Archive for June 6th, 2009

06
Jun
09

Peran Manajemen Strategik Organisasi

SUARA PEMBARUAN DAILY, 2 Juni 2009


BRA Mooryati Soedibyo

Sudah sering kita melihat fenomena menyedihkan terkait dengan hubungan pengusaha dan pekerja. Pada saat perusahaan sedang tumbuh pengusaha akan berusaha me-reinvest keuntungan untuk ekspansi usaha, namun pekerja curiga, karena gaji tidak naik. Terlebih pada kondisi sulit, pada saat pengusaha sedang sibuk mencari solusi agar keluar dari krisis, pekerja gencar menuntut pesangon, bonus, THR, dan jenis kompensasi lainnya.

Dalam banyak kondisi, pengusaha dan buruh hampir selalu diposisikan saling berhadapan dengan pertentangan kepentingan, sehingga situasi ini mudah dimanfaatkan secara politis dengan memunculkan wadah buruh, pengusaha, partai buruh, dan partai pengusaha. Pentingnya mengelola proses organisasi sebenarnya telah lama disadari oleh para pimpinan perusahaan, namun doktrin strategi-struktur-sistem telah memfokuskan perhatian mereka pada hubungan klasik struktur hierarkis, di mana bos adalah segala-galanya.

Perubahan yang begitu cepat dalam teknologi, persaingan, dan pasar yang menandai wajah dekade ini, telah membuat usang pemikiran lama strategi-struktur-sistem. Perubahan dirasakan telah memengaruhi efektivitas proses vertikal dan bahkan menurunkan kinerja sistem ini. Banyak perusahaan mulai melirik proses horizontal. Hal ini terlihat dengan maraknya penerapan konsep TQM, reengineering dan beberapa konsep lainnya.

Jauh-jauh hari sejak 1995, Barlet dan Ghosal telah mengidentifikasi adanya proses yang didasari oleh wewenang struktur hierarkis -yang mencirikan kesuksesan perusahaan-perusahaan besar semacam 3M, ABB, dan Canon. Suatu proses yang diimpikan dapat mengembangkan kompetensi melampui batas-batas organisasi internal perusahaan. Suatu proses yang mendorong secara terus-menerus pembauran strategi dan gagasan yang menggerakkan bisnis. Ketiga proses organisasi inilah yang disebut sebagai proses kewirausahaan, proses pengembangan kompetensi, dan proses pembaruan.

Proses kewirausahaan sering diabaikan oleh pimpinan perusahaan. Proses ini adalah proses manajemen, di mana seluruh lini organisasi dari manajer puncak sampai karyawan garis depan turut mengeluarkan dan memberikan gagasan serta inisiatif. Para karyawan garis depan tidak saja sebagai pelaksana, tetapi juga sebagai penggagas. Hal ini dicirikan dengan suatu proses kewirausahaan yang tumbuh subur dari bawah. Perhatian terhadap proses ini sangat penting, mengingat pertumbuhan struktur birokrasi dalam perusahaan telah memberikan andil terjadinya erosi kewirausahaan manajerial yang seharusnya berorientasi eksternal.

Dalam birokrasi, pada karyawan garis depan tertanam asumsi bahwa manajer puncak adalah visioner terbaik bagi organisasi dan bertanggung jawab mengarahkan organisasi memasuki area-area baru. Mencermati tuntutan proses kewirausahaan organisasi ini, tampaknya sangat relevan dengan perkembangan baru dalam kajian kepemimpinan. Diperlukan gaya kepemimpinan yang tidak sekadar transaksional, tapi lebih dari itu: transformasional, karena memotivasi bawahan untuk melakukan lebih dari yang diharapkan.

Dorongan

Perhatian terhadap proses pembaruan makin mendesak manakala perubahan lingkungan begitu cepat. Dalam proses ini, organisasi berupaya untuk senantiasa mempertanyakan strategi perusahaan dan asumsi-asumsi di balik strategi tersebut. Dasar pemikiran yang melatarbelakanginya adalah formula sukses pada masa lalu dapat saja menjadi kedaluwarsa pada masa kini.

