27
Dec
09

HISTORIA : Uang ORI vs Uang NICA

ORI vs Uang NICA

By Republika Newsroom
Minggu, 27 Desember 2009 pukul 11:51:00

Uang ORI vs Uang NICAALWI SHAHAB

Hanya dua bulan setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia membutuhkan sebuah pengakuan internasional di bidang perekonomian. Indonesia perlu memiliki mata uang saendiri sebagai identitas bangsa yang merdeka. Pada 24 Oktober 1945, dijajaki untuk mencetak uang dalam pertemuan yang dipimpin oleh Menteri Keuangan Mr AA Maramis (Kabinet Pertama RI) di Kementerian Keuangan, Lapangan Banteng.

Dipilihlah Surabaya sebagai tempat percetakan Oeang Repoeblik Indonesia (ORI). Uang ini semula akan dikeluarkan pada Januari 1946. Namun, karena terjadi pertempuran dahsyat di Surabaya (10 November 1945), diputuskan Jakarta sebagai tempat percetakan ORI.

Nilai uang yang disiapkan untuk dicetak saat itu adalah 100 rupiah, 10 rupiah, setengah rupiah, 10 sen, lima sen, dan satu sen. Tapi, menjelang akhir tahun 1945, Kota Jakarta sudah semakin tidak aman–dengan munculnya pasukan Belanda (NICA).

Lalu, beberapa ratus rim lembaran uang kertas 100 rupiah yang telah dicetak, tapi belum diberi nomor seri, dikirim secara rahasia ke Kementerian Keuangan di Yogyakarta beserta para pekerja dan keluarganya.

Uang hasil cetakan dimasukkan dalam besek (kotak yang terbuat dari anyaman bambu) dan diikat erat-erat. Kemudian, dimasukkan dalam karung goni untuk mempermudah pengangkutannya. Pengirimannya dilakukan dengan gerbong-gerbong kereta api ke seluruh Jawa.

Uang daerah
Beredarnya uang ORI di Jawa dan Madura disambut gembira masyarakat karena Indonesia memiliki mata uang sendiri. Begitu fanatiknya masyarakat terhadap mata uangnya, bila seseorang diketahui memiliki dan menggunakan uang Hindia Belanda (NICA), orang itu dianggap sebagai mata-mata musuh.

Karena ORI tidak dapat diedarkan di Sumatra, pada 1947 beberapa daerah di Sumatra mengeluarkan jenis uang sendiri. Seperti ORIPS (Oeang Repoeblik Indonesia Provinsi Sumatra), URISU (Oeang RI Sumatra Utara), ORIDJA (Oeang RI Daerah Djambi), URIDA (Oeang RI Daerah Aceh), ORITA (Oeang RI Daerah Tapanuli), Oeang Mandat yang dikeluarkan Dewan Pertahanan Sumatra Selatan), dan ORIDAB (Uang RI Daerah Banten).

Jenis-jenis uang tersebut baru ditarik kembali dari peredaran bersama-sama dengan ORI pada Maret 1950 setelah dikeluarkan jenis uang baru yang berlaku di seluruh Indonesia.

Dengan diberlakukannya ORI, bukan berarti di wilayah RI hanya ada satu jenis mata uang, sekalipun uang Jepang dinyatakan tidak berlaku. Pihak NICA mengeluarkan uang baru sendiri.

Menjelang akhir kekuasaannya (Agustus 1945), nilai mata uang Jepang jatuh. Akibatnya, untuk membeli beberapa kg beras, masyarakat harus membawa uang dengan menggunakan bakul. Dapat dibayangkan, bagaimana sulitnya pembeli dan penjual menghitungnya. Tanpa memperhitungkan inflasi, Pemerintah Jepang mencetak uang tanpa kendali.

Perang uang
Setelah uang Jepang tidak berlaku, Belanda yang kembali ke Indonesia sesudah proklamasi kemerdekaan sengaja mengeluarkan uang baru sendiri yang dicetak pada American Bank Note Company atas kuasa Pemerintah Belanda dalam pengasingan di London.

Uang NICA oleh rakyat disebut uang merah karena warna kemerah-merahan pada pecahan 10 gulden yang banyak beredar. Sedangkan, ORI disebut uang putih. Uang NICA tidak diakui oleh Pemerintah RI sebagai alat pembayaran yang sah dengan Maklumat Pemerintah pada 2 Oktober 1945.

