AL QUR’AN TENTANG DEMOKRASI
Posted by Bustamam Ismail on December 10, 2008
A.Bacaan Surat Ali Imran Ayat 159
Bacalah dengan fasih ayat dibawah ini!(lihat Al-Qur,an Onlines di Google)
Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS Ali Imran : 159)
Isi Kandungan
Allah SWT menjelaskan bahwa setiap manusia hidup di dunia tidak terlepas dari problem dan persoalan yang dihadapi. Untuk itu mereka harus dapat memecahkan masalah tersebut. Adapun cara menyelesaikan persoalan hidup dalam surat Ali Imran ayat 159 dijelaskan, harus dengan mencontoh dan mengambil teladan dari nabi Muhammad SAW yaitu dengan cara lemah lembut berdasarkan rahmat Allah SWT, setiap persoalan diselesaikan dengan jalan musyawarah.
Orang yang selalu bersikap keras dalam menghadapi masalah maka ia akan dijauhkan dalam pergaulan. Oleh karena itu, apabila kita terlanjur berbuat salah dan berlaku kasar kepada orang lain maka segeralah minta maaf atas segala kesalahan yang telah diperbuat. Baik dengan tidak sengaja, apalagi disengaja.
Kalau kita mempunyai persoalan, sedang kita sudah memecahkannya dengan cara bermusyawarah yang kita kehendaki maka kita serahkan saja kepada Allah SWT apa hasil yang akan dicapai nanti. Karena sesungguhnya Allah SWT menyukai orang-orang yang bertakwa dan berserah diri kepadanya.
Rasulullah telah memberikan contoh tentang musyawarah. Menjelang perang Uhud terjadi perbedaan pendapat antara beliau dengan sejumlah sahabat. Nabi SAW berpendapat sebaiknya orang Islam bertahan di dalam kota, tetapi sebagian sahabat beliau agar musuh dihadapai di luar kota. Nabi akhirnya menerima usul mereka walaupun dengan berat hati. Setelah terbukti kalah dalam perang itu, Nabi tetap bersikap lemah lembut kepada mereka.
Hal yang penting, selalu menyepakati sesuatu melalui musyawarah, yaitu semua pihak harus teguh dengan pilihan kesepakatannya, bukan menyesali hasil pilihan. Allah SWT pasti akan membela mereka yang telah bersikap istiqamah dan bertawakal kepada Allah.
B. Bacaan Surat Asy Syuura Ayat 38
Bacalah ayat dibawah ini dengan tartil dan benar! (Lihat Al-Qur’an Onlines di google)
Artinya: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS Asy Syura : 38)
Isi Kandungan
Dalam ayat tersebut Allah menyerukan agar umat Islam mengesakan dan mnyembah Allah SWT. Menjalankan shalat fardu lima waktu tepat pada waktunya. Apabila mereka menghadapmasalah maka harus diselesaikan dengan cara musyawarah. Rasulullah SAW sendiri mengajak para sahabatnya agar mereka bermusyawarah dalam segala urusan, selain masalah-masalah hukum yang telah ditentukan oleh Allah SWT. Persoalan yang pertama kali dimusyawarahkan oleh para sahabat adalah khalifah. Karena nabi Muhammad SAW sendiri tidak menetukan siapa yang harus jadi khalifah setelah beliau wafat. Akhirnya disepakati Abu Bakarlah yang menjadi khalifah.
Dalam ayat lain Allah berfirman: (Lihat Al-Qur’an Onlines di google)
Artinya: “…Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan itu, kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad maka bertakwalah kepada Allah …”. (QS Ali Imran 159)
Pada akhir ayat tersebut dijelaskan bahwa apabila kita diberi rizki harus dinafkahkan kepada kebaikan. Misalnya, diberikan kepada mereka yang membutuhkan baik secara individu maupun kelompok.
Ayat-ayat al-Qur’an tentang Demokrasi
Bab 7
Ayat-ayat al-Qur’an tentang Demokrasi
A. Surat Ali Imran [3]: 159 tentang Musyawarah dalam Urusan
Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS Ali Imran : 159)
Isi Kandungan
Allah SWT menjelaskan bahwa setiap manusia hidup di dunia tidak terlepas dari problem dan persoalan yang dihadapi. Untuk itu mereka harus dapat memecahkan masalah tersebut. Adapun cara menyelesaikan persoalan hidup dalam surat Ali Imran ayat 159 dijelaskan, harus dengan mencontoh dan mengambil teladan dari nabi Muhammad SAW yaitu dengan cara lemah lembut berdasarkan rahmat Allah SWT, setiap persoalan diselesaikan dengan jalan musyawarah.
Orang yang selalu bersikap keras dalam menghadapi masalah maka ia akan dijauhkan dalam pergaulan. Oleh karena itu, apabila kita terlanjur berbuat salah dan berlaku kasar kepada orang lain maka segeralah minta maaf atas segala kesalahan yang telah diperbuat. Baik dengan tidak sengaja, apalagi disengaja.
Kalau kita mempunyai persoalan, sedang kita sudah memecahkannya dengan cara bermusyawarah yang kita kehendaki maka kita serahkan saja kepada Allah SWT apa hasil yang akan dicapai nanti. Karena sesungguhnya Allah SWT menyukai orang-orang yang bertakwa dan berserah diri kepadanya.