Kondisi ini didukung oleh temuan Carauna, Morris, dan Vella (1998). Penelitiannya pada 150 eksportir menyangkut pengaruh size (besar perusahaan), sentralisasi, dan formalisasi terhadap kewirausahaan. Mereka menemukan bahwa sentralisasi memiliki hubungan negatif, sementara formalisasi organisasi berpengaruh positif terhadap perilaku kewirausahaan.

Guna mencapai terwujudnya harapan yang dapat dihasilkan dari cara pandang baru proses inti organisasi ini, manajemen puncak perlu menyesuaikan perannya. Seperti diungkapkan oleh Barlett dan Ghosal, manajer puncak harus menjalankan beberapa peran penting.

Pertama, tidak lagi mengandalkan model pengarahan dan pendelegasian yang bersifat top-down, akan tetapi sungguh-sungguh mendorong gagasan dan inisiatif dari bawah ke atas (bottom-up). Peran ini menuntut asumsi bahwa manajer puncak adalah posisi terbaik untuk melatih inisiatif kewirausahaan.

Kedua, pimpinan/manajemen puncak harus mengurangi ketergantungan pada sistem pengendalian formal dan meningkatkan disiplin diri. Misalnya, forum-forum rapat yang beragenda jelas. Manajer puncak mengembangkan iklim boleh berbeda pendapat, bahkan bila perlu konfrontasi yang konstruktif.

Sebagai perusahaan besar, perusahaan berlomba melawan fleksibilitas dan ketanggapan pesaing-pesaing yang lebih kecil. Mereka tidak saja menggali keunggulan sebagai perusahaan besar (skala ekonomis), tetapi juga pada kehebatan bakat dan pengetahuan karyawannya. Proses pengembangan kompetensi ini menghubungkan dan mengungkit sumber daya yang berbeda. Di antara peran manajemen puncak dalam proses pengembangan kompetensi ini, pertama, melengkapi (bukan merampas) jiwa kewirausahaan para manajer lini depan. Model yang digunakan cenderung pada distributed competence.

Di sini peran manajemen puncak bukan sebagai penentu dan pengendali atau pengalokasi kompetensi, tetapi lebih sebagai pencipta lingkung-an yang mengembangkan kompetensi dan menyebar jauh ke dalam organisasi. Kedua, mengembangkan biological self control, yang dapat merespons krisis sebagaimana suatu anggota badan. Jika ada yang salah pada suatu departemen, bagian organisasi lainnya seharusnya merasakan permasalahan dan segera memberikan bantuan tanpa diminta. Hal ini berkaitan dengan sistem informasi yang canggih dan jaringan komunikasi.

Ketiga, pimpinan organisasi harus menciptakan sense of community dan membantu karyawan mengidentifikasikan dirinya dengan organisasi yang makin besar. Karyawan yang ikut memiliki ambisi organisasi nilai dan pekerjaannya mempunyai dorongan yang lebih kuat untuk bekerja sama dibandingkan dengan karyawan yang hanya terangsang oleh faktor finansial. Keempat, agar memungkinkan kerja sama antarunit, manajer puncak dituntut menciptakan suatu lingkungan yang didasarkan atas dasar prinsip saling percaya. Anggota organisasi dapat mengandalkan pertimbangan/saran dari karyawan lain dan bergantung pada komitmen anggota lainnya. Caranya, manajemen puncak harus membangun praktik organisasi yang jujur/sehat (tidak KKN).

Ketergantungan

Kelima, akhirnya, manajer puncak berperan menciptakan ketergantungan dan timbal balik yang saling menguntungkan dalam lingkungan organisasi, yakni dengan mempermudah pertukaran dan kunjungan antarjaringan kolegial dan pertemuan antarunit tentang transfer teknologi, misalnya, sehingga dapat membantu setiap anggota organisasi/ pegawai mengembangkan pengetahuan dan memperluas jaringan personal.

Sementara itu, guna mempermudah jalannya proses pembaruan organisasi, manajemen puncak perlu memainkan peran pentingnya. Di antaranya, manajemen puncak berperan sebagai agent of disturbance, sebagaimana ia berperan sebagai agen of alignment. Menggoyang keseimbangan organisasi, bukan berarti menciptakan kekacauan. Pencarian keseimbangan baru organisasi, bukan berarti menciptakan kekacauan.

Cara lain dengan memanfaatkan pertemuan/rapat organisasi untuk latihan perencanaan kontijensi (contigency planning). Manajer puncak meminta para manajer untuk memperhatikan tantangan dan peluang yang dapat muncul serta apa implikasinya terhadap organisasi.

