27
Aug
11

Kepemimpinan QS : Pemimpin Ideal Menurut Al Qur’an

Pemimpin Ideal Menurut Qur’an

In OPINI on Februari 2, 2010 at 12:00 am
Oleh H. MG Hadi Sutjipto *)
SEPANJANG tahun 2010 ini, Jawa Timur akan menjadi arena suksesi pergantian pimpinan daerah tingkat dua, Kabupaten dan Kotamadya terbanyak di tingkat nasional. Sebanyak 18 daerah tingkat dua teragendakan akan menggelar Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) sebagai aplikasi pesta demokrasi yang sesungguhnya. Ini karena nasib para peserta bursa calon pimpinan daerah ada di tangan warga daerah penyelenggara Pilkada.
Tak pelak lagi, citra setiap masyarakat sedikit terdongkrak. Mereka menjadi sasaran serbu rayuan para peserta bursa calon pimpinan daerah. Sosok yang sebelumnya tak pernah sekalipun menengok, memikirkan, atau berempati pada masyarakat, secara tiba-tiba berbalik 180 derajat. Menjadi sosok yang penuh perhatian pada masyarakat.
Teknik yang mereka tebarkan biasanya sangat klise dan tendensius. Bermodal sedikit ‘angpao’ rupiah, paket sembako, atau lainnya sebagai pintu gerbang mendekati masyarakat, satu dan lain peserta akan adu kecerdikan membual dan menebar rayuan. Rata-rata mereka berjanji akan memperbaiki nasib masyarakat yang didekati jika saja diberi kesempatan berbentuk dukungan suara saat penyelenggaraan Pilkada.
Bagaimana saat calon tersebut benar-benar sukses. Mengantongi dukungan suara mayoritas, sehingga tahta pimpinan daerah berhasil digenggamnya. Jawabannya hanyalah Wallahu a’lam Bish-showwab… Pemimpin pilihan masyarakat itu mungkin saja ingat dan memenuhi janji yang ditebarkan semasa kampanye. Namun, bukan tidak mungkin untuk ingkar janji dengan berpura-pura lupa dan mabuk keberhasilan, sehingga menganggap angin lalu pada semua janji yang ditebarkan selama kampanye.
Karena itu, senyampang Pilkada beum diselenggarakan dan masyarakat belum kembali menjadi korban kampanye, maka perlu kiranya konsep berfikir mereka dalam memilih calon pimpinan daerahnya sedikit digeser. Masyarakat tidak perlu lagi memilih seorang calon pemimpin yang dalam kampanyenya getol menebar rayuan. Sebab pemimpin demikian biasanya akan ingkar terhadap janji-janjinya, karena banyaknya janji yang ditebarkan tidak mungkin dapat tepenuhi dalam 5 tahun memimpin sebuah daerah.
Lalu calon pemimpin bagaimana yang layak mendapat dukungan? Calon pemimpin yang layak mendapat dukungan sesungguhnya sudah digariskan dalam setiap agama. Dengan kondisi masyarakat Indonesia yang mayoritas Islam, maka bukan sebuah sikap yang berlebihan jika Al-Quran sebagai kitab suci kaum muslim dijadikan sebagai sebuah pertimbangan utama dalam memilih seorang pemimpin yang ideal.
DARI BELAKANG
Pemimpin ideal yang layak mendapat dukungan, digariskan Quran hanyalah pemimpin yang memiliki karakter seorang Khalifah, Imam, Malik, dan Ulil Amri. Sebab empat istilah untuk menyebut pemimpin sebagaimana termaktub dalam Quran itu, sesungguhnya merupakan pernik-pernik pesan yang ingin disampaikan Allah SWT lewat firman-Nya untuk umat manusia dalam memilih pemimpinnya.
Allah menunjukkan, bahwa masyarakat hendaknya memilih pemimpin yang berkarakter Khalifah sebagaimana dalam Surat Al-Baqoroh ayat 30 dan Shad ayat 26. Kata Khalifah dalam bentuk Mufrod (tunggal), menurut Quraish Shihab dalam buku “Membumikan Alquran” terbitan Mizan, disebut sebanyak dua kali. Sedangkan dalam bentuk jamak (plural), alquran menggunakan dua bentuk. Pertama kata khalaif yang terulang sebanyak empat kali. Dan kata Khulafa’ yang ditulis sebanyak tiga kali. Semua kata kata tersebut berakar dari kata Khulafa’ yang pada awalnya berarti “ Di belakang “.
Dari pengertian ini, kata Khalifah seringkali diartikan sebagai “ Pengganti “, karena yang menggantikan selalu berada atau datang di belakang, sesudah yang digantikannya, demikian tulis Quraish Shihab.
Sedangkan isi Al-Baqoroh ayat 30 yang menunjukkan tentang yang menyebut pemimpin dengan istilah Khalifah adalah:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat : ”Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang Khalifah di muka bumi. Mereka berkata : ”Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? ”Tuhan berfirman: Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.
Adapun dalam Shad ayat 26, istilah Khalifah kembali tersebut sebagai berikut:
Hai Dawud, Sesungguhnya kami menjadikan kamu Khalifah di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) diantara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.
Berdasaran Surat Al-Baqoroh dan Surat Shad itu, Allah telah meminta umat manusia untuk memilih pemimpin dengan latar belakang yang steril dari perilaku membuat kerusakan di atas bumi, tidak menumpahkan darah, berbuat adil, dan tidak mengikuti hawa nafsu. Artinya, berdasarkan ayat ayat di atas, seorang pemimpin ideal sebaiknya adalah mereka yang memiliki sikap mental yang tersebut di atas.
KESEMPURNAAN ILMU
Bagaimanakah dengan kecerdasan intelektual, apakah ikut berperan dalam menentukan idealitas seorang pemimpin? Dalam surat yang sama, Surat Al-Baqoroh dan Surat Shaad, Allah berfirman:
Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama nama (benda benda) seluruhnya …. (QS. Al-Baqoroh ayat 31)
Dan kami kuatkan kerajaannya dan kami berikan kepadanya hikmah dan kebijaksanaan dalam menyelesaikan perselisihan. (QS. Shad ayat 20)
Pada catatan kaki Al-Quran dan terjemahnya terbitan Mujamma’ Al Malik Fahd, Saudi Arabia, yang dimaksud hikmah di dalam surat Shaad di atas adalah kenabian, kesempurnaan ilmu, dan ketelitian amal perbuatan.
Dua ayat di atas yang masih berbicara tentang kepribadian nabi Adam dan Nabi Dawud sebagai Khalifah jelas sekali menegaskan akan kemampuan intelektualnnya. Dengan kata lain, pemimpin ideal menurut ayat-ayat ini, disamping memiliki kemampuan emosional dan sikap mental yang baik, juga harus memiliki kecerdasan intelektual yang mumpuni.
Sedangkan calon pemimpin yang layak didukung dan dipilih harus memiliki karakter Imam. Menurut Al Tabrasi dalam kitab tafsirnya, seperti dikutip Quraish Shihab, mempunyai makna yang sama dengan Khalifah. Hanya saja, kata ini di pakai untuk makna keteladanan, karena ia berasal dari sebuah kata yang mengandung arti depan. Berbeda dengan kata Khalifah yang pada awalnya berarti belakang.
Kata Imam dalam Al-Quran disebut sebanyak tujuh kali dengan makna yang berbeda beda. Akan tetapi, kesemuanya itu bermuara pada satu makna sesuatu yang di tuju atau di teladani. Yang lebih mendekati pengertian yang sesuai dengan arti pemimpin adalah surat Al-Baqoroh ayat 124 dan Al-Furqon ayat 74 yang artinya:
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman : “ Sesungguhnya aku akan menjadikanmu Imam bagi seluruh manusia “. Ibrahim berkata : “ (Dan saya mohon juga) dari keturunanku “. Allah berfirman : “ Janjiku (ini) tidak mengenai orang orang yang dzalim “. (QS. Al-Baqoroh ayat 124)
Dan orang orang yang berkata : “ Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati, dan jadikanlah kami Imam bagi orang orang yang bertaqwa. (QS. Al-Furqon ayat 74)
MEREBUT TAHTA
Dari gambaran dua ayat itu, muncul satu pemahaman bahwa seorang Imam (pemimpin) terbiasa untuk meneruskan dan mewariskan kepemimpinannya kepada anak cucu. Istilah politik mengungkapkannya dengan sebutan Monarki.
Pada surat Al-Baqoroh ayat 124, nabi Ibrahim sebagai seorang Imam (pemimpin), ingin sekali meneruskan dan mewariskan kepemimpinannya kepada anak cucu. Itu dibuktikan dengan permohonannya kepada Alllah SWT dengan kalimat “ (Dan saya mohon juga) dari keturunanku “. Surat Al-Furqon ayat 74 pun kelihatannya tidak jauh berbeda. Ayat itu berisi permohonan seseorang untuk melanggengkan kepemimpinannya kepada anak cucu dan golongannya sendiri. Hanya saja sistem monarki atau sumber dan pusat kepemimpinan yang selalu berkisar pada golongan tertentu, nampaknya diberi syarat oleh Allah dengan “ Janjiku (ini) tidak mengenai orang-orang yang dzalim “. Ungkapan ini menunjukkan, bahwa sifat dzalim atau tidak dapat berbuat adil merupakan watak yang tidak dimaui oleh Tuhan dalam melestarikan, melanggengkan dan merebut tahta kepemimpinan.
Sebenarnya masih ada lagi istilah istilah alquran yang dapat kita masukkan ke dalam pengertian pemimpin, seperti Malik dan Ulul Amri. Untuk mengeksplor dua kata diatas, dibutuhkan penelitan yang lebih mendetail.
Dengan tidak mengurangi pemikiran yang berkembang di masyarakat dan teori teori kepemimpinan yang ada, ayat ayat alquran yang kami sampaikan dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama, Pemimpin ideal menurut alquran adalah mereka yang memilki sikap emosional yang terkendali, sikap mental yang mapan, dan kecerdasan intelelektual yang mumpuni. Tidak berbuat kerusakan di bumi, tidak menumpahkan darah, berbuat adil, dan tidak menuruti hawa nafsu adalah ungkapan ungkapan Al-Quran dalam menjabarkan hal tersebut.
Sedangkan yang kedua, pemimpin ideal adalah seseorang yang terpilih tidak sekedar karena gen (keturunan), tetapi lebih banyak karena kemampuan diri sendiri, dan Kepemimpinan tidak dapat diturunkan kepada anak cucu.
Dari isi tiga ayat Surat Al-Baqoroh, dua ayat Surat Shad, dan satu ayat Surat Al-Furqon itu, sesungguhnya masyarakat daerah di Jawa Timur dan luar daerah lainnya secara tersurat sudah memiliki pedoman dalam memilih pemimpin masing-masing daerahnya. Sehingga calon pemimpin yang memiliki latar belakang pengrusak dalam arti sesungguhnya atau pun simbolik, berwatak dzalim, miskin rasa adil dan bijaksana, serta jauh dari siap ketaqwaannya pada Allah SWT hendaknya tidak dipilih dan didukung. Pasalnya calon pemimpin yang demikian telah dipastikan Allah akan membuat kerugian pada daerah dan masyarakat yang dipimpinnya.
Sebaliknya jika masyarakat suatu daerah itu tak mengindahkan garis demarkasi sosok pemimpin sebagaimana difirmankn Allah dalam Al-Quran, maka besiap saja pada saatnya nanti Allah akan memberikan sebuah peristiwa memperihatinkan atau tragedi, yang berfungsi sebagai sebuah peringatan Illahi akan kesalahan yang dilakukan umat manusia sebuah daerah atau negara.
*) Penulis adalah Ketua Takmir Masjid Agung, Sidoarjo, yang kini siap maju dalam Pemilukada Sidoarjo 2010 sebagai Calon Wakil Bupati
Pemimpin dalam Pandangan al-Qur’an

