21
Jul
09

Barbarisme atas Ke(ber)adaban

Barbarisme atas Ke(ber)adaban

KOMPAS, Selasa, 21 Juli 2009 | 04:42 WIB

Masdar Hilmy

Tangan-tangan keji teroris mencabik- cabik Jakarta lagi. Kali ini Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton menjadi target.

Sejumlah korban sipil berjatuhan. Banyak warga asing sudah lama diincar teroris. Tak ayal Perdana Menteri Australia Kevin Rudd mengecam aksi terorisme itu sebagai serangan barbarik atas kemanusiaan.

Dalam keterangan pers yang disiarkan televisi, Kepala Polri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri menyatakan, ledakan bom itu sebagai aksi bunuh diri. Siapa pun pelakunya, apa pun latar belakangnya, ledakan bom itu merupakan serangan atas kemanusiaan, peradaban dan ke(ber)adaban manusia. Maka, tiap elemen bangsa yang menghormati kehidupan dan kemanusiaan mengutuk aksi itu.

Sindrom kekalahan

Salah satu tafsir mengapa orang berlaku keji atas nilai-nilai kemanusiaan adalah karena para teroris dilanda sindrom kekalahan atas kehidupan. Kematian dipilih sebagai (re)solusi atas ketidakberdayaan atau kekalahan mereka. Inilah yang dalam konstruk teoretis Hrair Dekmejian (1985; 27-32) disebut sindrom rendah diri akibat kekalahan bertubi-tubi para teroris.

Jalan kematian dengan melibatkan banyak orang tak bersalah menjadi katarsis perlawanan paling memungkinkan atas aneka bentuk kebuntuan dan kegagalan yang dialami teroris. Dan mereka gagal menemukan jalan rasional yang elegan. Para teroris adalah orang-orang yang kalah bertempur dalam medan kehidupan. Akibatnya, mati bersama ”musuh” adalah jalan yang dianggap paling rasional.

Scott Appleby (2002) menegaskan, imajinasi dan psikologi kaum teroris dihantui sejarah kekalahan, nestapa, dan kepahitan hidup yang tak kunjung usai. Memori mereka dihantui perasan terkepung ”musuh”.

Psikologi dan imajinasi kekalahan itu lalu dijadikan rujukan normatif guna melakukan aksi ”balas dendam” atas kekalahan yang dialami. Para teroris tidak mampu mengalahkan musuh dalam kontestasi kuasa, maka ”mati bersama” menjadi pilihan paling realistis.

Konstruksi ”musuh”

Korban teroris sebagian besar adalah ”musuh simbolik” atau ”musuh imajiner” yang terkonstruksi, dan bukan musuh ”ontologis”. Dengan demikian, musuh adalah konstruksi semantik yang sengaja dihadirkan dalam realitas sosial guna melegitimasi self-fulfilling prophecy teroris. Kata James Aho (1994: 26), ”if an enemy is not ontologically present in the nature of things, one must be manufactured”.

Peter Berger dan Thomas Luckmann (1964) mengidentifikasi lima tahap proses terjadinya konstruksi ”musuh”. Pertama, tahap ”penamaan” atau ”pelabelan”, di mana proses identifikasi musuh terjadi melalui sebutan-sebutan antagonistik.

Kedua, ”legitimasi” melalui berbagai pembenaran teologis-ideologis atas sikap permusuhannya itu.

Ketiga, pembuatan mitos (mythmaking) guna menggalang simpati atau dukungan kelompok internal.

Keempat, ”sedimentasi”, yakni proses pengendapan pemahaman antagonistik ke dalam memori kolektif kelompok teroris. Keempat tahap itu berkulminasi menjadi ”ritual”.

Kelima, menggunakan aksi-aksi vandalistik-kekerasan terhadap musuh.

Sindrom kehidupan

Satu-satunya cara untuk melawan ”sindrom kematian” ala teroris adalah dengan ”sindrom kehidupan”. Erich Fromm (1964) sering menyebutnya sebagai ”sindrom pertumbuhan”. ”Sindrom kehidupan” menempatkan hidup sebagai entitas sakral yang harus dijaga dan diisi dengan cinta dan kasih sayang terhadap sesama.

Proses kontestasi dalam kehidupan harus dihadapi secara penuh keadaban, terlepas hasil akhir proses kontestasi itu. Kekalahan dalam kehidupan tidak harus dijawab dengan kematian sebab tidak satu agama pun menganjurkan kematian sebagai jalan keluar kekalahan.

Islam, misalnya, menempatkan kehidupan sebagai entitas yang sakral. Agama mengajarkan, membunuh satu jiwa tak berdosa sama artinya membunuh seluruh manusia. Agama-agama juga memberikan penghargaan yang tinggi terhadap kehidupan. Dengan demikian, jalan kekerasan dan kematian adalah pilihan para pecundang. Mari menghargai kehidupan dengan menjaganya secara berkeadaban.

Masdar Hilmy Dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya; Alumnus The University of Melbourne, Australia


0 Responses to “Barbarisme atas Ke(ber)adaban”



  1. Leave a Comment

Leave a comment


Blog Stats

  • 4,407,382 hits

Archives

Recent Comments

Ratu Adil - 666 on Kenegarawanan : Harta Amanah B…
Ratu Adil - 666 on Kepemimpinan : Satrio Piningit…
Ratu Adil - 666 on Kepemimpinan : Satrio Piningit…
Ratu Adil - 666 on Kenegarawanan : Harta Amanah B…
Ratu Adil - 666 on Kenegarawanan : Harta Amanah B…