Walau begitu, uang NICA terus beredar di daerah pendudukan Belanda. Ini semua sebagai usaha NICA untuk menghancurkan RI. Cara lain yang mereka lakukan adalah memalsukan ORI agar nilainya hancur.

Peredaran uang NICA yang bersamaan dengan ORI telah menimbulkan kesukaran bagi rakyat, khususnya penduduk di daerah perbatasan antara daerah yang dikuasai Belanda dan daerah yang dikuasai Indonesia. Di satu pihak, penduduk yang memiliki ORI takut jika diketahui tentara NICA. Di lain pihak, mereka yang juga memiliki uang NICA takut jika diketahui oleh pasukan Republik Indonesia.

Tak ayal lagi terjadi ‘perang uang’ di daerah-daerah pendudukan, seperti Jakarta, Bogor, Bandung, dan kota-kota besar lain yang diduduki Belanda. Pertarungan kewibawaan dua mata uang dan dua pihak yang saling berbeda kepentingan itu memaksa setiap orang harus memilih: menolak atau menerima uang NICA ataupun uang ORI.

Tidak jarang suasana yang demikian itu menimbulkan insiden penganiayaan dan pengorbanan lain. Penduduk yang setia kepada RI hanya mau menggunakan ORI sebagai alat pembayaran. Dalam kenyataannya, ORI makin populer di kalangan rakyat. Karena begitu populernya ORI di kalangan rakyat, ada surat kabar yang terbit di Jakarta saat itu yang memuat berita dengan judul, “Uang Kita Menang, Kata Rakyat Jakarta”.

Pada 27 Mei 1947, Komisi Jenderal Belanda mengajukan nota kepada pihak RI yang harus dijawab dalam tempo 14 hari. Isinya antara lain mengajak kedua belah pihak nengeluarkan uang bersama yang akan menentukan nilai terhadap uang asing. Pada prinsipnya, usul Belanda itu diterima, tapi tak pernah dilaksanakan karena berbagai masalah lain yang segera timbul, terutama masalah politik. ORI tetap berlaku hingga ditarik kembali dari peredarannya oleh Pemerintah Republik Indonesia Serikat pada bulan Maret 1950.

Kamis, 20 September 2007

Kisah Oeang Repoeblik Indonesia

Siapapun pasti tahu bahwa mata uang Indonesia adalah Rupiah, namun sejarahnya nampaknya masih banyak yang belum mengetahui. Sejarah mata uang kita memang tidak tercatat dengan sempurna, namun ada beberapa bagian yang patut kita ketahui, seperti yang ditulis di wikipedia indonesia dan banknotes.com, yang dibagi dalam dua periode, yaitu periode ORI dan Rupiah.

Masa ORI ( Oeang Republik Indonesia )

Oeang Republik Indonesia atau ORI adalah mata uang pertama yang dimiliki Republik Indonesia setelah merdeka. Pemerintah memandang perlu untuk mengeluarkan uang sendiri yang tidak hanya berfungsi sebagai alat pembayaran yang sah tapi juga sebagai lambang utama negara merdeka.

Resmi beredar pada 30 Oktober 1946, ORI tampil dalam bentuk uang kertas bernominal satu sen dengan gambar muka keris terhunus dan gambar belakang teks undang-undang. ORI ditandatangani Menteri Keuangan saaat itu A.A Maramis. Pada hari itu juga dinyatakan bahwa uang Jepang dan uang Javasche Bank tidak berlaku lagi. ORI pertama dicetak Percetakan Canisius dengan desain sederhana dengan dua warna dan memakai pengaman serat halus.

Presiden Soekarno menjadi tokoh yang paling sering tampil dalam desain uang kertas ORI dan uang kertas Seri ORI II yang terbit di Jogjakarta pada 1 Januari 1947, Seri ORI III di Jogjakarta pada 26 Juli 1947, Seri ORI Baru di Jogjakarta pada 17 Agustus 1949, dan Seri Republik Indonesia Serikat (RIS) di Jakarta pada 1 Januari 1950.

Meski masa peredaran ORI cukup singkat, namun ORI telah diterima di seluruh wilayah Republik Indonesia dan ikut menggelorakan semangat perlawanan terhadap penjajah. Pada Mei 1946, saat suasana di Jakarta genting, maka Pemerintah RI memutuskan untuk melanjutkan pencetakan ORI di daerah pedalaman, seperti di Jogjakarta, Surakarta dan Malang.