Nadirsyah Hosen


Ada dua ayat al-Qur’an yang menggunakan kata Khalifah. Pertama, Qs al-Baqarah: 30, “Inni ja’il fi al-ardh khalifah,” dan kedua, QS al-Shad: 26, “Ya Dawud Inna ja’alnaka khalifah fi al-ardh.”. Dr. M. Quraish Shihab menjelaskanbahwa (1) kata khalifah digunakan oleh al-Qur’an untuk siapa yang diberi kekuasaan mengelola wilayah, baik luas maupun terbatas. Dalam hal ini Daud mengelola wilayah Palestina, sedangkan Adam secara potensial atau aktual diberi tugas mengelola bumi keseluruhannya pada awal masa sejarah kemanusiaan; (2) Bahwa seorang khalifah berpotensi, bahkan secara aktual, dapat melakukan kekeliruan dan kesalahan akibat mengikuti hawa nafsu. Karena itu baik Adam maupun Daud diberi peringatan agar tidak mengikuti hawa nafsu (lihat QS 20:16 dan QS 38: 26).Menarik untuk diperbandingkan bahwa pengangkatan Adam sebagai khalifah dijelaskan Allah dalam bentuk tunggal inni (sesungguhnya Aku) Sedangkan pengangkatan Daud dijelaskan dengan menggunakan kata inna (sesungguhnya Kami). Jikalau benar kaidah yang mengatakan bahwa penggunaan bentuk plural, selain berarti li ta’zhim, juga bisa bermakna mengandung keterlibatan pihak lain bersama Allah dalam pekerjaan yang ditunjuk-Nya, maka ini berarti bahwa dalam pengangkatan Daud sebagai khalifah terdapat keterlibatan pihak lain selain Allah, yakni masyarakat. Adapun Adam dipilih langsung oleh Allah, tanpa unsur keterlibatan pihak lain.Sejarah mencatat bahwa Daud bukan saja Nabi tetapi juga penguasa kerajaan (“Dan Kami kuatkan kerajaannya dan Kami berikan kepadanya hikmahS.QS. 38: 20). Allah mengisyaratkan bahwa Daud bukan saja dipilih oleh Allah tetapi juga diangkat oleh masyarakat. Pada titik ini penafsiran Imam al-Mawardi, terhadap ayat QS. 4:58, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat,” patut dikedepankan. Imam al-Mawardi, pengarang al-Ahkam al-Sulthaniyah, menjelaskan bahwa karena ada yang memberi amanah dan ada yang menerima amanah, maka terjalinlah hubungan sosial diantara kedua belah pihak. Ratusan tahun setelah Imam Al-Mawardi wafat, barulah muncul di Barat teori kontrak sosial yang sebenarnya embrionya telah dimulai oleh penafsiran al-Mawardi.Oleh karena itu, dalam pandangan al-Qur’an, pemimpin yang diangkat oleh masyarakat sebenarnya berada pada posisi menerima amanah, sedangkan masyarakat sebagai pemberi amanah. Tentu saja, ajaran agama mengatur bahwa penerima amanah, pada saatnya nanti, harus mempertanggungjawabkan amanahnya kepada si pemberi amanah, yaitu pada “pengadilan” masyarakat di dunia, dan “pengadilan” Allah swt di Padang Mahsyar nanti.Berkenaan dengan pemberian amanah, ada satu ayat yang cukup menyentak kita: “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh,” QS 33: 72

Dr. Wahbah Az-Zuhaili dalam at-Tafsir al-Munir menjelaskan bahwa amanah yang dimaksud adalah ketaatan dalam menjalankan kewajiban (taklif) syar’i, seperti sholat, puasa dan lainnya. Lebih jauh Az-Zuhaili menafsirkan bahwa kata amanah dalam ayat di atas juga mencakup amanah terhadap harta, menjaga kemaluan, menjaga pendengaran, penglihatan, lisan batin, tangan dan langkah kaki. Kegagalan menerima amanah ini (akibat manusia itu amat zalim dan amat bodoh) akan mengakibatkan manusia terbagi menjadi tiga golongan (sebagaimana diisyaratkan oleh ayat selanjutnya QS 33: 73): pertama, munafikin, yaitu sebagaimana digambarkan dalam hadis: kalau berkata selalu berdusta; kalau berjanji selalu ingkar; dan kalau diberi amanah berlaku khianat (Musnad Ahmad, Hadis Nomor: 6583); kedua, golongan musyrikin, yaitu golongan yang baik tersembunyi maupun terang-terangan telah berlaku syirik dan menentang Rasul; ketiga Mu’minun, yang dalam ayat ini digambarkan sebagai mereka yang diterima taubatnya.

