat (semua tingkat).

–       Melindungi kelompok minoritas dalam masyarakat yang plural (menghargai perbedaan pendapat).

–       Voting dilakukan sebagai jalan terakhir.

–       Nilai-nilai sila keempat tersebut antara lain demokrasi, menghargai sesama, toleransi.

 

  1. 5.   Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

–       Dalam kebijakan kesejahteraan menggunakan prinsip kebersamaan, gotong royong dan solidaritas.

–       Ditunjang sistem jaminan sosial nasional.

–       Nilai-nilai sila kelima tersebut antara lain keadilan, kekeluargaan, gotong royong.

 

V. Kondisi Bangsa saat ini.

 

Kondisi bangsa saat ini sungguh-sungguh memprihatinkan, sebagai akibat terabaikannya pembangunan karakter dan jatidiri bangsa selama ini sebagaimana yang kita lihat dan rasakan.

–       Memudarnya penghargaan pada nilai luhur budaya bangsa dan solidaritas (gotong royong, kekeluargaan).

–       Kurangnya ketauladanan para pemimpin.

–       Lemahnya budaya patuh pada hukum.

–       Cepatnya menyerap budaya global yang negative.

–       Kurangnya kemampuan menyerap budaya gelobal yang mendorong kemajuan bangsa.

–       Ketidak merataan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat.

–       Kepentingan daerah, kelompok, golongan bahkan kepentingan pribadi lebih mendominasi, sehingga melunturkan cita-cita nasional.

–       Korupsi masih merajalela.

–       Acrasi moral semakin dahsyat.

–       Hedonisme dan konsumerisme didorong secara terbuka.

Kondisi tersebut telah menenggelamkan Indonesia dalam krisis kronis yang kian menyesakkan, krisis ekonomi dan moneter menjadi krisis multi dimensi, yang kemudian bermetamorphoses menjadi krisis moral dan hati nurani. Kepemimpinan tanpa dibarengi ketauladanan, banyak para pemimpin yang berteriak berantas korupsi, tapi disekitarnya penuh dengan praktek korupsi.

  1. VI.  Strategi membangun karakter dan jati diri bangsa.

Pembangunan karakter dan jatidiri merupakan “never ending process” dan senantiasa berkesinambungan.

Merujuk pada tulisan Pendiri YJDB, Soemarno Soedarsono dalam bukunya : “karakter mengantar bangsa dari gelap menuju terang”, strategi pembangunan karakter dan jatidiri Bangsa 25 Tahun” sebagai berikut :

  1. Pola Umum

–       Setiap individu anak bangsa harus terlibat

–       Karakter tidak hanya diajarkan tapi juga harus ditularkan, ditanamkan, dibiasakan melalui internalisasi nilai-nilai moral, keteladanan dan sosial control.

–       Melalui gerakan nasional ini harus dapat disiapkan suatu lapisan generasi muda yang berkarakter dan berjati diri, sebagai kader pimpinan bangsa ke depan.

  1. Tujuan

–       Untuk melahirkan generasi muda yang berkarakter dan berjati diri, memiliki kompetensi tinggi, cinta dan setia pada tanah air, bangsa dan negara serta memiliki kwalitas  kepemimpinan yang berkarakter.

–       Menyadarkan seluruh komponen bangsa mengenal arti penting karakter dan berkarakter, guna meningkatkan harkat dan martabat individu anak bangsa, masyarakat, bangsa dan Negara.

–       Membangun jati diri dan karakter anak bangsa dibarengi ketauladanan para pemimpin di semua tingkatan untuk membangun ketahanan pribadi individu, keluarga, masyarakat. Sehingga terwujud ketahanan nasional yang tangguh.

–       Membangun landasan yang kokoh/kuat guna membangun peradaban yang tinggi berdasarkan nilai-nilai luhur Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, UUD ’45 dalam bingkai NKRI.

  1. Pelaksanaan.

1)   Disekolah.

–     Sosialisasi mengenai pembangunan karakter dan jati diri bangsa melalui program pelatihan bagi guru, dosen, pendidik dan pengelola sekolah.

–     Menemukan model pendidikan yang berorientasi pada pembangunan karakter di samping berbasis kompetisi.

Usaha ini dilaksanakan oleh Yayasan Jati Diri Bangsa bekerjasama dengan Yayasan Dian Didaktika, Medco- Yayasan Avicenna, UNJ, dan beberapa sekolah di DKI melalui suatu program Pilot Project, yang hasilnya telah disumbangkan pada pemerintah Cq. Kemendiknas guna menyempurnakan Sisdiknas. Usulan penyempurnaan UU. No.20/thn 2003 tentang sisdiknas.

2)   Di rumah/keluarga

–  YJDB ingin melontarkan Gerakan Nasional Ibu Bangsa, dengan tujuan menggugah kesadaran kaum ibu Indonesia untuk kembali pada fitrahnya yaitu menangani pembangunan karakter anak sejak dini.

–  Dalam pelaksanaannya YJDB akan bekerjasama   dengan berbagai organisasi wanita terutama PKK, untuk kampanye dan mensosialisasikan gerakan ini, terlebih-lebih kalau hal ini menjadi programnya Kemendagri.

–  Doa dan kata-kata bijak, ditempatkan di meja belajar anak-anak sekolah.

–  Pembuatan stiker-stiker yang memacu terbangunnya karakter dan jatidiri dari bangsa, termasuk stiker pembatas buku.

Pembangunan karakter dilaksanakan melalui  4 koridor :

  • Internalisasi tata nilai.
  • Menyadari, mana yang boleh/tidak boleh.
  • Membangun kebiasaan.
  • Membangun keteladanan.

3)   Di masyarakat.

Dilaksanakan program revitalisasi jati diri bangsa yang dilakukan oleh segenap komponen bangsa pada prinsipnya program ini menggabungkan dua pendekatan, yaitu bottom up dan top down, yang hasilnya terakumulasi, yaitu terbangunnya karakter dan jati diri bangsa.

  1. VII.      Catatan
  2. Untuk mewujudkan pribadi unggul yang efektif perlu dibentuk melalui 11 kebiasaan :
SIKAP DASAR

1.Jujur

2.Terbuka

3.Berani mengambil resiko dan bertanggung jawab

4.Komitmen

5.Berbagi

SYARAT                             

  1. Doa menyertai niat
  2. Mohon perkenan Tuhan
  3. Bersyukur

CARA

  1. Doa (selalu

memohon petunjuk Tuhan)

  1. Mewujudkan

perubahan

  1. Menjadi teladan
  1. Menurut Dale F. Hay. Jeniffer dan Jessica Jewet dalam bukunya Develovment Through Life, tampilan seorang berkarakter adalah sebagai berikut :

–          Memiliki kepekaan social yang tinggi, bukan hanya peduli, tapi juga mengulurkan tangan serta mengembangkan simpati dan empati.

–          Selalu melindungi, menjaga dan memelihara hubungan baik dengan orang lain.

–          Selalu mengembangkan sifat berbagi, bejerja sama dan adil.

–          Pribadi yang suka  menolong dan membantu orang lain.

–          Sebagai individu yang jujur.

–          Selalu mengedepankan moral dan etika.

–          Mampu intropeksi dan mengendalikan diri.

–          Memiliki sifat-sifat manusiawi sehingga mampu menyelesaikan masalah dan konflik social.

VIII. Pemimpin Yang Berkarakter

    Umum

  1. Teori keunggulan

Seseorang pemimpin hendaknya memiliki keuangan dalam 3 bidang :

  1. Mental

1) Moral :

–          Taqwa dan mengamalkan agamanya dengan benar dan baik

–          Jujur, amanah dan rendah hati

–          Empati terhadap sesama

–          Mampu menginternalisasi keagamaan dan nilai-nilai luhur Pancasila

–          Iman, taqwa, bermoral kemanusiaan dan menghargai HAM

–          Memiliki nurani kebersamaan

–          Memiliki moral kerakyatan

–          Memiliki nurani keadilan

–          Kerelaan berkorban untuk kepentingan bangsa dan Negara

2) Moril :

–   Memiliki semangat yang tinggi

–       Tabah, ulet, pantang menyerah

–       Berani menghadapi resiko

–       Penuh rasa tanggung jawab

–       Memiliki seni kepemimpinan

–       Komunikatif, informative, aspiratif dan akomodatif

–       Disiplin, konsisten dan konsekwen terhadap komitmennya

–       Dan lain-lain

  1. Pisik

–       Daya tahan tubuh yang tinggi

–       Sehat jasmani (relatif)

  1. Intelek

–            Cerdas, bijak dan professional

–            Memahami visi dan misi organisasi

–            Pada tingkat nasional :

–          Mampu memahami kompleksitas permasalahan bangsa dan siap dengan alternative solusi pemecahannya

–          Mampu bersikap sebagai negarawan yang visioner

–          Mampu mengantisipasi dan menyikapi perkembangan lingkungan strategi global, regional dan nasional

–          Bersedia mendengar, menerima dan menghargai pendapat orang lain serta mampu membuat keputusan yang terbaik

–          Dan lain-lain

  1. Kepemimpinan

–       Seseorang pemimpin dalam melaksanakan misi yang diembannya guna mewujudkan visi organisasi yang dipimpinnya senantiasa menerapkan “kepemimpinan” yaitu suatu ilmu dan seni untuk mempengerahui orang lain, agar orang lain tersebut mau melaksanakan pekerjaan sesuai dengan kehendak si pemimpin tadi (dengan ikhlas).

–       Untuk meningkatkan efektifitas solusi kepemimpinannya, seorang pemimpin membutuhkan pedoman baik berupa prinsip-prinsip, dasar-dasar, azas-azas ataupun norma-norma kepemimpinan, yang penerapannya sesuai dengan masalah dan situasi yang dihadapi

  1. Pemimpin Yang Berkarakter

Seseorang pemimpin yang berkarakter adalah seorang pemimpin yang mengedepankan penggunaan hati nurani melandasi pemikiran, sikap dan perilakunya, serta memiliki daya dorong dan daya juang yang tinggi/sangat tinggi untuk mewujudkan kebajikan yang diyakininya.

Oleh karena itu seorang pemimpin yang berkarakter senantiasa menempa dirinya untuk memelihara dan meningkatkan keunggulan yang ada pada dirinya (sesuai teori keunggulan), serta konsisten dan konsekwen mengamalkan prinsip-prinsip, norma-norma kepemimpinan yang menjadi pedomannya

Dalam keadaan yang kritislah pemimpin yang berkarakter akan menonjol sikap kepemimpinan dilihat dari keberaniannya untuk mengambil resiko yang sudah dipertimbangkan maupun kerelaannya untuk berkorban demi kepentingan yang lebih besar

Diambil dari kearifan loKal,

yang merupakan ajaran para leluhur kita.

  1. A.    Prinsip-Prinsip Kepemimpinan
    1. Hasta Brata

Kisah di bawah ini diambil dari “Episode Ramayana” dalam cerita Pewayangan di mana terjadi dialog antara R. Ramawijaya (seorang kesatria titisan Dewa Wisnu, Sang Pemelihara Alam Semesta) dengan adiknya yaitu R. Bharata.

Ramawijaya  : “Adikku Barata, kita ini hanya melakoni takdir yang telah

                        digariskan oleh Yang Maha Kuasa”, “di samping itu sebagai satria

utama kita wajib menjalani Dharmanya hidup dengan penuh keikhlasan antara lain berbakti dan membahagiakan orang tua kita. Aku jalani masa perjuangan ini agar ayahanda kita berbahagia dapat memenuhi sumpah dan janjinya kepada Ibunda Dewi Kekayi, karena tabu dan aib bagi seorang pemimpin mengingkari janji yang telah diucapkannya. Sedangkan engkau adikku, lakukan tugasmu dengan sebaik-baiknya memegang tampuk pimpinan kerajaan Ayodya guna membahagiakan Ibunda Dewi Kekayai, sesuai dengan cita-cita beliau”.

R. Barata      : Baiklah kanda, perintah kanda akan saya laksanakan, namun

dinda hanya sekedar mewakili selama kanda pergi. Di samping itu, berikanlah kepadaku bekal ilmu agar dinda dapat memimpin rakyat Ayodya dengan sebaik-baiknya.

