Kepandiran Politik DPR
TEMPO Interaktif, Jakarta – Budayawan Jawa Tengah, Eko Budiharjo mengatakan, keputusan anggota Dewan Pewakilan Rakyat yang memilih melakukan kunjungan ke luar negeri di tengah berbagai bencana yang terjadi di tanah air merupakan bentuk kepandiran politik anggota dewan.
“Kalau bodoh itu tidak tahu, tapi kalau pandir itu tahu, tapi tidak peduli,” kata Eko yang juga mantan Rektor Universitas Diponegoro Semarang. Mestinya, yang namanya wakil rakyat,lanjutnya, harus mewakili kepentingan dan perasaan rakyat. “Bukan malah ke luar negeri disaat rakyat dirundung bencana”.
Eko juga mempertanyakan efektifitas kunjungan dewan ke luar negeri. Alasan belajar etika ke Yunani misalnya, merupakan sesuatu yang dipaksakan. Baginya, Yunani mengalami kemajuan soal etika adalah Yunan tempo dulu, bukan Yunani sekarang. “Saat ini Yunani bukan negara yang menonjol,” ujar Eko.
Dia jug amelihat ada unsur kepentingan pribadi yang lebih besar dari anggota dewan dibalik rencana kunjungan ke luar negeri. Misalnya besarnya uang saku yang akan diterima. Mestinya, di era teknologi saat ini, belajar tentang keberhasilan suatu negara cukup bisa diketahui melalui internet. “Tidak harus datang secara fisik,” tandas eko.
Bagi Eko, secara prosedural, kunjungan ke luar negeri tidak salah, karena sudah ada ketentuan yang mengaturnya. Namun secara substansial, manfaat kunjunganke luar negeri di saat bangsa dilanda bencana, sangat dipertanyakaan. Mestinya, nurani anggota dewan terbuka dengan kondisi yang ada dan menyatakan membatalkan kunujungan ke luar negeri karena alasan bencana. Akan lebih baik anggaran untuk studi banding digunakan untuk membantu korban bencana. “Jika aksi simpatik anggota dewan bisa dilakukan, hal ini akan menjadi investasi politik pada Pemilu mendatang,” kata Eko.
SOHIRIN
DPRD Sumatera Barat
Seorang warga Dusun Beleraksok melintasi bangunan gereja yang hancur akibat Stunami Mentawai, Sumatera Barat, Foto: TEMPO/Aditia Noviansyah
TEMPO Interaktif, Padang -Di tengah bencana gempa bumi dan tsunami yang menerjang Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, sembilan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Barat justru berkunjung ke Italia. Kunjungan tersebut berlangsung dari 25 Oktober hingga 2 November 2010.
Krisis dan Kapitalisme Etis
Oleh : Mohammad Eri Irawan
Selebihnya hampa, nyaris sepi, kecuali hanya segerombolan pendemo yang membawa tomat dan telur busuk serta semprotan merica pada pertemuan-pertemuan pemimpin dunia, lalu berteriak parau soal antikapitalisme dan antiglobalisasi. Tak ada lagi teriakan revolusi proletariat yang menggairahkan itu.
Kegagahan kapitalisme ini memang diakui umumnya kalangan karena ia berhasil menciptakan kenikmatan individual, kesejahteraan ekonomi secara kolektif. Namun, kita juga tahu, kapitalisme menghadirkan jurang kesenjangan yang teramat lebar.
Selasa, 02/11/2010 | 19:04 WIB
Mbah Petruk dan Sabdo Palon Menagih Janji
Oleh: Tubagus Januar Soemawinata – UNAS *)
HATTA. Ketika pertama Islam masuk ke Tanah Jawa. Tidaklah semulus yang orang sangka. Sebab Tanah Jawa sudah ada manusia. Juga ada bangsa jin yang menganut kepercayaan kuno. Ada yang menduga mereka adalah penganut Hindu dan Budha. Yakni agama yang pada saat itu berkembang. Namun banyak yang menduga mereka adalah penganut kepercayaan Jawa kuno. Mereka ini dipimpin Sabdo Palon. Sabdo Palon dalam dunia pewayangan disebut Ki Lurah Semar atau Ki Lurah Bodronoyo.
Karena paham mereka yang berbeda. Maka ketika Islam masuk disambut dengan peperangan. Bukan perang sembarang perang. Namun perang magic. Perang ilmu-ilmu gaib. Sehingga tidak sedikit ulama Islam yang dikirim dari Mesir tewas dalam peperangan magic itu. Dalam wadah kasar mereka tewas karena tersapu gelombang pasang, semacam tsunami dan sebagainya. Perang itu berlanjut dengan banyaknya jatuh korban di kedua pihak.