Tampaknya amanah keagamaaan yang dibebankan kepada manusia itu sedemikian berat; apatah lagi ditambah amanah keduniawian berupa kekuasaan.

Sudah jelas bahwa dua golongan pertama, munafik dan musyrik, bukan saja gagal menerima amanah keagamaan namun harus dipandang tidak juga layak menerima amanah keduniawian. Perhatikan firman Allah berikut ini : “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim”.”

Tinggal satu golongan lagi yang layak menerima dan menjalankan amanah, yaitu golongan mu’min. Namun mengapa Allah mengisyaratkan Mu’min yang layak menerima amanah itu sebagai Mu’min yang diterima tobatnya? Rupanya, Allah tahu bahwa seorang pemimpin tidak bebas dari kesalahan. Adam dan Daud yang disebut sebagai khalifah ternyata juga sempat melakukan perbuatan tercela. Namun mereka segera bertaubat (lihat Qs 7: 23 dan Qs 38: 25). Jadi, carilah pemimpin yang bersedia dikoreksi, bersedia mengakui kesalahan, bersedia memperbaiki kesalahannya, dan gemar mengucapkan isitighfar pada Allah swt. sebagai wujud kehinaan dan kerendahan diri ketika berhadapan dengan Dzat Yang Maha Agung.

Apakah kriteria itu sudah cukup? Allah mengingatkan Daud dalam QS 38: 26, “Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.” Allah sebagai pemberi amanah dari “langit” menentukan bahwa pemimpin itu harus menegakkan hukum (law enforcement) dan keadilan serta menghindarkan diri dari mengikuti hawa nafsu. Tanpa keadilan, yang berlaku adalah “hukum rimba”: siapa yang kuat(mungkin harus dibaca: siapa yang punya pasukan), maka dialah yang menang. Hawa nafsu adalah godaan terus menerus didalam diri kita yang selalu mengajak kita untuk menyimpang dari kebenaran. Hawa nafsu jugalah yang membawa penguasa terus memperkaya diri sementara rakyat makan tiwul.

Apakah semua itu sudah cukup? Dengarkan tuntutan penduduk “bumi” yang juga telah memberi amanah kepada Daud (Qs 38: 22), “Berilah keputusan antara kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjukilah kami ke jalan yang lurus (Wahdina ila sawa`i al-shirat).” Pesan dari “langit” akan keadilan dan kebenaran rupanya juga cocok dengan kebutuhan penduduk “bumi”. Namun ada satu tambahan, yaitu, masyarakat juga menuntut pemimpin untuk memberi petunjuk kepada yang dipimpin akan sawa’i al-shirat. Kalau kita kembali merujuk pada Imam al-Mawardi, dalam al-Nukat wa al-‘Uyun, pemberi amanah menuntut pemimpin untuk memberi petunjuk kepada tujuan atau maksud-maksud yang benar. Ini berarti pemimpin tidak boleh memberi informasi yang keliru, plin-plan, bahkan juga tidak boleh menyembunyikan informasi yang benar, layak, pantas dan harus diketahui oleh masyarakat. Pemimpin juga harus menjadi teladan agar yang dipimpin merasa yakin bahwa pemimpin tidak pernah berniat mencelakakan masyarakat. Sebelum menunjuki jalan yang lurus, pemimpin harus “meluruskan” dirinya terlebih dahulu.

Dr. Quraish Shihab menganggap ayat berikut ini cukup pantas ditelaah dan dijalankan oleh para pemimpin sebagai mewakili sebagian besar ayat lain yang berbicara tentang tugas-tugas seorang khalifah. “(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan (QS 22: 41).” Beliau memberi keterangan: “Mendirikan sholat merupakan gambaran dari hubungan yang baik dengan Allah, sedangkan menunaikan zakat merupakan gambaran dari keharmonisan hubungan dengan sesama manusia. Ma’ruf adalah suatu istilah yang berkaitan dengan segala sesuatu yang dianggap baik oleh agama, akal dan budaya, dan sebaliknya dengan Munkar. Dari gabungan itu semua, seseorang yang diberi kedudukan oleh Allah untuk mengelola suatu wilayah, ia berkewajiban untuk menciptakan suatu masyarakat yang hubungannya dengan Allah baik, kehidupan masyarakatnya harmonius, dan agama, akal dan budayanya terpelihara.”

Adakah pemimpin seperti itu? Bukankah sejarah telah mencatat sejumlah pemimpin yang berlumuran darah dan dihujat rakyat akibat berlaku zalim? Yang jarang diketahui orang, sejarah juga mencatat kisah berikut ini:

“Raja Anusyirwan sedang berburu. Dia memasuki sebidang kebun dalam keadaan yang sangat haus. Baginda melihat banyak pohon delima. Kepada anak penunggu kebun, raja berkata, “Berikan kepadaku sebutir delima.” Delima itu ternyata sangat manis dan airnya yang lezat keluar melimpah. Raja begitu terkesan sehingga terlintas dibenaknya untuk menguasai kebun itu. Pada kali yang kedua, dia meminta lagi sebutir delima. Namun kali ini rasanya kecut. Raja keheranan sambil berkata pada si penjaga kebun,”Mengapa rasanya jadi begini?” Sang penjaga kebun menjawab, “Mungkin ada raja di negeri ini yang bermaksud berbuat zalim. Karena niat jeleknya maka delima ini menjadi kecut.” Raja terkejut, dan beristighfar dalam hatinya. Tak lama kemudian, raja meminta lagi sebutir delima. Kali ini rasanya menjadi kembali nikmat seperti butir yang pertama.”

Al-Qur’an telah menuntun kita untuk memberi amanah kepada pemimpin yang menjalankan agamanya dengan baik, mengakkan hukum dan keadilan, berpegang pada kebenaran, lekas bertobat bila keliru, memberi informasi yang benar pada rakyatnya, tidak menurutkan hawa nafsu dan selalu membina hubungan baik kepada Allah dan masyarakat. Pemimpin yang seperti ini akan menyebarkan berkah disekelilingnya. Sebaliknya, kegagalan memilih pemimpin yang sesuai dengan nilai normatif Qur’ani, bukan saja menebar musibah di kalangan manusia, namun akan membuat buah yang manis menjadi kecut, tanah yang subur menjadi kering, dan keberkahan menjadi hilang.