Ramawijaya : Memimpin itu sukar bagi yang tidak menguasai kunci-kunci

                        kepemimpinan, tapi akan sangat mudah bagi yang sudah

menguasainya.

R. Barata      : Apa tanda-tanda orang yang sudah menguasai kunci-kunci

                        kepemimpinan itu kanda?

Ramawijaya  : ‘Yaitu orang yang sudah dapat mempersatukan sifat dan wataknya

                        dengan delapan analisir alam”

R. Barata      : “Saya masih belum paham kanda, tolong jelaskan”

Ramawijaya  : “Adiku Barata, dengarkanlah.

Pertama     : Seorang pemimpin hendaklah berwatak “Bumi” artinya seorang

                     pemimpin harus :

–     Tegar, kokoh, tidak mudah goyah, memiliki prinsip dan memegang teguh pendirian, (sebagai kokohnya bumi dengan gunung-gunungnya)

–     Bersikap dermawan dan memberikan kehidupan bagi rakyatnya, serta berusaha membebaskan rakyatnya dari kemiskinan (selalu memberi hasil bumi)

–     Tahan terhadap kritikan maupun hujatan dan tetap berusaha memberikan yang terbaik bagi rakyatnya (walaupun dicangkul, tetap member hasil)

Kedua       : Seorang pemimpin hendaknya berwatak “Air” artinya :

–       Air yang identik dengan kehidupan menggambarkan bahwa seorang pemimpin harus berusaha secara maksimal untuk memberikan kehidupan yang layak bagi rakyatnya

–       Seseorang pemimpin harus peduli dengan masyarakat bawah, rakyat kecil dan berusaha mengangkat martabatnya, sesuai sifat air yang selalu mengalir ke bawah.

–       Seorang pemimpin harus selalu berlapang dada, sabar dan ikhlas menampung berbagai macam persoalan rakyatnya walupun problem pribadinya sendiri sudah bertumpuk-tumpuk. Ini sesuai dengan sifat air yang ada di samudra yang harus menerima berbagai limbah yang berasal dari sungai-sungai.

–       Seorang pemimpin harus mampu menciptakan keamanan, ketentraman dan kesejukan, sebagaimana sifat air yang mendinginkan dan menyejukkan.

–       Sifat air yang selalu berusaha agar tinggi permukaannya sama (rata-rata air) melambangkan bahwa seorang pemimpin harus bersikap adil dan senantiasa menegakkan dan menjunjung nilai-nilai keadilan.

Ketiga      : Seorang pemimpin hendaknya berwatak “Udara/Angin” artinya :

–       Udara/Angin yang mampu menyusup ke semua tempat di samping memasok oksigen untuk keperluan kehidupan melambangkan seorang pemimpin harus memberikan perhatian kepada segenap lapisan masyarakat secara merata serta memberikan kesejahteraan yang merata pula kepada rakyatnya

–       Angin yang mampu menyapu dan membersihkan segala yang dilewatinya melambangkan berbagai kesulitan dan keruwetan hidup rakyatnya.

Keempat : Seorang pemimpin hendaknya berwatak “Api” artinya :

–       Mampu membasmi tindak kejahatan dan berani menghukum siapaun yang salah tanpa pandang bulu sebagaimana api yang mampu membakar apa saja tanpa pilih-pilih

–       Sifat api yang dapat merubah yang mentah menjadi matang melambangkan bahwa seorang pemimpin harus dapat membawa perubahan ke arah perbaikan bagi rakyatnya.

Kelima      : Seorang pemimpin hendaknya berwatak “Matahari” artinya :

–       Mampu menjamin kepastian hukum, menepati janji, membangkitkan semangat hidup serta kehadirannya selalu diharapkan oleh banyak orang sebagaimana matahari yang pasti terbit setiap pagi, kemunculannya dinanti para petani serta memberikan harapan dalam kehidupan

–       Mampu menerangi dan memberikan penerangan sehingga kehadiran seorang pemimpin dapat memberikan pencerahan bagi rakyatnya.

Keenam    : Seorang pemimpin hendaknya berwatak “Bulan” artinya :

–       Mampu memberi pencerahan, sehingga berbagai persoalan yang masih gelap menjadi terang

–       Sinar bulan yang tidak menyengat dan menyilaukan melambangkan bahwa seorang pemimpin harus bersikap ramah, santun, tidak sombong sehingga menimbulkan rasa sayang dan simpati bagi siapapun yang berhubungan dengannya.

Ketujuh    : Seorang pemimpin hendaknya berwatak “Bintang” artinya :

–       Mampu menjadi panutan dan kiblat ketauladanan bagi rakyatnya sebagaimnana fungsi bintang yang menjadi pedoman dan petunjuk arah dalam ilmu pelayanan

 


Kedelapan :
Seorang pemimpin hendaknya berwatak “Angkasa” artinya :

–       Seorang pemimpin harus mempunyai wawasan yang luas, pandangan jauh ke depan sebagaimana sifat angkasa yang luasnya tidak terbatas

–       Dalam angkasa terdapat mega yang selalu meneduhi, maka seorang pemimpin harus senantisa melindungi dan mengayomi rakyatnya.

 

–            Menyatunya sifat dan watak seorang pemimpin dengan delapan analisir alam merupakan ilmu bagi setiap pemimpin dengan delapan prinsip kepemimpinan yang dinamakan Hasta Brata.

–            Semoga “Hasta Brata” ini dihayati dan diamalkan dengan sungguh-sungguh oleh elite pimpinan kita pada tingkat manapun, sebagai warisan budaya yang adhi luhung dari para leluhur kita Insya Allah segenap rakyat akan menikmatinya, karena para elite pimpinan memenuhi kewajibannya terhadap rakyat, yaitu : Ngayomi, Ngayani, dan Ngayemi (melindungi, mensejahterakan, dan membahagiakan).

 

  1. Ajaran Adhi Luhung yang kedua yang akan saya sampaikan pada kesempatan ini adalah Petuah dari Penembahan Senopati kepada para kesatria dan para elite kerajaan yang berupa empat laku utama, yaitu :
    1. Mangasah Mingsing Budi, artinya : Senantiasa menempa diri untuk meningkatkan keluhuran budi maupun kemulyaan akhlaknya
    2. Memasuh Malaning Bumi, artinya : Berani bertindak tegas untuk membasmi berbagai tindak kejahatan yang mengancam keselamatan tanah air bangsa dan negara apapun resikonya
    3. Memayu Hayuning Bawana, artinya : Senantiasa menjaga dan memelihara agar terciptanya keadaan : aman, tentram, tertib, dan sejahtera (tata tentrem kerto raharjo, gemah ripah loh jenawi)
    4. Karya Nak Tyasing Sasama, artinya : Senantiasa menjaga perilakunya untuk selalu menyenangkan, menggembirakan dan membahagiakan orang lain


 

  1. B.    Problem Kepemimpinan

Kualitas seorang pemimpin akan teruji pada saat dia harus mengambil suatu keputusan sebagai suatu pilihan, dari berbagai alternative pilihan, yang masing-masing alternative pilihan mengandung resiko yang sama besar atau hampir sama besarnya (problem kepemimpinan).

Dua kisah dari dunia Pewayangan di bawah ini mudah-mudahan dapat menjadi contoh dari Problem Kepemimpinan :

  1. Komitmen Seorang Pemimpin

Alkisah tersebutlah seorang raja yang sangat arif dan bijaksana. Baginda sangat dicintai oleh seluruh rakyatnya karena kepemimpinanny yang penuh kelembutan, keadilan dan rasa kasih sayang terhadap rakyatnya.

Tidak heran kalau Negara mencapai keadilan : “tata tentrem kert raharja, gemah, ripah, loh jinawi, subur kang sarwo tinandur, murah kang sarwo tinuku” (keadaan aman tentram, makmur dan sejahtera, segenap tanaman tumbuh dengan subur dan rakyat memiliki kemampuan daya beli yang tinggi).

Secara periodik sang raja didampingi oleh permaisurinya, mengadakan pertemuan dengan para pejabat kerajaan di tingkat pusat maupun pimpinan-pimpinan daerah untuk mendapatkan laporan-laporan dari bawahannya serta menentukan langkah-langkah kebijakan untuk mengatasi berbagai persoalan yang ada. Segenap perhatian raja terutama ditunjukan untuk kepentingan rakyatnya.

Pada suatu hari ketika sang raja sedang mengadakan pertemuan agung dengan para pejabat kerajaan, tiba-tiba datanglah seekor merpati yang jatuh di hadapan sang raja, sambil menggelepar-gelepar kesakitan karena tubuhnya terluka parah dan berdarah-darah, sayapnyapun patah sehingga tidak dapat terbang lagi.

Dengan tersengal-sengal merpati tadi berkata pada sang raja.

Merpati         : Wahai baginda, saya mohon pertolongan dan perlindungan. Saya

tinggal di sebuah hutan yang termasuk dalam wilayah kerajaan paduka. Jadi saya adalah rakyat paduka sehingga saya berusaha datang kemari menghadap paduka sebagai pimpinan saya untuk memohon pertolongan dan perlindungan

Raja              : Baiklah merpati, saya akan menolong dan melindungimu karena

memang sudah menjadi kewajiban seorang pemimpin untuk selalu menolong dan melindungi bawahannya. Coba jelaskan apa yang terjadi?

Merpati         : Begini baginda, tadi ketika saya sedang terbang untuk mencari

makan bagi anak-anak saya yang menunggu di sarang, tiba-tiba saya diserang dan diterkam oleh seekor rajawali yang akan memangsa diri saya. Untunglah saya masih dapat melepaskan diri dari cengkramannya, namun saya sudah tidak berdaya lagi baginda karena sayap saya sudah patah. Saya mohon perlindungan baginda.

 

Raja              : Baiklah merpati, saya berjanji akan menolong dan melindungimu.

Selama saya masih ada, tidak akan saya biarkan siapapun mengganggumu apalagi mencelakaimu. Masuklah ke dalam agar luka-lukamu dapat diobati

Merpati         : Terima kasih baginda

Merpati masuk ke dalam untuk mendapat perawatan sebagaimana mestinya, tiba-tiba datanglah seekor rajawali kehadapan raja.

Rajawali       : Wahai baginda, Saya tinggal di hutan yang termasuk dalam

wilayah kerajaan paduka. Terimalah sembah bakti saya sebagai seorang rakyat kepada paduka baginda raja

Raja              : Terima kasih rajawali. Apakah ada keperluan penting engkau

                        menghadap padaku?

Rajawali       : Benar baginda, saya ingin menanyakan pada paduka apakah

paduka melihat buruan saya yaitu seekor merpati. Saya lihat tadi dia menuju kemari

Raja              : Iya, bahkan saat ini dia sedang dalam perawatan untuk

                        menyembuhkan luka-lukanya

Rajawali       : Mohon maaf baginda, tolong serahkan merpati pada saya karena

memang dia milik saya. Hal ini sesuai peraturan di antara para pemburu bahwa kalau binatang buruan telah diluaki oleh sang pemburu, maka dia menjadi milik pemburu. Kami hidup dalam rimba dan sesuai hukum rimba yang kuat memakan yang lemah. Merpati tadi adalah milik saya, karena telah saya tandai dengan melukainya. OLeh karena itu baginda saya mohon sekali lagi serahkan merpati tadi pada saya untuk saya makan.

Raja              : Maaf rajawali, saya tidak dapat menyerahkan merpati tadi

kepadamu karena sebagai pemimpin saya harus melindungi dia, terlebih-lebih saya sudah berjanji untuk melindunginya. Janji yang diucapkan oleh seorang pemimpin harus ditepati apapun resikonya.

Rajawali       : Kalau begitu kabar yang saya dengar selama ini tentang paduka

salah. Orang-orang bilang bahwa paduka adalah seorang raja yang adil, arif dan bijksana. Ternyata paduka seorang raja yang tega merampas nafkah rakyatnya. Merpati itu milik saya dan juga nafkah saya. Apakah karena mentang-mentang paduka seorang raja boleh semena-mena begitu saja merampas nafkah saya hanya karena seorang rakyat kecil?