Maka diutuslah Syekh Subakir, ulama asal Persia (Iran) yang dikenal ahli ilmu ghoib dan bisa melihat bangsa jin. Dengan kedatangan Syekh Subakir benteng pertahanan Sabdo Palon yang super ketat dapat ditembus. Dan banyak bangsa jin atau manusia pengikut Sabdo Palon yang binasa. Melihat keadaan yang tidak menguntungkan itu, Sabdo Palon mengadakan gencatan senjata. Dia mengajak Syekh Subakir berunding dan menghentikan perang. Syekh Subakir menerima ajakan tersebut dengan tangan terbuka. Karena dia juga melihat jalan petundingan jauh lebih baik daripada melanjutkan pertempuran yang tidak ada gunanya.
Kemudian terjadilah kesepakatan antara Syekh Subakir dengan Sabdo Palon. Isi kesepakatan itu antara lain, Islam boleh berkembang atau disebarkan di Tanah Jawa tetapi tidak boleh dilakukan dengan pemaksaan. Islam harus menghirmati dan menghargai budaya, adat istiadat setempat. Islam tidak boleh memaksa orang yang berbeda keyakinan untuk memeluk agama baru tersebut. Dan kalau orang Islam yang meimimpin atau jadi pemimpin harus mengayomi semua orang, semua agama, dan semua kepercayaan. Menjunjung tinggi kearifan lokal. Dan sejak itu Sabdo Palon bersama pengikutnya, termasuk Mbah Petruk mukswa. Mereka hilang dari pandangan umum dan tidak mudah dilihat oleh manusia biasa. Hanya mereka yang memiliki kelebihan dan paham ilmu ghoib yang dapat melihatnya.
Sebelum menghilang Sabdo Palon sempat berpesan kepada Syekh Subakir. Bahwa suatu ketika dia (Sabdo Palon) atau pengikutnya (Mbah Petruk) akan kembali menunjukan jati dirinya, kalau pemimpin negeri ini tidak amanah. Tidak mencintai rakyat. Hanya berbuat untuk kesenangan dirinya dan kelompoknya saja. Sementara membiarkan rakyat dalam kesengsaraan dan penderitaan. Kemunculan Sabdo Palon dan para pengikutnya, Mbah Petruk untuk menagih janji. Sekaligus mengingatkan agar para pemimpin negeri segera sadar, ingat rakyat, dan ingat bangsa.
Kalau tidak. Selain akan banyak lagi bencana yang akan melanda negeri ini. Mereka, para pemimpin pada gilirannnya juga akan menerima bencana. Bahkan bencana yang akan menimpa mereka lebih dasyat, lebih mengerikan, dan menakutkan. Silakah Anda bileh percaya kepada cerita babad Tanah Jawa ini atau tidak. Terserah saja. Yang jelas bencana sudah di depan mata. Sekarang 18 gunung berapi di Indonesia dinyatakan dalam status SIAGA atau WASPADA. Ini artinya tidak main-main dan siap-siap saja bencana itu datang.
*) Penulis adalah pengamat spiritual dari Universitas Nasional (UNAS) Jakarta.
RI Diam-diam Bayar Ganti Rugi 600 Juta Gulden ke Belanda
Suara Merdeka, Kamis, 19 Juni 2003
DEN HAAG – Tanpa banyak diketahui publik, penghisapan Belanda terhadap Indonesia ternyata terus berlangsung. Secara diam-diam, Indonesia malah membayar beban ganti rugi kepada Belanda sejak negeri itu hengkang dari republik. Beban itu baru terlunasi tahun 2003 ini.
Konstruksi pihak terjajah wajib membayar ganti-rugi kepada pihak penjajah, itu terkuak setelah sertifikat dana Claimindo dan Belindo ditutup di bursa efek AEX Amsterdam per tanggal 17 Maret 2003, dalam artian kewajiban Indonesia membayar ganti-rugi telah lunas.
Rupanya melalui pendanaan Claimindo dan Belindo itulah arus uang pembayaran dari Indonesia dikelola dan disalurkan kepada para pihak di Belanda dalam bentuk sertifikat danareksa atau efek.
Seorang diplomat senior mengungkapkan kepada detikcom bahwa beban ganti-rugi yang harus ditanggung Indonesia itu tepatnya dikaitkan dengan keputusan Presiden Soekarno menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di seluruh wilayah Indonesia pada 1956. Ketika itu semua jenis perusahaan Belanda, dari manufaktur sampai perkebunan tanpa kecuali, diambil alih menjadi milik Indonesia. Sebuah langkah politik Soekarno yang berani dan dalam sekejap memberi modal awal bagi republik yang baru lahir.