Wa Allahu A’lam bi al-Shawab
*) Dibacakan pada Pengajian Bulanan Al-Hikmah, UNE, Armidale, NSW pada Sabtu 6 Maret 1999 oleh Nadirsyah Hosen.

al-Maraji’ : 1. Al-Nukat wa al-‘Uyun li al-Imam al-Mawardi; 2. Al-Tafsir An-Nur li Wahbah Az-Zuhaili; 3. Musnad Ahmad li al-Imam Ahmad bin Hanbal; 4. Dr. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Bandung, Mizan, 1992; 5. Jalaluddin Rakhmat, Reformasi Sufistik, Bandung, Pustaka Hidayah, 1998; 6. Al-Ahkam al-Sulthaniyah li al-Imam al-Mawardi []


Nadirsyah Hosen adalah dosen Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
 

Kepemimpinan Dalam Al-Qur’an (1)

Tafsir Fi Zhilalil Qur”an

undefinedbersama Sayyid Qutb

Rabu, 15/04/2009 12:23 WIB | Arsip | Cetak

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (58) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa: 58-59)

Ini merupakan tema penting yang dikupas dalam pelajaran ini, selain penjelasan tentang tugas umat Islam di muka bumi. Tema tersebut adalah menetapkan prinsip-prinsip keadilan dan etika di atas dasar-dasar manhaj Allah yang lurus dan bersih.

Sebelumnya kami telah menjelaskannya secara global, maka mari kita memasuki nash-nash secara rinci.

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (an-Nisa: 58)

Inilah tugas-tugas komunitas muslim dan etika mereka: menyampaikan amanah kepada yang berhak dan memutuskan perkara di antara manusia dengan adil; sesuai manhaj dan instruksi Allah.

Berbagai amanah berawal dari amanah terbesar. Amanah yang disematkan Allah pada fitrah manusia. Langit, bumi dan gunung-gunung saja menolak amanah tersebt. Bahkan mereka gentar terhadapnya. Tetapi manusia berani memikulnya. Itulah amanah hidayah, ma’rifat dan iman kepada Allah atas dasar keinginan yang bebas, usaha dan orientasi. Inilah amanah fitrah insani secara khusus. Sedangkan segala sesuatu selain manusia itu diberi insting oleh Allah untuk beriman kepada-Nya, menemukan jalan-Nya, mengenal-Nya, beribadah dan menaati-Nya.

Allah meniscayaka untuk menaati aturan-Nya tanpa disertai jerih payah, tanpa ada maksud, kehendak, dan tujuan. Hanya manusia saja yang diserahi tugas untuk mendayagunakan fitrah, akal, pengetahuan, kehendak, orientasi, dan jerih payahnya untuk sampai kepada Allah, dan sudah barang tentu dengan bantuan dari Allah: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami.” (al-’Ankabut: 29) Inilah amanah yang dipikul manusia, dan inilah amanah pertama yang harus ditunaikannya.

Dari amanah terbesar inilah lahir seluruh amanah yang diperintahkan Allah untuk dilaksanakan.
Di antara amanah-amanah tersebut adalah: amanah kesaksian terhadap agama ini. Kesaksian yang pertama adalah kesaksian dalam hati, dengan melakukan mujahadatun-nafs hingga mampu menerjemahkannya dalam kehidupan sehari-hari. Terjemah yang hidup dalam perasaan dan perilakunya, hingga manusia dapat melihat bentuk iman di dalam jiwa, lalu mereka mengatakan, “Betapa indah dan bersihnya iman ketika ia mewarnai jiwa seseorang dengan akhlak dan kesempurnaan seperti ini!” Dengan demikian, kesaksian terhadap agama di dalam diri itu memengaruhi orang lain.

Yang kedua adalah kesaksian dengan mengajak orang lain untuk mengikuti Islam, menjelaskan keutamaan dan keistimewaannya—setelah mengejawantahkan keutamaan dan keistimewaan ini dalam diri dai. Karena seorang mukmin tidak cukup menyampaikan kesaksian terhadap iman dalam dirinya, apabila ia tidak mengajak orang lain untuk mengikutinya. Ia belum menjalankan amanah dakwah, tabhligh, dan penyampaikan informasi, yang merupakan salah satu dari sekian banyak amanah. Di susul dengan kesaksian terhadap agama dengan berusaha menancapkannya di bumi sebagai manhaj bagi komunitas yang beriman dan manhaj bagi seluruh umat manusia. Yaitu usaha dengan segenap sarana yang dimiliki individu dan jama’ah. Karena mengaplikasikan manhaj ini dalam kehidupan manusia merupakan amanah terbesar, sesudah amanah iman itu sendiri..Tidak ada satu individu atau kelompok pun yang terbebas dari beban amanah ini. Dari sini, “jihad itu terus berlangsung hingga hari Kiamat”, untuk menunaikan salah satu amanah..

Di antara amanah-amanah tersebut adalah amanah interaksi dengan sesama manusia dan mengembalikan amanah kepada mereka: amanah mu’amalah dan titipan materi, amanah nasihat kepada pemimpin dan rakyat, amanah membangun generasi, amanah memelihara kehormatan dan harta benda jama’ah, serta hal-hal yang dijadikan manhaj robbani sebagai kewajiban dan tugas dalam setiap ruang kehidupan secara keseluruhan..Inilah amanah-amanah yang Allah perintahkan untuk dilaksanakan, dan dikemukakan nash secara global tersebut.

Mengenai memutuskan perkara di antara manusia dengan adil, nash menyebut keadilan yang menjangkau semua manusia, bukan keadilan di antara sesama orang Islam, dan bukan keadilan di antara sesama Ahli Kitab. Keadilan adalah hak setiap manusia dalam kapasitasnya sebagai “manusia”. Label “manusia” inilah yang mengimplikasikan hak keadilan dalam manhaj Robbani, dan label inilah yang mempertemukan semua manusia: baik mukmin atau kafir, kawan atau lawan, hitam atau putih, Arab atau non-Arab.

Umat Islam berdiri membuat keputusan di antara manusia dengan adil—ketika ia memegang otoritas atas urusan mereka. Keadilan inilah yang belum pernah dikenal umat manusia sama sekali—dalam bentuknya yang demikian—kecuali di tangan Islam, kecuali dalam pemerintahan umat Islam, dan kecuali pada masa kepemimpinan Islam. Keadilan ini hilang sebelum dan sesudah kepemimpinan tersebut. Umat manusia sama sekali tidak merasakan keadilan dalam bentuk mulia seperti ini, yang diberikan kepada semua manusia karena mereka adalah “manusia”, bukan karena label tambahan lain di luar label yang menjadi milik bersama umat manusia ini!

Itulah dasar pemerintahan dalam Islam. Sebagaimana amanah—dengan setiap indikasinya—merupakan dasar kehidupan dalam masyarakat Islami.

Lainnya (Arsip)

Kepemimpinan dalam Alquran (4)

Tafsir Fi Zhilalil Qur”an

undefinedbersama Sayyid Qutb

Kamis, 07/05/2009 11:04 WIB | Arsip | Cetak

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (58) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa: 58-59)

“Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.”

Itulah ketaatan kepada Allah dan ketaatan kepada Rasul, dan kepada Ulil Amri yang beriman dan menjalankan syari’at Allah dan Sunnah Rasul. Lalu perkara-perkara yang diperselisihkan itu dikembalikan kepada Allah dan Rasul. Semua ini adalah syarat iman kepada Allah dan Hari Akhir. Sebagaimana ia merupakan tuntutan iman kepada Allah dan Hari Akhir. Jadi, tidak ada iman sama sekali manakala syarat ini tidak terpenuhi. Tidak ada iman, dan pada gilirannya dampaknya yang pasti pun tidak mengikuti.

Setelah nash ini meletakkan masalah pada posisi kondisionalnya, maka sekali lagi nash menghadirkannya dalam bentuk “nasihat” dan motivasi, seperti yang dilakukannya terhadap perintah menunaikan amanah dan berlaku adil, yang kemudian disusul dengan nasihat dan motivasi.

“Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Yang demikian itu lebih baik bagi Anda, dan lebih baik akibatnya. Lebih baik di dunia, juga lebih baik di akhirat. Lebih baik akibatnya di dunia, juga lebih baik akibatnya di akhirat. Jadi, bukan hanya menggapai ridha Allah dan pahala akhirat—dan itu merupakan berkara yang sangat, tetapi mengikuti manhaj itu juga dapat mewujudkan kebaikan dunia dan akibat yang baik bagi individu dan jama’ah di kehidupan yang dekat ini.

