Jumat, 22/01/2010 | 19:26 WIB
Jakarta – Skandal Century ternyata tidak hanya membawa kerugian nasabah nasional, tetapi juga menimbulkan kerugian yang tidak sedikit bagi perusahaan asing yaitu Medley Capital dan Hillside. Medley adalah perusahaan investasi asal Amerika Serikat (AS). Sedangkan Hillside adalah hedge fund asal London, Inggris. Keduanya dipercaya mengelola investasi dana pensiun tentara Amerika Serikat (AS). Kedua perusahaan tersebut akhirnya mendesak pemerintah untuk membongkar kemana aliran dana Century tersebut.
Akan tetapi, Frans Hendra Winarta, kuasa hukum Medley dan Hillside , menyayangkan sikap pemerintah yang sangat lambat dalam menangani kasus tersebut. Sampai saat ini kasus tersebut masih dalam proses tetapi tindakan hukum yang diambil belum terlihat, misalnya menangkap semua orang yang terlibat di dalamnya dan juga membongkar kemana aliran dana century tersebut. Padahal Kedutaan Besar Amerika Serikat sudah mengirimkan surat kepada pemerintah.
Frans Winarta menuturkan bahwa ia melapor ke Mabes Polri tanggal 8 September 2009 . Tetapi kemudian kasus tersebut dialihkan ke polda. Ketika ada pergantian Kabareskrim, kasus Medley tersebut dialihkan lagi ke mabes. Ketika ada pergantian tersebut, pihaknya bertanya kepada Ito Sumardi (Kabareskrim baru), ternyata Kabareskrim yang baru tersebut belum mengetahui kasus itu. “Hal ini menunjukkan pemerintah tidak serius dalam menangani kasus Medley”, ujar Frans H Winarta saat mendatangi Pansus Century DPR, Jumat (22/1), di Gedung DPR. Ia mendatangi Pansus Century karena merasa pemerintah lambat dalam soal ini.
Bila masalah ini berlarut-larut, pihak Medley dan Hillside tak segan untuk meminta StAR Initative untuk melacak kemana aliran dana tersebut. Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative adalah lembaga yang digagas oleh Bank Dunia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berupaya memberantas korupsi global dan mengembalikan aset curian yang sudah dilarikan ke luar negeri.
Kasus di atas tersebut berawal saat Medley dan Hillside membeli surat utang (notes) milik PT Indo Dana Persada senilai 40 juta dollar AS atau Rp 371 miliar. Masing-masing perusahaan menyetor 20 juta dollar AS. Dalam hal ini Indo Dana mengaku sebagai sekuritas. Rencananya dana tersebut itu akan diteruskan ke PT Artha Persada Finance untuk modal menyalurkan kredit pembelian mobil. Tetapi belakangan diketahui bahwa Indo Dana tidak terdaftar di Bapepam sebagai sekuritas.
Celakanya, Artha Persada ternyata tidak menyalurkan duit itu untuk modal penyaluran kredit mobil. Perusahaan ini malah mentransfer dana ini ke sejumlah perusahaan termasuk yang terbesar ke Bank Century. Belakangan diketahui, Bank Century meneruskan duit itu di produk Antaboga Deltasekuritas Indonesia . Persoalan mulai terkuak saat aset Antaboga dibawa kabur pemiliknya, Robert Tantular. (boy)
Jumat, 22/01/2010 | 17:01 WIB
Jakarta – Kabarnya, duit bailout Bank Century triliunan rupiah diambil dari Bank Indonesia (BI) secara langsung (cash) berbentuk lembaran rupiah yang banyaknya segudang. Oleh karena itu, Pansus Hak Angket Bank Century DPR akan melakukan pengusutan terhadap siapa yang menerima uang tersebut dan siapa pejabat BI yang memberikan uang saat itu. “Sebenarnya mengusut ini sangat mudah daripada mengusut maling jemuran,” ujar Anggota Pansus Century DPR dari Partai Golkar, Bambang Soesatyo.
Hal ini diungkapkannya dalam dialog kajian tentang Century Gate: “Haruskah Presiden SBY Turun Tangan?” di Jakarta, Kamis (21/1) malam. Pembicara lainnya adalah mantan Menteri Keuangan Fuad Bawazier dengan moderator Usamah Hisyam, Direktur Eksekutif Indonesia Institute for Democratic Development. Hadir Direktur Indonesia Institute for Democratic Development Dr Bachtiar Chamsyah, para mantan anggota DPR RI dan kalangan aktivis serta tokoh LSM.
Menurut Bambang Soesatyo, seharusnya SBY sudah sadar sebelum Pansus terbentuk dulu bilang saja, ‘saya yang bertanggung jawab’. “Lalu, siapa yang berani menggugat,” tutur Bambang sembari berharap, mudah-mudahan Pansus berakhir dengan pemerintahan baru atau (kalau tak mau lengser) tetap pemerintahan yang lama tetapi dengan formasi yang baru.
Ia mengemukakan, sejak Hak Angket Century digulirkan, 8 fraksi menyetujui dan hanya satu Fraksi (Partai Demokrat) yang menolak. Setelah Pansus Cantury berjalan, sekarang sudah berbanding 4:5 yaitu empat fraksi (PDIP, Gerindra, Hanura, Golkar) kontra dengan Partai Demokrat (PD), dan lima (PD, PKB, PAN, PPP, PKS) merapat ke SBY. Nanti, bisa jadi 3:6 yaitu hanya tiga partai oposisi (PDIP, Gerindra, Hanura) yang konsisten dan enam (PD, PKB, PAN, PPP, PKS dan Golkar) merapat ke SBY.
Namun, menurut Bambang, yang menjadi kunci sekarang ialah apabila Golkar dan PKS sadar akan kebobrokan bailout Century sehingga bergabung dengan tiga partai oposisi untuk mengambil sikap yang sama dalam paripurna DPR mengambil keputusan terhadap hasil Pansus Century nanti. Menurutnya, ada gerakan dari Partai Demokrat untuk mendegradasi Pansus, serta digulirkan isu adu domba (kesepakatan SBY-Ical mencopot Sri Mulyani), mempermasalahkan etika Pansus, dan lain sebagainya.
Bambang mengakui, ada kesulitan apabila kesimpulan Pansus mengarah untuk melakukan impeachment terhadap Presiden apabila memang dianggap melanggar konsitusi. ”Kesulitan nanti ada di paripurna DPR, karena keputusan sidang harus disetujui 2/3 anggota yang dihadiri 2/3 dari seluruh anggota DPR, kemudian harus ke MK, dan baru ke DPR digelar Sidang istimewa. “Belum lagi ada Piala Dunia 2010 pada bulan Juli nanti sehingga kasus Century tenggelam karena perhatian masyarakat akan ke piala dunia,” jelasnya.
Ia pun menyoroti pernyataan SBY belakangan yang seperti menantang Pansus. ”SBY menunjukkan taringnya, intinya dia bilang bahwa DPR tidak bisa menjatuhkan Presiden. Kemudian, disusul dengan pernyataan Sri Mulyani yang menarik juga. Kata dia, ini pemerintahan presidensil sehingga Persiden yang bertanggungjawab. Lalu disusul pula Presiden bilang lagi bahwa ini presidensil,” beber Bambang. “Saya menilai Adnan Buyung itu benar, jika tidak mau berlarut-larut, SBY harus bertanggung jawab penuh,” imbuhnya.
Pada bagian lain, Bambang menyesalkan Marsilam sudah berbohong dengan meralat pernyataannya dulu bahwa dirinya diutus Presiden untuk ikut rapat KSSK membahas bailout Bank Century, sehingga pintu untuk memanggil SBY tertutup lagi. “Karena Marsilam bohong, pintu terkunci lagi. Tapi nanti akan kita (Pansus) konfrontir. Jika bukti sudah cukup, kita panggil Persiden (SBY),” tegas anggota Pansus dari Golkar ini.
Kenapa kasus Century menjadi bola liar, menurut Bambang, karena Presiden SBY melokalisir kasus dengan melempar menjadi tanggung jawab Boediono dan Sri Mulyani. Bahkan, ia mengaku mendengar kabar dari seorang sumber bahwa SBY memberi tiga ‘titipan’ kepada orangnya di Pansus, yakni (1) jika Sri Mulyani tidak bersalah, silakan Pansus dilawan, (2) SBY titip tolong Boediono diselamatkan, dan (3) kalau SBY yang disalahkan, akan melawan. “Sri Mulyani belakangan ini juga sering ditelpon,” tambahnya.
Bahkan, lanjutnya, isu reshuffle yang digulirkan bisa mempengaruhi ketua umum partai politik (parpol) koalisi yang mendapat kursi menteri di kabinet SBY sekarang. “Isu reshuffle bikin gemetar pimpinan parpol yang sudah enak jadi menteri,” paparnya.
Yang menarik, menurutnya, Bank ‘abal-abal’ Century, bank kecil yang berpenyakitan kok dipercaya BUMN sampai menaruh uangnya ratusan miliar rupiah, yang diduga karena ada intervensi dari ‘penguasa’. Ia pun menduga laporan LSM Benteng Demokrasi Rakyat (Bendera) ada benarnya yang merinci jaringan Istana yang menerima duit dari dana bailout Century. “Laporan Bendera tidak semuanya salah. Buktinya, Polri tidak menindaklanjuti laporan Ibas, Djoko Suyanto dan Hatta Rajasa (terhadap Bendera),” bebernya.
Yang menarik lagi, lanjut Bambang, saat JK (Jusuf Kalla) bilang bilang Sri Mulyani tertipu, berarti ada yang lebih besar (pejabat atasnya) lagi. Boediono? Tapi, “tekanan untuk mengamankan nomor dua (RI-2) ini terasa di Pansus,” aku Bambang.
Ia juga mempermasalahkan, adanya rekayasa dan pelanggaran hukum. Pada 13 November BI mengucurkan Rp 2,8 triliun tanpa payung hukum karena Perppu tidak disetujui DPR. “Pada 13 November 2008 lalu, begitu SBY berangkat ke luar negeri, Bank Century stop kliring dan diumumkan oleh BI, padahal kurang dari Rp 5 miliar saja katanya,” ungkap Bambang.
Soal dana Century miliaran rupiah yang mengalir ke rekening ‘fiktif’ sopir taksi bernama Amiruddin (belakangan mengaku pekerja bengkel) juga misterius. Karena ternyata setelah dicocokkan alamatnya dia rumahnya itu di kampung kecil. “Soal sopir misteri itu, KPT-nya dipakai tapi dia tak tahu. Ini praktik-praktik kotor,” bongkarnya.
Bambang memperkirakan dana bailout Rp 6,7 triliun itu seharusnya terus berbunga dan berkembang. “Lima tahun ke depan Rp 6,7 triliun bisa menjadi Rp 12 triliun. Bank ini harus tumbuh 45 persen per tahun, ini yang tidak bisa dihindari oleh KSSK. Jadi, kalau SBY sekarang ini mati-matian menyelamatkan Boediono dan Sri Mulyani, akan sulit,” tandasnya.
Pada kesempatan yang sama, mantan Menteri Keuangan (Menkeu) Fuad Bawazier meminta Pansus benar-benar menindaklanjuti pengakuan Jusuf Kalla, Wapres ketika terjadi pengucuran dana bailout Bank Century. Pansus juga harus membela JK, jangan nantinya malah dikriminalisasi seperti pimpinan KPK oleh penguasa hanya demi menghalangi pengungkapan kasus Century. “Wapres yang memburu dan mengusut, jangan menjadi diburu dan diusut,” pinta Ketua DPP Partai Hanura ini
Menurut Fuad, skandal Bank Century ini duitnya lebih kecil dari skandal BLBI, tetapi modusnya meningkat. Yakni, bank bikin nama-nama fiktif/ngawur, ada permainan valas, dan ada indikasi deposito fiktif, dan sebagainya. Saya juga menduga penempatan Boediono di Bank Indonesia karena dia sudah lihai untuk ‘maling’. Kalau bank bersih dan bagus, layak ditolong (dibaliout). Lha ini bukan bank, hanya fiktif semuanya. Masak bank tidak sampai Rp 600 miliar kok dijual Rp 6,7 triliun, ini tidak logis,” papar mantan Menkeu.