Raja              : Bukan begitu maksud saya rajawali. Saya tidak akan mengurangi

nafkahmu, namun saya juga tetap akan melindungi merpati sesuai dengan janji saya. Ambilah sepotong daging dari tubuh saya untuk kamu makan. Dengan demikian saya adil terhadap merpati dan juga terhadapmu

 

Rajawali       : Maaf baginda, itu masih tetap tidak adil karena daging manusia

tidak seenak daging merpati. Hanya ada satu bagian yang enaknya sama dengan daging merpati yaitu jantung manusia. Kalau memang paduka ingin benar-benar menegakkan keadilan, berikanlah jantung paduka untuk saya makan.

Hampir saja sang raja akan mengiyakan permintaan rajawali demi memenuhi komitmennya, tiba-tiba permaisuri dan para pejabat kerajaan yang sejak tadi diam saja dan mendengarkan percakapan antara sang raja dengan kedua binatang tadi menginterupsi dan menyampaikan protes.

Pemaisuri      : Tunggu dulu baginda, kalau paduka serahkan jantung paduka,

maka paduka pasti wafat, berarti paduka akan meninggalkan kami semua, baik keluarga maupun rakyat yang masih sangat mendambakan kehadiran dan kepemimpinan paduka. Paduka adil pada rajawali dan merpati, tapi tidak adil pada keluarga dan rakyat. Mohon dipertimbangkan.

Sang raja tersentak dan menyadari bahwa di dunia memang tidak ada keadilan mutlak, yang ada adalah keadilan relative. Adil bagi merpati, tida adil bagi rajawali. Adil pada rajawali tidak adil pada merpati. Adil pada kedunya, tidak adil pada keluarga dan rakyatnya. Adil pada keluarga dan rakyatnya, tidak adil pada rajawali atau merpati. Menghadapi keadaan demikian, sang raja bersabda :

Raja              : Wahai kalian semuanya. Menghadapi keadaan ini, berilah saya

kesempatan untuk memohon petunjuk Sang Maha Pencipta, keputusan apa yang harus saya lakukan

Saat sang raja berjalan menuju ke sanggar pemujaan, tiba-tiba merpati dan rajawali tadi berubah wujud menjadi Dewa Bayu dan Dewa Indra. Dengan tergopoh-gopoh sang Raja menghaturkan sembah kepada kedua dewa tadi.

Dewa             : Wahai cucuku. Kedatangan kami kemari hanya ingin menguji

kepemimpinanmu. Ternyata kamu seorang pemimpin yang arif dan bijaksana, konsisten, dan konsekwen dengan komitmen yang telah kamu  janjikan dan rela berkorban untuk kepentingan rakyatmu. Semoga selalu jaya negaramu dan dengan kepemimpinanmu, engkau menjadi kiblat ketauladanan bagi rakyatmu.

  1. Keadilan Sang Yudistira

Alkisah pasca perang Bharata Yuda, Parikesit putra Abi Manyu dilantik menjadi raja Hastinaputra. Para Pandawa yang merasa tugas melaksanakan dharmanya hidup ini sudah paripurna, bertekad untuk menyempunakan kehidupannya di dunia ini guna meraih kesempurnaan menuju nirwana bersama raganya dengan naik gunung Himalaya.

Para kesatria Pandawa disertai dengan Drupadi (istri Yudistira) dan seekor anjing kesayangan Yudistira berangkat meninggalkan kraton Hastinaputra menuju gunung Himalaya. Dalam perjalanan pendakian tersebut, satu persatu anggota rombongan gugur sebelum mencapai puncak. Berturut-turut mereka berguguran mulai dari Dewi Drupadi, Sadewa, Nakula, Arjuna bahkan Bima yang memiliki tubuh yang sangat perkasapun gugur pula.

Kini tinggalah Yudistira diiringi anjing kesayangannya melanjutkan perjalanan pendakiannnya yang semakin lama semakin berat tersebut. Akhirnya sampailah keduanya pada suatu gapura yang bernama Selo Penangkep yang merupakan pintu masuk ke khayangan. Gapura tersebut dijaga oleh seorang dewa yang dengan sikap yang sangat ramah menyambut kedatangan Yudistira.

“Selamat dating Yudistira, sudah kami duga bahwa kamulah satu-satunya titah yang mampu mencapai tempat ini beserta ragamu. Kesucian hatimu, keluhuran budi pekertimu, kemulyaan akhlakmu yang senantiasa mendasari perilakumu dalam menjalani dharma hidupmu, itulah cucuku yang memberikan kekuatan dan kemampuan kepadamu mencapai tempat ini bersama dengan ragamu. Masuklah Yudistira, para Dewa telah menunggumu”. Kata dewa penjaga gapura.

Terima kasih eyang Pukulan” jawab Yudistira langsung memasuki gapura sambil menuntun anjing kesayangannya. “Tunggu dulu Yudistira” kata penjaga gapura setengah membentak. “Hanya manusia yang boleh masuk, sedang anjing tidak diperkenankan” tambahnya. “Wahai Dewa mengapa anjing ini tidak diijinkan masuk? Apakah dia bukan makhluk ciptaan Sang Maha Pencipta?” jawab Yudistira. “Benar” kata sang penjaga, “tapi ini adalah peraturan yang dibuat para dewa, bahwa hanya manusia yang diperbolehkan masuk”.

“Maafkan hamba Eyang, para dewa membuat peraturan ini untuk apa? Mestinya setiap peraturan itu dibuat untuk menjamin tegaknya ketertiban dan keadilan, bukan justru mencenderai rasa keadilan itu sendiri” kata Yudistira walaupun dengan nada keras namun tetap sopan. “Yudistira, tugasku hanya untuk menjaga agar peraturan ini tetap ditegakn, tanpa memasalahkan peraturan peraturan itu adil atau tidak”. Kata Sang Penjaga Gapura.

“Maaf Eyang, tadi Eyang katakana bahwa kesucian hati, keluhuran budi kemuliaan akhlak yang selalu mendasari prilaku seseorang dalam melaksanakan dharma hidupnya itulah yang memberikan kekuatan dan kemampuan seseorang mencapai tempat ini bersama raganya. Anjing ini walaupun dianggap makhluk yang hina dina, kenyataannya sanggup mencapai tempat ini bersama dengan raganya. Artinya memenuhi syarat untuk masuk khayangan berikut jasmaninya. Sedangkan adik-adik saya, para satria besar pada jamannya saja tidak sanggup mencapai tempat ini sebagaimana anjing yang hina ini Eyang” sanggah Yudistira semakin keras.

“Yudistira kalau kamu mau masuk, masuklah tanpa anjingmu, kalau tidak kembalilah bersama anjingmu”. Kata si penjaga yang sudah hilang kesabarannnya. “Biarlah Eyang, saya memilih kembali bersama anjing saya. Hati nurani saya tidak tega untuk menikmati kemulyaan yang didapatkan melalui ketentuan yang mencenderai keadilan. Saya tidak sanggup Eyang, menyakiti hati anjing yang dianggap hina dina ini, hanya sekedar mengejar kenikmatan dan kemulyaan diri sendiri, sedangkan dia telah setia menemani saya sampai kesini”, kata Yudistira.

Baru tiga langkah Yudistira dengan menuntun anjingnya meninggalkan gapura, tiba-tiba hilang lenyap anjing tadi dan berubah menjadi Dewa Dharma, yaitu Dewa Keadilan. “Anakku Yudistira, sungguh mulya hatimu. Marilah aku antarkan kamu memasuki nirwana yang memang menjadi hakmu”. Sabda Dewa Dharma sambil menggandeng tangan Yudistira memasuki gapura.

IX. Penutup

Melengkapi tulisan ini, perkenalkan saya menyampaikan suatu kearifan local, berupa wejangan dua orang bijak (pada zaman Majapahit) yaitu : Arya Tadah dan Ki Tanabaya kepada murid-muridnya

  1. A.   Wejangan Arya Tadah Kepada Gajah Mada dan Adityawarman

Wahai anak-anak ku

Memang sukar mempersatukan suku-suku yang beraneka warna

Padahal tidak ada kekuatan tanpa persatuan

Namun ingat bukan persatuan yang dipaksakan

Tapi persatuan yang disadari

 

Apabila tuli telingamu karena kegemerincingannya emas dan perak

Apabila silau pandanganmu karena gemerlapnya intan dan berlian

Sehingga kamu tidak dapat melihat dan mendengar

Jerit tangis rakyat banyak, yang tinggal dalam gubug-gubug

Maka putuslah tetalian kramat antara kamu dengan rakyat

Dan antara rakyat dengan gusti

Karena kamu

 

Aku bukan mengajarkan hukum serba sama dalam hidup ini

Lihatlah ajaran guru alam

Air sungai mengalir, karena ada perbedaan tinggi dari dasar sungai tadi

Tapi kalau perbedaan itu terlalu besar

Dia akan berubah…….Gemuruh…..menjadi air terjun

Perbedaan yang melampaui batas

Membahayakan kehidupan itu sendiri.

 

Sudah sejak lama para leluhur kita menyadari bahwa kita bangsa yang mendiami kepulauan nusantara ini secara alami kodrati mengandung potensi kerawanan terjadinya perpecehan karena begitu lebar spectrum keaneka ragamannya.

–            Kalau bangsa yang keaneka ragamannya begitu tinggi ini dipersatukan dengan kekuatan senjata/kekerasan, maka persatuan yang terwujud nantinya adalah persatuan yang semu, yang dengan sebab sepele saja akan mudah terjadi perpecahan.

–            Empu Tantular dengan kitab “Suta Soma” Nya mengajarkan kepada kita sesanti. ‘Bhineka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangroa” walaupun berbeda-beda tapi satu dan tidak ada kebenaran yang “Mangro Tingal” (Baca : Mendua).

–            Sesanti ini pada hakekatnya sebagai sarana pemersatu bagi suku-suku bangsa yang mendiami kepulauan nusantara ini, agar persatuan dan kesatuan menjadi “roh dan napas” bagi bangsa Indonesia yang derajat kebhinekaannya teramat tinggi ini dengan penuh kesadaran.

–            Oleh karena itu bangsa Indonesia tidak ada sikap lain kecuali harus selalu menjaga dan mempertahankan keutuhan NKRI dan persatuan bengsa dengan senantiasa mengapresiasi kebhinekaan yang kita miliki sebagai anugrah Tuhan YME.

Kalau para elite Negara sudah asyik berlomba-lomba menumpuk-numpuk kekayaan pribadi, sehingga lupa kewajibannya terhadap rakyatnya yaitu :

Ngayomi (Melindungi)

Ngayemi (Membahagiakan, Menggembirakan)

Ngayani (Mensejahterakan)  

Maka sesungguhnya Negara sudah berada di ambang kehancurannya.

Hal ini disebabkan karena sudah tidak ada lagi hubungan batin antara si pemimpin dengan yang dipimpin (rakyatnya). Akibatnya tidak ada lagi kepercayaan rakyat terhadap pemimpinnya, sehingga efektifitas kepemimpinannya sangat diragukan atau bahkan sudah tidak ada lagi.

Hukum keadilan adalah universal. Tanpa keadilan/keseimbangan maka tidak mungkin ada stabilitas. Keadilan harus ditegakkan disegenap aspek kehidupan apabila terjadi kesenjangan yang merusak sendi-sendi rasa keadilan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, pasti akan diikuti oleh gejolak sosial bahkan revolusi sosial yang dapat memporak porandakan berbagai kemapanan yang telah berhasil kita bangun.

Oleh karena itu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara janganlah pernah terpikir untuk mencenderai rasa keadilan masyarakat, sebab fatal akibatnya. Sungguh cerdas dan bijak para pendiri bangsa ini yang menentukan “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” sebagai impian dan cita-cita bangsa.

  1. B.  Wejangan Ki Tanabaya Kepada Gajah Mada

Ki Tanabaya    : “Lihatlah Mada, bimbingan alam guru abadi. Embun pagi

bermandi sinar menghias rumput hijau merayu. Sanggup lebur tiada bekas, dalam mengabdi tuntunan dharma, menjadi sebab tumbuh subur tetanaman di pangkuan pertiwi. Lihat pula pekerti cepaka bunga penghias tepian hutan, meskipun disanjung dan dimanjakan oleh Murai dan Sang Surya, memilih layu menjadi debu dalam mengabdi dharama, dengan sesanti : “menyebar harum, menabur wewangi”.