Sesungguhnya manhaj ini berarti “seseorang” menikmati kelebihan-kelebihan manhaj yang diletakkan Allah baginya. Allah yang Maha Menciptakan, Mahabijaksana, Maha Mengetahui, Maha Melihat, Maha Mengenal. Manhaj yang terbebas dari kebodohan, hawa nafsu, kelemahan, dan syahwat manusia. Manhaj yang tidak mengandung nepotisme kepada satu individu, satu kelompok, satu bangsa, satu ras, satu generasi. Karena Allah adalah Rabb bagi semua orang. Allah Subhanah tidak terkontaminasi oleh keinginan memihak kepada satu individu, atau satu strata sosial, atau satu bangsa, atau satu ras, atau satu generasi.

Inilah manhaj yang di antara keistimewaannya adalah dibuat oleh yang menciptakan manusia, yang mengetahui hakikat fitrahnya dan kebutuhan-kebutuhan yang hakiki bagi fitrah ini. Sebagaimana Dia mengetahui seluk-beluk jiwanya, sarana-sarana untuk berbicara kepadanya dan memperbaikinya. Sehingga manusia tidak terjebak dalam kebingunan saat mencari manhaj yang sesuai, dan Allah swt. tidak membebani manusia dengan harga dari uji coba-uji coba yang keras. Sementara mereka terjebak dalam kebingunan tanpa petunjuk!

Cukuplah bagi mereka melakukan uji coba dalam bidang kreasi dan inovasi material sesuka hari, karena bidang tersebut sangat luas bagi akal manusia. Dan cukuplah bagi akal mereka untuk berusaha menerapkan manhaj ini, dan mengetahui letak-letak analogi dan ijtihad mengenai hal-hal yang diperselisihkan akal.

Inilah manhaj yang di antara keistimewaan adalah dibuat oleh Pencipta alam semesta tempat manusia tinggal. Jadi, Dia menjamin untuk manusia manhaj yang kaidah-kaidahnya sesuai dengan hukum alam. Sehingga manusia tidak perlu berkonflik dengan hukum alam, tetapi justeru berdampingan dengannya dan memanfaatkannya. Manhaj memberinya petunjuk tentang semua ini dan melindunginya.

Inilah manhaj yang di antara keistimewaannya adalah—selain memberinya petunjuk dan melindunginya—manhaj ini juga memuliakannya dan memberi ruang bagi akalnya untuk bekerja di dalam manhaj. Yaitu ruang ijtihad untuk memahami nash-nash yang ada, disusul dengan ijtihad untuk mengembalikan masalah yang tidak diredaksikan kepada nash-nash atau kepada prinsip-prinsip umum agama ini. Dan selain itu ada ruang yang orisinil bagi akal manusia, yaitu ruang penelitian ilmiah terhadap alam semesta dan ruang kreasi dan inovasi material.

“Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Sehabis menetapkan kaidah universal ini dalam syarat iman dan batasan Islam, juga dalam aturan pokok umat Islam, dan manhaj penetapan syari’at dan prinsip-prinsipnya, maka konteks beralih kepada orang-orang yang menyimpang dari kaidah ini, kemudian sesudah itu mereka mengklaim sebagai orang yang beriman! Padahal mereka melanggar syarat iman dan batasan Islam, karena mereka ingin bermahkamah kepada selain syari’at Allah, yaitu kepada Thaghut, padahal mereka diperintahkan untuk mengingkarinya.

Konteks beralih kepada mereka untuk memandang aneh sikap mereka. Juga untuk mengingatkan mereka dan orang-orang seperti mereka tentang keinginan setan untuk menyesatkan mereka. Konteks mendeskripsikan kondisi mereka ketika diajak mengikuti Allah dan Rasul-Nya lalu mereka menolak. Penolakan ini dianggap sebagai sikap hipokrit. Sebagaimana konteks menganggap keinginan mereka untuk bermahkamah kepada thaghut sebagai tindakan keluar dari iman—bahkan sejak awal dianggap tidak masuk ke dalamnya. Sebagaimana konteks menjelaskan alasan-alasan mereka yang lemah dan palsu untuk mengikuti langkah yang aneh ini, ketika bencana dan musibah ditimpakan pada mereka. Meski demikian, Rasulullah saw diinstruksikan untuk menasihati mereka. Dan penggal ini ditutup dengan penjelasan tentang tujuan Allah mengutus para Rasul.

Lainnya (Arsip)

QS Kepemimpinan



Kepemimpinan Menurut Al-Qur’an

Dalam suasana kepemimpinan yang tak jelas arahnya, tak jelas aturan
dan kreterianya, maka perlulah kita menyimak kembali petunjuk-petunjuk
dari Al-Qur’an. Paling tidak, mengambil aspirasi dari Al-Qur’an dan
tuntunan Rasulullah saw dan Ahlul baitnya (sa).

Dalam suasana yang tak menentu ini, bisa jadi kursi kepemimpinan
mengantarkan kita pada kejahilan dan kesengsaraan, kezaliman dan
penindasan, kefakiran dan kemiskinan, kemaksiatan dan kehinaan, dan
lainnya. Mengapa tidak? Karena seorang pemimpin pemegang kendali gerak
kemana rakyat dan bangsa akan digulirkan, ke barat atau ke timur, ke
jurang atau kemuliaan, kesengsaraan atau kebahagiaan.

Kaidah rasional menjelaskan bahwa kepatuhan umat pada pemimpin yang
zalim akan menyebaban mereka digiring pada kesengsaraan dan kehinaan.
Ini telah dibuktikan dalam sepanjang sejarah manusia, dan akan
berulang pada kehidupan manusia berikutnya. Al-Qur’an menyebutkan,
kenyataan inilah yang menyebabkan turunnya bala’ dan malapetaka, dan
Allah swt layak menurunkan azab pada umat manusia.

Seorang pemimpin yang zalim, menyengsarakan kehidupan rakyat secara
lahir dan batin, ia dan para pendukung serta pemilihnya telah berada
pada titik murka Allah swt yang dosanya tak terampuni kecuali ia mampu
dan telah menghibur jerit-tangis batin rakyatnya, membahagiakan
kesengsaraan mereka; mengentaskan mereka dari kemiskinan dan
kefakiran, menyelamatkan mereka dari lembah kehinaan dan kemaksiatan
karena kemiskinan. Belum lagi dosa dan penentangan yang secara
langsung diarahkan kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena itulah,
kepemimpinan adalah puncak segalanya: puncak kemuliaan sekaligus
puncak kehinaan, puncak keutamaan dan sekaligus puncak dosa.

Kepemimpinan dalam Al-Qur’an disebutkan dengan istilah Imamah,
pemimpin dengan istilah imam. Al-Qur’an mengkaitkan kepemimpinan
dengan hidayah dan pemberian petunjuk pada kebenaran. Seorang pemimpin
tidak boleh melakukan kezaliman, dan tidak pernah melakukan kezaliman
dalam segala tingkat kezaliman: kezaliman dalam keilmuan dan
perbuatan, kezaliman dalam mengambil keputusan dan aplikasinya.

Seorang pemimpin harus mengatahui keadaan umatnya, merasakan langsung
penderitaan mereka. Seorang pemimpin harus melebihi umatnya dalam
segala hal: keilmuan dan perbuatan, pengabdian dan ibadah, keberanian
dan keutamaan, sifat dan prilaku, dan lainnya.

Al-Qur’an menjelaskan bahwa seorang pemimpin tidak pantas mendapat
petunjuk dari umatnya, seorang pemimpin harus berpengetahuan dan
memperoleh petunjuk sebelum umatnya. Bahkan Al-Qur’an menegaskan
seorang pemimpin harus mendapat petunjuk langsung dari Allah swt,
tidak boleh mendapat petunjuk dari orang lain atau umatnya.