Masa Rupiah

Rupiah (Rp) adalah mata uang Indonesia ( kodenya adalah IDR ). Nama ini diambil dari mata uang India rupee. Sebelumnya di daerah yang disebut Indonesia sekarang menggunakan gulden Belanda dari tahun 1610 sampai tahun 1817, ketika gulden Hindia Belanda diperkenalkan.

Nama rupiah pertama kali digunakan secara resmi dengan dikeluarkannya mata uang rupiah jaman pendudukan Dai Nippon pada Perang Dunia II. Setelah perang selesai, Bank Jawa, pelopor Bank Indonesia, mengeluarkan Rupiah. Sedangkan Tentara Sekutu mengeluarkan Gulden Nica.

Sementara itu di daerah-daerah lain di di daerah yang sekarang disebut Indonesia, banyak beredar uang yang bertalian dengan aktivitas gerilya.

Pada tanggal 2 November 1949 rupiah ditetapkan sebagai mata uang nasional. Di daerah kepulauan Riau dan Papua, kala itu masih digunakan mata uang lain. Baru pada tahun 1964 dan 1971 rupiah digunakan di sana.

Di daerah Timor Timur, saat masih bergabung dengan Republik Indonesia, rupiah digunakan dari tahun 1976 – 2001.

Nah apabila kita simak kisah diatas, ada hal yang saling bertentangan atau tidak singkron, yaitu di masa ORI disebutkan bahwa usia ORI sampai dengan Agustus 1949 dan disambung pada masa Republik Indonesia Serikat dengan mengeluarkan seri RIS, sementara di masa Rupiah disebutkan bahwa nama Rupiah telah dipakai sejak jaman pendudukan Jepang di Perang Dunia II. Mana yang benar ?

oleh Joy Setiawan di 13:02

Label: ,

Bagaimanakah kisah munculnya Hari Keuangan?

Segera sesudah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 diumumkan, pemerintah Republik Indonesia memandang perlu untuk mengeluarkan uang sendiri. Uang tersebut, bagi pemerintah tidak sekedar sebagai alat pembayaran semata-mata, tetapi juga berfungsi sebagai lambang utama suatu negara merdeka, serta sebagai alat untuk memperkenalkan diri kepada khalayak umum.

Pada saat itu, pada awal pemerintahan Republik Indonesia keadaan ekonomi moneter Indonesia sangat kacau. Inflasi hebat bersumber pada kenyataan beredarnya mata uang pendudukan Jepang yang diperkirakan berjumlah 4 milyar. Untuk menggantikan peranan uang asing tersebut, dibutuhkan mata uang sendiri sebagai alat pembayaran dan digunakan oleh rakyat Indonesia dari masa ke masa sebagai alat pertukaran, pembayaran dan sebagai alat pemuas kebutuhan yang sah.

Maka pada tanggal 30 Oktober 1946, pemerintah Indonesia merdeka menyatakan hari tersebut adalah hari bersejarah bagi bangsa Indonesia sebagai tanggal beredarnya Oeang Repoeblik Indonesia (ORI). Pada hari itu juga dinyatakan bahwa uang Jepang dan uang Javasche Bank tidak berlaku lagi. Sungguhpun masa peredaran ORI cukup singkat, namun ORI telah diterima dengan bangga di seluruh wilayah Republik Indonesia dan telah ikut menggelorakan semangat perlawanan terhadap penjajah di segenap kubu patriot pembela tanah air. Pada waktu suasana di Jakarta genting maka pemerintah pada waktu itu memutuskan untuk melanjutkan pencetakan ORI di daerah pedalaman, seperti di Yogyakarta, Surakarta dan Malang.

Pencetak Uang

Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia disingkat Perum Peruri yang berdiri sejak 15 September 1971 dikenal sebagai perusahaan pencetak mata uang Republik Indonesia. Perusahaan ini penjelmaan dari dua buah perusahaan Negara, yaitu Percetakan Kebayoran (P.N. Perkeba) dan P.N. Arta Yasa.

P.N. Perkeba adalah perusahaan percetakan uang kertas yang didirikan pada tanggal 17 April 1952, sedangkan P.N. Arta Yasa adalah perusahaan percetakan uang logam yang didirikan pada tanggal 1 Juni 1953.

Pada Mei 1946, waktu suasana di Jakarta genting maka pemerintah pada waktu itu memutuskan untuk melanjutkan pencetakan ORI di daerah pedalaman, seperti di Yogyakarta, Surakarta dan Malang.

