02
Nov
10

Kenegarawanan : Kepandiran, Krisis dan Kapitalisme Etis, Syekh Subakir dan Sabdo Palon

Kepandiran Politik DPR

Senin, 01 November 2010 | 07:34 WIB
Studi Banding adalah Bentuk Kepandiran Politik DPR

TEMPO/Imam Yunni

TEMPO Interaktif, Jakarta –  Budayawan Jawa Tengah, Eko Budiharjo mengatakan, keputusan anggota Dewan Pewakilan Rakyat yang memilih melakukan kunjungan ke luar negeri di tengah berbagai bencana yang terjadi di tanah air merupakan bentuk kepandiran politik anggota dewan.

“Kalau bodoh itu tidak tahu, tapi kalau pandir itu tahu, tapi tidak peduli,” kata Eko yang juga mantan Rektor Universitas Diponegoro Semarang. Mestinya, yang namanya wakil rakyat,lanjutnya, harus mewakili kepentingan dan perasaan rakyat. “Bukan malah ke luar negeri disaat rakyat dirundung bencana”.

Eko juga mempertanyakan efektifitas kunjungan dewan ke luar negeri. Alasan belajar etika ke Yunani misalnya, merupakan sesuatu yang dipaksakan. Baginya, Yunani mengalami kemajuan soal etika adalah Yunan tempo dulu, bukan Yunani sekarang. “Saat ini Yunani bukan negara yang menonjol,” ujar Eko.

Dia jug amelihat ada unsur kepentingan pribadi yang lebih besar dari anggota dewan dibalik rencana kunjungan ke luar negeri. Misalnya besarnya uang saku yang akan diterima. Mestinya, di era teknologi saat ini, belajar tentang keberhasilan suatu negara cukup bisa diketahui melalui internet. “Tidak harus datang secara fisik,” tandas eko.

Bagi Eko, secara prosedural, kunjungan ke luar negeri tidak salah, karena sudah ada ketentuan yang mengaturnya. Namun secara substansial, manfaat kunjunganke luar negeri di saat bangsa dilanda bencana, sangat dipertanyakaan. Mestinya, nurani anggota dewan terbuka dengan kondisi yang ada dan menyatakan membatalkan kunujungan ke luar negeri karena alasan bencana. Akan lebih baik anggaran untuk studi banding digunakan untuk membantu korban bencana. “Jika aksi simpatik anggota dewan bisa dilakukan, hal ini akan menjadi investasi politik pada Pemilu mendatang,” kata Eko.

SOHIRIN

DPRD Sumatera Barat

Senin, 01 November 2010 | 05:27 WIB
Saat Tsunami, DPRD Sumatera Barat di Italia

Seorang warga Dusun Beleraksok melintasi bangunan gereja yang hancur akibat Stunami Mentawai, Sumatera Barat, Foto: TEMPO/Aditia Noviansyah

TEMPO Interaktif, Padang -Di tengah bencana gempa bumi dan tsunami yang menerjang Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, sembilan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Barat justru berkunjung ke Italia. Kunjungan tersebut berlangsung dari 25 Oktober hingga 2 November 2010.


Sekretaris DPRD Sumatera Barat, Nasral Anas, mengatakan kunjungan itu bukan untuk pelesiran dan bukan atas inisiatif DPRD. Menurut dia, pihaknya hanya memenuhi undangan Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian untuk menghadiri pameran kopi di Italia.

“Saya tidak hafal juga agenda mereka, ke mana dan ngapain saja,” kata Nasral saat dihubungi tadi malam.

Rombongan DPRD Sumatera Barat yang berangkat ke Italia terdiri atas tujuh orang dari Komisi II bidang ekonomi dan keuangan, satu orang dari Komisi I bidang pemerintahan, dan satu orang wakil ketua. Mereka adalah Leonardy Harmayni, Musmaizer, Zailis Usman (ketiganya Fraksi Partai Golkar), Dodi Delvi, Eldi Sutrisno, Liswandi (ketiganya Fraksi Demokrat), Indra Dt Rajo Lelo (Fraksi PAN), Islon Chong (Fraksi PBR), dan Marthias Tanjung (Fraksi PPP).