Pemimpin dalam pandangan Al-Qur’an sebenarnya adalah pilihan Allah
swt, bukan pilihan dan kesepakatan manusia sebagaimana yang dipahami
dan dijadikan pijakan oleh umumnya umat Islam. Pilihan manusia membuka
pintu yang lebar untuk memasuki kesalahan dan kezaliman. Selain itu,
kesepakatan manusia tidak menutup kemungkinan bersepakat pada
perbuatan dosa, kemaksiatan dan kezaliman. Hal ini telah banyak
terbukti dalam sepanjang sejarah manusia.

Jika kita mau menengok pada Al-Qur’an, di situ jelas bahwa
kepemimpinan adalah puncak dari segalanya, kedudukan yang paling mulia
dan paling agung. Kedudukan ini dikaruniakan oleh Allah swt setelah
mendapat bermacam ujian yang berat dalam kehidupan. Mari kita kaji
ayat Al-Qur’an yang mengkisahkan penganugerahan kepemimpinan (imamah)
pada nabi Ibrahim (as). Allah swt berfirman:

وَ إِذِ ابْتَلى إِبْرَهِيمَ رَبُّهُ بِكلِمَتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ
إِنى جَاعِلُك لِلنَّاسِ إِمَاماً قَالَ وَ مِن ذُرِّيَّتى قَالَ لا
يَنَالُ عَهْدِى الظلِمِينَ‏

“Ingatlah ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa kalimat,
lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: ’Sesungguhnya Aku akan
menjadikanmu imam bagi seluruh manusia’. Ibrahim berkata: ‘(Saya mohon
juga) dari keturunanku’. Allah berfirman: ‘Janji-Ku ini tidak akan
mengenai orang-orang yang zalim’.” (Al-Baqarah: 124)

Berdasarkan kandungan makna ayat ini dan ayat-ayat lain yang berkait
dengannya dapatlah disimpulkan sebagai berikut:
Pertama: Kedudukan Imamah dikaruniakan oleh kepada nabi Ibrahim (as)
setelah ia diuji oleh Allah dengan bermacam ujian, antara lain
mendapat keturunan pada usia yang sangat tua, pengorbanan puteranya,
menghadapi kezaliman Namrud, dan lainnya.
Kedua: Kedudukan imamah dikaruniakan oleh kenabiannya, tidak
berbarengan.
Ketiga: Imamah bukan Nubuwah
Keempat: Doa nabi Ibrahim (as) sehubungan dengan pelanjut Imamah hanya
untuk keturunannya, mereka yang tidak pernah melakukan kezaliman.
Kelima: Imamah adalah kedudukan mulia yang telah ditetapkan oleh
wahyu.
Keenam: Imam harus ma’shum dengan ‘ishmah (penjagaan) Ilahi.
Ketujuh: Bumi tidak akan teratur tanpa seorang imam pembawa kebenaran
yang sejati.
Kedelapan: Imam adalah pilihan Allah, bukan hasil pilihan dan
kesepakatan manusia.
Kesembilan: Perbuatan manusia disaksikan langsung oleh ilmu sejati
Imam.
Kesepuluh: Imam harus mengetahui kebutuhan-kebutuhan manusia dalam
kehidupan dan spiritualnya.
Kesebelas: Tidak ada seorang pun yang dapat melebihi keutamaan-
keutamaan imam.
Kedua belas: seorang imam harus ma’shum, terjaga dari salah dan dosa.

Menurut ilmu logika tentang kezaliman manusia terbagi menjadi empat
golongan:
1. Orang yang berbuat kezaliman sepanjang hidupnya.
2. Orang yang tidak pernah berbuat kezaliman sepanjang hidupnya.
3. Orang yang berbuat kezaliman pada awal-awal hidupnya, tetapi tidak
pada akhir-akhir hidupnya.
4. Orang yang tidak berbuat kezaliman pada awal-awal hidupnya, tetapi
berbuat kezaliman pada akhir-akhir hidupnya.

Jadi doa nabi Ibrahim (as) tentang imamah hanya untuk keturunannya
yang tidak pernah berbuat kezaliman. Karena dengan kemuliaannya nabi
Ibrahim (as) tidak memohonkan kedudukan yang mulia untuk keturunannya
pada golongan pertama dan keempat. Adapun untuk golongan yang ketiga
telah ditiadakan oleh ayat-ayat yang berkait dengan petunjuk langsung.
Adapun mereka yang tidak memiliki garis keturunan dari nabi Ibrahim
(as) tidak termasuk ke dalam orang-orang yang didoakan dalam ayat ini,
dan tidak akan mampu meneruskan Imamah nabi Ibrahim (as).

Kesimpulan ini disarikan dari tafsir Al-Mizan, penjelasan secara lebih
detail klik di sini:
http://tafsirtematis.wordpress.com

Wassalam
Syamsuri Rifai

Foto tempat2 bersejarah Islami, Asbabun Nuzul ayat2 pilihan, hadis2
pilihan, amalan Praktis, bermacam2 shalat sunnah, doa-doa pilihan, dan
artikel-artikel Islami, klik di sini:
http://syamsuri149.wordpress.com
http://shalatdoa.blogspot.com

Kajian tafsir tematik:
http://tafsirtematis.wordpress.com

Audio musik2 ruhani (mp3), dilengkapi tek syair dan terjemahan, klik
di sini:
http://syamsuri149.multiply.com

Amalan praktis, Adab2 dan doa2 pilihan haji dan umroh dilengkapi tek
arab, bacaan tek latin dan terjemahan, klik di sini:
http://almushthafa.blogspot.com

Milis artikel2 Islami, macam2 shalat sunnah, amalan2 praktis dan doa-
doa pilihan serta eBooknya, klik di sini:
http://groups.google.com/group/keluarga-bahagia
http://groups.yahoo.com/group/Shalat-Doa

Milis Feng Shui Islami, rahasia huruf dan angka, nama dan kelahiran,
rumus2 penting lainnya, dan doa2 khusus, klik di sini:
http://groups.google.co.id/group/feng-shui-islami

Etika Timbal-balik Antara Pemimpin & Bawahan Menurut Al-Qur’an & As-Sunnah yang Shahih

14/3/2007 | 26 Safar 1428 H |

Oleh: Aba AbduLLAAH


Kirim Print

Assalamu ‘alaykum,

Segala puji adalah hanya layak bagi ALLAH, kami memuji-NYA, meminta pertolongan kepada-NYA & meminta ampunan, dan kami berlindung dari keburukan hawa nafsu kami dan dari kejelekan amal-amal kami, barangsiapa diberi hidayah oleh ALLAH maka tiada yang dapat menyesatkannya & barangsiapa yang disesatkan ALLAH maka tiada yang dapat memberinya hidayah…

Dan kami bersaksi bahwa tiada Ilah kecuali ALLAH, Yang Maha Esa & tiada sekutu bagi-NYA, dan kami bersaksi bahwa Muhammad adalah Nabi & rasul-NYA. Kamipun bersaksi sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabuLLAAH & sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi SAW, dan seburuk-buruk urusan adalah yang dibuat-buat, dan semua yang dibuat-buat itu adalah bid’ah & semua bid’ah adalah sesat & semua kesesatan adalah di neraka…

Ikhwah wa akhwat fiLLAAH a’anakumuLLAAHa jami’an,

Menyambut mulai masuknya sebagian du’at ke marhalah daulah & makin banyaknya ikhwah wa akhwat yang menduduki posisi-posisi penting dalam pemerintahan (baik eksekutif maupun legislatif), dan semakin hari semakin banyak amanah kekuasaan yang diujikan oleh ALLAH SWT untuk dipegang oleh para du’at dari harakah ini, maka ada beberapa dhawabith kepemimpinan Islam yang merupakan ashalah da’wah kita, yang hendaknya selalu dijaga & diperhatikan..