Bila datang waktunya Mada, bagi dirimu mengayuh langkah, terjun dalam gelora hidup, turut mengubah jalan sejarah.

Gajah Mada   : Eyang sesembahan. Apa gunanya hamba bersusah payah,

memeras otak menyiksa badan. Kemana air akan lari, akhirnya akan ke laut. Biarpun burung terbang tinggi di langit, di tanah juga dia akan jatuh terlena. Apa guna hamba berusaha, sedangkan nasib sudah ditentukan pasti oleh Hyang jagat Pratingkah. Nasib manusia pasti tidak berbeda dengan air terhadap arusnya.

Ki Tanabaya    : Renungkan Mada, bila semua mutlak menyerah pada garis

keputusan nasib, tanpa menguji apa kehendak nasib, maka tiada air terjun ke sungai, tiada angin berhembus ke lembah, tiada gelombang memecah pantai. Ini berarti tiada gerak di dalam hidup, padahal hidup itu berarti gerak.

Gajah Mada    : Eyang, hamba siap menerima mejangan, bimbingan tuntunan

                         hidup.

Ki Tanabaya    : Mada, engkau muda ditimang masa remaja. Jangan dangkal

menghadapi hidup. Engkau bagaikan ranting mati yang menyerah mutlak pada laut, menjadi permainan gelombang belaka, mengguncang isi samudera, menderu, menjelajah seluruh angkasa dalam menguji “apa kehendak nasib”

Mada engkau bukan matahari menjelang senja, tapi engkau adalah surya yang sedang menanjak yang masih dalam kandungan sang fajar. Kenali dan tanggapi makna agung dan keramat dari hidup ini. Hidup tenaga maha sakti dan kekuatan maha dahsyat yang tersembunyi di dalam hidup ini.

Gajah Mada    : Eyang kata orang yang mengaku arif dan mengenal ghaibnya

hidup, bahwa akhir hidup hanyalah kematian. Apa guna mengejar harta, drajat, kekuasaan, keramat ilmu dan pujian, kalau akhirnya manusia hanya membutuhkan segumpal tanah atau liang tempat tulang-tulangnya.

Ki Tanabaya    : Mada, manusia dengan pandangan hidup yang demikian dangkal

dan sempit seperti itu, sesungguhnya sejak detik dia lahir, dia hanya siap untuk mati. Jiwanya yang kerdil tidak mampu menangkap makna agung hidup ini. Jiwanya selalu kuncup, menjadikan dirinya calon kuburnya.

Mada sadarilah. Apabila tidak ada keberanian air gunung meninggalkan sumbernya, surya meninggalkan pertiwi, maka tiada rumput tumbuh menghijau, tiada sinar menerangi jagad. Manusia bukanlah wayang yang mati, yang bergerak kalau digerakkan, sehingga bebas dari tanggung jawab. Manusia mempunyai hak kebebasan untuk menentukan pilihannya sendiri, apa yang hendak dilakukan atau yang tidak ingin dilakukan. Oleh karenanya dia bertanggung jawab penuh atas semua gerak pilihannya sendiri. Manusia adalah pengubah nasibnya sendiri.

Mada, engkau berhutang budi terhadap orang tuamu dan raja, terhadap bumi majapahit dan masyarakat sekelilingmu. Terhadap orang tuamu karena kelahiranmu, didikan, asuhan curahan cinta kasih sayang serta seluruh kemampuan orang tuamu demi keselamatan dan pengembangan dirimu. Terhadap raja karena beliaulah yang memberi pengayoman kepadamu. Terhadap bumi majapahit, tanah airmu, tempat engkau dilahirkan, dibesarkan dan menghirup udara kehidupan ini dengan bebas dan berjumpa dengan sinar sang surya. Terhadap masyarakat sekelilingmu yang telah memberikan kepadamu kemungkinan menikmati kebahagiaan.

Gajah Mada    : Maaf Eyang, bukankah curhatan kasih sayang orang tua terhadap

anak tidak lebih dari dharma kewajiban orang tua terhadap anak? Apa alasannnya anak harus merasa berhutang budi pada orang tuanya.

Ki Tanabaya    : Mada, cucuku. Sungguh tinggi kecerdasa akalmu, tapi sayang

agak rendah budi susilamu. Camkan benar-benar Mada, salah orang tua yang menganggap bahwa dia telah berbuat “jasa” terhadap anak keturunannya, tetapti juga sangat tercela anak yang tidak menghargai jasa pengabdian orang tuanya, tetapi juga sangat tercela anak yang tidak menghargai jasa pengabdian orang tuanya. Tidak terpuji orang tua yang berpendirian bahwa dia telah berkorban demi untuk anaknya, tapi juga sangat tidak pantas anak yang tidak menghargai “pengorbanan” orang tuanya.

Tercela orang tua yang berkeyakinan bahwa anaknya “berhutang budi” kepadanya, tapi terkutuk anak yang tidak merasa berhutang budi kepada orang tuanya.

Bila keselamatan dan kebahagiaan anak menjadi dharma kewajiban orang tua, maka menyembah dan mengagungkan orang tua adalah dharma kewajiban sang anak. Orang tua adalah tetap sesembahan bagi si anak. Camkan itu Mada dan catat pada dinding lubuk hatimu, cucuku.

Gajah Mada    : “Eyang, mohon penjelasan mengapa hamba berhutang budi

                         kepada bumi kerajaan Majapahit”

Ki Tanabaya    : Mada, mudah-mudahan jiwamu mampu merasakan adanya

tetalian keramat antara dirimu dengan bumi Majapahit yang memberikan kesempatan kepadamu.

Menghirup udara kehidupan sesuka hatimu meneguk air kesegaran dari perut ibu pertiwi menikmati sinar sang surya bergerak bebas dan leluasa sebagai manusia yang dipertuan bukan sebagai hamba sahayanya bangsa, Negara atau kerajaan lain.

Mada, semoga jiwamu yang muda dapat menyelami nilai dan arti “kebebasa” dan “kemerdekaan” yang merupakan hak milik manusia yang azasi, paling tingi dan paling kramat, yang telah diberikan oleh bumi kerajaan Majapahit kepadamu. Atas dasar “kebebasan” dan “kemerdekaan” tadi Mada, menjadi sumber dan kesanggupan jiwamu, untuk berdiri tegak berwibawa, penuh kesadaran akan harga diri sebagai manusia yang dipertuan, berhadapan dengan kawula kerajaan dari Negara manapun. Sadarilah Mada, bahwa kebebasan gerak jiwamu dan kelaluasaan krida pikiranmu, bersumber dari “kebebasan dan kemerdekaan” tersebut. Itulah dasar dan alasan yang hakiki engkau berhutang budi tanggung jawab terhadap bumi kerajaan Majapahit. Sadarilah tetalian kramat itu cucuku.

Gajah Mada    : Eyang sesembahan, hamba akan berangkat melaksanakan dharma

bhakti hamba terhadap ibu dan gusti, masyarkat serta bumi Majapahit. Dengan wejangan Eyang, sebagai pembangun watak dan keyakinan serta obor petunjuk jalan, dengan kasih sayang ibu sebagai sumber kekuatan, guna mempersembahkan dharma bhakti, di bawah duli paduka gusti dan di haribaan bumi kerajaan Majapahit. Hamba mohon pamit dan mohon doa restu Eyang.

–            Generasi muda yang merupakan tunas harapan bangsa, haruslah menempa diri baik lahir maupun batin.

–            Berbakti kepada kedua orang tua yang telah melahirkan kita merupakan sumber kekuatan dan landasan moral dalam memberikan pengabdian lebih lanjut pada bangsa dan Negara.

–            Begitu pula menghormati guru yang telah mengajarkan kebenaran dan ilmu pengetahuan sebagai bekal hidup kita, harus dapat kita tampilkan sebagai wujud dari sikap “tahu membalas budi”.

Semoga bangsa Indonesia terutama generasi mudanya memiliki sifat “Satria Utama”, di mana loyalitas dan pengabdiannya hanya ditujukan kepada : Tuhan, Bangsa dan Negaranya.


 

OLEH

BRIGJEN TNI (PURN) H. SOEMARNO SOEDARSONO

Pendiri Yayasan Jati Diri Bangsa


 

MENUMBUHKEMBANGKAN KEMBALI

JATI DIRI BANGSA

 

Bangsa Indonesia baru saja merayakan hari ulang tahun kemerdekaannya yang ke-61. Namun, tampaknya kondisi bangsa saat ini tak terlalu banyak berubah sejak kita mengalami krisis multidemensi hampir sepuluh tahun terakhir ini. Ironisnya, kini kita juga mengalami krisis akhlak dan moral yang mempunyai dampak yang berkelanjutan sampai dengan hari ini. Atau, kalau diibaratkan sebagai sebatang pohon maka bangsa ini dapat diibaratkan sebagai pohon gundul yang kering kerontang akibat terpaan krisis demi krisis.

Korupsi semakin merajalela dan transparan, identitas ke “kami”an cenderung ditonjolkan dan mengalahkan identitas ke “kita”an, kepentingan kelompok dan golongan semakin menjadi prioritas. Pendek kata, krisis yang semula diperkirakan krisis identitas yang hanya berada di permukaan, ternyata jauh lebih dalam lagi, menyangkut masalah hati nurani yang mencerminkan adanya krisis karakter, bahkan dapat dikatakan kita sedang mengalami krisis jati diri.

Keterpurukan kita sebagai bangsa saat ini bukan semata-mata disebabkan oleh faktor eksternal – semisal pengaruh ekonomi global, politik, hukum – tetapi yang tak kalah besar pengaruhnya adalah faktor internal. Faktor manusia Indonesia itu sendiri.

Apakah yang salah dari manusia Indonesia? Secara umum, tampaknya tak ada masalah, bahkan bangsa ini cukup banyak menampilkan orang-orang yang cerdik dan pandai. Manusia Indonesia tidak bermaslah dengan IQ atau otaknya, tetapi tampaknya tidak demikian dengan hati nurani yang mencerminkan karakter dan jati dirinya. Cukup banyak ditemukan sosok yang tidak tulus ikhlas (tidak sincere), tidak bersungguh-sungguh, senang yang semu, senang yang basa-basi, yang senang memilih budaya ABS (Asal Bapak Senang), yang kesemuannya ini sangat merusak karakter individu dan mempunyai implikasi pada rusaknya karakter bangsa. Penampilan semacam ini dalam kinerjanya diwujudkan dalam sikap saling menyalahkan, tidak bisa dipegang kata-katanya,tidak dipegang janjinya, mengelak dari tanggung jawab, saling hujat. Dengan kata lain, tidak ada satunya kata dan perbuatan.

Penampilan dan kinerja semacam ini sejatinya menunjukan manusia Indonesia tengah “hilang” jati dirinya. Karakter bangsa Indonesia yang selama ini dikenal ramah tamah, gotong royong, sopan santun, berubah menjadi penampilan preman yang beringas dan bengis, yang tega pada sesamanya, yang tak peduli lagi pada nasib bangsanya. Suka tidak suka, inilah kenyataan-kenyataan yang sedang kita alami, yang menunjukan “hilangnya” jati diri individu-individu manusia Indonesia yang berakibat luntur dan rusaknya karakter bangsa Indonesia dan luntur/”hilangnya” jati diri bangsa.

When character is lost, everything is lost, demikian pesan sebuah kalimat bijak. Bahwa korupsi di negeri ini bukanlah dilakukan oleh mereka yang tidak berpendidikan, bukan pula oleh mereka yang tidak punya kedudukan, dan bukan pula oleh mereka yang tak beragama, tetapi oleh mereka yang tak punya karakter lagi. Pendidikan boleh tinggi, kedudukan boleh sangat terhormat, beragama pula. Tetapi jika karakter yang tidak dipunyainya maka segalanya menjadi sia-sia.