Menurut mantan Ketua Forum Peduli Sumatera Barat Mestika Zed, kepergian para anggota Dewan ke Italia itu tak ada untungnya dan secara moral tak bisa dipertanggungjawabkan.

“Jawabannya sudah klise, karena ini sudah dianggarkan. Padahal dari dulu studi banding ini sudah banyak dibahas. Apa untungnya bagi masyarakat, tidak ada. Ini hanya manipulasi oleh anggota Dewan,” kata Mestika kemarin.

Mestika, yang pernah membongkar kasus korupsi berjemaah anggota DPRD Sumatera Barat periode 1999-2004, mengatakan masyarakat juga ikut bertanggung jawab karena telah ikut memilih anggota Dewan yang seperti itu. Dia mengatakan masyarakat harus ikut mengevaluasi anggaran DPRD.

“Harus ada mekanisme (yang memungkinkan) masyarakat tahu ke mana anggaran digunakan,” kata Mestika.

Seorang warga Sikakap, Kepulauan Mentawai, Awo Jaluhu, berharap anggota DPRD tersebut segera pulang ke Padang. “Lihatlah, banyak korban yang masih tinggal di hutan, dingin, berhujan-hujan, apalagi saat badai seperti sekarang. Lebih baik bantu kami daripada jalan-jalan,” ujarnya.

FEBRIANTI | ARIE FIRDAUS
Kompas, Sabtu 30 Oktober 2010
Krisis dan Kapitalisme Etis
Oleh : Mohammad Eri Irawan

Apakah kapitalisme akan limbung setelah ditempa krisis seperti yang terjadi belakangan ini? Sejarah membuktikan, pascakrisis, kapitalisme bukannya limbung, malah berjaya. Dalam jangka pendek, krisis memang akan mengurangi kebebasan ekonomi di sebuah negara. Namun, dalam jangka panjang, kebebasan ekonomi akan kembali seperti sedia kala. Bahkan, lebih kuat.
Lebih menarik lagi, betapapun krisis menimpa sistem ekonomi ini, semakin banyak negara yang justru kian meningkatkan tingkat kebebasan ekonominya. Sejak 1980, berdasarkan Economic Freedom of The World: 2009 Annual Report (James D Gwartney, Robert A Lawson, dkk), hampir semua negara tetap setia pada kapitalisme kendati krisis hadir berulang kali.
Dengan nada masygul, Fareed Zakaria dalam ”The Capitalist Manifesto” (Newsweek, Juni 2009) mengingatkan kita, setelah digempur krisis 2008, kapitalisme masih sehat-sehat saja. Krisis memang belum sepenuhnya berlalu, tetapi kapitalisme sudah meneguhkan diri untuk kembali, bahkan dengan lebih gila dan urakan.
Tahun 2008 adalah fase genting dalam sejarah perkembangan kapitalisme ketika krisis memuncak dimulai dari meletusnya problem kredit perumahan yang buruk di Amerika Serikat. Bak gelombang radio, krisis tak terlihat, tetapi nyata kita rasakan.
Serakah itu baik