Fuad menyesalkan adanya pihak Partai Demokrat yang berperan menghalang-halangi Pansus DPR dalamn membongkar tuntas kasus Bank ‘abal-abal’ Century yang berpenyakitan itu. “Century itu bank sampah, tapi ada yang halangi untuk membongkarnya, yaitu pihak Partai Demokrat. Kalau membela perampok itu kan sama juga ikut jadi perampok. Bohong kalau Partai Demokrat mau berantas korupsi. Kalau benar mau berantas korupsi, ya sekarang ini kesempatannya, bongkar saja kasus Century,”bebernya.
Ia pun menduga peran Boediono yang dimanfaatkan oleh rezim sejak profesor ekonomi ini menjadi Menteri Keuangan, Menko Perekonomian hingga Gubernur BI. “Pak Boediono ini nampaknya spesialis fasilitator khusus pembobol perbankan,” ujar Fuad sembari mengingatkan agar DPR tidak meloloskan Perppu. “Perppu itu berbahaya, bisa dipakai pemerintah untuk membobol bank. Pemerintah membela mati-matian bailout Rp 6,7 triliun itu. Bank Century yang punya bandit, banyak misterius. Memang ini ada pencurian,” ungkapnya pula.
Sementara itu, baik mantan Ketua Pansus Bulog Gate DPR Bachtiar Chamsyah maupun mantan Wakil Ketua Komisi Keuangan dan Perbankan DPR Endin AJ Soefihara (PPP), hanya menyarankan kalau memang serius mengusut kasus Bank Century, dicari saja pelanggaran kebijakan yang dinilai melanggar konstitusi. “Sebab, dari segi hukum sudah salah,” tutur Bachtiar. “Memang harus dicari pelanggaran konstitusinya di mana, jangan cuma berdebat soal Perppu,” tambah Endin. (AR)
Jumat, 22/01/2010 | 10:56 WIB
Motif Kekuasaan di Bailout Century
BILA tidak ada pengetahuan yang bebas nilai dan tidak ada perilaku yang bebas kepentingan, maka kepentingan apakah yang ada di bailout Bank Century? Banyak pengamat menduga bahwa kebijakan yang dikeluarkan oleh Boediono dan Sri Mulyani terkait dengan motif kekuasaan. Dan memang terbukti kedua orang tersebut saat ini menjabat posisi penting di lingkaran Istana.
Rizal Ramli, seorang ekonom senior dan mantan Menko Perekonomian, menegaskan bahwa motif di bailout Century sebenarnya bukan uang, melainkan kekuasaan. Ia mengakui bahwa Sri Mulyanji dan Boediono tidak menerima uang, tetapi keduanya memiliki motif kekuasaan saat bailout Century dikeluarkan. “Bailout Century ini terjadi menjelang Pemilu, sebab itu motifnya bukan uang. Ada yang diiming-imingi jadi wapres, ada yang diiming-imingi jadi Menkeu kembali,” ujarnya saat memberikan keterangan rapat di Pansus Century (21/1).
Motif kekuasaan di bailout Century sepertinya terbukti ketika Beodiono menjadi pilihan SBY dalam kampenye di pilpres 2009 yang lalu. Pemilihan Beodiono tersebut awalnya sempat membuat partai yang ingin mendukung koalisi SBY seperti PKS akan mundur. Karena Boediono bukanlah orang partai yang mampu memiliki basis massa yang kuat. Malah ia memiliki citra sedikit buruk di masyarakat. Sebab seperti diketahui, kebijakan-kebijakan ekonomi Boediono selalu berhaluan barat dan neoliberal. Kontroversi pemilihan Boediono sebagai wapres walaupun awalnya sangat kontroversial tapi akhirnya didukung oleh partai koalisi SBY. Secara drastis, SBY-Boediono pun memenangi pemilu dalam satu putaran.
Kini setelah skandal Century sedang hangat dibicarakan. Banyak pengamat menilai pemilihan Boediono saat pilpres yang lalu adalah imbalan Boediono dalam membailout Century. Begitu juga dengan Sri Mulyani yang terpilih kembali menjadi menteri Keuangan. Apakah mungkin Boediono dipilih SBY bila tidak ada bailout Century? Ia bukan orang partai dan tidak memiliki kharisma di masyarakat luas waktu itu.
Tetapi ungkapan Rizal Ramli di atas sebetulnya bisa ditarik lebih jauh. Bila Boediono dipilih sebagai wapres dikarenakan bailout, maka ada orang dan kelompok yang memang mendapatkan manfaat besar dalam bailout tersebut. Dalam hal ini berarti SBY dan Partai Demokrat mendaparkan manfaat dari bailout tersebut sehingga mereka akhirnya memilih Boediono sebagai wapres. Secara akal sehat kronologi dan logika di atas nampaknya sangat rasional.
Rizal Ramli bahkan mengatakan bahwa bailout Century bukanlah penyelamatan sistemik tapi sebuah perampokan sistemik terhadap keuangan negara. “Ini adalah perampokan yang sangat sistemik. Jadi yang terjadi bukan risiko sistemik, dimana jika Bank Century tidak dibantu, tidak terselamatkan, tapi yang terjadi justru perampokan sistemik” ujar ekonom Econit tersebut. Sebab itu rakyat masih menunggu kinerja Pansus dan juga KPK dalam membongkar kasus Bank Century ini. Bila mandul dan masuk angin, akan terjadi “DPR Jalanan” dan bahkan bukan mustahil akan terjadi people power mendobrak gerbang Istana. (Boy M)
Jumat, 22/01/2010 | 10:41 WIB
Akhir Drama Century, Cuma Teri yang Bakal Terjaring
OLEH: ARIEF TURATNO
PAGI ini seorang teman SMS menanyakan, bagaimana prediksi kita mengenai akhir dari kasus Bank Century?Saya akan mencoba menjawab dan mengurainya melalui rubric ini. Kasus Bank Century bukan yang pertama terjadi di Negeri Dongeng ini. Negeri yang para petingginya suka bermain LENONG kerap mengurai ceritera sedih tentang perbank-kan. Dulu, jauh sebelum reformasi, salah satu bank nasional kebobolan. Pembobolnya manusia sejenis Robert Tantular yang bernama Edi Tanzil. Nilai uang yang dibobol pun cukup besar, sehingga selama berhar-hari, bahkan berbulan-bulan nama Edi Tanzil terus berkibar di Koran-koran Indonesia. Waktu itu baru ada koran belum ada televisi swasta yang ada TVRI, tetapi karena masalah tersebut cukup peka dan menyerempet pemerintah. Maka media elektronik yang bernama televisi dan RRI nyaris tidak pernah menyiarkan berita tentang Edi Tanzil. Sehingga yang dapat mengetahui peristiwa tersebut cukup terbatas, hanya orang-orang yang membeli koran dan bisa membaca tulis.
Selain Edi Tanzil ada beberapa pembobol bank lainnya, yang jika ditelusuri lebih seksama, selalu melibatkan orang dalam, dan petinggi pemerintahan. Maka seperti halnya kasus Edi Tanzil, kasus pembobolan bank lainnya di jaman itu hanya mampu mengungkap pelakunya atau eksekutornya. Sejauh ini, kita selalu tidak mampu mengungkap siapa actor intelektual di balik kasus pembobolan bank itu. Misalnya dalam kasus Edi Tanzil, kita hanya berkutet mengejar-kejar Edi Tanzil. Begitu Edi Tanzil—kabarnya—kabur ke Republik Rakyat Cina, kita hanya bertopang dagu. Karena—waktu itu juga—hubungan diplomatic kita dengan RRC masih sangat terbatas. Sehingga dengan leluasa Adi Tanzil di sana tanpa ada yang bisa mengganggu-gugat. Karena pelaku utamanya lari, lantas peristiwa pembobolan bank itu dianggap hilang atau lenyap begitu saja ditelan waktu.
Padahal, logika awam, tidak mungkin seorang Edi Tanzil dapat menilep uang dengan jumlah besar tanpa fasilitas dari orang dalam. Bagi orang dalam sendiri, sangat tidak mungkin mereka berani melakukan tindakan yang bakal membahayakan diri dan keluarganya tanpa ada jaminan orang kuat di pemerintahan. Mata rantai semacam ini di negara yang sangat birokratis semacam Indonesia sangatlah mungkin terjadi. Dengan begitu analoginya, Edi Tanzil pasti mengajak orang dalam perbankkan, juga orang kuat di pemerintahan. Anehnya, mengapa aparat tidak mau menelusuri persoalan tersebut. Padahal bukan rahasia lagi pihak-pihak mana yang terlibat dan diduga ikut menikmati uang tersebut semua orang mengetahui. Di dalam kasus Bank Century pun demikian. Uang sebesar Rp6,7 triliun bukanlah uang kecil. Karena uang tersebut bisa keluar, dan kemudian hilang, pasti tidak hanya Robert Tantular saja yang dianggap berdosa.
Robert Tantular secara leluasa berhasil mengambil uang Rp6,7 triliun pastilah karena mendapat fasilitas dan dukungan. Fasilitas jelas dari BI dan pihak terkait, dukungan hampir pasti diberikan orang kuat di pemerintahan. Logika awam semacam ini hampir pasti terjadi. Sebab Robert Tantular bukanlah David Coverfild yang bisa menembus tembok BI dan mengambil uang tanpa ketahuan orang. Robert Tantular adalah manusia biasa yang doyan makan nasi, pecel lele dan suka mie ayam. Karena itu keleluasaan Robert Tantular berpesta uang negara, pasti ada orang-orang di belakangnya, yang mendorong dan kemudian ikut menikmati makanan gurih tersebut. Pertanyaannya adalah apakah mungkin orang-orang yang terlibat di dalam permainan Robert Tantular itu dapat dijerat hukum? Jawabnya, mungkin “iya” mungkin juga “tidak”. Kalau “iya” paling-paling mereka yang akan terkena hanya terinya. Sedangkan kakapnya, termasuk orang kuat di belakangnya, hampir pasti lolos.
Inilah kira-kira akhir dari drama Bank Century, tetap kita tidak akan mampu mengungkap masalah sebenarnya di balik ontran-ontran tersebut. Yang dapat kita ungkap hanyalah bagian kecil dari seluruh masalah. Tanda-tanda semacam itu semakin nampak jelas. Meskipun masalah telah dibeberkan sedemikian rupa, puluhan saksi telah dihadirkan, dan analisa pakar pun menghiasi berbagai media. Namun, yang kita lihat pihak yang berwenang hanya membatasi persoalan yang itu-itu saja. Tidak pernah ada penjelasan secara signifikan, kemana larinya uang itu, dan siapa saja yang menikmatinya, dan mengapa itu bisa terjadi? Serta banyak pertanyaan lain yang hampir pasti tidak akan terjawab sekarang, bahkan untuk waktu mendatang sekalipun. Sebagaimana kasus Edi Tanzil, lama kelamaan masalah Bank Century pun akan lenyap ditelan jaman! (*)
Sabtu, 23 Januari 2010 | 04:20 WIB
Lambang Trijono
Kasus Bank Century memunculkan problem pelik bagaimana melakukan penilaian etika politik terhadap sesuatu kasus kebijakan yang salah dan memintai pertanggungjawaban aktor dan agensi yang terlibat dalam pengambilan kebijakan.
Mencermati pertanyaan anggota Pansus, kebanyakan mengarah ke pencarian aktor atau agensi yang bertanggung jawab. Sedikit yang ke persoalan substansi materi dan proses pengambilan kebijakan, sehingga bisa dijadikan landasan menilai etika politik di balik skandal Century.