Namun masa manis mengalirnya pundi-pundi uang ke kas republik yang dihasilkan perusahaan-perusahaan Belanda yang dinasionalisasi itu hanya bertahan 13 tahun. Setelah Soekarno dijatuhkan dan rezim Orde Baru Soeharto naik, keadaan jadi berbalik. Pemerintah Soeharto tidak berdaya menghadapi Belanda dan bertekuk lutut memenuhi klaim negeri bekas penjajah itu agar membayar ganti-rugi.
Besarnya klaim ganti rugi yang harus dibayar Indonesia mencapai 600 juta gulden, suatu jumlah yang luar biasa besar untuk kurs masa itu. Perjanjian sanggup membayar ganti rugi atas perusahaan-perusahaan Belanda yang dinasionalisasi itu diteken pada 1969. Pihak pemerintah Indonesia diwakili Wakil Presiden Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Karena jumlah ganti-rugi untuk ukuran saat itu sangat besar, Indonesia hanya menyanggupi membayar dalam jangka waktu 35 tahun.
Sejarawan pun tak tahu adanya perjanjian pelunasan ganti rugi tersebut. Maka itu pemerintah diminta memberikan penjelasan.
Tak Tahu
Sejarawan dan peneliti Lembaga Ilmu Politik Indonesia (LIPI) Asvi Warman mengaku tak tahu adanya perjanjian yang mewajibkan Indonesia menyetor 600 juta gulden ke Belanda.
Setahu Asvi, Indonesia memang pernah terkena kasus kewajiban membayar Belanda sebesar 4,5 miliar gulden terkait Konferensi Meja Bundar (KMB). Namun untuk kasus itu Indonesia berhasil membatalkan kewajiban membayar. “Saya tak tahu kalau tahun 1969 kasus itu terulang. Saya sungguh tak mengetahui kalau ada data perjajian lain. Ini sangat menarik,” kata Asvi.
Asvi juga merasa aneh jika Indonesia yang pernah dijajah Belanda justru bersedia membayar ganti rugi tersebut. “Meski Belanda belum mengakui kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Tapi tahun 1949 dilakukan penyerahan kedaulatan Belanda artinya Indonesia sudah diakui kemerdekaannya oleh Belanda,” kata Asvi. Untuk kejelasan kasus setoran itu, menurut Asvi pemerintah terutama menteri terkait harus memberikan klarifikasi kepada masyarakat.
Rp 1,4 Miliar Gulden
Selain kewajiban 600 juta gulden, ternyata pada 1949-an, Belanda telah sukses memeras Indonesia dengan kewajiban setor mencapai 4,5 miliar gulden! Kisah ini bermula dari Konferensi Meja Bundar (KMB), yang memutuskan sebagai imbalan penyerahan kedaulatan kepada Indonesia, Belanda mendapat bayaran sejumlah 4,5 miliar gulden dari pihak Indonesia.
Harian Kompas pada Agustus 2000 lalu pernah menulis bahwa lewat tulisannya di De Groene Amsterdammer Januari 2000 berjudul De Indonesische Injectie (Sumbangan Indonesia), sejarawan Lambert Giebels mengungkapkan, sebelumnya Belanda menuntut jumlah yang lebih banyak, yakni 6,5 miliar gulden.
Dari mana angka itu diperoleh? Katanya, itulah total utang Hindia Belanda kepada Pemerintah Belanda yang berkedudukan di Den Haag. Itu berarti, uang yang dikeluarkan Belanda untuk menindas Indonesia, khususnya dua kali agresi militer, justru harus dibayar oleh pemerintah baru Republik Indonesia.
Namun, perjanjian KMB itu kini telah dibatalkan Indonesia secara sepihak karena menilai persetujuan itu berat sebelah. Meski demikian, Indonesia sudah terlanjur setor 4 miliar Gulden selama 1950-1956!
Duta Besar RI untuk Kerajaan Belanda Abdul Irsan pada 24 Agustus 2001 pada Radio Nederland menyentil hal itu. Dia mengungkapkan, barangkali kesepakatan itu diteken karena para perunding itu ingin cepat-cepat supaya Indonesia diakui. Tapi, mengapa hal ini tidak tertoreh di buku sejarah?
Meratapi yang sudh terlanjut terjadi tidak akan mengubah keadaan apapun. Mari kita bangun negara ini dengan lebih sungguh2.
Tapi jangan lupa untuk meluruskan sejarah. Ane yakin, bahkan dengan menyatakan secara jujur sekalipun, anak bangsa masih akan menghormati para pendiri bangsa ini.
0 Responses to “Kenegarawanan : Kepandiran, Krisis dan Kapitalisme Etis, Syekh Subakir dan Sabdo Palon”