Sejarah kapitalisme ternyata memang lekat dengan krisis. Sejarah mencatat, kapitalisme berjalan tersaruk-saruk. Tahun 1637 krisis bertajuk ”Tulip Mania” di Belanda, ”Mississippi Bubble” 1719-1720 di Perancis, ”South Sea’s Fantasy 1720 di Inggris, 1792 di AS, dan terus berulang, 1820 di Amerika Latin, 1837 di AS, 1840 di Inggris, 1893 di AS, 1907 di AS, dan 1920 di AS.
Belum usai, pada 1929 kita menyaksikan seluruh dunia cemas setelah apa yang disebut sebagai the great depression mengempaskan banyak sektor ekonomi, krisis yang kemudian membuat kita menoleh ke pemikiran Keynes. Lalu, 1986-1990 krisis menghantam Jepang, krisis Asia 1997, dan kini kita melihat 2008 yang pilu sesudah transaksi derivatif menggila.
Tapi, kapitalisme tampaknya memiliki daya tahan/hidup luar biasa karena ia bisa menginternalisasi satu moral bahwa greed is good, serakah itu baik, pada umumnya manusia di atas bumi ini. Sistem pasar yang bebas ini terus melaju walau secara sinis Bjorn Elmbrant menyebut negara-negara yang kapitalistik sebagai ”jemaah tanpa pemimpin yang berderap sempoyongan sampai akhirnya limbung tersandung kaki sendiri”.
Pada masa lalu, dunia pernah mendapat tawaran panas dari Karl Marx dan Marxisme yang berambisi mematahkan kapitalisme dengan menyodorkan sebuah logika (yang kemudian menjadi gerakan): kapitalisme yang sekarat akan melahirkan revolusi proletariat untuk lahirnya masyarakat tanpa kelas.
Namun, krisis ternyata tak pernah mencapai puncak. Berbagai krisis yang terjadi malah seakan menjadi pupuk penyubur dan pelanggeng sistem ekonomi yang diilhami Adam Smith ini. Roda kapitalisme berderak tiada henti, lebih kencang dan lebih gila dari sebelumnya. Krisis kapitalisme ternyata hanyalah jeda dari cara atau ”teknik berinvestasi’, bukan akhir dari sebuah sistem. Krisis Asia 1997-1998 hanyalah ”akhir dari perbincangan yang optimistis tentang negara berkembang”. Kolapsnya Long-Term Capital Management pada 1998 hanyalah ”akhir dari hedge fund. Dan, 2008 kini adalah krisis yang berarti ”akhir dari transaksi derivatif yang gila-gilaan”.
Selebihnya hampa, nyaris sepi, kecuali hanya segerombolan pendemo yang membawa tomat dan telur busuk serta semprotan merica pada pertemuan-pertemuan pemimpin dunia, lalu berteriak parau soal antikapitalisme dan antiglobalisasi. Tak ada lagi teriakan revolusi proletariat yang menggairahkan itu.
Butuh rem

Kegagahan kapitalisme ini memang diakui umumnya kalangan karena ia berhasil menciptakan kenikmatan individual, kesejahteraan ekonomi secara kolektif. Namun, kita juga tahu, kapitalisme menghadirkan jurang kesenjangan yang teramat lebar.

Harus diakui, kapitalisme, kendati diakui sebagai jalan terang menuju kemakmuran, belum bisa menuntaskan problem kemiskinan dan pengangguran. Ia memiliki apa yang disebut oleh Adam Smith sebagai the invisible hand, di mana pasar berlangsung bersama semacam self mechanism untuk terus memperbaiki diri. Dan, krisis pun menjadi self mechanism yang lain bagi kapitalisme untuk mengoreksi diri.
Dalam kapitalisme, kelas telah bersilih rupa menjadi sangat personal. Ikatan-ikatan solidaritas lumer. Yang ada hanya ikatan-ikatan untuk mengeruk penguasaan materi masing-masing pribadi. Betapa pun jahat ukuran hidup semacam ini, ia tetap menjadi pilihan utama dalam hidup berekonomi mayoritas bangsa di dunia. Seperti nasib buruk yang tak terelakkan.
Untuk itu, kapitalisme tampak membutuhkan sesuatu yang ”tidak kapitalistik”. Semacam off-capitalism yang dapat menjadi semacam rem atau kontrol berupa segugusan sistem etika dan nilai yang menjadi negasi atau setidaknya alternatif dari etika dan nilai kapitalistik.
Etika dan nilai yang berpihak kepada orang miskin, yang kita paham, menjadi korban (structural/sistemik) dari kapitalisme. Etika dan nilai yang mampu memberi dorongan pada kapitalisme untuk bersikap adil. Dalam arti tidak hanya berpihak kepada elite, golongan tertentu, pemilik kapital saja.
Barangkali gagasan ini klise. Tapi, apa yang dapat diharap, lebih dari itu. Karena kenyataannya, ternyata, kita tak bisa berbuat apa-apa ketika kapitalisme membuat apa-apa.
MOHAMMAD ERI IRAWAN Periset Ekonomi dan Kebijakan Publik
Mbah Petruk dan Sabdo Palon Menagih Janji 