Rasulullah saw telah memberikan contoh tentang musyawarah. Menjelang perang Uhud terjadi perbedaan pendapat antara beliau dengan sejumlah sahabat. Nabi SAW berpendapat sebaiknya orang Islam bertahan di dalam kota, tetapi sebagian sahabat beliau berpendapat agar musuh dihadapi di luar kota. Nabi akhirnya menerima usul mereka walaupun dengan berat hati. Setelah terbukti kalah dalam perang itu, Nabi tetap bersikap lemah lembut kepada mereka. Hal yang penting, selalu menyepakati sesuatu melalui musyawarah, yaitu semua pihak harus teguh dengan pilihan kesepakatannya, bukan menyesali hasil pilihan. Allah SWT pasti akan membela mereka yang telah bersikap istiqamah dan bertawakal kepada Allah.
B. Surat Asy Syuura [42]: 38 tentang Anjuran Bermusyawarah
Artinya: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS Asy Syura : 38)
Isi Kandungan
Dalam ayat tersebut Allah swt menyerukan agar umat Islam mengesakan dan menyembah Allah SWT. Menjalankan shalat fardu lima waktu tepat pada waktunya. Apabila mereka menghadapi masalah maka harus diselesaikan dengan cara musyawarah. Rasulullah SAW sendiri mengajak para sahabatnya agar mereka bermusyawarah dalam segala urusan, selain masalah-masalah hukum yang telah ditentukan oleh Allah SWT. Persoalan yang pertama kali dimusyawarahkan oleh para sahabat adalah khalifah. Karena nabi Muhammad SAW sendiri tidak menentukan siapa yang harus jadi khalifah setelah beliau wafat. Akhirnya disepakati Abu Bakarlah yang menjadi khalifah.
Dalam ayat lain Allah berfirman:
Artinya: “…Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan itu, kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad maka bertawakkallah kepada Allah …”. (QS Ali Imran 159)
Pada akhir ayat tersebut dijelaskan bahwa apabila kita diberi rizki harus dinafkahkan kepada kebaikan. Misalnya, diberikan kepada mereka yang membutuhkan baik secara individu maupun kelompok.
“KERUKUNAN dan DEMOKRASI” dalam Al-Qur’an (Islam)
Biasanya yang paling berharga bagi sesuatu adalah dirinya sendiri. Ini berarti yang paling berharga buat agama adalah agama itu sendiri. Karenanya setiap agama menuntut pengorbanan apa pun dari pemeluknya demi mempertahankan kelestariannya. Namun demikian, Islam datang tidak hanya bertujuan mempertahankan eksistensinya sebagai agama, tetapi juga mengakui eksistensi agama-agama lain, dan memberinya hak untuk hidup berdampingan sambil menghormati pemeluk-pemeluk agama lain.
“Jangan mencerca yang tidak menyembah Allah (penganut agama lain) …”
(QS Al-An’am [6): 108).
“Tiada paksaan untuk menganut agama (Islam)” (QS Al-Baqarah [2]: 256).
“Bagimu agamamu dan bagiku agamaku” (QS Al-kafirun [109]: 6)
“Seandainya Allah tidak menolak keganasan sebagian orang atas sebagian yang lain (tidak mendorong kerja sama antara manusia), niscaya rubuhlah biara-biara, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.” (Surat Al-Hajj (22): 40)
Ayat ini dijadikan oleh sebagian ulama, seperti Al-Qurthubi (w. 671 H), sebagai argumentasi keharusan umat Islam memelihara tempat-tempat ibadah umat non-Muslim. Memang, Al-Quran sendiri amat tegas menyatakan bahwa,
“Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan seluruh manusia menjadi satu umat saja” (QS Al-Nahl [16]: 93).
Tetapi Allah tidak menghendaki yang demikian, karena itu Dia memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih sendiri jalan yang dianggapnya baik, mengemukakan pendapatnya secara jelas dan bertanggung jawab.
Di sini dapat ditarik kesimpulan bahwa kebebasan berpendapat, termasuk kebebasan memilih agama, adalah hak yang dianugerahkan Tuhan kepada setiap insan.
Yang dikemukakan ayat Al-Quran tersebut merupakan salah satu benih dari ajaran demokrasi, hal mana kemudian akan nampak dengan jelas dalam petunjuk-petunjuk Kitab Suci. Salah satu yang dapat dikemukakan di sini adalah pengalaman Nabi saw dalam peperangan Uhud serta kaitannya dengan ayat yang memerintahkan musyawarah. Sejarah menginformasikan bahwa ketika terdengar berita rencana serangan musuh-musuh Nabi saw dari Makkah ke Madinah, Nabi saw berpendapat bahwa lebih baik menunggu mereka hingga sampai ke kota Madinah. Namun mayoritas sahabat-sahabatnya dengan penuh semangat mendesak beliau agar menghadapi mereka di luar kota, yakni di Uhud. Karena desakan itu, akhirnya Nabi menyetujui. Tetapi, ternyata, puluhan sahabat Nabi gugur dalam peperangan tersebut sehingga menimbulkan penyesalan. Setelah pengalaman pahit mengikuti pendapat mayoritas ini, justu Al-Quran turun memberi petunjuk kepada Nabi Muhammad saw, agar tetap melakukan musyawarah dan selalu bertukar pikiran dengan sahabat-sahabatnya (baca QS Ali ‘Imran [3]: 159).
