26
Jun
09

Jakarta : Lima Belas Abad Menghadang Banjir

REPUBLIKA, Senin, 22 Juni 2009 pukul 01:36:00

Raja Purnawarman menggali Sungai Candrabhaga yang melewati keratonnya pada tahun ke-22 bertahta. Beliau menggali lagi sungai jernih Gomati yang mengalir melewati rumah kediamannya dalam waktu 21 hari sepanjang 6.122 tombak. Kisah raja Kerajaan Tarumanegara yang memerintah pada awal abad ke-5 Masehi itu tertuang dalam Prasasti Tugu.

Dari nama sungai itu, arkeolog memperkirakan, pusat Kerajaan Tarumanegara ada di Bekasi atau Cakung. Proyek penggalian sungai Purnawarman menandakan bahwa banjir memang sudah kerap melanda wilayah ini sejak zaman dulu kala.

Kawasan ini dibentuk oleh delta dua sungai besar, yaitu Cisadane yang bermuara di ujung barat Teluk Jakarta dan Sungai Citarum yang bermuara di ujung timur teluk. Di tengah-tengahnya mengalir belasan sungai yang bermata air di Gunung Salak, Gede, dan Pangrango. Aliran itu mengantarkan endapan lumpur aluvial yang ikut membentuk dataran rendah Jakarta.

Banjir besar tercatat pernah melanda wilayah ini pada tahun 1621, 1654, 1873, 1918, 1979, 1996, 2002, dan terakhir pada 2007 lalu. Banjir satu meter yang menggenangi seluruh kota pada tahun 1873 membuat dinas pekerjaan umum Batavia, Burgeljke Openbare Werken (BOP), mendapat julukan baru Batavia Onder Water. Pada tahun 1918, luapan Sungai Ciliwung, sungai terbesar yang mengaliri kota, merendam Batavia selama tujuh hari tujuh malam. Banjir terparah yang terjadi tahun 2002 mengakibatkan 380 ribu orang mengungsi, puluhan tewas, dan kerugian material Rp 7 triliun (Sutiyoso, Jakarta Megapolitan).

Di masa VOC, banjir ditanggulangi dengan pembangunan kanal. Gubernur Jenderal JP Coen telah membangunnya pada 1619 untuk mengaliri benteng sebagai sarana transportasi dan suplai air minum. Kemudian, sekitar tahun 1830, aliran Ciliwung yang mengalir di tengah kota benteng Batavia diluruskan. VOC juga menambah kanal yang membagi aliran Ciliwung menjadi dua, yaitu Kali Besar dan Ciliwung yang diputar dari selatan melintasi timur dan utara tembok Batavia.

VOC kemudian membagi lagi aliran Ciliwung di sebelah selatan. Di lokasi Masjid Istiqlal, Ciliwung disudet untuk membangun kanal baru ke arah barat, yaitu Nordwijk (Jalan Veteran dan Juanda), lalu menuju ke utara melalui kanal Molenvliet sampai ke Batavia dan Kali Besar. Kanal baru kemudian dibuat untuk mengalirkan Ciliwung lurus ke timur melalui Kali Lio di Pasar Baru, lalu ke utara sepanjang Gunung Sahari sampai Ancol.

Bahkan, ada terusan Prapatan yang mengalirkan Ciliwung lebih ke timur, ke Kali baru, lalu Saluran Sunter yang berakhir di Kali Ancol. Di utara Batavia, di Museum Bahari, aliran Kali Besar dari Ciliwung dan pertemuan sudetan Ciliwung dari timur dialirkan ke arah Kali Krukut yang berakhir di Muara Baru. Pada 1682, Vincent Van Mock membuat proyek ambisius untuk mengalirkan sebagian air Sungai Cisadane ke Kali Angke. Terusan yang diberi nama Mockervart sepanjang 14 kilometer menghubungkan dua sungai berbeda ketinggian 6-7 meter itu guna menggelontorkan aliran Kali Angke ke laut.