lokasi: Home / Berita / OPINI / [sumber: Jakartapress.com]

Selasa, 02/11/2010 | 19:04 WIB

Mbah Petruk dan Sabdo Palon Menagih Janji
Oleh: Tubagus Januar Soemawinata – UNAS *)

HATTA. Ketika pertama Islam masuk  ke Tanah Jawa. Tidaklah semulus yang orang sangka. Sebab Tanah Jawa sudah ada manusia. Juga ada bangsa jin yang menganut kepercayaan kuno. Ada yang menduga mereka adalah penganut Hindu dan Budha. Yakni agama yang pada saat itu berkembang. Namun banyak yang menduga mereka adalah penganut kepercayaan Jawa kuno. Mereka ini dipimpin Sabdo Palon. Sabdo Palon dalam dunia pewayangan disebut Ki Lurah Semar atau Ki Lurah Bodronoyo.

Karena paham mereka yang berbeda. Maka ketika Islam masuk disambut dengan peperangan. Bukan perang sembarang perang. Namun perang magic. Perang ilmu-ilmu gaib. Sehingga tidak sedikit ulama Islam yang dikirim dari Mesir tewas dalam peperangan magic itu. Dalam wadah kasar mereka tewas karena tersapu gelombang pasang, semacam tsunami dan sebagainya. Perang itu berlanjut dengan banyaknya jatuh korban di kedua pihak.

Maka diutuslah Syekh Subakir, ulama asal Persia (Iran) yang dikenal ahli ilmu ghoib dan bisa melihat bangsa jin. Dengan kedatangan Syekh Subakir benteng pertahanan Sabdo Palon yang super ketat dapat ditembus. Dan banyak bangsa jin atau manusia pengikut Sabdo Palon yang binasa. Melihat keadaan yang tidak menguntungkan itu, Sabdo Palon  mengadakan gencatan senjata. Dia mengajak Syekh Subakir berunding dan menghentikan perang. Syekh Subakir menerima ajakan tersebut dengan tangan terbuka. Karena dia juga melihat jalan petundingan jauh lebih baik daripada melanjutkan pertempuran yang tidak ada gunanya.

Kemudian terjadilah kesepakatan antara Syekh Subakir dengan Sabdo Palon. Isi kesepakatan itu antara lain, Islam boleh berkembang atau disebarkan di Tanah Jawa tetapi tidak boleh dilakukan dengan pemaksaan. Islam harus menghirmati dan menghargai budaya, adat istiadat setempat. Islam tidak boleh memaksa orang yang berbeda keyakinan untuk memeluk agama baru tersebut. Dan kalau orang Islam yang meimimpin atau jadi pemimpin harus mengayomi semua orang, semua agama, dan semua kepercayaan. Menjunjung tinggi kearifan lokal. Dan sejak itu Sabdo Palon bersama pengikutnya, termasuk Mbah Petruk mukswa. Mereka hilang dari pandangan umum dan tidak mudah dilihat oleh manusia biasa. Hanya mereka yang memiliki kelebihan dan paham ilmu ghoib yang dapat melihatnya.

Sebelum menghilang Sabdo Palon sempat berpesan kepada Syekh Subakir. Bahwa suatu ketika dia (Sabdo Palon) atau pengikutnya (Mbah Petruk) akan kembali menunjukan jati dirinya, kalau pemimpin negeri ini tidak amanah. Tidak mencintai rakyat. Hanya berbuat untuk kesenangan dirinya dan kelompoknya saja. Sementara membiarkan rakyat dalam kesengsaraan dan penderitaan. Kemunculan Sabdo Palon dan para pengikutnya, Mbah Petruk untuk menagih janji. Sekaligus mengingatkan agar para pemimpin negeri segera sadar, ingat rakyat, dan ingat bangsa.