Demikian terlihat kebebasan beragama, mengemukakan pendapat, dan demokrasi, merupakan prinsip-prinsip ajaran Islam.
Atas dasar itu pula, kitab suci umat Islam mengakui kenyataan tentang banyaknya jalan yang dapat ditempuh umat manusia. Mereka diperintahkan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan (QS Al-Baqarah [2]: 148), kesemuanya demi kedamaian dan kerukunan:
“Allah memberi petunjuk melalui wahyu-Nya siapa yang mengikuti keridhaan-Nya dengan menelusuri jalan-jalan kedamaian”
(QS Al-Maidah [5]: 16).
Sekali lagi ditemukan bahwa kebhinekaan diakui atau ditampung selama bercirikan kedamaian. Bahkan dalam rangka mewujudkan kedamaian dengan pihak lain, Islam menganjurkan dialog yang baik (QS Al-Nahl [16]: 125). Dan dalam dialog itu, seorang Muslim tidak dianjurkan untuk mengklaim kepada mitra dialognya bahwa kebenaran hanya menjadi milik-Nya.
“Katakanlah, Kami atau Anda yang berada dalam kebenaran atau kesesatan yang nyata” (QS Saba’ [34]: 24).
Bahkan lebih jauh dari itu Kitab Suci umat Islam mengajarkan kata atau kalimat-kalimat dialog yang pada lahirnya dapat dinilai “merugikan”. Perhatikan terjemahan ayat berikut:
“Kamu sekalian tidak akan diminta untuk mempertanggungjawabkan dosa-dosa kami. Kami pun tidak akan mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan kalian.” (QS Saba’ [34]: 25) .
Kita menamai perbuatan kita dosa, dan tidak menamakan perbuatan mitra dialog non-Muslim sebagai dosa, tetapi menyebutnya sebagai “perbuatan”.
Perdamaian dan kerukunan yang didambakan Islam, bukankah yang bersifat semu, tetapi yang memberi rasa aman pada jiwa setiap insan. Karena itu, langkah pertama yang dilakukannya adalah mewujudkannya dalam jiwa setiap pribadi. Setelah itu ia melangkah kepada unit terkecil dalam masyarakat yakni keluarga. Dari sini ia beralih ke masyarakat luas, seterusnya kepada seluruh bangsa di permukaan bumi ini, dan dengan demikian dapat tercipta perdamaian dunia, dan dapat terwujud hubungan harmonis serta toleransi dengan semua pihak.
Demikian, sekelumit ajaran Islam. Kalau kenyataan di dunia Islam berbeda dengan apa yang tersurat dalam petunjuk agama ini, maka yang keliru adalah pelaku ajaran dan bukan ajarannya itu sendiri. Sungguh tepat pernyataan Syaikh Muhammad Abduh, “Al-Islam mahjub bil muslimin” (Keindahan ajaran Islam ditutupi oleh kelakuan sementara umat Islam).
Sumber :
http://al-quran.bahagia.us/_q.php?_q=sihab&dft=&dfa=&dfi=&dfq=1&u2=&ui=1&nba=21#2
URL untuk link ke notes ini :
http://www.facebook.com/note.php?note_id=149485923762
Islam Dan Demokrasi |
Articles | Mimbar Jumat |
“ … Allah telah memilih kamu, dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama (Islam) suatu kesempitan. Ikutlah agama orang tuamu Ibrahim. Allah telah menamai kamu sekalian sebagai Muslim dari dahulu, dan juga dalam al Qur’an ini supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu menjadi saksi atas semua manusia…” Qur’an surah al Haj ayat 78
Berbicara tentang demokrasi, ingatan kita diajak untuk menerawang jauh kebelakang, yaitu pada tahun 622 M. Piagam Madinah atau ‘Mitsaqal Madinah’ yang lembaran tertulisnya ( shahifat ) berfungsi sebagai dasar hukum dan konstitusi dalam mempersatukan penduduk Madinah dari semua golongan (suku, agama, dan ras). Inilah sebuah piagam yang merupakan cikal bakal sebuah negara demokrasi moderen. Mitsaqal Madinah yang lembarannya terinspirasi dari wahyu ilahi dan berisikan empat belas prinsip yang mengatur jalannya roda kepemimpinan Nabi Muhammada SAW. Walaupun pada saat itu belum ada sebutan negara kepada Islam yang berada di kota Madinah secara dejure, namun secara defacto, kaum muslimin dibawah komando Nabi Muhammad SAW telah mempraktekan kehidupannya sebagai sebuah negara yang demokratis. Dari ke empat belas prinsip itu, prinsip pertama adalah ‘prinsip keumatan’, dimana dalam lembaran itu ditegaskan bahwa pada kenyataannya karakter manusia sebagai makhluk sosial , membutuhkan kerja sama antara satu dengan yang lainnya, dan hidup berkelompok. Setiap kelompok dapat dibedakan dari segi keyakinan dan agama yang mereka anut, dari segi etnis-budaya, prinsip politik, kepentingan ekonomi, pola pikir dan pandangan hidup. Hal-hal diatas sesuai dengan tekstual al Qur’an yang menyatakan memang manusia hidup berkelompok agar mereka saling kenal mengenali, ‘ waja’alnakum syu’uban waqabaila lita’arafu’. Dan al Qur’an juga menjelaskan bahwa pada dasarnya manusia itu lemah, ‘ wakhuliqal insanu dha’ifa’ . Karena itu mereka harus membentuk kerja sama dalam kebaikan dan taqwa (wata’a wanu