Benar, Presiden RI sudah berusaha melakukan langkah-langkah pemberantasan korupsi. Saat ini, dalam upaya memberantas korupsi, Departemen Dalam Negeri merancang intruksi Presiden tentang penanganan kasus korupsi. Diharapkan Inpres itu nantinya mampu memberdayakan auditor internal dalam penanganan kasus korupsi, agar tidak ada fitnah dalam dugaan korupsi, tetapi harus ada bukti awal. Informasi awal yang mengatakan seseorang melakukan korupsi sebaiknya ditindak lanjuti dulu oleh aparat internal. Aparat internal itulah yang menyimpulkan seberapa jauh yang bersangkutan melanggar. Jika ditemukan pelanggaran, akan diserahkan kepada kepala daerah atau penegak hukum. Inpres ini merupakan tindak lanjut pemerintah atas kelauhan gubernur, bupati, dan wali kota yang terganggu atas pemeriksaan dirinya karena dugaan korupsi.

Tentu saja, langkah yang bagus ini hanya akan berhasil bila didukung oleh aparat penegak hukum yang berisi anak bangsa yang memiliki jati diri dan berkarakter, serta ditunjang oleh segenap potensi bangsa yang berhasil menumbuh kembangkan kembali karakter bangsanya atau jati dirinya. Sayangnya, yang selama ini terjadi, banyak anak bangsa yang baik, tetapi mereka tertutup oleh penampilan dan kinerja sosok-sosok yang jati dirinya “hilang” dan karakternya rusak.

KEPRIBADIAN, KARAKTER, JATI DIRI, DAN JATI DIRI BANGSA

Keterkaitan antara kepribadian (penampilan), karakter, dan jati diri, dapat kita ibaratkan tiga lingkaran cambium pada penampang sebatang pohon. Sebagai lingkaran terluar adalah kepribadian seseorang (yang juga berisi identitas dan temperamnen), lingkaran kedua adalah karakternya, dan lingkaran paling dalam adalah jati dirinya.

Lingkaran yang paling luar menunjukan kepribadian yang akan menampilkan penampilan sehari-hari yang tampak pada diri kita. Penampilan ini belum tentu mencerminkan karakter kita. Seseorang bisa tampak menarik, ramah, sopan, dan rajin, tetapi penampilan ini dapat direkayasa atau dibuat-buat yang belum tentu menunjukan karakternya. Mengenal karakter seseorang diperlukan waktu yang lebih lama untuk mengetahuinya.

Lingkaran kedua menunjukan karakter yang justru seharusnya melandasi sikap dan prilaku kita. Karakter menurut Sigmund Freud merupakan a striving system which underly behavior, yang saya artikan sebagai kumpulan tata nilai yang mewujud dalam suatu sistem daya dorong (yang menjadi nilai intrinsik) yang melandasi pemikiran, sikap dan prilaku, yang akan bisa ditampilkan secara mantap. Jadi, karakter yang menjadi kumpulan tata nilai yang melekat sebagai milik diri kita dan mewujud dalam sistem daya dorong yang melandasi pemikiran sikap dan perilaku kita. Tentu saja, karakter sebagai nilai intrinsik tidak datang dengan sendirinya, melainkan harus dibentuk, ditumbuh kembangkan dan dibangun.

Adapun lingkaran yang paling dalam adalah jati diri, yang merupakan sumber dari karakter, sumber kehidupan manusia yang paling hakiki. Jati diri adalah siapa diri kita sesungguhnya, fitnah manusia atau juga Nur Illahi (cahaya Tuhan) yang dianugerahakan pada manusia saat ia dilahirkan, berisi sifat-sifat dasar manusia yang murni dari Tuhan, yang berisi percikan-percikan sifat Illahiah dalam batas kemampuan insane, yang merupakan potensi yang dapat memancar dan ditumbuh kembangkan selama hati manusia itu bersih dan sehat.

Pada pengembangannya jati diri merupakan totalitas penampilan atau keperibadian seseorang yang akan mencerminkan secara pemikiran, sikap, dan perilakunya. Sehingga seorang yang berjati diri bisa menampilkan siapa dirinya yang sesungguhnya tanpa menggunakan kedok atau topeng dan mampu dengan segar dan tegar bisa tampil dengan keadaan kita yang sebenarnya. Dengan kata lain, orang yang berjadi diri akan mampu mengintegrasikan dengan baik jati diri, karakter, dan kepribadiannya atau juga dikatakan mampu memadukan anatara cipta, karsas, dan rasanya. Sedangkan sementara orang Indonesia sekarang hanya baru mampu menampilkan cipta dan karsanya, rasanya belum ditampilkan, di mana justru ada karakter dan jati dirinya.

Apabila jati diri manusia merupakan yang terberi (given) dari Tuhan sejak lahir, jati diri bangsa merupakan hasil dari pilihan sekumpulan individu yang mengelompok dan bersefaham untuk mendirikan suatu bangsa.

Kelahiran bangsa Indonesia berawal ketika Founding Father mencangkan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dengan mengubah identitas ke “kami”an menjadi ke “kita”an. Jati diri bangsa atau karakter bangsa Indonesia merupakan perwujudan dari akumulasi atau sinergi dari karakter individu manusia Indonesia, di mana karakter bangsa akan ditampilkan dalam bentuk tata nilai yang digali dari kehidupan nyata dirumuskan dalam wujud Pancasila, sehingga jati diri bangsa Indonesia adalah Pancasila.

Menumbuh kembangkan kembali jati diri bangsa berarti menumbuh kembangkan kembali  Pancasila atau berarti melakukan revitalisasi Pancasila, yang apabila itu perlu direvitalisasi, mungkin bisa kita lihat dari kondisi keadaan bangsa Indonesia yang merupakan pencerminan dari jati diri individu-individu manusia Indonesia.

Dalam kaitan revitalisasi Pancasila maka kita harus bisa menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Pancasila harus dapat digunakan sebagai pisau analisis dalam memecahkan masalah-masalah besar (kehidupan berbangsa dan bernegara) maupun memecahkan masalah-maslah kecil (kehidupan keluarga). Di sini peran segenap potensi bangsa untuk menumbuh kembangkan kembali jati diri bangsa (terwujudnya nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari) dengan upaya botton up (dimulai dari diri sendiri, keluarga, dan setrrusnya) dibarengi dengan upaya top down, di mana setiap pemimpin dapat menampilkan dirinya sebagai teladan.

Presiden RI pada hari kelahiran Pancasila 01 Juni 2006 – saat banyak orang ragu, takut, dan malu berbicara tentang Pancasila – menyatakan bahwa Pancasila tidak perlu dipolemikan lagi karena Pancasila adalah ideology, dasar, dan falsafah Negara. Pancasila sebagai tata nilai adalah jati diri bangsa atau karakter bangsa. Dengan demikian, apabila ingin menumbuh kembangakan kembali jati diri bangsa berarti kita akan menumbuh kembangkan apabila kita lakukan dengan membangun karakter individu-individu manusia Indonesia.


 

MEMBANGUN KARAKTER YANG TERABAIKAN

Kita tidak perlu mengingkari bahwa rusaknya karakter bangsa mungkin secara tidak langsung dikarenakan adanya krisis, tetapi bahwa akar permaslahannya ada pada diri manusia Indonesia itu sendiri. Bukan tidak mungkin apa yang telah kita lakukan selama ini juga merupakan penunjang dari “hilangnya” jati diri dan rusaknya karakter bangsa. Apabila kita cermati, ternyata sejak 60 tahun terakhir di Indonesia tidak lagi dilakukan apa yang di sebut membangun karakter, bahkan cenderung diabaikan.

Ada suatu premis di dalam character building yang mengatakan bahwa character building is a never ending process, yang artinya bahwa pembangunan karakter dilakukan sejak kita masih berupa janin di dalam kandungan sampai saat kita menutup usia. Oleh karena itu, pembangunan karakter dalam kehidupan kita dapat dibagi dalam tiga tahapan pembangunan karakter, yaitu pada usia dini (tahap pembentukan), usia remaja (tahap pengembangan), dan sat dewasa (tahap pemantapan).

Pembentukan karakter pada usia dini sangat krusial dan berarti sangat fundamental, karena di sinilah paling tidak ada empat koridor yang perlu dilakukan, yaitu menanam tata nilai, menanam yang “boleh dan tidak boleh” (the does and the don’t), menanam kebiasaan, dan member teladan.

Ke empat koridor ini dimaksudkan untuk mentranspormasikan tata nilai dan membentuk karakter anak pada usia dini sehingga tidak mungkin hanya dilakukan oleh seorang pembantu. Ironisnya, dalam kehidupan modern ini, pembantu justru menjadi lingkungan-pengaruh-terdekat selama paling tidak 12 jam sehari dan 5 hari seminggu. Maka, kita tidak perlu sakit hati bila muncul cibiran yang mengatakan bahwa karakter anak-anak justru lebih mirip dengan karakter pembantu.

Kondisi pendidikan formal di negeri juga tak kalah runyamnya. Anak didik kita lebih sebagai “kelinci percobaan” bagi berbagai eksperimen kebijakan, ketimbang sebagai anak bangsa yang harus dikembangkan karakternya.

Pembangunan karakter harus dilanjutkan pada tahap pengembangan pada usia remaja. Sayangnya, lingkungan dan kondisi masyarakat kita sangat tidak kondusif untuk mencapai tujuan pembangunan karakter. Hal ini dapat kita kaji lewat ke empat koridor tadi. Koridor tata nilai : berubahnya orientasi tata dari idielisme, harga diri, dan kebanggaan, menjadi orientasi pada uang, materi, duniawi, dan hal-hal yang sifatnya hedonisme. Dalam koridor the does and the don’t belum terdapat adanya good governance dan good corporate governance serta law enforcement yang memadai, sehingga terdapat cukup banyak celah yang masih dimungkinkan untuk tidak menuju pembentukan karakter yang diharapkan. Dalam koridor kebiasaan masih cukup banyak dikembangkan kebiasaan-kebiasan yang salah seperti tidak menepati waktu, ingkar janji, saling menyalahkan, dan mengelak tanggung jawab. Dalam koridor member teladan ternyata dalam kehidupan bermasyarakat kita masih sangat langka adanya teladan.

Lemahnya kondisi sosial masyarakat yang mendukung tahap pengembangan menyebabkan terganggunya tahap pemantapan. Apa yang akan dimantapkan jika dalam tahap pembentukan dan pengembangan yang tumbuh adalah low trust society (masyarakat yang paling tidak mempercayai, tidak ada saling menghargai) yang menunjukan tidak terbangunnya karakter secara baik dalam kehidupan kita berbangsa dan bernegara.

Perlu diingat, sebuah bangsa akan maju dan jaya bukan disebabkan oleh kekayaan alam, kompetensi, ataupun teknologi canggihnya, tetapi karena dorongan semangat dan karakter bangsanya. Dalam hal ini contohnya antara lain di Jepang, Korea Selatan, Inggris, dan sebentar lagi di Vietnam. Atau, dapat disimpulkan bahwa bangsa yang dapat didorong oleh kehilangan karakter bangsanya akan sirna dari muka bumi.

MEMBANGUN KARAKTER

Jati diri dapat memancar dan tumbuh berkembang diawali dengan menemukenali diri kita sendiri. Dalam membangun jati diri kita yang adalah membangun karakter antara lain dapat melalui empat acuan sebagai berikut.

Membangun karakter harus dimulai dari diri kita sendiri, sebagai mana Nabi Muhammad SAW mengajarkan dengan dengan menggunakan pendekatan Ibdabinafsika – mulailah dari dirimu sendiri, keluargamu, lingkunganmu, dan dibarengi dari keteladanan nabi sendiri. Dengan demikian, kita dapat lakukan upaya secra simultan, yaitu secara botton up (mulai dari diri sendiri) dan top down (jika kita memiliki kedudukan dan jabatan, maka secara nyata menjadi teladan bagi bawahan). Jika sekenario ini berjalan lancar, niscaya kita akan bisa berperan dalam menyelamatkan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Menurut Imam Ghozali (seorang pemimpin setelah Nabi Muhammad SAW), untuk mewujudkan proses perubahan mustahil berhasil tanpa melekat di dalamnya suri tauladan. Inilah yang dimaksud sebagai pendekatan top down. Dengan demikian, perpaduan antara botton up dan top down harus dapat berlangsung secara parallel.