Kalau tidak. Selain akan banyak lagi bencana yang akan melanda negeri ini. Mereka, para pemimpin pada gilirannnya juga akan menerima bencana. Bahkan bencana yang akan menimpa mereka lebih dasyat, lebih mengerikan, dan menakutkan. Silakah Anda bileh percaya kepada cerita babad Tanah Jawa ini atau tidak. Terserah saja. Yang jelas bencana sudah di depan mata. Sekarang 18 gunung berapi di Indonesia dinyatakan dalam status SIAGA atau WASPADA. Ini artinya tidak main-main dan siap-siap saja bencana itu datang.

*) Penulis adalah pengamat spiritual dari Universitas Nasional (UNAS) Jakarta.

RI Diam-diam Bayar Ganti Rugi 600 Juta Gulden ke Belanda
Suara Merdeka, Kamis, 19 Juni 2003

DEN HAAG – Tanpa banyak diketahui publik, penghisapan Belanda terhadap Indonesia ternyata terus berlangsung. Secara diam-diam, Indonesia malah membayar beban ganti rugi kepada Belanda sejak negeri itu hengkang dari republik. Beban itu baru terlunasi tahun 2003 ini.
Konstruksi pihak terjajah wajib membayar ganti-rugi kepada pihak penjajah, itu terkuak setelah sertifikat dana Claimindo dan Belindo ditutup di bursa efek AEX Amsterdam per tanggal 17 Maret 2003, dalam artian kewajiban Indonesia membayar ganti-rugi telah lunas.
Rupanya melalui pendanaan Claimindo dan Belindo itulah arus uang pembayaran dari Indonesia dikelola dan disalurkan kepada para pihak di Belanda dalam bentuk sertifikat danareksa atau efek.
Seorang diplomat senior mengungkapkan kepada detikcom bahwa beban ganti-rugi yang harus ditanggung Indonesia itu tepatnya dikaitkan dengan keputusan Presiden Soekarno menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di seluruh wilayah Indonesia pada 1956. Ketika itu semua jenis perusahaan Belanda, dari manufaktur sampai perkebunan tanpa kecuali, diambil alih menjadi milik Indonesia. Sebuah langkah politik Soekarno yang berani dan dalam sekejap memberi modal awal bagi republik yang baru lahir.
Namun masa manis mengalirnya pundi-pundi uang ke kas republik yang dihasilkan perusahaan-perusahaan Belanda yang dinasionalisasi itu hanya bertahan 13 tahun. Setelah Soekarno dijatuhkan dan rezim Orde Baru Soeharto naik, keadaan jadi berbalik. Pemerintah Soeharto tidak berdaya menghadapi Belanda dan bertekuk lutut memenuhi klaim negeri bekas penjajah itu agar membayar ganti-rugi.
Besarnya klaim ganti rugi yang harus dibayar Indonesia mencapai 600 juta gulden, suatu jumlah yang luar biasa besar untuk kurs masa itu. Perjanjian sanggup membayar ganti rugi atas perusahaan-perusahaan Belanda yang dinasionalisasi itu diteken pada 1969. Pihak pemerintah Indonesia diwakili Wakil Presiden Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Karena jumlah ganti-rugi untuk ukuran saat itu sangat besar, Indonesia hanya menyanggupi membayar dalam jangka waktu 35 tahun.
Sejarawan pun tak tahu adanya perjanjian pelunasan ganti rugi tersebut. Maka itu pemerintah diminta memberikan penjelasan.
Tak Tahu
Sejarawan dan peneliti Lembaga Ilmu Politik Indonesia (LIPI) Asvi Warman mengaku tak tahu adanya perjanjian yang mewajibkan Indonesia menyetor 600 juta gulden ke Belanda.