alal birri wattaqwa’), sebagai wujud menjaga kelestarian hubungan antar manusia (hablum minannas). Prinsip kedua dalam piagam itu adalah ‘Persatuan dan Persaudaraan’. Pembentukan umat bagi kaum muslimin disatu pihak dan bagi orang-orang muslim bersama kaum Yahudi, Nashrani di pihak lain menunjukkan betapa pentingnya prinsip tersebut. Artinya, di dalam oraganisasi umat terkandung makna persatuan persaudaraan, baik persatuan dan persaudaraan seagama, maupun persatuan dan persaudaraan kemanusiaan antar pemeluk agama. Karena suatu umat, atau bangsa dan negara tidak akan pernah berdiri tegak bila di dalamnya tidak terdapat persatuan dan persaudaraan masyarakatnya. Persatuan dan persaudaraan tidak akan terwujud tanpa adanya saling bekerja sama dan kasih sayang dan untuk kebaikan. Hal itu ditegaskan nabi dalah shahifatnya pada pada pasal 24 dan 38 ‘ wa annal yahuda yunfiquna ma’al mukminana ma damu. Dan wa anna bainahumun nashra ‘ala man haraba ahla hadzihish shahifati wa anna bainahumun nashha wannashihata wal birradunal itsmi…’ orangorang Yahudi bersama-sama dengan orang-orang mukmin saling membantu dalam menghadapi orang yang menyerang terhadap pemilik Piagam, saling menasehati dan memberi saran, dan berbuat baik, bukan berbuat dosa. Lebih jauh dapat dijelaskan, bahwa di dalam ketetapan yang menghendaki terwujudnya persatuan dan persaudaraan di kalangan penduduk Madinah, juga menggambarkan bentuk hubungan antara golongan Islam dan Non Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam hal ini Nabi Muhammad SAW tidak membentuk persatuan dan persaudaraan yang eksklusif bagi umat Islam saja. Oleh karena itu, prinsip persatuan dan persaudaraan yang diletakkan Nabi SAW dapat dikatakan pertama dalam sejarah kemanusian. Bahkan menurut Robert N Bellah, seorang pakar sosiologi agama-agama, prinsip-prinsip yang diletakkan Nabi SAW sangat moderen pada zamannya. Di era moderen ini, setiap pemerintahan suatu negara memandang prinsip persatuan dan persaudaraan merupakan hal yang harus dibina dan ditegakkan sebagai prasyarat bagi pelaksanaan pembangunan di segala bidang. Prinsip ketiga dalam Piagam Madinah adalah ‘Prinsip Persamaan’. Sebagaimana diketahui, bahwa masyarakat Arab adalah masyarakat yang cenderung kepada kefanatikan terhadap suku, dan darah turunan (nasab), sehingga mereka terjerumus ke dalam pertentangan, kekacauan yang merusak tatanan sosial, politik dan ekonomi. Mereka tidak mengenal adanya prinsip persamaan antara sesama manusia. Satu kabilah dengan kabilah lainnya tidak saling mendukung dan melindungi. Bahkan satu kabilah adalah musuh bagi kabilah lainnya yang harus dilenyapkan. Karena setiap kabilah menganggap dirinya lebih unggul dari kabilah lainnya, sehingga mereka sibuk dengan urusannya sendiri, tanpa ada rasa kepedulian sosial terhadap kabilah yang lain. Itulah yang disadari oleh Nabi Muhammad SAW, sehingga dalam piagamnya menetapkan seluruh penduduk Madinah memperoleh status yang sama atau persamaan dalam kehidupan sosial. Ketetapan ini berkaitan dengan kemashlahatan umum yang menjamin hak-hak istimewa mereka sebagaimana hak dan kewajiban yang dimiliki oleh kaum muslimin. Sebab prinsip persamaan dalam Islam adalah pengakuan hak-hak yang sama antara kaum muslimin dan bukan muslimin. Persamaan yang mencakup berbagai aspek kehidupan dapat dirujuk dalam jiwa pada shahifat tersebut yang menyatakan, bahwa penduduk Madinah adalah umat yang satu, yaitu umat yang memiliki status yang sama dalam kehidupan sosial, hak membela diri, persamaan tanggung jawab dalam mempertahankan keamanan kota Madinah, persamaan kewajiban dalam memikul belanja perang bila diperlukan, persamaan hak dalam memberikan saran dan nasehat untuk kebaikan, dan persamaan hak kebebasan dalam memilih agama dan keyakinan, serta hak mengatur kehidupan ekonomi masing-masing juga sama, ‘waannal yahudi nafaqatahum wa ‘alal muslimina nafaqahum’. Prinsip di atas sebagaimana sabda Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan oleh imam Ahmad, ‘Wahai manusia, ingatlah sesungguhnya Tuhan kamu satu (Allah SWT), dan bapak kamu satu (semua berasal dari nabi Adam as). Ingatlah, tidak ada keutamaan orang Arab dengan orang yang bukan Arab (a’jami), dan tidak pula sebaliknya, tidak ada keistimewaan orang kulit berwarna (ahmar) dengan orang kulit hitam dan sebaliknya, kecuali karena ketaqwaannya”. Demikian juga al Qur’an menegaskan tentang prinsip-prinsip persamaan sebagaiman diurai dalam surah an Nisa ayat 1, surah al A’raf ayat 189, surah Azzumar ayat 6. Kemudian surah Fathir