Secara metodologi Samuel Smiles mengatakan bahwa karakter dibentuk oleh kebiasaan, kebiasaan dibentuk oleh tindakan, dan tindakan dibentuk oleh pikiran yang selalu kita ucapkan dan lakukan. Tanamlah pikiran maka kita akan memetik tindakan, tanamlah tindakan maka kita akan memetik kebiasaan, dan tanamlah kebiasaan maka kita akan memetik karakter, dan tanamlah karakter maka kita akan memetik nasib (destiny).

Acuan yang berikutnya adalah dari Hellen Keller, wanita Alabama yang menderita cacat ganda, buta dan tuli di saat usianya 19 bulan. Dengan bantuan orang tua, guru dan perjungan yang sangat keras maka pada umur 20 tahun ia lulus dari Harvard dengan cum laude, menerbitkan buku best seller, dan pada usia 50 tahun mendapat gelar Phd. Hellen Keller dapat menampilkan dirinya sebagai pemicu semangat kehidupan melalui karakter yang dia tampilkan secara kuat dan terpuji. “Membangun karakter tidak bisa dengan mudah dan santai, harus melalui perjalanan yang penuh percobaan dan pengorbanan. Maka jiwa akan diperkuat, visi dijernihkan, ambisi, cita-cita diinspirasikan, dan sukses sejati bisa diraih, “begitu yang selalu dikatakannya.

HASRAT UNTUK BERUBAH

Setelah bicara mengenai penampilan, karakter dan jati diri, serta cara membangun karakter, tentunya semua itu tidak akan terwujud jika kita tidak berani berubah. Kita harus berani menumbuhkan hasrat untuk berubah. Tentunya harus dimulai dengan menemukenali diri sendiri, lalu membangun jati diri melalui membangun karakter.

Sebagai langkah awal dari membangun karakter dapat dilakukan dengan mempertimbangkan rumus 5 + 3 + 3 atau 11 kebiasaan. Yaitu 5 sikap dasar (1) Membangun sikap jujur dan tulus dengan mau mengatakan apa yang benar itu adalah benar dan yang salah itu salah; (2) Sikap yang terbuka yang merefleksikan kebersihan luar dalam; (3) Berani mengambil resiko dan bertanggung jawab  yang ditunjukan dengan membela kebenaran dan keadilan; (4) Konsisten pada komitmen dengan selalu menepati janji, kata sesuai perbuatan; (5) Sikap bersedia berbagi (sharing) yang menampilkan mentalitas berkelimpahan (abundance mentality).

Apabila kita menjalani ke lima sikap dasar ini dalam kehidupan keseharian maka ini merupakan awal dari pembangunan karakter dan jati diri kita. Kemudian ditambah dengan 3 syarat.  (1) Dengan niat yang bersih untuk mengawali setiap pekerjaan (Nawaitu). (2) Tidak mendahului kehendak Tuhan agar apa yang kita rencanakan mendapat rida-Nya (Insya Allah); (3)  Bersyukur kepada-Nya atas hasil apa pun yang kita dapat, baik yang kita senangi maupun yang tidak kita senangi dan inginkan (Alhamdulillah).

Untuk melakukan 5 sikap dasar dan 3 syarat tersebut maka 3 cara agar menjadi satu kesatuan yang utuh harus dilakukan secara eksplisit yaitu (1) Mencanagkan hasrat untuk berubah melalui Doa atau Ibadah,  karena hakikat dari doa adalah tuntunan terhadap diri sendiri untuk mewujudkan perubahan; (2) Mewujudkan perubahan  dengan memanfatkan empat anugerah Illahi pada manusia khususnya diberikan anugerah independent will, (3) Siap menjadi suri tauladan.  Dalam menjalani amanah Tuhan sebagai manusia menjadi khalifah di muka bumi. Menjadi khalifah tidak dimungkinkan tanpa member suri tauladan.

SOLUSI      

Boleh jadi apa yang saya paparkan dalam tulisan ini menyakitkan hati. Akan tetapi, harus kita akui bersama bahwa sesungguhnya pada saat ini manusia Indonesia banyak yang “hilang” jati dirinya sehingga berakibat pada rusaknya karakter bangsa. Apabila hal ini di biarkan terus berlanjut atau bahkan disepelekan maka bumi mustahil bahwa inilah awal dari sinarnya bangsa ini dari muka bumi.

Untuk itu, saya mengusulkan langkah-langkah sebagai berikut (1) Sikap anak bangsa menemukan kembali jati dirinya, membangun jati dirinya yang berarti membangun karakternya (menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan keseharian) dan secara botton up membangun karakter keluarga, lingkungan, dan bermuara pada karakter bangsa; (2) Pada setiap anak bangsa yang merasa duduk sebagai posisi pemimpin (di tingkat rendah, menengah, maupun tinggi) mau dan mampu menjadi suri tauladan; (3) Diupayakan agar pemerinatah mencanangkan nation and character building sebagai paying pembangunan nasional dan menggulirkan upaya mengubah orientasi manusia Indonesia dengan mengadakan rekonstruksi moral secara total, lintas segenap unsure, komponen (agama, suku, ras) dan kepentingan dan dituangkan dalam suatu kebijakan yang diikuti dengan komitmen yang disertai adanya sanksi; (4) Mengajak generasi muda untuk tampil memiliki jati diri dan siap menjadi pemimpin yang berkarakter, siap menggemakan semangat bangkit dari keterpurukan, siap menggelorakan diwujudkan bertumbuh kembangnya karakter dan jati diri bangsa secara nyata sebagai upaya menyelamatkan kehidupan berbangsa dan bernegara untuk kemudian menjadi bangsa yang maju dan jaya.

Kapan kita akan memulai perubahan? Ada kata bijak : apabila kita ingin merancang pemikitran jangka panjang adlah tidak berpikir apa yang akan kita lakukan besok, tetpi berpikir apa yang dapat diperbuat hari ini, sekarang ini untuk bisa mendapatkan hari esok.

OLEH

LETJEN TNI (Purn.) KIKI SYAHNAKRI

Ketua Dewan Pengawas

Yayasan Jati Diri Bangsa


 

MEMBANGUN KARAKTER DAN PEMIMPIN BERKARAKTER *

Pendahuluan

Penyelenggara pelatihan meminta agar pada kesempatan ini saya berbicara tentang ”Pemimpin Berkarakter”. Namun hemat saya, selain tema ini sudah sangat banyak dibicarakan dalam berbagai seminar maupun media, juga apabila kita hanya berbicara tentang pemimpin berkarakter, pada akhirnya secara klasik pembicaraan akan bermuara pada masalah yang bersifat normatif. Untuk itu, saya lakukan sedikit elaborasi dari tema pembicaraan yang diminta, sehingga makalah ini saya buat dengan judul “Membangun Karakter dan Pemimpin Berkarakter”. Dengan demikian pembicaraan saya akan terfokus pada “bagaimananya”. Lebih tegasnya; makalah ini mencoba menjawab pertanyaan; bagaimana upaya membangun karakter bangsa, termasuk karakter pemimpin bangsa itu harus dilakukan?

Berbicara tentang membangun pemimpin berkarakter, tidak bisa terlepas dari upaya pembangunan karakter secara keseluruhan, atau secara utuh. Manakala pembangunan karakter (baca; karakter Keindonesiaan) berjalan efektif. Maka dapat dipastikan, seiring dengan itu akan lahir pula para pemimpin yang berkarakter dimasa datang.

Pembangunan karakter (charakter building) merupakan bagian terpenting dan harus menjadi prioritas teratas dalam pembangunan nasional setiap bangsa, termasuk bangsa Indonesia. Seperti dalam lirik Lagu Kebangsaan Indonesia Raya; ”bangunlah jiwanya, bangunlah badannya”. Tentu bukan suatu kebetulan kalau ”jiwa” dikatakan lebih dahulu dari pada ”badan”. Banyak para pemimpin bangsa termasuk Bung Karno selalu menekankan pentingnya pembangunan karakter. Theodore Roosevelt pun mengatakan: “To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society” (Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman mara-bahaya kepada masyarakat).

Di era globalisasi serta perkembangan kemajuan teknologi informasi, pembangunan karakter bangsa menjadi jauh lebih penting. Karena kuatnya karakter bangsa akan menjamin tersedianya kekuatan tangkal terhadap ekses perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi, yang berpotensi mereduksi nasionalisme, patriotisme dan mencerabut akar budaya bangsa. Dengan demikian, pembangunan karakter bangsa terlebih karakter pemimpin masa datang, jauh lebih penting daripada membangun kapasitas atau kompetensinya.

Makalah ini juga mengangkat masalah aktual yang dihadapi bangsa Indonesia kini, dimana nilai-nilai luhur bangsa yang terpatisarikan dalam Pancasila seperti; gotong-royong, kekeluargaan, musyawarah-mufakat, toleransi, juga kesadaran bela negara telah jauh tereduksi oleh sikap individualistik-liberalistik atau kebebasan yang nyaris tanpa batas. Dengan demikian makalah ini memuat pembahasan tentang; Kepemimpinan (umum), pemimpin berkarakter, pemimpin bangsa yang berkarakter, serta upaya pembangunan karakter pada skala mikro maupun makro.

__________________________________________________________________________________

*    Bahan Ceramah dalam Pelatihan Yayasan Jati Diri Diri Bangsa, 1 Desember 2012, Serang-Banten.

 

Tentang Kepemimpinan

Secara umum, kepemimpinan dimengerti sebagai akumulasi berbagai hal positif (kemampuan, kekuatan, keunggulan, kebajikan, kharisma, pengetahuan dan sebagainya) dalam diri seseorang atau beberapa individu dalam kelompok yang memungkinkan dia atau mereka tampil/ditampilkan sebagai figur penggerak, pendorong, motivator, agregator, integrator, perumus sekaligus pelaksana ide/kebijakan, menjadi spirit bagi kelompok dalam mencapai tujuan bersama. Oleh karena itu, dalam konteks ini pemimpin tidak lagi ditentukan semata-mata oleh berapa banyak pengetahuan yang dimiliki, melainkan seberapa kencang pengaruh dan daya dorong yang dipancarkannya dalam kelompok sehingga dapat mengarahkan kelompok menuju cita-cita bersama.

Barbara Brown (1936) berpendapat bahwa pemimpin tidak dapat dipisahkan dari kelompok/bangsa, akan tetapi ia boleh dipandang sebagai suatu posisi dengan potensi (ter)tinggi di lapangan atau dalam upaya/perjuangan bersama. Dalam pandangan serupa, Krech dan Crutchfield memandang bahwa seorang pemimpin berperan sebagai “agen primer” untuk menentukan struktur kelompok, suasana kelompok, tujuan kelompok, ideologi kelompok, dan aktivitas kelompok. Dalam pigura pengertian ini, kepemimpinan merupakan kompleks kemampuan untuk mengarahkan dan mengontrol orang lain guna memperoleh hasil yang maksimal dengan friksi seminimal mungkin dan kerjasama yang maksimal. Untuk itu kepemimpinan dipahami pula sebagai kemampuan dan kekuatan untuk memberi semangat/moral yang kreatif namun terarah.

Acapkali terlontar pertanyaan; apakah seorang pemimpin dilahirkan (pemimpin muncul secara alamiah) ataukan dibentuk dan ditempa?  Menjawab pertanyaan ini, ada pakar yang mengatakan bahwa pemimpin itu dilahirkan (murni merupakan “anugerah alam”),  seseorang hanya akan menjadi pemimpin yang efektif karena dia dilahirkan dengan bakat kodrati kepemimpinannya. Namun pendapat lain menyatakan bahwa pemimpin itu dibentuk dan ditempa, dan hanya dengan pendidikan serta pembentukan secara sistematis dan kontinyu, seseorang dapat menjadi pemimpin yang efektif. Kalau seseorang diberi peluang untuk menumbuh-kembangkan efektivitas kepemimpinannya melalui berbagai kegiatan pendidikan dan latihan kepemimpinan, maka kualitas sebagai ‘real leader’ akan bersinar dari diri orang itu.