Pertanyaan yang mengabaikan substansi materi dan bagaimana proses pengambilan keputusan diambil hanya akan membenturkan masalah pada tembok kekuasaan. Hal ini akan membuat skandal sulit diungkap karena begitu kompleksnya realitas struktur relasi-relasi kekuasaan seputar kebijakan bail out Bank Century.
Ini tercermin dalam debat kesaksian karena begitu refleksifnya perdebatan antara anggota Pansus dan Marsillam Simanjuntak dalam persidangan, Senin (18/1) malam. Pertanyaan-pertanyaan dilandasi prasangka-prasangka pre-politik hanya memusat pada aktor atau agensi, seakan kandas di tengah jalan.
Kesaksian Marsillam yang lebih mengarahkan pada substansi materi daripada ke aktor atau agensi membuat banyak anggota Pansus harus berpikir dan memutar haluan pertanyaan dua atau tiga kali putaran sehingga bukan kejelasan aktor dan agensi yang didapat, melainkan pembelajaran bagi anggota Pansus bagaimana seharusnya melakukan penilaian atas etika politik dari suatu kebijakan.
Debat anggota Pansus dengan Marsillam menyadarkan kita betapa kompleksnya sebuah pengambilan kebijakan. Tidak hanya ditentukan oleh tindakan aktor atau agensi, tetapi juga substansi materi kebijakan dan realitas struktur kekuasaan di mana kebijakan diambil.
Perdebatan itu mengingatkan pada debat klasik soal kekuasaan dan penentuan kebijakan dalam ilmu politik, apakah cukup sahih melihat pengambilan kebijakan hanya pada tindakan aktor atau agensi penentu kebijakan tanpa melihat atau mengabaikan realitas struktur relasi kekuasaan. Hubungan aktor dengan struktur kekuasaan merupakan realitas sangat kompleks dalam politik. Robert Dahl dan kawan-kawan, termasuk dalam aliran behaviorist, menekankan pentingnya melihat peristiwa penentuan kebijakan (decision making events) untuk menilai tindakan aktor atau agensi dalam politik.
Kekuasaan, bagi Dahl, mengikuti Max Weber, adalah tindakan memengaruhi pihak lain yang tak sepaham lewat berbagai cara, baik persuasi atau koersi, sehingga pihak lain mengikuti. Konsepsi kekuasaan dalam arti power over atau berwajah/berdimensi tunggal (one dimension/face of power) menjadikan tindakan aktor dan agensi sebagai pihak paling otonom bertanggung jawab atas kebijakan.
Konsepsi demikian problematik, mengingat pengambilan kebijakan selalu terkait dengan sesuatu obyek dan hanya bisa beroperasi, atau termobilisasi (get mobilized), melalui bekerjanya relasi-relasi atau jejaring kekuasaan. Berbeda dengan Dahl; Bachrach serta Baratz dan kawan-kawan termasuk dalam aliran non-decisionist, lebih melihat pentingnya realitas struktur relasi-relasi kekuasaan untuk menilai sebuah kebijakan. Bahwa kebijakan selalu memerlukan dukungan kolektif berbagai aktor atau agensi merupakan realitas politik, tidak bisa dinafikan.
Konsepsi ini, atau disebut kekuasaan berdimensi/berwajah dua (two dimension/faces of power), membawa konsekuensi pentingnya realitas struktur obyektif di luar aktor penentu kebijakan. Sering kali terjadi bahwa pemegang otoritas tidak otonom dalam penentuan kebijakan dan lebih tunduk pada situasi realitas obyektif sekitar. Atau sebaliknya, pemegang otoritas tidak mengambil sesuatu keputusan, atau berkeputusan untuk tidak mengambil keputusan (decide not to decide) meskipun tahu pihak lain akan mengikuti.
Di sisi lain, aktor atau agensi bukan pemegang otoritas, bisa saja terlibat aktif pengambilan keputusan karena yakin pendapatnya akan dipakai, atau mungkin terpaksa bersikap diam karena tahu pendapatnya tak akan dipakai. Bahkan, bisa saja mereka tetap menyampaikan pendapat meskipun tahu pendapatnya tidak akan dipakai karena mempunyai rasionalitas tersendiri terhadap substansi materi yang dibicarakan tanpa memedulikan realitas struktur kekuasaan sekitar.
Begitu bervariasinya rasionalitas aktor atau agensi ini membuat sulit bagi kita menentukan siapa yang bertanggung jawab atas sesuatu pengambilan kebijakan. Pada kasus Century, Marsillam tampaknya di posisi terakhir. Sebagaimana dikemukakan dalam kesaksian, berpegang pada prinsip dialektika ide dalam setiap pengambilan keputusan, ia hadir untuk mengajukan kontra argumentasi guna menguji kesahihan materi pengambilan keputusan meski sadar pendapatnya belum tentu dipakai sebab dikemukakan bukan dalam pertemuan penentuan kebijakan.
Etika demokrasi
Pertanyaan muncul kemudian, apakah aktor atau agensi non-decisionist ini, baik pemegang otoritas yang tunduk pada situasi obyektif atau bukan pemegang otoritas yang kontra, bisa terbebas dari tanggung jawab ketika diketahui kebijakan ternyata salah? Sulit kita menilai. Aliran non-decisionist lebih melihat tanggung jawab sebagai masalah moral politik. Sepanjang legitimate, maka sah-sah saja. Hanya jika tidak legitimate, atau tidak mendapat dukungan nilai, maka pertanggungjawaban aktor atau agensi bisa dilakukan.
Pembedaan soal legitimate dan tidak adalah penting, sebab bila hanya bersandar pada tindakan aktor, kebijakan politik akan selalu menemui jalan buntu karena konflik kepentingan permanen terjadi di antara aktor politik. Pertarungan akan selalu mendekati situasi zero-sum, yang kuat selalu memenangi pertarungan dan pihak lemah selalu menjadi korban. Pertempuran politik semacam itu sering kali menghiasi panggung politik kita. Ketika konflik di kalangan elite terjadi, bawahan atau rakyat selalu menjadi korban. Derajat relativitas otonomi aktor atau agensi di hadapan struktur relasi-relasi kekuasaan di sini sangat menentukan.
Ketika terjadi konflik dalam penentuan kebijakan, pemegang otoritas secara dominatif tak jarang melakukan berbagai manipulasi politik sehingga bawahan atau rakyat menjadi korban dan memikul beban impitan dominasi pemegang otoritas. Sistem demokrasi menyadari konflik politik permanen ini dengan segala impitan dominasi yang ditimbulkan. Karena itu, dalam sistem demokrasi, penentuan kebijakan selalu harus dimintai pertanggungjawaban. Ini dilakukan bukan hanya pada aktor atau agensi penentu kebijakan, tetapi juga akuntabilitas substansial dan proses penentuan kebijakan.
Kita bertekad menegakkan kehidupan politik demokratis. Dalam kasus Century tak terkecuali, harus ada pertanggungjawaban secara demokratis. Bukan hanya aktor penentu kebijakan, tetapi juga pertanggungjawaban substansi materi kebijakan dan proses penentuan kebijakan.
Lambang Trijono Dosen Fisipol UGM
Kamis, 21/01/2010 | 15:19 WIB
Jakarta- Dana talangan (bailout) Bank Century selain tidak berdampak sistemik, kebijakan ini juga dinilai memaksakan untuk mengikuti Undang-undang (UU) baik melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) maupun Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) yang dipimpin Menteri keuangan (Menkeu) Sri Mulyani dan Gubernur Bank Indonesia (BI) Boediono. Padahal, persoalannya adalah adanya penyertaan modal sementara (PMS) dana Budi Sampurna (BS) sebesar 18 juta dollar AS, sehingga bailout awalnya Rp 632 miliar membengkak Rp 6,7 triliun.
“Jadi, kenapa pemerintah memaksakan UU tunduk kepada kebijakan? Karena itu sesungguhnya tidak ada yang namanya berdampak sistemik tersebut karena yang terjadi krisis adalah di Amerika, Eropa dan negara asing yang lain. Indonesia tidak krisis,” ungkap pengamat ekonomi politik Ichsanudin Noorsy di depan rapat Pansus Century DPR di Senayan, Kamis, (21/1).
Rapat di ruang Pansus gedung DPR ini juga dihadiri pengamat ekonomi Hendri Saparini dan Chatib Basri. Di hari yang sama Pansus Hak Angket Kasus Bank Century juga akan menghadirkan saksi ahli yang lain seperti mantan Menko Ekonomi Rizal Ramli, Drajad Wibowo, Christianto Wibisono, Faisal Basri, Erman Rajagukguk dan Natabaya.
Pada kesempatan itu, Hendri Saparini menyatakan, pasar malah menilai Century tidak berdampak sistemik karena porsinya terhadap perbankan kecil. “Kondisi saat itu tidak ada hal signifikan. Sehingga apa yang ditemukan BPK adalah tekanannya tidak kuat untuk disebut sistemik tersebut. Kalaupun psikologi pasar, century adalah bank kecil. Jadi, dampak century terhadap industri perbankan kecil. Kemudian, kondisi perbankan secara umum berbeda dengan krisis 1997,” katanya.
Karena itu dia meminta berbagai pihak membedakan kondisi perbankan Indonesia antara 1997- 2008. Di mana pada 1997 ada depresiasi overvalue rupiah. Dan, itu sangat mengganggu karena sistem penataan utang swasta dan pemerintah belum baik. “Selain itu ada kerapuhan industri perbankan dan banyak bank kecil. Jadi kondisinya lemah baik dari moneter maupun industri perbankan,” ujar Hendri Saparini.
Dia juga menabhkan, tidak demikian halnya dengan kondisi 2008. Bahwa ada peningkatan semua indikator perbankan meski kemudian terjadi gejolak moneter dan penurunan devisa. Tapi kata Hendri, kondisinya berbeda di bidang perbankan, karena perbankan kita lebih tangguh secara struktural dan tidak ada lagi hutang-hutang swasta dan pemerintah yang tidak tercatat.
Oleh sebab itu dampak sistemik yang dijadikan alasan KSSK didasarkan pada berbagai faktor termasuk psikologi pasar, ada ancaman rush atau publik menarik dana secara besar-besaran dari perbankan jika century kolaps, itu tidak beralasan. Lalu mengapa ekonomi kita disebut membaik di tahun 2009 ini?
“Itu, jelas karena ekonomi kita didorong oleh utang asing dengan menjaga stabilnya konsumsi masyarakat. Jadi, bukan karena bailout century. Buktinya utang luar negeri kita terus melonjak,” kata pengamat ekonomi Econit itu.
Yang pasti lanjut Hendri, dalam audit BPK itu ada indikasi terjadinya korupsi dan bailout itu menimbulkan masalah lebih besar. Bukan saja masalah pemerintah mampu mengembalikan Rp 6,7 triliun. Tapi persoalannya adalah terjadi ketidakpercayaan yang besar-distrust- terhadap bank central Indonesia, yaitu BI dalam bailout century ini.
Sedangkan Ekonom Universitas Indonesia, M Chatib Basri sendiri tidak bisa mengatakan bahwa bailout ini menyelamatkan perekonomian Indonesia. “Saya tidak bisa menjawab kalau ditanya apakah bailout menyelematkan ekonomi kita. Hanya saja buktinya setelah Pemerintah melakukan bailout, ekonomi kita membaik sampai sekarang,”kata Chatib. Ia juga mengakui kalau BPK adalah lembaga auditor tertinggi negara.
Surat Susno Dibantah Menkeu
Sementara itu Menkeu Sri Mulyani melalui kepala biro bantuan hukum Depkeu membantah menerima surat dari mantan Kabareskrim Sunso Duandji seperti dikatakan dalam rapat pansus, Rabu (20/1). Surat dimaksud adalah dari Hesham Al Waraq dan Ravat Ali Rizvi tanggal 3 Juni 2009 yang intinya kedua orang tersebut ingin membantu pemerintah untuk menyelesaikan skandal century.