ayat 11 surah al mukmin ayat 67 yang menerangkan asal usul kejadian manusia, yaitu dari setetes air mani, dan setelah itu menjadi segumpal darah dan membentuk segumpal daging dan seterusnya. Walaupun disadari, bahwa antara manusia terdapat perbedaan dari segi jenis kelamin, warna kulit (ras), sifat pembawaan, bakat, kekuatan fisik, ketrampilan, kemampuan intelektual dan pendidikan, kedudukan sosial-ekonomi, dan sebagainya, namun sebagai manusia, mereka adalah sama dan tetap sama. Perbedaanperbedaan yang nyata ini bukan alasan untuk saling membedakan satu sama lain, sebaliknya dengan adanya perbedaan itulah umat manusia untuk saling mengenali dan membantu sesama mereka. Hal ini ditegaskan dalam sabda Nabi Muhammad SAW sebagaimana diriwayatkan oleh imam Muslim, Ibn Majah. Ahmad dari Abu Hurairah, ‘ Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada bentuk dan rupa kamu, dan harta kamu, akan tetapi Allah hanya memandang kepada hati kamu dan amal perbuatan kamu.” Dalam prinsip persamaan ini, Nabi SAW menetapkan agar akar-akar fanitisme jahiliyah yang berbangga diri dengan keturunan dan ras nya atau kekayaannnya dapat dihilangkan dan memunculkan rasa kebersamaan yang melahirkan persatuan dan persaudaraan sejati, sehingga harkat dan martabat kemanusiaannya dapat terangkat dan juga dapat mengembangkan potensi setiap diri secara wajar dan layak . Demikian juga sepirit al Qur’an yang menjelaskan adanya perbedaan warna kulit dan lainnya, bukan untuk menunjukkan superioritas mereka, tetapi lebih dari itu agar satu warna dengan warna lainnya dapat mengenali karakter sehingga dapat dijalinnya suatu kerja sama. Dari ketiga prinsip di atas maka secara jelas dapat dibuktikan bahwa Islam memiliki prinsip-prinsip demokrasi yang utuh berdasarkan wahyu ilahi. Dan sejarah membuktikan bahwa dimana Islam merupakan pemeluk mayoritas, maka golongan minoritas terlindungi. Karena ada hak asasi yang dijamin syariat yang harus diberlakukan secara adil pada semua golongan. Wallahu a’lam. ***** ( Fachrurrozy Pulungan : Penulis adalah pimpinan majelis ta’lim dan dzikir Qalbun Salim. ) |
Wawasan Al-Qur’anoleh Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
MUSYAWARAH (2/2) LAPANGAN MUSYAWARAH Apakah Al-Quran memberikan kebebasan melakukan musyawarah untuk segala persoalan? Jawabannya secara tegas: Tidak. Ayat Ali 'Imran di atas, yang menyuruh Nabi Saw. melakukan musyawarah, menggunakan kata al-amr: ketika memerintahkan bermusyawarah (syawirhum fil amr) yang diterjemahkan penulis dengan "persoalan/urusan tertentu". Sedangkan ayat Al-Syura menggunakan kata amruhun yang terjemahannya adalah "urusan mereka". Kata amr dalam Al-Quran ada yang dinisbahkan kepada Tuhan dan sekaligus menjadi urusan-Nya semata, sehingga tidak ada campur tangan manusia pada urusan tersebut, seperti misalnya: Mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah "Ruh adalah urusan Tuhan-Ku" (QS Al-Isra' [17]: 85). Ada juga amr yang dinisbahkan kepada manusia, misalnya bentuk yang ditujukan kepada orang kedua seperti dalam QS Al-Kahf [18]: 16. Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu, dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu (QS Al-Kahf [18]: 16). Atau ada juga yang dinisbahkan kepada orang ketiga seperti dalam surat Al-Syura yang sedang dibicarakan ini (urusan mereka). Sebagaimana ada juga kata "amr" yang tidak dinisbahkan itu yang berbentuk indefinitif, sehingga secara umum dapat dikatakan mencakup segala sesuatu, seperti dalam QS Al-Baqarah (2): 117. Apabila Dia (Allah) menetapkan sesuatu, Dia hanya berkata: "Jadilah", maka jadilah ia (QS Al-Baqarah [2]: 117). Sedangkan yang berbentuk definitif, maka pengertiannya dapat mencakup semua hal ataupun hal-hal tertentu saja. Sebagaimana surat Al-Isra' ayat 85 yang mengkhususkan hal-hal tertentu sebagai urusan Allah. Bahkan Al-Quran surat Ali 'Imran ayat 128 secara tegas menafikan pula urusan-urusan tertentu dari wewenang Nabi Saw., Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka (itu), apakah Allah memaafkan mereka atau menyiksa mereka, karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berlaku aniaya (QS Ali 'Imran [3]: l28). Ayat ini turun berkaitan dengan ucapan Nabi Saw. ketika beliau dilukai oleh kaum musyrikin pada perang Uhud. "Bagaimana Allah akan mengampuni mereka, sedangkan mereka telah mengotori wajah Nabi Saw. dengan darah"? Dari riwayat lain dikemukakan, bahwa ayat ini turun untuk menegur Nabi Saw. yang mengharapkan agar Tuhan menyiksa orang-orang tertentu dan memaafkan orang-orang 