Sebagai sintesis, Sondang (1994) menyimpulkan bahwa seseorang hanya akan menjadi pemimpin yang berkualitas dan efektif manakala secara genetis telah memiliki bakat-bakat kepemimpinan, namun tidak berhenti di situ, bakat-bakat tersebut dipupuk dan dimekarkan melalui berbagai kesempatan untuk menempati jabatan-jabatan yang memungkinkan aktualisasi bakat kepemimpinannya. Hal itu ditopang oleh pengetahuan teoritis yang diperoleh melalui pendidikan dan latihan, baik yang bersifat umum maupun yang lebih spesifik menyangkut teori kepemimpinan.

Pemimpin Berkarakter

Pemimpin berkarakter adalah pemimpin yang memiliki prinsip hidup atau jiwa, watak yang amat kuat, ia mampu mengatakan ”yang salah adalah salah dan yang benar adalah benar” serta berani mengatakan ”tidak” bagi sesuatu yang dipandangnya salah meskipun dengan risiko yang amat berat, seperti kehilangan jabatan atau bahkan nyawa sekalipun. Seorang pemimpin yang berkarakter dapat saja menjadi tidak populer di kalangan bawahannya atau masyarakat, namun dengan karakter yang kuat ia tidak akan menjadi goyah atau berubah sikap karenanya. Kompetensi adalah syarat mutlak lainnya bagi seorang pemimpin, merupakan faktor pendukung utama bagi karakter sang pemimpin, sekaligus sebagai jaminan bagi diperolehnya keputusan yang tepat sehingga menjadi penuntun menuju sukses bagi organisasi yang dipimpinnya. Keteladanan merupakan metode paling efektif dalam kepemimpinan, dan suatu hal yang pasti (lambat atau cepat) seorang pemimpin berkarakter akan mampu menjadi teladan dan panutan bagi bawahan atau masyarakat yang dipimpinnya. Dengan demikian, seorang pemimpin senantiasa dituntut untuk mampu mewujudkan, memelihara dan meningkatkan keseimbangan dari aspek terpenting dan menjadi unsur utama bagi seorang pemimpin yakni karakter yang terpuji, kualitas intelektual yang tinggi, didukung oleh kualitas fisik yang prima, serta mampu menjadi teladan bagi masyarakat atau bawahannya.

Seperti dikatakan T. Richard Casey, “If a leader demonstrates competence, genuine concern for others and admirable character, people will follow”. John C. Maxwell (The Power of Leadership, 2001) memperkuat pendapat Casey dan menegaskan, “The most effective leadership is by example, not edict”. Menurut dia, 90%  manusia belajar secara visual, 9% secara verbal, sisanya 1% dengan indra lainnya. Orang belajar dan mengikuti dari apa yang dilihatnya sehingga kata Maxwell, “A leader’s credibility and his right to be followed are based on his life”. Pakar kepemimpinan lainnya mengatakan; karakter merupakan faktor utama dalam kepemimpinan, Joseph W. Stilwell menggambarkan bahwa kepemimpinan itu 80% ditentukan oleh watak kepribadian, 10% ditentukan oleh kemampuannya untuk mengambil keputusan, 5% ditentukan oleh masalah teknis, 5% ditentukan oleh yang lain-lain. Ia pun menandaskan, setiap orang adalah pemimpin bagi dirinya sendiri. Napoleon Bonaparte menyatakan bahwa seorang pemimpin militer harus memiliki karakter dan kecerdasan yang seimbang. Edgar F. Puryear Jr. dalam bukunya ”Nineteen Stars” maupun ”American Generalship” menyimpulkan bahwa dalam kepemimpinan ”Character is everything”. Berbagai pendapat pakar kepemimpinan di atas, menegaskan bahwa “karakter, kompetensi dan keteladanan” merupakan unsur utama dan terpenting dalam kepemimpinan. Oleh karena itu seorang pemimpin mutlak harus memiliki karakter yang baik dan kuat.

 

Pemimpin Bangsa yang Berkarakter

Yang dimaksud dengan pemimpin bangsa disini bukan hanya pemimpin tertinggi dari pemerintahan di Indonesia, atau biasa disebut sebagai pemimpin nasional. Melainkan pemimpin dari semua tingkat kepemimpinan, baik dalam struktur pemerintahan maupun dalam kemasyarakatan.

Pemimpin bangsa yang berkarakter berarti pemimpin yang memiliki karakter Keindonesiaan yang kuat. Ia harus menghayati secara mendalam karakteristik Keindonesiaan baik secara geografis yang merupakan negara kepulauan dengan kekayaan sumber daya alamnya yang melimpah, maupun secara demografis dengan segala pluriformitasnya yang amat lebar (multidimensi). Secara kultural, dalam masyarakat Indonesia di seluruh Nusantara sudah lama berkembang nilai-nilai luhur seperti kekeluargaan, gotong-royong, toleransi, keramah-tamahan, budi pekerti dan sebagainya. Namun berakar pula tendensi negatif seperti feodalistis, munafik, suka mencari kambing hitam dan malas (Prof. Dr. Kuntjaraningrat).

Dengan karakteristik Keindonesiaan seperti itulah para founding fathers/mothers secara sangat cerdas, arif dan visioner telah memformulasikan Pancasila dengan merujuk pada realistik Keindonesiaan, nilai-nilai kearifan lokal serta nilai-nilai yang berkembang secara global-universal. Dapat dikatakan Pancasila adalah buah perkawinan antara ”lokalitas dan universalitas” yang sangat tepat, berakar dan bersumber pada ranah Keindonesiaan, ideal sekaligus realistis, bernilai amat strategis-visioner, sehingga sangat relevan untuk digunakan sebagai pandangan hidup bangsa. Prof. Syafii Maarif mengapresiasinya sebagai ”masterpiece” (karya agung) anak bangsa dan Jacob Oetama menyebutnya sebagai hasil dari pemikiran cerdas yang mendahului zaman.

Oleh karena itu pemimpin bangsa yang berkarakter harus menghayati pula Pancasila dengan mendalam, yang pokok-pokoknya terdapat dalam pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 sebagai berikut:

Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, dimaksudkan bagi bangsa Indonesia bukan hanya harus bertaqwa kepada Tuhan, akan tetapi diharuskan pula ber-Tuhan secara berkebudayaan-berkeadaban yaitu; menghormati kebebasan beragama, dengan tiada “egoism agama” (kata Bung Karno) atau dengan kata lain dengan penuh toleransi.

Kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab (aslinya Internasionalisme atau Perikemanusiaan). Sila kedua ini diartikan bahwa sebagai bagian dari masyarakat internasional bangsa Indonesia harus menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Keberadaban umat manusia pada hakekatnya menjadi cita-cita luhur semua umat manusia penghuni jagat raya. Bung Karno juga menegaskan; “internasionalisme bukan kosmopolitisme yang tidak mengakui adanya kebangsaan, internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme, nasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme”.

Ketiga, Persatuan Indonesia atau Kebangsaan. Para pendiri Negara menghendaki Indonesia merupakan “Negara Bangsa” (nationale staat/nation state), karenanya prinsip kebangsaan harus kuat, persatuan Indonesia harus erat. Lebih dari itu Bungkarno mengelaborasi: kalau Ernest Renan mengatakan syarat menjadi bangsa adalah; le desir d’etre ensemble” atau kehendak untuk bersatu. Otto Bauer mengatakan; “bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena kesamaan nasib”. Kedua definisi tersebut oleh para pendiri negara dianggap sudah kuno karena hanya mengangkat aspek manusia semata. Bung Karno menegaskan bahwa kebangsaan Indonesia harus pula disertai dengan kecintaan dan tanggung jawab akan “tempatnya atau tanah air beserta segenap kekayaan sumber daya alamnya”, dengan kata lain; “antara bangsa dengan tanah air harus pula menjadi satu kesatuan”.

Keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan. Sila keempat ini adalah demokrasi ala Indonesia atau demokrasi Pancasila, suatu cara berdemokrasi yang sudah berabad-abad berakar kuat dalam kultur bangsa Indonesia. Prinsip demokrasi Pancasila adalah ”keterwakilan” dengan mengedepankan egalitarianisme, bukan “keterpilihan”. Sebagai contoh empiris, seharusnya; Suku-suku di Papua, Dayak, Badui, Anak Dalam dan berbagai kelompok etnis/minoritas diwakili dengan cara “ditunjuk”, bukan dipilih – karena tidak mungkin mereka terwakili dengan cara pemilihan langsung melalui sistem free fight – agar kepentingan mereka dapat diperjuangkan di parlemen. Keterwakilan juga merupakan perekat bagi masyarakat/bangsa yang serba majemuk seperti Indonesia. Sebagai perbandingan, Suku Eskimo dan Mohawk di Kanada yang sudah sangat minim jumlahnya, mendapat wakil di parlemen dengan cara ditunjuk. Sementara praktek demokrasi di Indonesia dewasa ini yang sangat liberal dan mengutamakan keterpilihan, justru “membunuh” prinsip keterwakilan dan egalitarianisme. Adalah salah kaprah yang fatal jika demokrasi diidentikkan dengan voting karena hal itu hanyalah salah satu cara dalam berdemokrasi. Musyawarah mufakat dan penunjukan berdasarkan asas egalitarian pun merupakan cara berdemokrasi yang elegan, benar, etis, dan rasional, yang secara obyektif sangat tepat diterapkan dalam konteks Keindonesiaan. Bahkan sejak 1958 sistem demokrasi tersebut dikembangkan oleh beberapa negara di Eropa dengan sebutan “Consociational Democracy” (demokrasi konsensus), kini negara-negara Skandinavia pun menerapkan sistem demokrasi seperti ini. Sesuai dengan ide awal demokrasi itu sendiri, prinsip atau kuncinya adalah; kebebasan (liberty), kesetaraan/kesamaan derajat (egality), persaudaraan (fraternity), disertai apresiasi yang tinggi terhadap kemanusiaan, toleransi dan respek terhadap perbedaan dan kemajemukan, sportifitas dalam persaingan yang sehat (fair competition), karenanya demokrasi dikatakan sebagai “nilai”, sehingga wajar kalau ada yang menganggapnya sebagai tujuan. Akan tetapi demokrasi juga merupakan “cara” dalam proses pengambilan keputusan, bagi suatu rekrutmen, pembentukan serta penyelenggaraan pemerintahan dan sebagainya. Sebagai nilai maupun cara, demokrasi bukanlah ide yang statis, ’terjun bebas’ dari langit kemudian diletakkan di ruang hampa, melainkan harus ditempatkan dalam realitas atau dikawinkan dengan realisme kehidupan multiaspek masyarakat atau bangsa-bangsa yang majemuk secara kodrati, harus disesuaikan dengan tatanan sosial-budaya lokal/domestik. Oleh karena itu sebagai cara atau konsep demokrasi sangatlah variatif; ada yang disebut demokrasi konstitusional, demokrasi parlementer, demokrasi liberal, demokrasi rakyat, demokrasi soviet, demokrasi nasional dan sebagainya. Pemaksaan suatu sistem demokrasi (demokrasi liberal sebagai misal) dalam suatu tatanan masyarakat/bangsa pada hakikatnya merupakan pengingkaran terhadap demokrasi itu sendiri.

Kelima, Keadilan sosial bagi seluruh takyat Indonesia. Prinsip kesejahteraan / keadilan sosial, kesejahteraan bersama, bukan kesejahteraan yang hanya dinikmati oleh sebagian kecil golongan masyarakat, menjadi sila kelima dari Pancasila. Berkaca pada keadaan di Eropa dan Amerika atau di dunia Barat saat itu, dimana kolonialisme-kapitalisme berkembang dan terus hidup sampai kini, maka membuat kesejahteraan hanya dinikmati oleh kaum kapitalis – lihat kasus pendudukan Wall Street di Amerika yang kemudian merembet ke Inggris dan masih berlangsung hingga kini, pada hakekatnya aksi ini merupakan protes terhadap kaum kapitalis – karenanya kesejahteraan bersama atau keadilan sosial harus menjadi sila/dasar bagi kehidupan berbangsa-bernegara Indonesia. Untuk itu para pendiri negara menekankan bahwa demokrasi Pancasila bukan merupakan demokrasi politik semata, melainkan harus pula disertai dengan demokrasi ekonomi, agar keadilan sosial tersebut menjadi tanggung jawab pemerintah (eksekutif maupun legislatif).