Agar dijadikan sebagai Ma’alim Fi Thariq (Rambu-rambu dalam Perjalanan), demikian kata Sayyid Quthb -ja’alahuLLAAHu syahidan- atau sebagai Nurun ‘ala Darb (Cahaya dalam Perjalanan), demikian kata Syaikh Ibni Baaz -rahimahuLLAAH-; sehingga kita tidak menjadi ghurur (lupa diri), ataupun terjadi tamyi’ (pengenceran) terhadap nilai-nilai dakwah ini saat mengemban amanah memimpin ummat ini insya ALLAH, aamiin ya RABB…

Oleh sebab itu ana berusaha membuat tulisan ini untuk mencoba menjelaskan secara singkat Etika Kepemimpinan dalam Islam, serta Etika yang Saling Timbal-Balik, apa yang harus dilakukan & dipenuhi oleh seorang qiyadah (baik qiyadah dakwah maupun qiyadatul ummah), dan apa saja yang wajib dipenuhi oleh seorang jundiyyah (baik junudu dakwah maupun junudu daulah), sehingga mudah-mudahan kita selalu berada di dalam jalur yang benar & berhak mengharapkan ridha ALLAH & Jannah kelak, sebagai pemimpin ummat yang adil yang paling pertama akan diberi naungan oleh ALLAH SWT di yaumil Mahsyar kelak, aamiin ya RABB…

Wa ufawwidhu amrii ilALLAAH innaLLAAHa bashiirun bil ‘Ibaad,

Abi AbduLLAAH

AL-ADAAB AL-MUTABAADILAH BAYNA AL-QIYAADAH WAL JUNDIYYAH FII DHAU’IL KITAABI WAS SUNNAH

(Etika Timbal-balik Antara Pemimpin & Bawahan Menurut Al-Qur’an & As-Sunnah yang Shahih)

“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban atas orang-orang yang dipimpinnya di Hari Kiamat kelak.[1]”

1. KEPEMIMPINAN DALAM LUGHAH:

a. Imam: Asal katanya ‘Amama’ karena ia: Berada di depan (amam), mengasuh (ummah), menyempurnakan (atammah), menenangkan (yanamma). Berkata Imam Al-Jauhary : Imam adalah orang yang memberi petunjuk (yuqtada)[2].

b. Amir: Yang memberi perintah (seperti dalam ayat : Amarna mutrafiha), juga sesuatu yang mengagumkan (seperti dalam ayat : laqad ji’ta syai’an imra)[3].

c. Waliyy: Dekat, akrab (Jalasa mimma yali=duduk dengan orang didekatnya); tempat memberikan loyalitas (ALLAHumma man waliya min amri ummati)[4].

d. Qadah/qiyadah: Penggiring ternak, orang yang memberi petunjuk, pemandu atau penunjuk jalan[5].

e. Khalifah: Para fuqaha’ mendefinisikannya sbg suatu kepemimpinan umum yg mencakup urusan keduniaan & keagamaan, sbgm yg dilakukan oleh Nabi SAW yg wajib dipatuhi oleh seluruh ummat Islam. Menurut Imam Al-Mawardi sama dengan al-Imamah, karena inilah asal dari kepemimpinan di masa Nabi SAW, yaitu untuk memimpin agama & keduniaan[6]. Menurut Ibnu Khaldun yaitu penanggungjawab umum dimana seluruh urusan kemaslahatan syari’at baik ukhrawiyyah maupun dunyawiyyah kembali kepadanya[7].

2. KEPEMIMPINAN DALAM AL-QUR’AN:

a. Memiliki Loyalitas yang Mutlak: “Sesungguhnya pemimpin kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi Pemimpinnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.[8]”

b. Kuat & Amanah: “Berkata salah seorang diantara anaknya (Syu’aib) : Wahai ayahanda, jadikanlah ia sebagai pegawai, karena sebaik-baik pegawai adalah yang kuat lagi bisa dipercaya.[9]”

c. Sehat & Berilmu: “…Sesungguhnya ALLAH SWT telah memilihnya (Thalut) sebagai rajamu, karena ia memiliki kekuatan fisik dan berilmu. Sesungguhnya ALLAH memberikan kekuasaan-NYA kepada siapa yang dikehendaki-NYA, sesungguhnya IA Maha Luas (ilmu-NYA) lagi Maha Mengetahui.[10]”

d. Merupakan Ujian ALLAH SWT: “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: Sesungguhnya AKU akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia. Ibrahim berkata: (Dan saya mohon juga) dari keturunanku. Allah berfirman: Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zhalim.[11]“

e. Merupakan Tanda Ketaqwaan: “Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.[12]”

3. KEPEMIMPINAN DALAM AS-SUNNAH:

a. Jujur dan Tidak Menipu: Nabi SAW melaknat pemimpin yang dipercaya untuk mengurus urusan ummat lalu ia malah menipu atau menyengsarakan mereka, sebagaimana dalam sabdanya SAW : “Ya ALLAH, siapa saja yang diberikan kekuasaan untuk mengurusi ummatku lalu ia menyengsarakan mereka, maka persulitlah ia. Dan siapa saja yang diberi kekuasaan lalu ia mempermudah mereka, maka mudahkanlah ia.[13]” Dan Islam menyatakan bahwa pemimpin yang tidak memperhatikan kebutuhan, kedukaan dan kemiskinan ummat maka ALLAH SWT tidak akan memperhatikan kebutuhan, kedukaan dan kemiskinannya pada Hari Kiamat kelak[14].

b. Adil & Amanah: Islam menempatkan pemimpin yang adil dan amanah dalam derajat manusia yang tertinggi, yang memperoleh berbagai penghargaan dan kehormatan. Diantaranya ia termasuk kelompok pertama yang dinaungi oleh ALLAH SWT diantara 7 kelompok utama yang dinaungi-NYA pada Hari Kiamat kelak[15]; Iapun akan berada di atas mimbar dari cahaya nanti di Hari Kiamat[16]; Dan pemimpin yang demikianlah yang akan senantiasa dicintai dan didoakan oleh rakyatnya karena kebijaksanaannya memimpin rakyatnya[17]; Sehingga dalam salah satu haditsnya, nabi SAW sampai menyatakan bahwa pemimpin yang demikian termasuk 3- golongan manusia yang paling utama dan paling berhak masuk Jannah, disamping orang yang lembut dan penyayang pada keluarganya dan orang miskin yang menjaga dirinya dari meminta-minta[18].

c. Tidak Wajib Taat pada Pemimpin yang Memerintahkan Maksiat: Oleh karena itu di dalam Islam pemimpin yang memiliki sifat-sifat sebagaimana disebutkan diataslah yang berhak dan wajib untuk ditaati (Tafsir QS An-Nisaa’, 4:59), syarat taat pada pemimpin dalam ayat tersebut adalah mu’allaq/tergantung pada apakah ia taat pada ALLAH SWT dan Rasul SAW atau tidak, dimana cirinya adalah ia senantiasa kembali kepada ALLAH SWT dan rasul-NYA SAW jika terjadi perbedaan pendapat ataupun perselisihan) dan bukan pemimpin yang memiliki sifat sebaliknya, jika ia memiliki sifat sebaliknya maka tidak wajib sama sekali untuk didengar dan ditaati[19].

d. Tidak ada Batasan Ras/Kebangsaan: Tentang siapa pemimpin itu Islam tidak membatasi ia dari ras dan kelompok apapun, asal mengikuti dan menegakkan syariat maka wajib ditaati, sekalipun ia adalah seorang yang berkulit sangat hitam yang kepalanya bagaikan kismis (saking hitamnya)[20]. Kendatipun demikian, afdhal memilih pemimpin disesuaikan dengan suku/kebangsaan rakyat yg dipimpinnya[21].