1ain. Betapapun, dari ayat-ayat Al-Quran, tampak jelas adanya hal-hal yang merupakan urusan Allah semata sehingga manusia tidak diperkenankan untuk mencampurinya, dan ada juga urusan yang dilimpahkan sepenuhnya kepada manusia. Dalam konteks ketetapan Allah dan ketetapan Rasul yang bersumber dari wahyu, Al-Quran menyatakan secara tegas: Tidaklah wajar bagi seorang mukmin atau mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu hukum, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka (QS Al-Ahzab [33]: 36). As-Sunnah juga menginformasikan bahwa sahabat-sahabat Nabi Saw. menyadari benar hal tersebut, sehingga mereka tidak mengajukan saran terhadap hal-hal yang telah mereka ketahui bersumber dari petunjuk wahyu. Umpamanya, ketika Nabi Saw. memilih suatu lokasi untuk pasukan Islam menjelang berkecamuknya perang Badar, sahabat beliau Al-Khubbab bin Al-Munzir yang memiliki pandangan berbeda tidak mengajukan usulnya kecuali setelah bertanya: + "Apakah ini tempat yang ditujukan untuk engkau pilih, ataukah ini berdasarkan nalarmu, strategi perang, dan tipu muslihat?" tanya Al-Khubbab. - "Tempat ini adalah pilihan berdasar nalar, strategi perang, dan tipu muslihat," jawab Nabi Saw. Mendengar jawaban itu, barulah Al-Khubbab mengajukan usul untuk memilih lokasi lain di dekat sumber air, dan kemudian disetujui oleh Nabi Saw. Demikian diriwayatkan oleh Al-Hakim. Ketika terjadi perundingan Hudaibiyah, sebagian besar sahabat Nabi Saw. terutama Umar bin Khaththab, amat berat hati menerima rinciannya, namun semuanya terdiam ketika Nabi bersabda. "Aku adalah Rasulullah Saw." Sebagian pakar tafsir membatasi masalah permusyawarahan hanya untuk yang berkaitan dengan urusan dunia, bukan persoalan agama. Pakar yang lain memperluas hingga membenarkan adanya musyawarah di samping untuk urusan dunia, juga untuk sebagian masalah keagamaan. Alasannya, karena dengan adanya perubahan sosial, sebagian masalah keagamaan belum ditentukan penyelesaiannya di dalam Al-Quran maupun sunnah Nabi Saw. Dari sini disimpulkan bahwa persoalan-persoalan yang telah ada petunjuknya dari Tuhan secara tegas dan jelas, baik langsung maupun melalui Nabi-Nya, tidak dapat dimusyawarahkan, seperti misalnya tata cara beribadah. Musyawarah hanya dilakukan pada hal-hal yang belum ditentukan petunjuknya, serta persoalan-persoalan kehidupan duniawi, baik yang petunjuknya bersifat global maupun tanpa petunjuk dan yang mengalami perkembangan dan perubahan. Nabi bermusyawarah dalam hal-hal yang berkaitan dengan urusan masyarakat dan negara, seperti persoalan perang, ekonomi, dan sosial. Bahkan dari sejarah diperoleh informasi bahwa beliau pun bermusyawarah (meminta saran dan pendapat) di dalam beberapa persoalan pribadi atau keluarga. Salah satu kasus keluarga yang beliau musyawarahkan adalah kasus fitnah terhadap istri beliau Aisyah r.a. yang digosipkan telah menodai kehormatan rumah tangga. Ketika gosip tersebut menyebar, Rasulullah Saw. bertanya kepada sekian orang sahabat/keluarganya. Walhasil, kita dapat menyimpulkan bahwa musyawarah dapat dilakukan untuk segala masalah yang belum terdapat petunjuk agama secara jelas dan pasti, sekaligus yang berkaitan dengan kehidupan duniawi. Hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan ukhrawi atau persoalan ibadah, tidak dapat dimusyawarahkan. Bagaimana dapat dimusyawarahkan, sedangkan nalar dan pengalaman manusia tidak dan belum sampai ke sana? BERMUSYAWARAH DENGAN SIAPA? Persoalan yang dimusyawarahkan barangkali merupakan urusan pribadi, namun boleh jadi urusan masyarakat umum. Dalam ayat pertama tentang musyawarah di atas, Nabi Saw. diperintahkan bermusyawarah dengan "mereka". Mereka siapa? Tentu saja mereka yang dipimpin oleh Nabi Saw., yakni yang disebut umat atau anggota masyarakat. Sedangkan ayat yang lain menyatakan, Persoalan mereka dimusyawarahkan antar mereka (QS Syura [42]: 38). Ini berarti yang dimusyawarahkan adalah persoalan yang khusus berkaitan dengan masyarakat sebagai satu unit. Tetapi, sebagaimana yang dipraktekkan oleh Nabi Saw. dan para sahabatnya, tidak tertutup kemungkinan memperluas jangkauan pengertiannya sehingga mencakup persoalan individu sebagai anggota masyarakat. Ayat-ayat musyawarah yang dikutip di atas tidak menetapkan sifat-sifat mereka yang diajak bermusyawarah, tidak juga jumlahnya. Namun demikian, dari As-Sunnah dan pandangan ulama, diperoleh informasi tentang sifat-sifat umum yang hendaknya dimiliki oleh yang diajak bermusyawarah. Satu dari sekian riwayat menyatakan bahwa Rasul Saw. pernah berpesan kepada