Gedung Kuno Itu

Gedung kuno itu bernama “Gedung Departemen Keuangan”. Setiap perayaan Hari Keuangan selalu disaksikan oleh gedung bisu, angker, dan tampak berwibawa tersebut.

Gedung dengan dua pintu gerbang raksasa ini dibangun pada zaman pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels tahun 1809 dan selesai dibangun pada masa pemerintahan Gubernur Du Bus tahun 1828. Bayangkan pembangunannya yang memakan waktu 29 tahun.

Pada masa Daendels bercokol di bulan Maret 1809, yakni setahun setelah beliau menjual tanah Weltevreden, pemerintah Belanda memutuskan membangun sebuah istana yang berhadapan letaknya dengan Lapangan Parade Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng).

Pembangunannya diserahkan kepada Letnan Kolonel J.C. Schultze, perwira ini pernah berpengalaman membangun gedung Societet Harmonie di Batavia.

Walaupun keadaan keuangan pemerintah Balanda pada waktu itu mengalami krisis namun rencana tersebut tetap dilaksanakan. Hal itu disebabkan karena pemerintah Belanda pada waktu itu sudah mempunyai rencana. Yakni apabila gedung ini kelak sudah jadi maka akan dipakai untuk kepentingan gubernur jenderal sendiri. Sedangkan bangunan-bangunan lainnya akan dipergunakan sebagai kantor-kantor pemerintah pusat, sebab hingga waktu itu pemerintah pusat belum dapat memisahkan kantor-kantor bagiannya dari ruang induknya.

Pada waktu itu gedung ini juga dimanfaatkan untuk tempat penginapan para tamu pembesar-pembesar pemerintah Belanda, sehingga perlu dilengkapi dengan kandang-kandang kuda yang fungsinya seperti tempat parkir mobil di masa sekarang. Hal ini dimaksudkan karena pada waktu itu kuda merupakan salah satu alat pengangkutan penting bagi kegiatan masyarakat sehari-hari.

Untuk menyelesaikan pembangunan ini pemerintah Belanda mengambil bahan-bahan bekas bangunan-bangunan dalam Kastil Batavia.

Ketika bangunan-bangunan induk baru selesai sebagian, sedangkan bangunan sayap kiri dan kanan baru setengah jadi, masa jabatan Gubernur Daendels habis. Penggantinya, Gubernur Jansen bukanlah gubernur yang menaruh perhatian terhadap pembangunan gedung, karena terbukti selama ia berkuasa bangunan ini tetap tinggal terlantar tidak sempurna.

Lain ketika Gubernur Jenderal Du Bus yang berkuasa pada tahun 1826. Gedung ini dapat diselesaikan dengan baik berkat bantuan tenaga Ir. Tromp. Ini pun disebabkan karena gedung akan dipergunakan bagi kepentingan kantor-kantor pemerintah Belanda di Indonesia.

Bangunan bersejarah ini akhirnya selesai dalam tahun 1828 yang diresmikan oleh Gubernur Du Bus. Ini dapat disaksikan dan dibuktikan pada batu peringatan yang bertuliskan:

MDCCCIX

CONDIDIT DAENDELS
MDCCCXXVIII
EREXIT DU BUS

Prasasti ini tercantum di sebelah kiri pintu gerbang kanan Gedung Departemen Keuangan Lama. Batu tersebut merupakan batu terakhir pembangunan Gedung Departemen Keuangan.

Setahun kemudian setelah selesainya bangunan gedung ini, dibelakang gedung ini ditanami berbagai macam tanaman-tanaman hias sebagai kebun-kebun botani, tetapi sangat disayangkan tanaman-tanaman yang indah itu akhirnya mati tiada bekas.

Dalam tahun 1835 dibagian ruangan bawah gedung ini pernah juga dipakai sebagai Kantor Pos dan juga Percetakan Negara, sedangkan pada bagian lain dipakai oleh Hoogerechtchef dan Algemene Secretarie.

Selanjutnya pada tanggal 1 Mei 1848 gedung ini secara resmi dipakai Departemen Van Justitie (kehakiman) dan akhirnya gedung ini sekarang merupakan tempat di mana masalah-masalah Keuangan Negara diolah dan digarap. Tempat ini lalu dikenal sebagai Gedung Induk Departemen Keuangan.