Setahu Asvi, Indonesia memang pernah terkena kasus kewajiban membayar Belanda sebesar 4,5 miliar gulden terkait Konferensi Meja Bundar (KMB). Namun untuk kasus itu Indonesia berhasil membatalkan kewajiban membayar. “Saya tak tahu kalau tahun 1969 kasus itu terulang. Saya sungguh tak mengetahui kalau ada data perjajian lain. Ini sangat menarik,” kata Asvi.
Asvi juga merasa aneh jika Indonesia yang pernah dijajah Belanda justru bersedia membayar ganti rugi tersebut. “Meski Belanda belum mengakui kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Tapi tahun 1949 dilakukan penyerahan kedaulatan Belanda artinya Indonesia sudah diakui kemerdekaannya oleh Belanda,” kata Asvi. Untuk kejelasan kasus setoran itu, menurut Asvi pemerintah terutama menteri terkait harus memberikan klarifikasi kepada masyarakat.
Rp 1,4 Miliar Gulden
Selain kewajiban 600 juta gulden, ternyata pada 1949-an, Belanda telah sukses memeras Indonesia dengan kewajiban setor mencapai 4,5 miliar gulden! Kisah ini bermula dari Konferensi Meja Bundar (KMB), yang memutuskan sebagai imbalan penyerahan kedaulatan kepada Indonesia, Belanda mendapat bayaran sejumlah 4,5 miliar gulden dari pihak Indonesia.
Harian Kompas pada Agustus 2000 lalu pernah menulis bahwa lewat tulisannya di De Groene Amsterdammer Januari 2000 berjudul De Indonesische Injectie (Sumbangan Indonesia), sejarawan Lambert Giebels mengungkapkan, sebelumnya Belanda menuntut jumlah yang lebih banyak, yakni 6,5 miliar gulden.
Dari mana angka itu diperoleh? Katanya, itulah total utang Hindia Belanda kepada Pemerintah Belanda yang berkedudukan di Den Haag. Itu berarti, uang yang dikeluarkan Belanda untuk menindas Indonesia, khususnya dua kali agresi militer, justru harus dibayar oleh pemerintah baru Republik Indonesia.
Namun, perjanjian KMB itu kini telah dibatalkan Indonesia secara sepihak karena menilai persetujuan itu berat sebelah. Meski demikian, Indonesia sudah terlanjur setor 4 miliar Gulden selama 1950-1956!
Duta Besar RI untuk Kerajaan Belanda Abdul Irsan pada 24 Agustus 2001 pada Radio Nederland menyentil hal itu. Dia mengungkapkan, barangkali kesepakatan itu diteken karena para perunding itu ingin cepat-cepat supaya Indonesia diakui. Tapi, mengapa hal ini tidak tertoreh di buku sejarah?

Sumber

Meratapi yang sudh terlanjut terjadi tidak akan mengubah keadaan apapun. Mari kita bangun negara ini dengan lebih sungguh2.
Tapi jangan lupa untuk meluruskan sejarah. Ane yakin, bahkan dengan menyatakan secara jujur sekalipun, anak bangsa masih akan menghormati para pendiri bangsa ini.

http://forum.vivanews.com/showthread.php?t=27558


0 Responses to “Kenegarawanan : Kepandiran, Krisis dan Kapitalisme Etis, Syekh Subakir dan Sabdo Palon”



  1. Leave a Comment

Leave a comment


Blog Stats

  • 4,410,448 hits

Archives

Recent Comments

Ratu Adil - 666 on Kenegarawanan : Harta Amanah B…
Ratu Adil - 666 on Kepemimpinan : Satrio Piningit…
Ratu Adil - 666 on Kepemimpinan : Satrio Piningit…
Ratu Adil - 666 on Kenegarawanan : Harta Amanah B…
Ratu Adil - 666 on Kenegarawanan : Harta Amanah B…