“Surat itu tidak pernah disampaikan kepada Menkeu, hanya ditunjukkan saja dan kopinya disampaikan pada kami selaku Kepala Biro Bantuan Hukum/Ketua Tim Bersama Penanganan Permasalahan bank century,”kata Indra Surya dalam releas yang beredar di Gedung DPR/MPR RI. Bahkan Depkeu menganggap surat Hesham dan Ravat tanggal 3 Juni 2009 tersebut hanya untuk mengelabuhi pemerintah Indonesia agar asetnya di luar negeri yang diblokir oleh pemerintah bisa kembali dikuasai. (wan)
Jumat, 22/01/2010 | 00:08 WIB
Jakarta – Seperti janjinya, mantan anggota Komisi XI (bidang keuangdan dan Perbankan) DPR RI dari PAN, Dradjad Wibowo menyampaikan fakta baru seputar kasus bailout Century. Menurut dia, Bank Indonesia (BI) telah mengetahui biaya bailout akan mencapai Rp 6,7 triliun.
Dradjad yang dihadirkan sebagai ahli dalam rapat Pansus Century DPR mengatakan, saat rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) 20 November 2008 saat keputusan bailout Century diambil, Gubernur BI saat itu Boediono sudah membuat surat yang ditandatangani oleh dirinya dan diserahkan kepada Ketua KSSK Sri Mulyani.
Surat tersebut, kata Dradjad, memuat angka-angka seputar kebutuhan dana Bank Century. “Disampaikan angka-angka mengenai GWM (Giro Wajib Minimum) dan sebagainya. Disampaikan juga kewajiban Century yang dana nasabahnya di bawah Rp 2 miliar sebesar Rp 5,3 triliun. Di alinea terakhir ada juga lampiran analisis bank gagal,” tutur Dradjad dalam rapat Pansus Century di Gedung DPR, Senayan, Kamis (21/1).
Dradjad menurutkan, dalam surat tersebut terdapat lampiran yang isinya mengatakan secara jelas dana yang dibutuhkan untuk memenuhi modal minimum (CAR) Bank Century yang saat itu kurang dari 2%.
“Untuk memenuhi CAR Century agar 8% diperlukan Rp 632 miliar. Angka tersebut akan terus bertambah. Untuk keperluan likuiditas diperlukan Rp 4,79 triliun. Jadi Rp 632 miliar untuk rasio penyediaan modal minimum dan ditambah Rp 4,79 triliun jadi ada sekitar Rp 5,4 triliun. Jadi Bapak-bapak dan Ibu-ibu Pansus, surat tersebut disampaikan kepada Ibu Sri Mulyani. Saya ada dokumennya,” paparnya.
Selain itu, Dradjad juga mengaku mendapatkan dokumen mengenai Century yang ditujukan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk keperluan audit Bank Century. Di dokumen dijelaskan bahwa untuk keperluan pemenuhan modal bank Century, dibutuhkan lagi tambahan dana Rp 1,7 triliun.
“Seandainya ini dijadikan lampiran, berarti BI telah menghitung Rp 1,7 triliun ditambah Rp 5,4 triliun, jadi dibutuhkan sekitar Rp 7 triliun. Tapi pada Desember ada selisih di mana surat-surat berharga dijual, dan selisih kurs dari US treasury sehingga menjadi Rp 6,7 triliun,” katanya.
“Maka seandainya Ketua KSSK tidak mengetahui dana tersebut, maka bisa jadi dia tidak baca atau lampiran tersebut sengaja tidak dibuat dan diberikan ke Sri Mulyani,” tandasnya disambut tepuk tangan para anggota Pansus.
Sopir Misterius Terima Dana Century Rp 35 Miliar
Amiruddin Rustam, warga Makassar, Sulawesi Selatan, disebut-sebut menerima aliran dana bailout Bank Century Rp 35 miliar. Namun keberadaan pria yang juga disebutkan bekerja sebagai penjaga bengkel itu misterius. Upaya menemukan jejak Amiruddin di Makassar tidaklah mudah. Sebab informasi mengenai dia, baik alamat maupun lainnya tidak ada.
Hanya ada secuil informasi tentang Amiruddin. Pria tersebut bukanlah pejangga bengkel, melainkan pemilik salah satu bengkel otomotif terbesar di Makassar. Bengkel itu bernama Catur Putra Harmonis di Jl Bandang Raya, Makassar.
Namun saat detikcom menyambangi bengkel itu, seorang pekerja membantah informasi tersebut. Menurut Victor Bala, pekerja bengkel itu, pemilik Catur Putra Harmonis bukan Amiruddin. “Sejak saya bekerja pada tahun 1992, pemilik bengkel ini adalah Pak Jhonny. Bukan Amiruddin yang disebut-sebut banyak orang,” ujar Victor, Kamis (21/1).
Upaya mencari Amiruddin pun berlanjut. Kali ini melalui seseorang bernama Heriyanto yang disebutkan sebagai pengacara Amiruddin. Namun saat dihubungi melalui telepon, Heriyanto menolak berkomentar banyak. Dia hanya mengatakan Amiruddin masih berada di Makassar. “Saat ini kami belum mau berkomentar soal kasus ini, nanti saja,” ujar Haryanto sambil menutup teleponnya.
Nama Amiruddin ini disebut sebagai penerima dana bailout Bank Century oleh bekas Kabareskrim Mabes Polri Komjen Pol Susno Duadji. Hal itu disampaikan Susno saat dimintai keterangan oleh Pansus Century DPR. Menurut Susno, Amiruddin memiliki dana sekitar Rp 35 miliar. Susno mengaku mengetahui nama Amiruddin saat dia memeriksa rekening Robert Tantular. Amiruddin mengambil sejumlah uang yang sudah dibekukan oleh Bank Century. (*/dtc/eta)
Kamis, 21/01/2010 | 23:27 WIB
Keterangan Susno Perkuat Kebohongan Boediono
OLEH: ARIEF TURATNO
KETERANGAN mantan Kabareskrim Polri Komjen Susno Duadji dalam sidang Pansus Hak Angket DPR RI soal Bank Century yang digelar, Rabu (20/1) benar-benar menunjukan kebohongan mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Boediono. Sebagaimana kita ketahui, ketika mantan Wakil Presiden (Wapres) HM Jusuf Kalla (JK) dihadirkan ke persidangan Pansus sebagai saksi, JK mengatakan jika dialah yang memerintahkan Polri untuk menangkap “para perampok” Bank Century. Waktu itu atau sebelum JK memerintahkan Kapolri untuk menangkap Robert Tantular Cs, mantan Ketua Umum DPP Partai Golkar tersebut sempat meminta agar Boediono segera menangkap pemilik Bank Century itu.
Namun, ternyata Boediono berdalih dengan mengatakan tidak cukup alasan atau bukti untuk melakukan penangkapan. Mendengar alasan Boediono tersebut, JK lantas mengambil insiatif dengan memerintahkan langsung Kapolri untuk menangkat Robert Tantular. Dalam kesaksian terpisah, Boediono justeru berkata sebaliknya. Menurutnya BI-lah yang berinisiatif melaporkan Robert Tantular Cs kepada Polri dan kemudian menangkapnya. Namun, keterangan Boediono secara otomatis terbantah oleh kesaksian Susno Duadji. Dalam keterangannya kepada Pansus secara blak-blakan Susno mengatakan bahwa dia diperintah langsung oleh Kapolri untuk menangkap Robert Tantular Cs atas perintah dari JK.
Sayangnya, keterangan Susno yang cukup terang-terangan tanpa tedeng aling-aling itu kembali direcoki Si Poltak Ruhut Sitompul, anggota Pansus dari Partai Demokrat. Tidak hanya merecoki keterangan Susno, Ruhut sebelumnya juga sempat meledek JK dengan menyebut kata Daeng untuk mantan Wakil Presiden itu. Penyebutan kata Daeng ini mendapat respon yang cukup negative dari sebagian besar masyarakat Indonesia. Memang kata Daeng dapat disamakan atau disetarakan dengan penyebutan Abang, Akang, atau Mas dan lainnya. Namun, kata-kata tersebut tentu akan lebih pas bila tidak dikatakan Ruhut pada saat itu. Ruhut akan lebih terhormat bila saat itu menyebut JK dengan sebutan Bapak. Entah, kenapa Si Poltak justeru pilih beda?
Lepas dari persoalan Ruhut Sitompul yang oleh masyarakat disebut “biang kerok” Pansus. Keterangan Boediono yang berbeda dengan kesaksian JK maupun Susno Duadji menunjukan bahwa dia adalah pembohong besar. Sebab sangat tidak mungkin Susno akan mengatakan hal yang sama seperti yang disampaikan JK, jika tidak benar. Dari tiga orang saksi yang dua mengatakan “X” dan yang satu mengatakan “Y”, pasti public lebih percaya dengan pernyataan dua orang. Mungkin Boediono atau para pendukungnya akan mengatakan, cara menghitung kebenaran bukan begitu caranya. Pertanyaannya adalah apakah perlu sumpah pocong untuk membuktikan siapa berbohong dan siapa yang jujur? Jika memang itu adalah alternative terbaik untuk meluruskan persoalan, mengapa tidak digunakan sumpah pocong. Kita yakin, bilamana hal ini dilakukan, baik JK maupun Susno pasti berani melakukannya. Tinggal sekarang kepada Boediono, beranikah melakukan sumpah pocong untuk membuktikan bahwa dia tidak berbohong? (*)
Kamis, 21/01/2010 | 23:23 WIB
Reshuffle Kabinet vs Kasimpulan Pansus
OLEH: ARIEF TURATNO
KABAR terjadinya bargaining antara kesimpulan akhir Pansus Hak Angket DPR RI soal Bank Century dengan reshuffle kabinet berhembus semakin kencang. Artinya, bila kesimpulan akhir Pansus dianggap memojokan pemerintah, maka pemerintah akan berbalik menekan pimpinan partai dengan ancaman pencopotan orangnya di kabinet. Dan diduga, untuk menutup terjadinya bargaining tersebut, maka dimunculkan isu-isu seram, seperti terungkapnya kasus pembunuhan puluhan anak jalanan dengan pelaku Baikuni alias Babeh (50), dan terakhir adalah kasus pembobolan ATM sejumlah bank pemerintah dan swasta yang dilakukan komplotan mafia Rusia. Benarkah?
Mungkin apa yang kita ungkap ini sekedar isu, namun karena kabar tersebut berhembus berbarengan, yakni antara hasil akhir Pansus dan isu reshuffle. Maka tidak ada salahnya jika kita jadikan masalah ini sebagai bahasan bersama di rubric ini. Sebagaimana kita ketahui, Pansus Hak Angket DPR RI soal Bank Century akan berakhir pada awal Februari 2010. Karena itu sejumlah politisi senior, seperti Akbar Tandjung dan HM Jusuf Kalla (JK) melontarkan himbauan, supaya secepatnya Pansus membuat kesimpulan. Dan tanpa himbauan dari para tokoh senior tersebut, memang sudah menjadi kewajiban Pansus agar secepatnya merumuskan kesimpulan akhir. Karena alokasi waktu yang diberikan pun mendekati akhir.
Pertanyaannya adalah sekali lagi kesimpulan macam apa yang mungkin akan dibuat Pansus? Kita katakan sekali lagi, k,arena dalam rubric yang sama masalah kesimpulan Pansus sudah sempat kita ungkapkan. Namun, nampaknya masalah ini masih perlu dipertegas dan dipertajam diselaraskan dengan perkembangan politik terakhir. Seperti diketahui, dalam prediksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang dilansir salah satu Koran daerah, menyebutkan bahwa kemungkinan besar Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani dan mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) yang sekarang manjadi Wakil Presiden RI, Boediono bakal lepas alias lolos dari masalah yang dibidik Pansus. Memang, pernyataan PPP belum mewakili partai lainnya. Namun begitu, kita yakin karena sebagian besar partai koalisi berada di Pansus, termasuk PPP, maka boleh jadi itulah antara lain kesimpulan Pansus. Mengapa?