Dewasa ini bagian bawah gedung lama yang tadinya bekas tempat tahanan-tahanan di zaman Daendels, digunakan menjadi kantor Biro Umum Departemen Keuangan. Sedangkan pada pusat dokumentasi/kepustakaan Departemen Keuangan tersimpan buku-buku antara lain:
Staatblad Verenigde Nederlanden, Voor de Jare, 1813; Almanak Van Nederlandsch Indie (Reg. Almanak), ‘s Lands drukkery Batavia, 1817; Gedenkbock der Samarang – Joana, Stoomtran Maatschappij, 1907; Het Moderne Geldwezeen door, S. Korteweg,ec. Drs,1952; Het Belastingrecht deel III, Door Prof. Dr. P.J.A. Adriani, 1955.

Masa Perang Dunia II

Ketika pecah Perang Dunia II kedudukan Indonesia sebagai jajahan Belanda pada waktu itu sangat sulit karena Pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia terpaksa berdiri sendiri berhubung hampir tidak ada hubungannya dengan Pemerintah pelariannya di Inggris.

Ini disebabkan karena terjepitnya pemerintah Belanda akibat serbuan bala tentara Jerman. Namun demikian sikap pemerintah Belanda terhadap Indonesia tidak berubah. Terbukti ketika di dalam “Dewan Rakyat” diajukan suatu mosi yang mengusulkan perubahan-perubahan ketatanegaraan Pemerintah Hindia Belanda menunggu keputusan Parlemen Belanda yang sementara telah bubar karena penyerbuan tentara Jerman.

Pada awal tahun 1941 Fraksi Nasional Indonesia mengusulkan kerja sama dengan Belanda di atas dasar “Indonesia Merdeka”. Pemerintah Hindia Belanda menolak semua usul dari pihak Indonesia, menolak juga diadakannya milisi untuk bangsa Indonesia, meskipun pada waktu itu jelaslah sudah, bahwa Indonesia tidak dapat dipertahankan oleh orang-orang Belanda sendiri.

Akhirnya sebelum Perang Dunia II berakhir Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 8 Maret 1942 bertekuk lutut dibawah telapak kaki pimpinan-pimpinan balatentara Jepang.

Sejak detik itulah Jepang menguasai Indonesia dan dijadikannya Indonesia sebagai daerah jajahannya di Asia. Mulai saat itu hubungan dengan negara-negara lain terputus, kecuali dengan negara Jepang itu sendiri.

Selama penjajahannya di Indonesia segala kegiatan pemerintah Jepang di Indonesia dipusatkan di Jakarta. Sejak itu untuk melaksanakan kegiatan keuangan sehari-hari Gedung Lama Departemen Keuangan masih merupakan tempatnya. Ini kiranya disebabkan karena pemerintah Jepang tidak mau bersusah payah memindahkan pusat kegiatan keuangan ditempat yang lain.

Jadi Gedung Departemen Keuangan pada masa penjajahan Jepang di Indonesia juga digunakan sebagai pusat kegiatan pengolahan keuangan.

Masa Sekarang

Setelah proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 kota Jakarta menjadi pusat pemerintahan. Pada masa pemerintahan tersebut Gedung Departemen Keuangan lama ini juga masih berfungsi sebagai pusat kegiatan pengolahan keuangan sehari-hari.

Di sebelah kiri gedung lama Departemen Keuangan, yang dahulu bekas tempat Gedung Volksraad (Dewan Rakyat pada masa pemerintahan Hindia Belanda ) kemudian sebagai gedung DPR pada awal masa kemerdekaan kini menjadi Gedung Utama Departemen Keuangan Republik Indonesia.

Pada Gedung inilah Menteri Keuangan selaku pimpinan Departemen Keuangan Republik Indonesia menjalankan tugasnya sehari-hari mengatur kegiatan keuangan Republik Indonesia.


0 Responses to “HISTORIA : Uang ORI vs Uang NICA”



  1. Leave a Comment

Leave a comment


Blog Stats

  • 4,406,707 hits

Archives

Recent Comments

Ratu Adil - 666 on Kenegarawanan : Harta Amanah B…
Ratu Adil - 666 on Kepemimpinan : Satrio Piningit…
Ratu Adil - 666 on Kepemimpinan : Satrio Piningit…
Ratu Adil - 666 on Kenegarawanan : Harta Amanah B…
Ratu Adil - 666 on Kenegarawanan : Harta Amanah B…