Imam Ali bin Abi Thalib sebagai berikut: Wahai Ali, jangan bermusyawarah dengan penakut, karena dia mempersempit jalan keluar. Jangan juga dengan yang kikir, karena dia menghambat engkau dari tujuanmu. Juga tidak dengan yang berambisi, karena dia akan memperindah untukmu keburukan sesuatu. Ketahuilah wahai Ali, bahwa takut, kikir, dan ambisi, merupakan bawaan yang sama, kesemuanya bermuara pada prasangka buruk terhadap Allah. Imam Ja'far Ash-Shadiq pun berpesan, Bermuyawarahlah dalam persoalan-persoalanmu dengan seseorang yang memiliki lima hal: akal, lapang dada, pengalaman, perhatian, dan takwa. Dalam konteks memusyawarahkan persoalan-persoalan masyarakat, praktek yang dilakukan Nabi Saw. cukup beragam. Terkadang beliau memilih orang tertentu yang dianggap cakap untuk bidang yang dimusyawarahkan, terkadang juga melibatkan pemuka-pemuka masyarakat, bahkan menanyakan kepada semua yang terlibat di dalam masalah yang dihadapi. Sebagian pakar tafsir membicarakan musyawarah dan orang-orang yang terlibat di dalamnya ketika mereka menafsirkan firman Allah dalam Al-Quran surat Al-Nisa'(4): 59: Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amr di antara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat mengenai suatu hal, kembalikanlah kepada (jiwa ajaran) Allah (Al-Quran) dan (jiwa ajaran) Rasul (sunnahnya). Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS Al-Nisa [4]: 59). Dalam ayat itu terdapat kalimat u1u1 amr, yang diperintahkan untuk ditaati. Kata amr di sini berkaitan dengan kata amr yang disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Syura ayat 38 (persoalan atau urusan mereka, merekalah yang memusyawarahkan). Tentunya tidak mudah melibatkan seluruh anggota masyarakat dalam musyawarah itu, tetapi keterlibatan mereka dapat diwujudkan melalui orang-orang tertentu yang mewakili mereka, yang oleh para pakar diberi nama berbeda-beda sekali Ahl Al-Hal wa Al-'Aqd, dikali lain Ahl Al-Ijtihad, dan kali ketiga Ahl Al-Syura. Dapat disimpulkan bahwa Ahl Al-Syura merupakan istilah umum, yang kepada mereka para penguasa dapat meminta pertimbangan dan saran. Jika demikian, tidak perlu ditetapkan secara rinci dan ketat sifat-sifat mereka, tergantung pada persoalan apa yang sedang dimusyawarahkan. Sebagian pakar kontemporer memahami istilah Ahl Al-Hal wa Al-'Aqd sebagai orang-orang yang mempunyai pengaruh di tengah masyarakat, sehingga kecenderungan mereka kepada satu pendapat atau keputusan mereka dapat mengantarkan masyarakat pada hal yang sama. Muhammad Abduh memahami Ahl Al-Hal wa Al-'Aqd sebagai orang yang menjadi rujukan masyarakat untuk kebutuhan dan kepentingan umum mereka, yang mencakup pemimpin formal maupun non-formal, sipil maupun militer. Adapun Ahl Al-Ijtihad adalah kelompok ahli dan para teknokrat dalam berbagai bidang dan disiplin ilmu. SYURA DAN DEMOKRASI Al-Quran dan Sunnah menetapkan beberapa prinsip pokok berkaitan dengan kehidupan politik, seperti al-syura, keadilan, tanggung jawab, kepastian hukum, jaminan haq al-'ibad (hak-hak manusia), dan lain-lain, yang kesemuanya memiliki kaitan dengan syura atau demokrasi. Apabila kita bermaksud membandingkan syura dengan demokrasi, tentunya perlu juga dijelaskan apa yang disebut demokrasi. Namun, untuk tidak memasuki perincian tentang makna demokrasi yang beraneka ragam, dapat dikatakan bahwa manusia mengenal tiga cara menetapkan keputusan yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat, yaitu: 1. Keputusan yang ditetapkan oleh penguasa. 2. Keputusan yang ditetapkan berdasarkan pandangan minoritas. 3. Keputusan yang ditetapkan berdasarkan pandangan mayoritas, dan ini biasanya menjadi ciri umum demokrasi. Syura yang diwajibkan oleh Islam tidak dapat dibayangkan berwujud seperti bentuk pertama, karena hal itu justru menjadikan syura lumpuh. Bentuk kedua pun tidak sesuai dengan makna syura, sebab apakah keistimewaan pendapat minoritas yang mengalahkan pandangan mayoritas? Memang ada sebagian pakar Islam kontemporer yang menolak kewenangan mayoritas berdasar firman Allah: Tidak sama yang buruk dengan yang baik, walaupun banyaknya yang buruk itu menyenangkan kamu (QS Al-Ma-idah [51: 100). Dan firman Allah: Kebanyakan kamu tidak menyenangi kebenaran (QS Al-Zukhruf [43]: 78). Tetapi pandangan mereka sulit diterima, karena ayat-ayat itu bukan berbicara dalam konteks musyawarah melainkan dalam konteks petunjuk Ilahi yang diberikan kepada para Nabi dan ditolak oleh sebagian besar anggota masyarakatnya ketika itu. Ayat-ayat tersebut berbicara tentang sikap masyarakat