Juga sebagaimana kita bahas sebelumnya bahwa semakin dekat kesimpulan Pansus, semakin kuat pula isu reshuffle kabinet. Ini mengindikasikan kemungkinan adanya deal di tingkat lobi adalah sangat kuat. Karena Pansus sendiri terlihat tidak ada upaya untuk membawa kasus Bank Century ke ranah hukum. Pansus lebih menyukai masalah ini tetap berada di ranah politik. Sehingga kesimpulan yang akan dibuat pun tidak akan jauh dari wilayah itu. Dan sudah sering kita ungkap pula, bahwa kemungkinannya sangat kecil Presiden SBY akan mencopot Sri Mulyani atau melengserkan Boediono. Disamping Sri Mulyani dan Boediono dianggap cukup berjasa dalam menutup rapat pintu masuk kasus Bank Century. SBY pun pasti melihat tidak ada untungnya melengserkan Sri Mulyani atau pun Boediono. Ini artinya, selagi isu reshuffle masih dapat digunakan untuk menakut-nakuti para pimpinan Partai Politik. Mengapa harus mengorbankan Sri Mulyani atau Boediono?
Sri Mulyani baru akan dilengserkan bilamana Pansus tetap ngeyel, dan rakyat mendesak ke arah itu. Dan yang lebih penting lagi adalah bilamana para pimpinan partai sudah tidak takut terhadap kemungkinan kadernya diberhentikan dari deretan kabinet pimpinan SBY. Sebaliknya, jika para pimpinan partai masih memiliki rasa takut, karena asumsi masyarakat selama ini menganggap bahwa para menteri kabinet adalah pundit-pundi emas bagi partai politik bersangkutan. Maka selama itu pula Sri Mulyani masih tetap aman. Bagaimana dengan berbagai macam isu yang belakangan muncul, seperti kasus mutilasi yang pelakunya adalah pria berkelainan seks (Baikuni), serta kasus pembobolan ATM terhadap enam bank pemerintah dan swasta? Apakah kasus tersebut punya korelasi dengan isu politik yang berkembang sekarang?
Boleh jadi memang memiliki korelasi. Mengapa? Karena semua kejadian ini muncul secara hampir berbarengan, dan sebagaimana juga sering kita ungkap. Persoalan mendasar yang menyelubungi bangsa ini sehingga sulit terlepas dari kesulitan adalah karena kita tidak pernah menyelesaikan persoalan secara tuntas dan benar. Yang kita lakukan adalah mengubur persoalan yang satu dengan persoalan baru. Akibatnya, lama kelamaan menjadi gunung persoalan, yang siap menimbun apa saja yang dibawahnya. Inilah potret diri bangsa yang tidak pernah mau berubah. Padahal firman Tuhan mengatakan, tidak ada suatu bangsa (kaum) akan berubah, bilamana bangsa (kaum) itu sendiri tidak mau mengubahnya. Jadi kapan kita mau mengubah dan berubah dengan slogan perubahan???? (*)
Skandal Bank Century versi ECONIT’s
lokasi: Home / Berita / Analisa /
[sumber: Jakartapress.com]Kamis, 21/01/2010 | 18:46 WIB
Skandal Bank Century
(ECONIT’s Economic Outlook 2009)
Pemerintah dan Bank Indonesia menggunakan alasan bahwa bail out Bank Century harus dilakukan karena memiliki resiko sistemik. Alasan tersebut sekedar alibi untuk memuluskan “perampokan” terhadap Bank Century. Berikut adalah sejumlah fakta yang menunjukan bahwa alasan tersebut sekedar alasan yang di cari-cari:
1) Kesulitan likuiditas perbankan Indonesia pada tahun 2008 bukan disebabkan oleh dampak krisis ekonomi global tetapi akibat kebijakan pengetatan moneter yang dilakukan Gubernur Bank Indonesia Boediono dan pengetatan fiskal oleh Menteri Keuangan (lihat Grafik: Perbandingan Suku Bunga: SBI vs Fed Funds).
2) Bank Century adalah bank yang sangat kecil sehingga penutupan bank tersebut akan berdampak minimum terhadap perbankan Indonesia. Dana pihak ketiga di Bank Century hanya 0,68% dari total dana di perbankan, kredit Bank Century hanya 0,42% dari total kredit perbankan, aset Bank Century hanya 0,72% dari aset perbankan dan pangsa kreditnya hanya 0,42% dari total kredit perbankan.
3) Bank-bank pada November 2008 memiliki CAR rata-rata diatas 12%. Hanya ada 3 bank kecil yang memiliki CAR dibawah 8%, yaitu batas minimum untuk bail out sesuai PBI No.10/26/PBI/2008 tanggal 30 Oktober 2008 yaitu Bank IFI, Bank Century dan satu bank lainnya. Tetapi yang diselamatkan hanya Bank Century. Padahal Bank Century memiliki CAR hanya 2,35% per 30 September 2008, dan CAR negatif (-3,5%) pada saat pelaksanaan bail out. Agar supaya Bank Century dapat menerima dana bail out sebesar Rp. 6,7 trilliun, Gubernur bank Indonesia merekayasa dan merubah Peraturan Bank Indonesia (PBI) pada tanggal 14 November 2008 tentang persyaratan CAR untuk bail out, dengan menurunkannya dari CAR 8% menjadi CAR asal positif. Jelas sekali bahwa Bank Century mendapatkan perlakuan khusus padahal Bank Century seharusnya ditutup.
4) Pada Undang-undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, ada pasal yang menyatakan bahwa Bank yang meminta Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP) harus menyerahkan agunan yang berkwalitas tinggi seperti SBI, SUN, dan aset kredit lancar 12 bulan terakhir. Pasal tersebut sengaja dibuat agar tidak terjadi kesalahan dan kerugian negara yang sangat besar, seperti pada krisis 1998, ketika bank-bank banyak yang menyerahkan aset bodong dan aset tidak berkualitas sebagai agunan untuk mendapatkan kredit BLBI.
Tetapi khusus untuk memuluskan bail out terhadap Bank Century, di rekayasa perubahan pada pasal 11 ayat 4 Undang-undang BI tersebut melalui Perpu No. 2 tahun 2008 tanggal 13 Oktober 2008 dengan menghapuskan kewajiban agunan yang berkualitas tinggi (SBI, SUN, Kredit lancar) dan menggantinya dengan kalimat ”Bank Indonesia dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat yang pendanaannya menjadi beban Pemerintah” tanpa mewajibkan bank yang di bail-out untuk memberikan agunan yang berkwalitas tinggi.
5) Jika ada ancaman sistemik, itu artinya dalam bahasa sederhana, para nasabah beramai-ramai mengambil uangnya di Bank (rush). Tetapi ketika Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP) diberikan kepada Bank Century sebesar Rp.689 milyar antara tanggal 14 dan 18 November 2008, ternyata tidak terjadi rush oleh nasabah biasa. Yang mengambil uang FPJP tersebut ternyata adalah Robert Tantular, dan sejumlah nasabah besar. Demikian juga ketika disetujui pemberian dana talangan berikutnya sebesar Rp. 1 triliun, pengambil dana adalah Robert Tantular dkk, bukan nasabah biasa. Kedua fakta pengambilan tersebut menunjukkan bahwa tidak ada ancaman sistemik karena tidak ada rush dari nasabah biasa, yang terjadi justru pengambilan dana oleh Robert Tantular dan nasabah-nasabah besar.
6) Menurut pengakuan mantan Gubernur BI Boediono di DPR, krisis ekonomi telah selesai setelah kwartal 1 (Januari – Maret tahun 2009) sehingga tidak ada alasan lagi untuk menyuntikkan dana tambahan kepada Bank Century. Tetapi dalam prakteknya, Bank Century tetap digelontorkan dana bail out sampai dengan 24 Juli 2009 !! Luar biasa !!!
7) Penggunaan analisa dampak sistemik terhadap Bank Century ternyata tidak memiliki basis dan kriteria kuantitatif yang memadai. Lebih banyak mengandalkan analisa psikologis yang sangat sumir, tidak terukur, ad hoc dan subjektif.
8) Sebagian besar peyelamatan Bank Century sebesar Rp.6,7 triliun dilakukan dengan pembayaran tunai, cara yang tidak lazim dalam penyelamatan Bank. Penyelamatan secara tunai tersebut memungkinkan terjadinya pencucian uang (Money Laundering) dan penyalahgunaan dana tunai tersebut. Adalah aneh dan patut dipertanyakan mengapa Bank Indonesia melakukan penyelamatan bank dengan pembayaran tunai?
9) Dalam kesaksiannya di DPR tanggal 12 Januari 2010, Robert Tantular mengakui menerima kelebihan pembayaran dari LPS senilai Rp. 1 triliun. Di pengadilan Robert Tantular, telah diputuskan dihukum 5 tahun, Robert Tantular mengakui bahwa iya hanya mengajukan permintaan dana bail out sebesar Rp. 2,7 triliun, tetapi kaget ketika mengetahui bahwa total dana yang dikucurkan mencapai Rp. 6,7 triliun. Luar biasa bahwa ada bank yang di beri dana bail out jauh lebih besar dari kebutuhannya.
10) Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) hanya terdiri dari dua orang yang berhak mengambil keputusan yaitu Menteri Keuangan yang bertindak sebagai Ketua KSSK dan Gubernur Bank Indonesia, Boediono sebagai anggota. Sekretaris adalah Raden Pardede. Adalah aneh sebuah komite hanya terdiri dari dua orang. Biasanya komite terdiri dari banyak orang. KSSK yang hanya terdiri dua orang tidak pantas disebut ”KOMITE” dan bertentangan dengan prinsip ”Good Governance”. Misalnya Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) terdiri dari hampir semua Menteri Ekonomi dan sejumlah Dirjen. Patut dipertanyakan mengapa KSSK hanya terdiri dari dua orang. Dari segi lain itu artinya, apa yang disebut tanggung jawab kolektif sebetulnya hanyalah tanggung jawab Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Gubernur Bank Indonesia Boediono.
Ada pendapat bahwa “Amerika saja melakukan penyelamatan (bail out) terhadap lembaga keuangan dan Bank, apalagi Indonesia. Wajar jika Bank Century di bail out. Pendapat tersebut sangat menyesatkan karena kondisi objektif, transparansi dan praktek bail out di Indonesia sangat berbeda dengan praktek di Amerika maupun di Eropa. Pertama, nyaris tidak ada kongkalingkong antara regulator (Federal Reserve dan Treasury) dengan bank yang di selamatkan di Amerika ataupun Eropa. Sementara di Indonesia sering sekali terjadi kongkalingkong antara regulator dengan pemilik bank yang diselamatkan seperti pada kasus BLBI, Bank Bali dan Bank Century.
Kedua, pada banyak kasus, Federal Reserve dan Pemerintah Amerika bahkan mendapatkan keuntungan dari bail out lembaga keuangan perbankan. Sebagai contoh Fed mendapatkan keuntungan dari bunga pinjaman darurat yang berbunga tinggi (Libor + 3%) yang diberikan kepada Lembaga Keuangan. Federal Reserve Amerika bahkan berhasil mencatatkan keuntungan terbesar dalam sejarah Amerika yaitu US$ 45 milyar pada tahun 2009, yang berasal dari pendapatan bunga pinjaman darurat, surat hutang dan produksi sekuritas. Contoh lain, Pemerintah Amerika melakukan bail out terhadap Citibank sebesar US $ 320 milyar, dan sebagai gantinya mendapatkan saham Citibank dengan harga hanya US $ 0,97/saham. Jika saat ini, pemerintah Amerika menjual saham itu, mereka akan untung 260% (saat ini harga saham Citibank US$ 3,5/saham.