e. Pemimpin Wajib Memilih Bawahan yang Jujur: Seorang pemimpin yang adil tentunya akan memilih pembantu-pembantu, wakil-wakil dan menteri-menteri yang adil pula. Tidak mungkin seorang yang baik (tanpa keterpaksaan) akan mengangkat atau memilih wakil dan menteri yang merupakan para musuh ALLAH SWT, seperti para koruptor, kaum oportunis apalagi para kolaborator asing[22]. Benarlah pernyataan pemimpin abadi kita nabi Muhammad SAW : “Jika ALLAH SWT menghendaki kebaikan kepada seorang penguasa, maka IA akan memberikan untuknya menteri-menteri yang jujur, (yaitu) yang jika ia khilaf maka selalu mengingatkan dan jika ia ingat maka selalu dibantu/didorong. Dan jika ALLAH SWT menghendaki keburukan kepada seorang penguasa, maka IA akan memberikan untuknya para menteri yang jahat. Jika penguasa itu lupa, maka tidak diingatkan dan jika ia ingat maka tidak didorong/dibantu.[23]”

4. KEWAJIBAN TAAT PADA PEMIMPIN YANG ISLAMI:

a. Wajib Taat pada Pemimpin yang Islami: Bersabda Nabi SAW : “Barangsiapa yg taat kepadaku maka ia telah taat kepada ALLAH, dan barangsiapa yg tidak taat kepadaku maka berarti tidak taat kepada ALLAH. Barangsiapa yg taat kepada Pimpinan (yg nyunnah) maka berarti ia telah taat kepadaku, dan barangsiapa yg tidak taat kepada pimpinan (yg nyunnah) maka berarti ia telah tidak taat kepadaku.[24]”

b. Ketaatan tersebut tetap Berlaku Walaupun Di Satu Sisi Seolah Mengorbankan Kepentingan sebagian Rakyatnya: Dari Abu Hunaidah, Wa’il bin Hajar ra berkata : Bertanya Salmah bin Yazid al-Ju’fiy pd Rasulullah SAW : Wahai Nabi Allah … bgm pendptmu jk ada seorg pemimpin yg selalu meminta ketaatan dari kami tapi tidak memberikan hak kami, apa yg anda perintahkan pd kami ? Maka Rasulullah SAW memalingkan wajahnya, mk Salmah bertanya lagi yg kedua kali, maka jawab Rasulullah SAW : Dengarlah oleh kalian semua dan taatilah ia, karena bagi kalian pahala ketaatan kalian dan baginya dosa ketidakadilannya.[25]”

c. Dosanya Memisahkan Diri dari Ketaatan pada Pimpinan yang Islami: Bersabda Nabi SAW : “Barangsiapa yang melepaskan tangannya dari ketaatan, maka ia kelak akan bertemu dengan ALLAH SWT tanpa dapat mengemukakan argumentasi apapun.[26]” Dalam hadits lainnya: “Barangsiapa meninggalkan ketaatan lalu memisahkan dirinya dari Jama’ah lalu ia meninggal maka ia mati Jahiliyyah.[27]” Perhatikan baik-baik dalam hadits tersebut disebutkan Al-Jama’ah, yg maksudnya Jama’ah Islam, bukan sembarang pemerintahan, (lihat pula judul bab pada takhrij hadits tersebut di dalam Shahih Muslim).

5. BENTUK-BENTUK KETAATAN:

a. Mendengarkan dan memahami perintah dengan sebaik-baiknya, memohon penjelasan sampai jelas kemudian melaksanakannya dengan tidak menunda-nunda dan dengan sebaik-sebaiknya. Lihat kisah Ali bin Abi Thalib ra dalam perang Khaibar dalam Shahih Bukhari[28].

b. Melipatgandakan kesabaran saat melaksanakan perintah tersebut, ikhlas dan tidak menguranginya atau menambahinya sedikitpun. Lihat kisah Jundub bin Makits al-Juhni saat dalam Sariyah[29].

c. Melaksanakan dengan segera perintah tersebut, walaupun tidak sesuai dengan pendapatnya atau berbeda dengan keinginannya, lihat kisah Hudzaifah bin Yaman saat perang Ahzab[30].

d. Saling memberi dan menerima nasihat. Lihat kisah Umar bin Khattab ra saat perjanjian Hudhaibiyyah dengan Nabi SAW & Abubakar ra[31].

e. Meminta izin dalam setiap urusan pentingnya atau sebelum mengambil keputusannya[32].

WaLLAAHu a’lamu bish Shawaab…

Catatan Kaki:

[1] HR Bukhari, XXII/43 no. 6605; Muslim, IX/352 no. 3408

[2] Lisanul Arab, Ibnu Manzhur, XII/22

[3] Lisanul Arab, III/370

[4] Ash-Shihah fil Lughah, Al-Jauhary, I/22

[5] Al-Qamus Al-Fiqhi, I/388

[6] Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, Al-Mawardi, hal.3

[7] Al-Muqaddimmah, Ibnu Khaldun, hal.180

[8] QS Al-Maidah, 5/55-56

[9] QS Al-Qashshash, 28/26

[10] QS Al-Baqarah, 2/247

[11] QS Al-Baqarah, 2/124

[12] QS Al-Furqan, 25/74

[13] HR Muslim no. 1828

[14] HR Abu Daud no. 2948; Tirmidzi no. 1332; al-Hakim IV/93-94; menurut Imam al-Mundziri sanad-nya shahih karena ada syahid dari hadits Muadz ra yang diriwayatkan oleh Ahmad V/238-239.

[15] HR Bukhari II/119 dan 124; Muslim no. 1031

[16] HR Muslim no. 1827; Nasa’i VIII/221; Ahmad II/160

[17] HR Muslim no. 1855

[18] HR Muslim no. 2865

[19] Bukhari XIII/109; Muslim no. 1839; Abu Daud no. 2626; Tirmidzi no. 1707; Nasa’i VII/160

[20] HR Bukhari XIII/108

[21] HR Bukhari, XXII/44, bab Al-Umara’u min Quraisy; Muslim, IX/333-338

[22] QS Al-Mumtahanah, 60:1

[23] HR Abu Daud no. 2932, dengan sanad yang baik menurut syarat Muslim; juga Nasa’i VII/159 dengan sanad yang shahih

[24] HR Bukhari, kitab al-Jihad, bab Yuqatilu min Wara’il Imam, juz-IV, hal.61

[25] HR Muslim, bab Fi Tha’atil Umara’ wa in Mana’u, IX/384

[26] HR Muslim, IX/393

[27] HR Muslim, kitab al-Imarah, bab Wujub Mulazamatin Jama’atil Muslimin ‘Inda Zhuhuril Fitan, juz-III hal.1476

[28] Fathul Bari’ , Ibnu Hajar, IV/57,58; V/22,23,171

[29] Al-Bidayah wa an-Nihayah, Ibnu Katsir, IV/222,223

[30] Shahih Muslim, III/1414, 1415; Musnad Ahmad, V/392,393

[31] Sirah Nabawiyyah, Ibnu Katsir , III/218, 319

[32] QS An-Nur, 24/62

Naskah Terkait Sebelumnya:

Dipublikasikan pada 14/3/2007 / 26 Safar 1428 H, dalam rubrik Tsaqafah Islamiyah.


0 Responses to “Kepemimpinan QS : Pemimpin Ideal Menurut Al Qur’an”



  1. Leave a Comment

Leave a comment


Blog Stats

  • 4,407,543 hits

Archives

Recent Comments

Ratu Adil - 666 on Kenegarawanan : Harta Amanah B…
Ratu Adil - 666 on Kepemimpinan : Satrio Piningit…
Ratu Adil - 666 on Kepemimpinan : Satrio Piningit…
Ratu Adil - 666 on Kenegarawanan : Harta Amanah B…
Ratu Adil - 666 on Kenegarawanan : Harta Amanah B…