Makkah ketika itu, serta umat manusia dalam kenyataannya dewasa ini. Namun demikian, walaupun syura di dalam Islam membenarkan keputusan pendapat mayoritas, tetapi menurut sementara pakar ia tidaklah mutlak. Demikian Dr. Ahmad Kamal Abu Al-Majad, seorang pakar Muslim Mesir kontemporer dalam bukunya Hiwar la Muwayahah (Dialog Bukanlah Konfrontasi). Agaknya yang dimaksud adalah bahwa keputusan janganlah langsung diambil berdasar pandangan mayoritas setelah melakukan sekali dua kali musyawarah, tetapi hendaknya berulang-ulang hingga dicapai kesepakatan. Ini karena syura dilaksanakan oleh orang-orang pilihan yang memiliki sifat-sifat terpuji serta tidak memiliki kepentingan pribadi atau golongan, dan dilaksanakan sewajarnya agar disepakati bersama. Sekalipun ada di antara mereka yang tidak menerima keputusan, itu dapat menjadi indikasi adanya sisi-sisi yang kurang berkenan di hati dan pikiran orang-orang pilihan walaupun mereka minoritas, sehingga masih perlu dibicarakan lebih lanjut agar mencapai mufakat (untuk menemukan "madu" atau yang terbaik). Ini merupakan salah satu perbedaan antara syura di dalam Islam dengan demokrasi secara umum. Memang, apabila pembicaraan berlarut tanpa menemukan mufakat, dan tidak ada jalan lain kecuali memilih pandangan mayoritas, saat itu dapat dikatakan bahwa kedua pandangan masing-masing baik, tetapi yang satu jauh lebih baik. Di dalam kaidah agama diajarkan apabila terdapat dua pilihan yang sama-sama baik, pilihlah yang lebih banyak sisi baiknya, dan jika keduanya buruk, pilihlah yang paling sedikit keburukannya. Dari segi implikasi pengangkatan pimpinan, terdapat juga perbedaan. Walaupun keduanya --syura dan demokrasi-- menetapkan bahwa pimpinan diangkat melalui kontrak sosial, namun syura di dalam Islam mengaitkannya dengan "Perjanjian Ilahi". Ini diisyaratkan oleh Al-Quran dalam firman-Nya ketika mengaangkat Nabi Ibrahim a.s. sebagai imam Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu Imam (pemimpin) bagi manusia." Ibrahim berkata, "Saya bermohon agar pengangkatan ini dianugerahkan juga kepada sebagian keturunanku." Dia (Allah) berfirman, "Perjanjian-Ku tidak menyentuh orang-orang yang zalim" (QS Al-Baqarah [2]: 124) Dari sini lahir perbedaan ketiga, yaitu bahwa dalam demokrasi sekular persoalan apa pun dapat dibahas dan diputuskan. Tetapi dalam syura yang diajarkan Islam, tidak dibenarkan untuk memusyawarahkan segala sesuatu yang telah ada ketetapannya dari Tuhan secara tegas dan pasti, dan tidak pula dibenarkan menetapkan hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Ilahi. *** Demikian sekilas mengenai wawasan musyawarah di dalam Al-Quran. Agaknya dapat disimpulkan, bahwa musyawarah diperintahkan oleh Al-Quran, serta dinilai sebagai salah satu prinsip hukum dan politik untuk umat manusia. Namun demikian, Al-Quran tidak merinci atau meletakkan pola dan bentuk musyawarah tertentu. Paling tidak, yang dapat disimpulkan dari teks-teks Al-Quran hanyalah bahwa Islam menuntut adanya keterlibatan masyarakat di dalam urusan yang berkaitan dengan mereka. Perincian keterlibatan, pola, dan caranya diserahkan kepada masing-masing masyarakat, karena satu masyarakat dapat berbeda dengan masyarakat lain. Bahkan masyarakat tertentu dapat mempunyai pandangan berbeda dari suatu masa ke masa yang lain. Sikap Al-Quran seperti itu memberikan kesempatan kepada setiap masyarakat untuk menyesuaikan sistem syura-nya dengan kepribadian, kebudayaan dan kondisi sosialnya. Mengikat diri atau masyarakat kita dengan fatwa ulama dan pakar-pakar masa lampau, bahkan pendapat para sahabat Nabi Saw. dalam persoalan syura, atau pandangan dan pengalaman masyarakat lain, serta membatasi diri dengan istilah dan pengertian tertentu, bukanlah sesuatu yang tepat, baik ditinjau dari segi logika maupun pandangan agama. Memang setiap masyarakat di setiap masa memiliki budaya dan kondisi yang khas, sehingga wajar jika masing-masing mempunyai pandangan dan jalan yang berbeda-beda. Hakikat ini agaknya merupakan salah satu kandungan makna firman Allah. Setiap umat (masyarakat) di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang (QS Al-Maidah [5]: 48). Mahabenar Allah Yang Mahaagung dalam segala firman-Nya.[] ---------------- WAWASAN AL-QURAN Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat Dr. M. Quraish Shihab, M.A. Penerbit Mizan Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124 Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038 mailto:mizan@ibm.net
0 Responses to “Kenegarawanan : QS Demokrasi atau Musyawarah”