Per 12 Januari 2010). Di Indonesia, negara dirugikan ratusan triliun rupiah akibat bail out bank-bank tahun 1998 (rata-rata recovery rate hanya 28%). Kerugian besar juga terjadi pada kasus Bahana (Rp. 3,2 triliun) dan dalam kasus Bank Century (6,7 triliun). Kerugian-kerugian yang sangat besar tersebut terjadi karena adanya keteledoran pengambil keputusan, kongkalingkong antara regulator dan perbankan, dan adanya tekanan penjualan secepatnya (firesales) oleh IMF (1998) sehingga harga jualnya menjadi sangat rendah.
Pengetatan Moneter dan Kesulitan Likuiditas
ECONIT menilai bahwa pilihan Bank Indonesia untuk melakukan kebijakan pengetatan moneter dan menaikkan tingkat bunga sepanjang tahun 2008, akan berdampak negatif. Pengetatan likiuditas itu telah mengakibatkan sejumlah bank-bank kecil (23 bank) mengalami kesulitan likuiditas walaupun mereka lumayan sehat dan memiliki CAR rata-rata diatas 12%. Kesulitan likuiditas itulah yang dijadikan alasan utama adanya resiko sistemik sehingga diperlukan bail out terhadap Bank Century yang memiliki CAR hanya 2,35% per 30 September 2008, dan CAR negatif (-3,5%) pada saat pelaksanaan bail out. Agar supaya Bank Century dapat menerima dana bail out sebesar Rp. 6,7 trilliun, Gubernur bank Indonesia merekayasa dan merubah Peraturan Bank Indonesia (PBI) pada tanggal 14 November 2008 tentang persyaratan CAR untuk bail out, dengan menurunkannya dari CAR 8% menjadi CAR asal positif. Terlihat pada Grafik 4, kesulitan likuiditas bank-bank kecil merupakan akibat salah-kebijakan yang dilakukan oleh Bank Indonesia yang menaikkan suku, bukan karena dampak dari krisis ekonomi global.
Sangat menarik saat bank-bank sentral di Amerika, Eropa, Jepang dan Asia berlomba-lomba memperlonggar likuiditas dan menurunkan tingkat bunga, langkah yang sangat bertentangan justru dilakukan oleh Bank Indonesia dengan menaikkan suku bunga. Ternyata otoritas moneter Indonesia tidak belajar dari pengalaman krisis ekonomi tahun 1997/1998. Hanya karena mendengarkan nasehat IMF, otoritas moneter memaksakan kebijakan pengetatan moneter dan fiskal pada tahun 1997/1998, sehingga bank-bank mengalami kesulitan likuiditas dan akhirnya banyak yang ambruk. Pada awal krisis, atas nasehat IMF pula, salah-kebijakan tersebut kembali diulangi pada krisis ekonomi tahun 2008. Bank Indonesia melakukan pengetatan moneter dan Departemen Keuangan melakukan pengetatan fiskal tanpa sengaja (akibat dari perlambatan pengeluaran), yang mengakibatkan bank-bank mengalami kesulitan likuiditas. Jelas bahwa sebagian besar kesulitan likuiditas pada tahun 2008 adalah akibat pilihan kebijakan bukan akibat krisis ekonomi global.
Setelah banyak kritik terbuka di media masa, barulah Bank Indonesia mengoreksi kebijakan moneter ketat tersebut dengan mulai menurunkan BI rate pada Desember 2008, sehingga pelan-pelan kesulitan likuiditas disektor perbankan Indonesia mulai berkurang.
Hot Money Pendorong Pertumbuhan 2009
Pertumbuhan ekonomi 2009 akan mencapai 4,4%, sedikit lebih tinggi dari perkiraan 3,5%. Pertumbuhan ekonomi 2009 tahun tersebut masih cukup tinggi karena dampak dari krisis ekonomi global terhadap Indonesia lebih rendah. Dibandingkan dengan negara-negara lain rasio ekpor/GDP hanya 30%, sangat rendah dibandingkan dengan Singapore (234%), Malaysia (104%), Thailand (76%). Rasio ekspor/GDP yang sangat rendah itulah yang mengakibatkan dampak krisis global terhadap Indonesia relatif kecil. Tetapi sebaiknya, jika ekonomi dunia pulih, Indonesia hanya tumbuh sekitar 5-6%, karena tidak akan dapat menarik manfaat sebesar-besarnya dari pemulihan ekonomi dunia karena ratio ekspor terhadap GDP yang masih sangat rendah tersebut.
Selain itu, daya tarik Indonesia untuk menarik dana spekulatif adalah tingginya suku bunga atau yields obligasi yang ditawarkan Indonesia. Selain menerapkan kebijakan yang liberal, pemerintah juga menawarkan yield obligasi internasional yang jauh lebih tinggi dibanding negara-negara tetangga. Inilah faktor-faktor yang mendorong meningkatnya aliran dana jangka pendek baik di SUN, obligasi maupun SBI. Tingkat bunga dan yield obligasi yang tinggi tersebut merupakan insentif (subsidi) yang sudah tentu sangat menarik minat investor dana spekulatif, tetapi merugikan ekonomi Indonesia. Peningkatan aliran dana spekulatif (hot money) tersebut, selain berdampak positif terhadap nilai tukar rupiah dan indeks bursa, juga sekaligus meningkatkan resiko finansial ekonomi Indonesia karena setiap saat dapat terjadi arus balik modal. Sangat aneh bila SBI yang semestinya hanya merupakan instrumen moneter akhirnya menjadi salah satu alternatif investasi yang sangat diminati oleh investor jangka pendek, baik dari dalam maupun luar negeri. Padahal, menurut Undang-undang Tentang Bank Indonesia, SBI adalah alat pengendali moneter bukan instrument alternatif investasi. (*)
Rabu, 20/01/2010 | 20:43 WIB
Jakarta – Panitia Khusus (Pansus) Angket Bank Century DPR RI tidak perlu ada apabila Menteri Keuangan Sri Mulyani merespons surat dari Rafat Ali Rivzi dan Hesyam al Warraq. Dua pemegang saham Bank Century itu bermaksud menyelesaikan dan menanggung seluruh kerugian Bank Century, 3 Juni 2009. Namun, niat baik tersebut tidak direspons dengan baik oleh Sri Mulyani.
Hal ini diungkapkan anggota Pansus dari Fraksi Golkar Bambang Soesatyo di rapat Pansus Century DPR di Senayan, Rabu (20/1), yang memintai keterangan mantan Kabareskrim Polri Komjen Pol Susno Duadji. Menurut Susno, surat Rafat dan Hesyam itu ditujukan kepadanya. Karena tidak berkepentingan, Susno menyerahkan surat itu ke Sri Mulyani.
Surat itu diserahkan ke Sri Mulyani dalam sebuah rapat di Departemen Keuangan. Rapat yang dipimpin Menteri Keuangan itu dihadiri Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Gubenur BI saat itu Boediono, Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri dan Jaksa Agung Hendarman Supanji. Marsilam Simandjuntak pun terlihat hadir. Dalam kesempatan lain, Susno kembali menyerahkan surat itu ke Sri Mulyani.
Menurut Bambang Soesatyo, apabila Menteri Keuangan segera merespons surat tiga lembar itu, Pansus tidak diperlukan. Ironisnya, kata Bambang, tak lama setelah surat Rafat dan Hesyam itu Lembaga Penjamin Simpanan kembali mengucurkan penyertaan modal sementara (PMS) sebesar Rp 630 miliar. “Ini ironis, Rafat Ali dan Hesyam protes karena enam bulan suratnya tidak direspons,” kata Bambang.
Sedangkan pada sidang pemeriksaan saksi Susno, anggota Pansus Hak Angket Kasus Bank Century dari Fraksi Partai Golkar, Aziz Syamsuddin mempertanyakan mengapa Sri Mulyani tidak merespons, Susno mengaku tidak mengetahuinya. “Barangkali perlu dipelajari dulu,” kata Susno.
Susno menegaskan, Hesham dan Rafat Ali mau menyelesaikan kasus Century karena keduanya tidak berkutik setelah kartu truf sudah ditangan polisi. “Keduanya sudah di-red notice, sehingga tidak bisa keluar dari Singapura. Duitnya juga sudah tidak bisa dicairkan,” kata Susni. Duit keduanya di Swiss sebesar 220 juta dolar sudah dibekukan permanen. (wan)
Kamis, 21/01/2010 | 17:32 WIB
Jakarta – Gerakan Masyarakat Untuk Pemerintahan Bersih (Gempar) meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jangan percaya dengan rekomendasi yang akan diberikan Pansus Hak Angket DPR dalam kasus dana talangan Bank Century senilai Rp 6,7 triliun.
“Karena kami resah, proses di Pansus arahnya jadi tidak jelas,” kata Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Danang Widoyoko, anggota koalisi, usai bertemu dengan pimpinan KPK, di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (21/1).
Danang mengaku sangat menyayangkan sikap KPK yang sedikit lambat dalam menangani kasus ini, terlebih lanjut dia, ketika kerja pansus akan berakhir, KPK belum menunjukkan hasil apa-apa. “Harusnya pusat pemberitaan di KPK bukan di Senayan,” ungkap aktivis ICW.
Selain itu, menurutnya, proses yang saat ini tengah berjalan di DPR tidak menunjukan apa-apa terlebih hanya permainan politik semata. “Proses pansus lebih mengarahkan Century ke penyelesaikan politik dibanding hukum,” tegas dia.
Ditambahkannya, ia semakin prihatin ketika terdapat ahli hukum yang mengatakan jika dana Lembaga Penjamin Simpanan bukan merupakan uang negara. “Itu mengkhawatirkan, itu akan selamatkan banyak koruptor. Semua pejabat akan memiliki kekebalan,” bebernya.
Senada pula, aktivis Jeirry Sumampouw mengingatkan KPK agar tidak terpengaruh dengan hasil rekomendasi yang dikeluarkan Pansus. “Kita berharap agar KPK tidak terpengaruh dengan rekomendasinya,” kata dia.
Dalam kesempatan yang sama, anggota perkumpulan ICW, Yanuar Rizky mengatakan, penting untuk KPK mengirimkan sinyal ke publik bahwa semua orang diperlakukan sama di muka hukum. “Sekali kita benarkan yang terjadi di pansus sebagai sebuah konvensi itu bisa bahaya,” ujarnya.
Sementara itu, aktivis Formappi, Sebastian Salang menuding kinerja KPK seperti kemasukan angin dalam mengusut kasus ini. “KPK tidak tunjukkan sikap progresif jadi ada pertanyaan apa KPK gregetnya turun, atau KPK masuk angin?” ucapnya.
Untuk itu kalangan LSM ini meminta semua pihak terutama KPK agar menjadikan landasan hukum sebagai patokan untuk mengusut kasus ini. “Kita berharap agar KPK dan semua pihak menjadikan proses hukum dan fakta-fakta hukum untuk menilai dan mengambil tindakan terkait kasus ini,” tandas Sebastian seperti dilansir situs primaironline. (*/ira)
Rapat Pansus Hak Angket Bank Century dengan agenda mendengarkan keterangan ahli berlangsung hingga tengah malam. Terlihat kelelahan, kedua belah pihak mulai keluar dari konteks dan justru berdebat soal ideologi.
Anggota Pansus berdebat dengan ekonom Faisal Basri yang memberi penjelasan sebagai ahli dalam rapat pansus Century di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (21/1/2010).
“Negara kita ini tidak punya ideologi negara. Tidak ada ideologi yang jelas dirumuskan,” kata Faisal Basri mengungkapkan kekecewaannya terhadap berbagai masalah yang mendera tanah air akhir-akhir ini.
