SUARA PEMBARUAN DAILY, 2 Juni 2009
BRA Mooryati Soedibyo
udah sering kita melihat fenomena menyedihkan terkait dengan hubungan pengusaha dan pekerja. Pada saat perusahaan sedang tumbuh pengusaha akan berusaha me-reinvest keuntungan untuk ekspansi usaha, namun pekerja curiga, karena gaji tidak naik. Terlebih pada kondisi sulit, pada saat pengusaha sedang sibuk mencari solusi agar keluar dari krisis, pekerja gencar menuntut pesangon, bonus, THR, dan jenis kompensasi lainnya.
Dalam banyak kondisi, pengusaha dan buruh hampir selalu diposisikan saling berhadapan dengan pertentangan kepentingan, sehingga situasi ini mudah dimanfaatkan secara politis dengan memunculkan wadah buruh, pengusaha, partai buruh, dan partai pengusaha. Pentingnya mengelola proses organisasi sebenarnya telah lama disadari oleh para pimpinan perusahaan, namun doktrin strategi-struktur-sistem telah memfokuskan perhatian mereka pada hubungan klasik struktur hierarkis, di mana bos adalah segala-galanya.
Perubahan yang begitu cepat dalam teknologi, persaingan, dan pasar yang menandai wajah dekade ini, telah membuat usang pemikiran lama strategi-struktur-sistem. Perubahan dirasakan telah memengaruhi efektivitas proses vertikal dan bahkan menurunkan kinerja sistem ini. Banyak perusahaan mulai melirik proses horizontal. Hal ini terlihat dengan maraknya penerapan konsep TQM, reengineering dan beberapa konsep lainnya.
Jauh-jauh hari sejak 1995, Barlet dan Ghosal telah mengidentifikasi adanya proses yang didasari oleh wewenang struktur hierarkis -yang mencirikan kesuksesan perusahaan-perusahaan besar semacam 3M, ABB, dan Canon. Suatu proses yang diimpikan dapat mengembangkan kompetensi melampui batas-batas organisasi internal perusahaan. Suatu proses yang mendorong secara terus-menerus pembauran strategi dan gagasan yang menggerakkan bisnis. Ketiga proses organisasi inilah yang disebut sebagai proses kewirausahaan, proses pengembangan kompetensi, dan proses pembaruan.
Proses kewirausahaan sering diabaikan oleh pimpinan perusahaan. Proses ini adalah proses manajemen, di mana seluruh lini organisasi dari manajer puncak sampai karyawan garis depan turut mengeluarkan dan memberikan gagasan serta inisiatif. Para karyawan garis depan tidak saja sebagai pelaksana, tetapi juga sebagai penggagas. Hal ini dicirikan dengan suatu proses kewirausahaan yang tumbuh subur dari bawah. Perhatian terhadap proses ini sangat penting, mengingat pertumbuhan struktur birokrasi dalam perusahaan telah memberikan andil terjadinya erosi kewirausahaan manajerial yang seharusnya berorientasi eksternal.
Dalam birokrasi, pada karyawan garis depan tertanam asumsi bahwa manajer puncak adalah visioner terbaik bagi organisasi dan bertanggung jawab mengarahkan organisasi memasuki area-area baru. Mencermati tuntutan proses kewirausahaan organisasi ini, tampaknya sangat relevan dengan perkembangan baru dalam kajian kepemimpinan. Diperlukan gaya kepemimpinan yang tidak sekadar transaksional, tapi lebih dari itu: transformasional, karena memotivasi bawahan untuk melakukan lebih dari yang diharapkan.
Dorongan
Perhatian terhadap proses pembaruan makin mendesak manakala perubahan lingkungan begitu cepat. Dalam proses ini, organisasi berupaya untuk senantiasa mempertanyakan strategi perusahaan dan asumsi-asumsi di balik strategi tersebut. Dasar pemikiran yang melatarbelakanginya adalah formula sukses pada masa lalu dapat saja menjadi kedaluwarsa pada masa kini.
Kondisi ini didukung oleh temuan Carauna, Morris, dan Vella (1998). Penelitiannya pada 150 eksportir menyangkut pengaruh size (besar perusahaan), sentralisasi, dan formalisasi terhadap kewirausahaan. Mereka menemukan bahwa sentralisasi memiliki hubungan negatif, sementara formalisasi organisasi berpengaruh positif terhadap perilaku kewirausahaan.
Guna mencapai terwujudnya harapan yang dapat dihasilkan dari cara pandang baru proses inti organisasi ini, manajemen puncak perlu menyesuaikan perannya. Seperti diungkapkan oleh Barlett dan Ghosal, manajer puncak harus menjalankan beberapa peran penting.
Pertama, tidak lagi mengandalkan model pengarahan dan pendelegasian yang bersifat top-down, akan tetapi sungguh-sungguh mendorong gagasan dan inisiatif dari bawah ke atas (bottom-up). Peran ini menuntut asumsi bahwa manajer puncak adalah posisi terbaik untuk melatih inisiatif kewirausahaan.