Selain Ciliwung, masih ada 12 sungai kecil yang tak bisa dipandang remeh. Kali Krukut di sebelah barat Ciliwung mengalir menjadi Kali Cideng ke arah Kali Besar. Di baratnya, ada lagi Kali Grogol. Setelah banjir besar tahun 1873, BOP kemudian membangun Terusan Banjir Krukut (TBK) untuk mengelakkan aliran Kali Krukut dan Kali Grogol (Soehoed, Membenahi Tata Air Jabotabek).

Namun, Terusan Banjir Barat (TBB) dan berbagai kanal baru tetap tak berdaya meredakan banjir besar tahun 1918 yang melanda seluruh Batavia dan dilaporkan sampai setinggi dada. Kanalisasi juga tidak menyelesaikan masalah pengairan. Perancang Batavia baru menyadari bahwa kondisi iklim tropis berbeda dengan kampung halaman di Belanda. Di Jawa, selalu ada saat kelebihan air di musim hujan dan kekeringan di kala kemarau. Mereka bisa saja membangun banyak kanal untuk langsung mengalirkan sebagian besar air Sungai Ciliwung langsung ke laut. Namun, dengan risiko, saat kemarau, wilayah kota lain kekurangan suplai air minum.

Pada 1920, dimulailah rencana tata air Batavia yang lebih menyeluruh oleh Van Breen, termasuk pembangunan TBK menjadi Terusan Banjir Barat (TBB) atau saat ini dikenal sebagai Banjir Kanal Barat yang memotong aliran Ciliwung di Manggarai dan mengalirkannya ke pinggir barat kota melalui Karet yang sekaligus memotong Kali Krukut, Tanah Abang, Jembatan Besi, sampai Pluit.

Rencana Van Breen hanya meliputi penanggulangan banjir di wilayah Batavia yang waktu itu baru seluas 25 kilometer persegi atau wilayah Jakarta Pusat dan Utara. Penanggulangan banjir di Batavia sebelumnya memang hanya memikirkan wilayah kota tidak terendam dan belum memikirkan penanggulangan banjir wilayah sekitarnya. Van Breen kemudian mengusulkan pembangunan Terusan Banjir Timur sebagai solusi tahap kedua setelah TBB untuk membebaskan wilayah yang lebih luas dari banjir.

Tahun 1965, Komando Proyek Pencegahan Banjir Jakarta Raya (Koprol Banjir) membangun Waduk Melati, Setiabudi, Melati, dan Tomang Barat sebagai penampungan banjir sementara. Pada 1973, Pemerintah Indonesia dengan bantuan konsultan Belanda Nedeco menyusun masterplandrainase dan pengendalian banjir untuk merealisasikan ide Van Breen, yaitu proyek Banjir Kanal Timur (BKT). BKT tak pernah terlaksana karena nilai proyek Rp 45 miliar dinilai terlalu mahal.

Pemerintah Jakarta menyusun masterplanbaru dengan bantuan Jepang ditambah berbagai studi pengairan baru. Banjir tak bisa rampung dengan konsep di atas kertas. Pada tahun 2002, konsultan Nedeco diundang kembali ke Jakarta. Proyek BKT yang kini nilainya mencapai Rp 4,9 triliun atau 108 kali lipat biaya tahun 1973 dihidupkan kembali. Kanal sepanjang 23,5 kilometer akan melintasi 13 kelurahan di Jakarta Timur dan Jakarta Utara dengan membebaskan lahan seluas 183 hektare. rahmad budi harto


0 Responses to “Jakarta : Lima Belas Abad Menghadang Banjir”



  1. Leave a Comment

Leave a comment


Blog Stats

  • 4,409,643 hits

Archives

Recent Comments

Ratu Adil - 666 on Kenegarawanan : Harta Amanah B…
Ratu Adil - 666 on Kepemimpinan : Satrio Piningit…
Ratu Adil - 666 on Kepemimpinan : Satrio Piningit…
Ratu Adil - 666 on Kenegarawanan : Harta Amanah B…
Ratu Adil - 666 on Kenegarawanan : Harta Amanah B…