Mendengar apa yang dikatakan Faisal, anggota pansus pun “melek”. Rupanya mereka tidak terima Indonesia dibilang tidak punya ideologi.
“Itu tolong dijelaskan apa maksudnya pimpinan. Bagaimana mungkin Indonesia dibilang tidak punya ideologi,” ujar anggota pansus dari FPG Agung Gunanjar Sudarsa, interupsi.
Mendengar pandangannya dibantah, Faisal pun angkat bicara.
“Jangan diinterpretasikan saya tidak sependapat dengan pancasila. Pancasila adalah nilai-nilai luhur yang sangat saya hormati ketua,” terang Faisal.
Melihat perdebatan itu pimpinan rapat, Wakil Ketua Pansus dari FPKS Mahfud Siddiq pun menengahi. “Sudah, ya, karena di luar konteks kita tutup,” kata Mahfud sambil tersenyum.
Rupanya Agun belum puas. “Ini masalah fundamental pimpinan. Bagaimana mungkin negara kita yang jelas ada Pancasila dan nilai-nilainya tegas sebagai ideologi dianggap tidak ada ideologi. Tapi nanti mungkin kita perdebatkan di forum lain di luar ini,” papar Agun.
“Iya, tapi yang undang Pak Agun, ya, tuan rumahnya,” saut Mahfud masih sambil tersenyum.
Rizal Ramli : Ada Cara Lain Selain “Bailout”
Liputan6.com, Jakarta: Sebenarnya masih ada cara-cara lain menyelesaikan kasus Bank Century selain pemberian dana talangan atau bailout. “Masih ada alternatif lain yang bisa diambil selain pemberian dana talangan. Hanya sayang tak dibahas secara sungguh-sungguh,” kata mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Rizal Ramli dalam pemeriksaan Panitia Khusus Hak Angket Century DPR di Gedung DPR/MPR Jakarta, Kamis (21/1) malam, seperti dikutip ANTARA.
Rizal menjelaskan, pada saat itu ada usulan dari Siti Fajriah, anggota KSSK, yang melontarkan kemungkinan Bank Century ditutup. Ditambahkan pula, ada usul dari Direktur Utama Bank Mandiri Agus Martowardoyo yang menyatakan, kemungkinan mengambilalih Bank Century oleh Bank Mandiri. “Namun, sayangnya alternatif lain ini tidak dibahas sungguh-sungguh, tetapi langsung pilihannya kemungkinan `bailout`,” jelas Rizal.
Keterangan disampaikan Rizal dalam pemeriksaan beragendakan meminta keterangan saksi ahli. Turut dimintai keterangan dalam pemeriksaan yakni Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional Drajad Wibowo, ahli ekonomi Fauzi Ichsan, Rizal Ramli, dan pengamat ekonomi Faisal Basri [baca: Pansus Undang Sembilan Saksi Ahli].
Jakarta (ANTARA) – Mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli mengatakan masih ada cara-cara lain untuk menyelesaikan kasus Bank Century selain pemberian dana talangan (bailout).
“Masih ada alternatif lain yang bisa diambil selain pemberian dana talangan. Hanya sayang tak dibahas secara sungguh-sungguh,” kata Rizal Ramli, saat memberikan keterangan di Pansus Angket kasus Bank Century di gedung DPR-RI Senayan Jakarta, Kamis.
Pansus Angket malam itu meminta keterangan para ahli yakni Faisal Basri, Fauzi Iksan, Rizal Ramli dan Drajat Wibowo.
Rizal menjelaskan pada saat itu ada usulan dari Siti Fajriah yang melontarkan kemungkinan Bank Century ditutup.
Selain itu, kata Rizal, juga ada usul dari Dirut Bank Mandiri Agus Martowardoyo yang menyatakan kemungkinan mengambil alih Bank Century oleh Bank Mandiri.
“Namun, sayangnya alternatif lain ini tidak dibahas sungguh-sungguh, tetapi langsung pilihannya kemungkinan `bailout`,” kata Rizal.
Dalam kesempatan itu Rizal menjelaskan pengalamannya saat menjabat sebagai Menko Perekonomian. Saat itu, katanya, terjadi penarikan dana nasabah besar-besaran (rush) terhadap Bank BII.
Menurut Rizal, saat itu saran dari IMF dan Bank Dunia pilihannya hanya dua, yakni bank BII ditutup dengan biaya Rp5 triliun, atau di-`bailout` dengan biaya Rp4 triliun.
Menurut Rizal, dengan saran tersebut sepertinya “kita” dihadapkan pada pilihan yang sama-sama harus mengeluarkan uang.
“Saya ambil cara lain dengan BII diambil alih oleh Bank Mandiri dan diumumkan ke masyarakat,” kata Rizal.
Namun, kata Rizal, ditegaskan kepada Dirut Bank Mandiri ICW Nelloe agar tak boleh ada dana keluar (penarikan dana) sedikit pun.
“Dan ternyata dalam waktu tiga minggu bisa diselamatkan. Itu contoh selamatkan bank tanpa keluar uang sedikit pun,” kata Rizal. Sementara mengenai sistemik atau tidak, Rizal Ramli menjelaskan sesuatu berdampak sistemik bisa dilihat jika bank mengalami `rush` yakni nasabah kecil menarik uang ramai-ramai.
Namun pada saat digelontorkan dana FPJP sebesar Rp632 miliar, jika sistemik maka nasabah biaya yang ramai-ramai melakukan penarikan dana nasabah.
“Tapi ini yang terjadi hanya Robert Tantular dan nasabah besar yang menarik uang. Jadi tak ada nasabah kecil yang ramai-ramai menarik,” kata Rizal.
Menurut Rizal dengan demikian argumen berdampak sistemik dengan fakta seperti itu menjadi buyar.
Drajad Wibowo : BI Diduga Tahu Aliran “Bailout”
Liputan6.com, Jakarta: Rapat Panitia Khusus Hak Angket Bank Century di Gedung DPR/MPR, Jakarta, berlanjut hingga Kamis (21/1) tengah malam, beragendakan meminta keterangan saksi ahli. Dalam rapat terkuak fakta baru, Bank Indonesia ditengarai mengetahui besarnya dana talangan (bailout) hingga mencapai Rp 6,7 triliun. Fakta baru itu disampaikan Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional Drajad Wibowo.
Drajad menuturkan, yang memutuskan pengucuran bailout terhadap Bank Century, Gubernur Bank Indonesia saat itu, Boediono, menyerahkan surat yang ditandatangani dirinya kepada Ketua KSSK Sri Mulyani Indrawati. Isi surat menjelaskan Rp 632 miliar dibutuhkan untuk rasio penyediaan modal minimum. Ditambah Rp 4,7 triliun untuk kebutuhan likuiditas hingga totalnya mencapai Rp 5,4 triliun. Semua terjadi dalam rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan 20 November 2008 [baca: Sri Mulyani Akui Tindakannya Sudah Tepat].
Dalam surat dilampirkan pula dokumen mengenai Bank Century yang ditujukan ke Badan Pemeriksa Keuangan untuk keperluan audit Century, yakni permintaan tambahan dana Rp 1,7 triliun untuk pemenuhan modal Bank Century. Jika jumlah ini dihitung dengan selisih kurs yang terjadi ketika itu, maka BI dan KSSK mengetahui jika dana talangan yang dibutuhkan adalah Rp 6,7 triliun. “Seandainya ketua KSSK tidak mengetahui dana tersebut, maka bisa jadi dia tidak baca atau lampiran tersebut sengaja tidak dibuat dan diberikan ke Sri Mulyani,” ucap Drajad disambut tepuk tangan para anggota Pansus.
Pansus Angket Century DPR mengundang sembilan saksi ahli untuk memberikan pendapat seputar kasus dana penyematan Bank Century. Di antara yang hadir yakni Drajad Wibowo, Rizal Ramli, Faisal Basri, dan Fauzi Ichsan [baca: Pansus Undang Sembilan Saksi Ahli].(AIS)
SUARA PEMBARUAN DAILY, 22 Januari 2010
Kesimpulan Sementara PanSus Angket
Century Tak Layak di BailOut
[JAKARTA] Bank Century dianggap tak layak diselamatkan dengan mengeluarkan dana talangan (bailout) hingga Rp 6,7 triliun. Apalagi, banyak kejanggalan yang mewarnai proses pengambilan keputusan bailout oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) pada 21 November 2008.
“Untuk sementara, kami menyimpulkan bahwa pelaksanaan dan keputusan bailout (terhadap Bank Century) sebagai langkah berlebihan,” ujar anggota Pansus Hak Angket Kasus Bank Century dari Fraksi Partai Golkar (FPG), Bambang Soesatyo di Jakarta, Jumat (22/1).
Hal itu dinyatakan, setelah mendalami keterangan tujuh ahli kepada Pansus sepanjang Kamis (21/1). Namun, Bambang mengakui, kesimpulan tersebut belum menjadi keputusan. Sebab, konstelasi politik antarfraksi di Pansus masih terbelah dua, ada yang pro dan kontra terhadap keputusan bailout.
.Dia menjelaskan, kesimpulan sementara fraksinya sejalan dengan hasil audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yakni menyangkut dugaan rekayasa aturan Bank Indonesia (BI), dugaan pelanggaran hukum, dugaan penyalahgunaan wewenang atau jabatan, serta dugaan adanya potensi kerugian negara.
Senada dengan itu, anggota Pansus Agun Gunandjar Sudarsa optimistis, audit BPK tentang Century akan menjadi keniscayaan yang harus ditindaklanjuti secara hukum maupun secara politik. “Sejalan dengan itu, Pansus tak boleh lagi ragu menyimpulkan bahwa kebijakan penyelamatan Bank Century adalah patut diduga melanggar UU,” tegasnya.
Dari pandangan para ahli, tuturnya, semakin memperkuat dugaan adanya penyalahgunaan wewenang dan kebijakan dalam keputusan penyelamatan Bank Century. “Para ahli sepakat hasil audit investigasi BPK sulit terbantahkan,” katanya.
Untuk itu, para pihak yang terkait, harus dimintai pertanggungjawaban secara hukum maupun secara politik. “Secara politik, Pansus tentu akan merekomendasikan agar DPR meminta pertanggungjawaban pemerintah, dan pemerintah wajib memberi respons setelah Pansus menyelesaikan tugasnya,” katanya.
Hal yang sama disampaikan anggota Pansus dari FPDI-P, Hendrawan Supratikno, yang yakin bahwa audit BPK tak terbantahkan. “Itu akan menjadi dasar kami merumuskan kesimpulan,” katanya.
Tak Harus Di-“Bailout”
Sebelumnya, ekonom Rizal Ramli, di hadapan Pansus Century menuturkan, ada alternatif lain untuk menyelamatkan Century, selain mengucurkan dana bailout. Jika pemerintah tidak menghendaki penutupan bank di tengah situasi krisis, pilihan agar Bank Century diambil alih salah satu bank BUMN, misalnya Bank Mandiri, sebenarnya bisa diambil pemerintah.
Dia merujuk pengalaman pada akhir tahun 2000, saat pemerintah menangani Bank Internasional Indonesia (BII) yang didera penarikan dana besar-besaran (rush). Saat itu, Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional mengusulkan penutupan atau memberi dana talangan. Namun, pemerintah menunjuk Bank Mandiri untuk mengambil alih BII.
“Dalam waktu enam minggu, uang itu balik. Kalau saya mengikuti saran IMF atau Bank Dunia, saya mungkin tidak di sini, tetapi di penjara,” ujar Rizal, Kamis malam. Saat kasus BII itu, Rizal menjabat Menko Perekonomian di era Presiden KH Abdurrahman Wahid.
Sebenarnya, sambung Rizal, usul mengambil alih Bank Century dilontarkan oleh Dirut Bank Mandiri, Agus Martowardojo, yang turut hadir saat rapat KSSK 20 November 2008 malam. Dari notulen rapat, ada dua usul. Pertama, usul dari Direktur Pengawasan BI saat itu, Siti Fadjrijah, agar Bank Century ditutup. Kedua, usul Agus Martowardojo mengenai pengambilalihan Century.