Kedua, pimpinan/manajemen puncak harus mengurangi ketergantungan pada sistem pengendalian formal dan meningkatkan disiplin diri. Misalnya, forum-forum rapat yang beragenda jelas. Manajer puncak mengembangkan iklim boleh berbeda pendapat, bahkan bila perlu konfrontasi yang konstruktif.
Sebagai perusahaan besar, perusahaan berlomba melawan fleksibilitas dan ketanggapan pesaing-pesaing yang lebih kecil. Mereka tidak saja menggali keunggulan sebagai perusahaan besar (skala ekonomis), tetapi juga pada kehebatan bakat dan pengetahuan karyawannya. Proses pengembangan kompetensi ini menghubungkan dan mengungkit sumber daya yang berbeda. Di antara peran manajemen puncak dalam proses pengembangan kompetensi ini, pertama, melengkapi (bukan merampas) jiwa kewirausahaan para manajer lini depan. Model yang digunakan cenderung pada distributed competence.
Di sini peran manajemen puncak bukan sebagai penentu dan pengendali atau pengalokasi kompetensi, tetapi lebih sebagai pencipta lingkung-an yang mengembangkan kompetensi dan menyebar jauh ke dalam organisasi. Kedua, mengembangkan biological self control, yang dapat merespons krisis sebagaimana suatu anggota badan. Jika ada yang salah pada suatu departemen, bagian organisasi lainnya seharusnya merasakan permasalahan dan segera memberikan bantuan tanpa diminta. Hal ini berkaitan dengan sistem informasi yang canggih dan jaringan komunikasi.
Ketiga, pimpinan organisasi harus menciptakan sense of community dan membantu karyawan mengidentifikasikan dirinya dengan organisasi yang makin besar. Karyawan yang ikut memiliki ambisi organisasi nilai dan pekerjaannya mempunyai dorongan yang lebih kuat untuk bekerja sama dibandingkan dengan karyawan yang hanya terangsang oleh faktor finansial. Keempat, agar memungkinkan kerja sama antarunit, manajer puncak dituntut menciptakan suatu lingkungan yang didasarkan atas dasar prinsip saling percaya. Anggota organisasi dapat mengandalkan pertimbangan/saran dari karyawan lain dan bergantung pada komitmen anggota lainnya. Caranya, manajemen puncak harus membangun praktik organisasi yang jujur/sehat (tidak KKN).
Ketergantungan
Kelima, akhirnya, manajer puncak berperan menciptakan ketergantungan dan timbal balik yang saling menguntungkan dalam lingkungan organisasi, yakni dengan mempermudah pertukaran dan kunjungan antarjaringan kolegial dan pertemuan antarunit tentang transfer teknologi, misalnya, sehingga dapat membantu setiap anggota organisasi/ pegawai mengembangkan pengetahuan dan memperluas jaringan personal.
Sementara itu, guna mempermudah jalannya proses pembaruan organisasi, manajemen puncak perlu memainkan peran pentingnya. Di antaranya, manajemen puncak berperan sebagai agent of disturbance, sebagaimana ia berperan sebagai agen of alignment. Menggoyang keseimbangan organisasi, bukan berarti menciptakan kekacauan. Pencarian keseimbangan baru organisasi, bukan berarti menciptakan kekacauan.
Cara lain dengan memanfaatkan pertemuan/rapat organisasi untuk latihan perencanaan kontijensi (contigency planning). Manajer puncak meminta para manajer untuk memperhatikan tantangan dan peluang yang dapat muncul serta apa implikasinya terhadap organisasi.
Melihat peran baru yang harus dimainkan oleh manajer puncak dalam proses inti organisasi, sebagaimana dikemukakan di atas, sekali lagi menurut penulis, keberhasilannya sangat ditentukan oleh tidak saja kemampuan manajerial, tetapi juga gaya kepemimpinan. Pendekatan manajerial yang berorientasi pada stabilitas organisasi, rutinitas, dan efisiensi tidak memadai lagi. Gaya kepemimpinan yang berorientasi tugas (task oriented) juga akan sulit mengemban peran baru ini. Manajemen puncak memerlukan keterampilan kepemimpinan baru yang dapat mengubah perilaku anggota organisasi, seperti yang diharapkan.
Kotter (dalam bukunya Corporate Culture and Performance) mengungkapkan, di antara ciri pemimpin seperti ini adalah mereka yang punya basis kuat dan wawasan yang bisa melihat organisasi sebagaimana orang lain (luar) melihatnya.
Nah, kalau pimpinan sudah menjalankan peran-peran penting baru seperti diuraikan di atas, niscaya hubungan pimpinan dan pekerja akan makin harmonis, sehingga bisnis terus melaju. Perusahaan akan mampu hidup dalam waktu yang lebih panjang dengan performa yang tetap baik di segala situasi.
Penulis adalah alumnus Universitas Indonesia Jurusan Strategic Management
Recent Comments