Pembangunan Karakter

Skala Mikro. Pembangunan Karakter dalam skala mikro dilaksanakan lewat ”pendidikan karakter”, yaitu suatu proses ”pembentukan moral” yang dikembangkan lewat penanaman tiga komponen karakter: “cipta, rasa, karsa” (Ki Hajar Dewantoro). Secara sistematis proses penanaman tiga komponen karakter tersebut dilaksanakan melalui langkah-langkah sebagai berikut:

Langkah Pertama. Menanamkan pengertian dan pemahaman tentang nilai secara “kognitif”, agar mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Nilai-nilai tersebut antara lain tentang: Kebesaran Tuhan, norma agama, kejujuran, ketulusan, nilai-nilai kemanusiaan dan pentingnya tolong-menolong, norma dan etika, apresiasi terhadap sesama dan kesetaraan, pentingnya apresiasi terhadap lingkungan, kebangsaan, hukum, nilai demokrasi, pentingnya toleransi, apresiasi terhadap kebhinnekaan, keberanian,  buruknya kekerasan, dan sebagainya.

Langkah Kedua. Menanamkan penghayatan nilai secara “afektif”, untuk membentuk sikap dasar, antara lain; Taqwa, jujur, disiplin/taat hukum, percaya diri dan pengendalian diri, kerja keras, kepekaan terhadap derita orang lain (emphaty), rendah hati, toleran, kesadaran lingkungan, nasionalisme dan patriotisme, konsistensi, cinta dan membela kebenaran, berani mengambil risiko, setia, tanggung jawab, dan lain sebagainya.

Langkah Ketiga. Pembentukan tekad secara “konatif”, – Conatio, keinginan kuat untuk mengamalkan nilai – sebagai hasil (outcome) dari penanaman dua komponen karakter sebelumnya.

Penanaman ketiga komponen karakter tersebut harus dilakukan secara terus-menerus sehingga menjadi kebiasaan (habit) dari seseorang atau kelompok yang menjadi obyek pendidikan karakter, karena pada hakekatnya pendidikan karakter merupakan proses berkelanjutan bagi setiap orang. Ketika mencapai usia dewasa, proses tersebut dilakukan secara mandiri, bertumpu pada niat/kemauan dan kemampuan sendiri, tidak mengandalkan atau seminimal mungkin adanya bantuan orang lain. Sedangkan pada usia anak-anak mutlak memerlukan bantuan/bimbingan orang lain. Pada prinsipnya dasar pendidikan karakter harus dilakukan sejak usia dini, bahkan ada pakar psikologi dan ilmu kesehatan yang mengatakan harus dilakukan sejak bayi masih dalam kandungan. Pada usia dini atau usia kanak-kanak – biasa disebut para ahli psikologi sebagai usia emas (golden age) – terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50% variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4 tahun. Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua.

Berkaca pada hasil penelitian diatas, maka sistem pendidikan nasional harus terdiri dari dua poros utama, yaitu; poros penanaman nilai (transfer of value) untuk membentuk karakter, serta poros pembekalan pengetahuan dan teknologi (transfer of knowledge and technonology) untuk membentuk kompetensi. Oleh karena pendidikan karakter harus dilakukan sejak usia dini, maka proses pendidikan pada tahap awal harus didominasi oleh pendidikan karakter, atau ajang penanaman nilai, dengan sedikit pembekalan pengetahuan (pengajaran dalam konteks kompetensi). Makin keatas proses pendidikan, porsi pengajaran harus bertambah besar, sebaliknya porsi penanaman nilai justru bertambah kecil, dengan berpegang pada teori diatas bahwa pada usia dewasa (17-20 tahun) karakter seseorang relatif sudah terbentuk.

PROSES PENDIDIKAN

Dik Karakter (Transferof value)

               Usia:             1 – 4                4 – 8        8-20           Dewasa

Dengan demikian, sangat penting dimilikinya konsepsi/strategi pendidikan nasional yang benar-benar sistematis oleh suatu bangsa. Jepang, Korea dan banyak negara Eropa berhasil, karena efektifnya pembangunan karakter bagi bangsanya. Sebaliknya banyak negara berkembang yang kemajuannya lambat, tidak mengalami kemajuan atau bahkan menjadi negara gagal, pada hakekatnya dikarenakan karena gagalnya pendidikan karakter. Potret keberhasilan/kegagalan pendidikan karakter di Indonesia, dapat kita telusuri dari hasil penelitian yang dirilis oleh Fund for Peace (lembaga penelitian yang ada di AS) pada tahun 2010, yang menempatkan Indonesia pada negara yang mendapat peringatan/potensial menjadi negara gagal, yaitu pada urutan ke-79 (urutan negara gagal) dari 179 negara. Selain itu UNDP (United Nations Development Programme), mengeluarkan juga rilis tentang peringkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) – biasa dijadikan ukuran keberhasilan pembangunan suatu negara – pada tahun 2009, menempatkan Indonesia pada peringkat ke 108 dari 135 negara yang dijadikan sample. Jauh dibawah Malaysia yang berada pada peringkat 57, serta Filipina pada peringkat 97. Dari 11 negara Asia Tenggara, Indonesia hanya unggul dari Vietnam, Myanmar, Kamboja, Laos dan Timor Leste. Alasan penempatan peringkat tersebut antara lain karena; maraknya budaya korupsi, tingginya angka kejahatan dan kekerasan. Semua alasan tersebut menunjukan rendahnya karakter yang dimiliki bangsa Indonesia. Jelas hal ini merupakan output dari kegagalan pendidikan nasional, khususnya pendidikan karakter.

Pendidikan karakter, bukan hanya dilaksanakan di sekolah saja, melainkan juga dirumah dan di lingkungan sosial atau di masyarakat. Permasalahannya pada saat ini, sistem pendidikan nasional kita terlalu berorientasi pada aspek pembentukan kompetensi lewat proses transfer of knowledge/technology, kurang berorientasi pada proses Transfer of value untuk membentuk karakter, sehingga moto pendidikan nasional pun “pendidikan berbasis kompetensi”. Kemudian pendidikan karakter dalam lingkungan keluarga pun kurang atau bahkan tidak berjalan efektif, karena pertama; kesibukan orangtua, maka pengasuhan anak pada usia dini (golden age) yang menurut para ahli psikologi dinilai sebagai usi rawan, justru lebih banyak ditangani pembantu. Disamping itu suguhan televisi yang menjadi tontonan anak pun sangat jauh dari tujuan pendidikan karakter. Demikian pula lingkungan masyarakat yang sudah banyak terkontaminasi oleh kekerasan dan narkoba. Kondisi ini jelas sangat tidak kondusif bagi berlangsungnya pendidikan karakter yang baik. Sehingga sekalipun saat ini diyakini masih banyak orangtua yang berkeinginan kuat untuk menanamkan pendidikan karakter bagi anak-anaknya, namun beban dan tantangan yang mereka hadapi amat berat.

Skala Makro. Dalam pengertian makro, pembangunan karakter (character building) menuju pada pembentukan karakter dan jatidiri bangsa, tidak terlepas dari proses penyelenggaraan Pemerintahan Negara. Dengan kata lain pembangunan karakter bukan merupakan upaya yang berdiri sendiri, melainkan sangat terkait dengan upaya pembangunan bidang/sektor lainnya, bahkan ada interdependensi dan komplementasi (saling ketergantungan dan saling melengkapi) yang sangat kuat. Baik atau efektifnya penyelenggaraan pemerintahan di bidang; ekonomi, informasi/media/penyiaran, kesehatan dan bidang lainnya termasuk pertahanan, niscaya akan memberikan output positif pada pembangunan karakter. Dengan demikian, upaya pembangunan karakter pada skala makro ini sangat dipengaruhi pula oleh kualitas kepemimpinan (pada semua level dan sektoral), kualitas berdemokrasi, kualitas Parpol dan Birokrasi, dan fungsi-fungsi penyelenggaraan pemerintahan negara lainnya

Bagi bangsa Indonesia yang sudah menetapkan Pancasila sebagai “pandangan hidup” bangsa (Weltanschauung) serta sebagai “dasar negara”, maka proses penyelenggaraan negara mutlak harus dijiwai oleh ruh Pancasila. Oleh karena itu UUD berikut semua peraturan perundang-undangan yang ada dibawahnya, dari atas sampai kebawah sesuai urutan hirarkhinya, harus pula dijiwai oleh Pancasila.

Namun kenyataan yang kita hadapi kini, setelah pelaksanaan reformasi 1998 (yang melenceng), justru ruh individualisme-liberalismelah yang menjiwai UUD serta semua peraturan-perUUan di Indonesia. Sehingga jalannya pemerintahan negara di hampir semua aspek pun menjadi sangat liberalistik. Berawal dari demokratisasi (”liberal”) yang pada hakikatnya tidak pas dengan akar budaya bangsa, disertai dinamika demokratisasi yang bergerak amat cepat, terlebih lagi proses tersebut digelindingkan di tengah arus ”Globalisasi”. Maka tak pelak lagi masuklah aneka-ragam ideologi/paham yang bertentangan dengan Pancasila dan nilai-nilai Keindonesiaan seperti liberalisme-kapitalisme, Wahabisme, American Evangelisme serta fundamentalisme lainnya bahkan Radikalisme yang kerap disertai Terorisme. Sesuai dengan filosofi dan sifat individualisme-liberalisme yang sangat mengagungkan kebebasan individu, maka kini di Indonesia berkembang suasana kebebasan yang nyaris tanpa batas. Kondisi ini telah mereduksi nilai-nilai luhur bangsa seperti; sikap kekeluargaan, gotong-royong, toleransi, serta etika ketimuran, juga nasionalisme, patriotisme, bahkan semangat belanegara. Sebaliknya telah berkembang sikap; individualistis, materialistis, hedonistis, konsumtivisme, feodalisme, fanatisme sempit, fundamentalisme serta radikalisme. Atmosfir nasional ini jelas sangat tidak kondusif bagi upaya pembangunan karakter, menuju pada Indonesia yang dicita-citakan. Oleh karenanya, pada skala Makro, pembangunan karakter di Indonesia harus merupakan upaya menyeluruh, dan secara fundamental harus dimulai dari upaya menghidupkan kembali ruh Pancasila dalam pelaksanaan pemerintahan negara atau dalam kehidupan berbangsa-bernegara.

Ini semua merupakan tantangan bagi kita agar lebih giat lagi dan berupaya keras membangun karakter bangsa, termasuk membangun pemimpin bangsa yang berkarakter dimasa datang, lewat upaya pada skala mikro maupun makro.

 

 

Penutup

Demikian bahan ceramah saya, mudah-mudahan dapat membantu para peserta pelatihan dalam memahami arti pembangunan karakter bagi bangsa Indonesia. Bagai mana langkah upaya membangunnya, apa yang menjadi permasalahannya kini, serta bagaimana upaya membangunya kembali. Karakter dan jatidiri bangsa yang baik, akan menjadi lahan subur bagi tumbuh, berkembang dan lahirnya para pemimpin bangsa yang unggul dan berkarakter di masa datang.

 

 

Sumber :

–          Karakter Mengantar Bangsa dari Gelap Menuju Terang

Oleh : Soemarno Soedarsono

–          Potensi – Potensi Manusia

Oleh : H. Fuad Nashori

–          Tulisan – tulisan tentang Karakter

Oleh YJDB

–          Jagad Pewayangan

–          Hasta Brata oleh Pak Wede

–          Kearifan, Wejangan dan Keheningan oleh Ki FX Kamari

–          Kisah Maha Barata

–          Kisah Ramayana


0 Responses to “Pendidikan Karakter Bangsa”



  1. Leave a Comment

Leave a comment


Blog Stats

  • 4,407,531 hits

Archives

Recent Comments

Ratu Adil - 666 on Kenegarawanan : Harta Amanah B…
Ratu Adil - 666 on Kepemimpinan : Satrio Piningit…
Ratu Adil - 666 on Kepemimpinan : Satrio Piningit…
Ratu Adil - 666 on Kenegarawanan : Harta Amanah B…
Ratu Adil - 666 on Kenegarawanan : Harta Amanah B…