“Sayang tidak ada pembahasan yang serius ketika itu. Saya yakin, kalau diambil alih oleh Bank Mandiri, tidak perlu keluar uang pemerintah,” jelas Rizal.
Terkait kriteria dampak sistemik, dia berpendapat, indikatornya jika nasabah kecil sudah beramai-ramai menarik uangnya di bank. “Kenyataannya, tidak ada nasabah kecil yang panik. Hanya Robert Tantular (mantan pemilik Century) dan kawan-kawannyalah yang mengambil uang tersebut,” ungkapnya.
Data “Bailout”
Sementara itu, ekonom Dradjad H Wibowo yang juga dipanggil Pansus mengungkapkan fakta baru, bahwa sejak awal BI telah menyampaikan kebutuhan dana bailout Century bukan Rp 632 miliar, tetapi mencapai minimal Rp 5,4 triliun.
Saat rapat KSSK pada 20 November 2008, Gubernur BI Boediono memberikan surat lampiran kepada Ketua KSSK yang juga Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, bahwa dana yang menjadi beban Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) berjumlah Rp 5,4 triliun.
Perinciannya, untuk memenuhi rasio kecukupan modal (CAR) Century mencapai 8 persen diperlukan suntikan modal Rp 632 miliar. Kemudian Bank Century juga memerlukan likuiditas hingga Rp 4,79 triliun, antara lain untuk menjamin dana nasabah. Sehingga total dana yang dibutuhkan Rp 5,4 triliun.
Dradjad juga mengungkapkan adanya keganjilan dana talangan yang dikucurkan. Audit BPK mengungkapkan kerugian Bank Century mencapai Rp 5,8 triliun. Tetapi, dana bailout mencapai Rp 6,7 triliun. “Artinya ada selisih Rp 900 miliar. Nah, Pansus harus menyelidiki ke mana dana ini,” katanya.
Menyikapi fakta baru tersebut, mayoritas anggota Pansus akan meminta agar Sri Mulyani dan Boediono kembali diperiksa. “Kita akan konfirmasi apakah betul Menkeu tidak tahu mengenai biaya bailout yang ternyata lebih dari Rp 632 miliar seperti dalam surat Gubernur BI pada 20 November 2008, ataukah hanya ingin melempar tanggung jawab kepada LPS,” kata Anggota Pansus dari FPDI-P Eva Kusuma Sundari.
Sedangkan anggota Pansus dari FPKS Mukhamad Misbakhun mengatakan, Boediono perlu dimintai keterangan mengenai surat LPS untuk permintaan uji tuntas due diligence sebelum pengucuran dana bailout tahap II.
“BI baru menjawab surat LPS pada 24 Desember 2008, tetapi LPS telah mengucurkan bailout tahap II sejak 9 Desember. Apakah BI tahu tentang hal itu dan bagaimana pengawasannya. Seharusnya ini juga diawasi Ketua KSSK sebagai pembuat keputusan bailout,” ujar Misbakhun.
Tolak Kriminalisasi
Menyikapi proses di Pansus Century, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan, penolakannya terhadap upaya kriminalisasi kebijakan pemerintah. Sebab, kebijakan melekat pada pejabat negara dalam menjalankan tugasnya.
“Dibikin terang saja, gamblang saja, sehingga persoalan menjadi jernih dan rasional, serta kontekstual,” tegasnya, seusai bertemu ketua tujuh lembaga negara di Istana Bogor, Kamis (21/1).
Presiden juga menegaskan, agar pengungkapan kasus Century dalam kerangka UUD dan aturan yang berlaku.
Senada dengan itu, ekonom Faisal Basri mengemukakan pandangannya, bahwa proses pengambilan keputusannya sangat transparan. “Hal ini ditandai dengan adanya rekaman audio dan visual. Namun, tentunya ada yang terganggu dengan langkah ini, sehingga muncul upaya kriminalisasi kebijakan pemerintah,” tandasnya di hadapan Pansus, Kamis malam.
Dia juga melihat bahwa keputusan bailout Century adalah yang terbaik dibanding opsi lainnya. [D-12/J-9/J-11/D-11/L-10]
SUARA PEMBARUAN DAILY, 22 Januari 2010
Ahli Pansus Century
Ahli pun Diserang Anggota Pansus Century
Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Skandal Bank Century telah memasuki tahapan mendengar pandangan para ahli untuk memperdalam hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan keterangan para saksi terkait. Selama dua hari, mulai 20 hingga 21 Januari 2010, sembilan ahli secara bergantian memberikan pandangan mengenai skandal Bank Century dari sisi ekonomi.
Tidak tanggung-tanggung, sejumlah ahli yang juga berpengalaman sebagai praktisi ekonomi, baik di lembaga pemerintahan maupun lembaga internasional, dihadirkan dalam rapat Pansus Century.
Dalam rapat dengar pendapat dengan para ahli pada Kamis (21/1), tujuh ahli dihadirkan dalam dua sesi, yakni Ichsanuddin Noorsy, Hendry Saparini ,dan Chatib Basri pada sesi pertama. Selanjutnya, Fauzi Ikhsan, Faizal Basri, Dradjad Wibowo, dan Rizal Ramli pada sesi kedua.
Dari catatan SP, sejumlah anggota Pansus dari Fraksi Partai Demokrat (PD) menyerang para ahli dengan pertanyaan yang tidak terkait dengan substansi kasus Bank Century. Mereka malah mempersoalkan latar belakang atau mengungkit pandangan para ahli yang dimuat di media massa.
Contohnya, pernyataan anggota Pansus dari Fraksi Partai Demokrat Benny K Harman kepada Ichsanuddin Noorsy. Bukannya memanfaatkan waktu yang diberikan untuk bertanya, Benny justru mempersoalkan latar belakang Ichsanuddin sebagai ekonom. “Kepada Pak Ichsanuddin, yang mengaku-aku sebagai ahli, siapa yang menyebut Anda ahli ekonomi?” tanya. Pertanyaan itu dijawab, pengakuan sebagai ahli ekonomi datang dari rektor Universitas Gadjah Mada.
Bukan Sidang
“Kita harus menghormati para ahli. Kita hendak meminta keterangan dari mereka, bukan menyidang mereka. Kalau tidak memerlukan keterangan mereka, tidak apa-apa. Yang perlu saja, yang bertanya,” kata anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDI-P) itu.
Serangan kepada para ahli kembali terjadi pada rapat sesi II. Rizal Ramli yang memberi penjelasan mengenai cara lain yang dapat ditempuh pemerintah untuk menyelamatkan Bank Century, mendapat sindiran anggota Pansus dari FPD Ruhut Sitompul. “Saya menghormati Menkeu Sri Mulyani dengan keputusannya, karena dia adalah pelaksana, bukan orang di luar yang hanya bisa berkomentar,” katanya.
Dradjad Wibowo pun tak bebas dari serangan. Mantan anggota Komisi XI DPR, yang terkenal kritis terhadap kebijakan pemerintah itu, mendapat serangan dari dua anggota FPD sekaligus, yakni Achsanul Qosasi dan Didi Irawadi Syamsudin.
Dua anggota pansus tersebut sibuk mempersoalkan pernyataan Dradjad mengenai kondisi ekonomi pada November 2008. “Para ahli sudah melalui seleksi dan disetujui Pansus. Jadi, tidak pada tempatnya kita masih mempertanyakan keahlian mereka,” ujar Eva Kusuma Sundari dari FPDI-P.
Sebenarnya apa yang ingin dicari FPD dari para ahli? Apakah pandangan para ahli itu akan menjadi bahan pertimbangan Pansus dalam membuat keputusan terkait skandal Bank Century? Kita tunggu saja! [SP/Jeany A Aipassa]
Sabtu, 23/01/2010 14:05 WIB
Amiruddin Bantah Terima Dana Bailout Century Rp 35 M
Muhammad Nur Abdurrahman – detikNews
Foto: Bengkel Amiruddin
Makassar – Pengusaha Amiruddin Rustan membantah menerima dana bailout Bank Century sebesar Rp 35 miliar seperti yang disebut-sebut eks Kabareskrim Susno Duadji di hadapan Pansus Century. Dia juga membantah mengenal mantan pemilik Bank Century, Robert Tantular.
“Klien saya tidak benar menerima dana Century yang disebut-sebut di Pansus,” kata kuasa hukum Amiruddin Rustan, Hariyanto, saat dihubungi detikcom, Sabtu (23/1/2010).
Dikatakan dia, Amiruddin merupakan deposan Bank Century sejak tahun 2003. Dia memiliki dana deposito sebesar Rp 66 miliar.
Dana deposito tersebut merupakan hasil dari bisnis Amiruddin sebagai distributor beberapa merek ban, pelumas, dan aki kendaraan. Amiruddin juga memiliki bisnis di Palu dan Kendari.
“Klien saya terganggu atas pengaitan namanya. Bapak Amiruddin sama sekali tidak mengenal atau bertemu dengan Robert Tantular. Dia hanya mengenal Kepala Cabang Bank Century Makassar,” ujar dia.
Hariyanto mengatakan, Amiruddin pernah ke Bank Century di Jakarta untuk menanyakan pemblokiran dana depositonya pada 24 Desember 2008 dan 2 Januari 2009.
Amiruddin juga telah melapor ke Polwiltabes Makassar. Dia juga pernah mendatangi Bareskrim Mabes Polri pada 15 Januari 2009. Dia menjelaskan dana deposito miliknya itu tidak terkait bailout dana Century.
Nama Amiruddin ini disebut sebagai penerima dana bailout Bank Century oleh bekas Kabareskrim Mabes Polri Komjen Pol Susno Duadji. Hal itu disampaikan Susno saat dimintai keterangan oleh Pansus Century DPR. Menurut Susno, Amiruddin yang hanya seorang penjaga bengkel memiliki dana sekitar Rp 35 miliar.
Susno mengaku mengetahui nama Amiruddin saat dia memeriksa rekening Robert Tantular. Amiruddin mengambil sejumlah uang yang sudah dibekukan oleh Bank Century.
(aan/djo)
Sabtu, 23/01/2010 | 17:41 WIB
Jakarta – Ternyata ada rekening misterius setelah bail out Bank Century. Rekening atasnama Menteri Keuangan (Menkeu) qq Mega yang terdaftar dalam data deposan Bank Century senilai Rp 20 miliar yang disebutkan pada November 2008 diambil sebesar Rp 8 miliar lebih setelah putusan pencairan dana bail out Rp 6,7 triliun. Siapa pemilik sebenarnya?
Data Deposan/DPK Inti Bank Century dari Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) menyebutkan, nama rekening tersebut sebenarnya adalah Menkeu qq PT Asuransi Jiwa Mega Life seperti dilansir situ primaironline, Sabtu (23/1).
“Pada periode ini juga tercatat adanya simpanan Menkeu qq Mega dengan nilai sejumlah Rp20 miliar termasuk adanya simpanan dua BUMN an. PT Jamsostek (Rp225 miliar) dan PT Telkom (Rp110 miliar),” tulis PPATK. Periode dimaksud adalah November 2008. Keputusan KSSK untuk bail out Century pada 20-21 November 2008.
Dalam data PPATK itu, menyebutkan jumlah simpanan atas nama Menkeu qq Mega pada November 2008 tercatat Rp 20 miliar. Namun, dalam data 50 deposan terbesar Bank Century Desember 2008 nilainya hanya Rp 11,363 miliar.
Dana PT Asuransi Jiwa Mega Life senilai Rp 11,363 miliar itu tercatat pada urutan ke-35 dari daftar 50 deposan terbesar yang didata PPATK. Keputusan KSSK untuk bail out Century diambil pada 20-21 November 2008. (*/dtc/eta)
Recent Comments