Melihat peran baru yang harus dimainkan oleh manajer puncak dalam proses inti organisasi, sebagaimana dikemukakan di atas, sekali lagi menurut penulis, keberhasilannya sangat ditentukan oleh tidak saja kemampuan manajerial, tetapi juga gaya kepemimpinan. Pendekatan manajerial yang berorientasi pada stabilitas organisasi, rutinitas, dan efisiensi tidak memadai lagi. Gaya kepemimpinan yang berorientasi tugas (task oriented) juga akan sulit mengemban peran baru ini. Manajemen puncak memerlukan keterampilan kepemimpinan baru yang dapat mengubah perilaku anggota organisasi, seperti yang diharapkan.

Kotter (dalam bukunya Corporate Culture and Performance) mengungkapkan, di antara ciri pemimpin seperti ini adalah mereka yang punya basis kuat dan wawasan yang bisa melihat organisasi sebagaimana orang lain (luar) melihatnya.

Nah, kalau pimpinan sudah menjalankan peran-peran penting baru seperti diuraikan di atas, niscaya hubungan pimpinan dan pekerja akan makin harmonis, sehingga bisnis terus melaju. Perusahaan akan mampu hidup dalam waktu yang lebih panjang dengan performa yang tetap baik di segala situasi.

Penulis adalah alumnus Universitas Indonesia Jurusan Strategic Management

06
Jun
09

Saat Kata dan Perbuatan Berbeda

SUARA PEMBARUAN DAILY, 2 Juni 2009


Oleh: Toto Sugiarto

Presiden SBY menampik tuduhan bahwa pemerintahannya menerapkan sistem ekonomi neoliberal. Campur tangan pemerintah yang masih dilakukan menjadi alasan penolakan. Senada dengan hal itu, cawapres Boediono sibuk membangun opini bahwa dirinya bukan penganut neoliberalisme.

Tepisan SBY-Boediono itu merupakan respons atas menguatnya tuduhan terhadap Boediono, yang pernah merupakan bagian dari pemerintahan SBY, sebagai ekonom beraliran neoliberal.

Menanggapi polemik tersebut, terdapat pihak yang lebih setuju jika menjelang pilpres ini wacana lebih diarahkan pada apakah para capres-cawapres memiliki konsep ekonomi pembangunan. Ada juga yang mengatakan, salah satu yang baik untuk didalami adalah apakah capres-cawapres mengerti paham ekonomi yang tersurat dalam konstitusi. Namun, tak sedikit kalangan lain yang menilai bahwa mazhab ekonomi capres-cawapres perlu diungkap.

Neoliberalisme berarti penerapan mekanisme pasar bebas pada seluruh bidang kehidupan. Tidak hanya pada kegiatan ekonomi, mekanisme pasar juga dipergunakan pada bidang-bidang lain, seperti sosial, politik, hukum, dan budaya. Dalam negara yang pemerintahnya menganut neoliberalisme, terjadi komersialisasi berbagai unsur kehidupan. Salah satu yang memprihatinkan adalah diterapkannya paham neoliberal pada bidang pendidikan dan kesehatan. Bentuk nyatanya, privatisasi pendidikan dan kesehatan. Akibatnya terjadi komersialisasi pada kedua bidang tersebut.

Hasil dari komersialisasi itu adalah biaya pendidikan dan kesehatan menjadi mahal. Sekarang, bagi orang miskin, menyekolahkan anak di tingkat sekolah dasar saja belum tentu mampu. Sekolah gratis tidak berarti tanpa biaya. Gratis hanya iuran bulanan berupa SPP. Sekolah gratis hanya “jualan” elite politik tanpa benar-benar terasa buktinya di masyarakat. Banyak biaya lain yang diciptakan dengan sewenang-wenang, sehingga menguras pundi-pundi orangtua murid. Pada akhirnya, sekolah menjadi ajang transaksi ekonomi. Sementara sang elite tutup mata terhadap kenyataan yang memprihatinkan ini.

Bagi pemerintahan neoliberal, fasilitas publik dipandang sebagai modal untuk menghasilkan laba. Maka, tak heran jika sekarang pemerintah lebih suka membuat jalan tol dibanding jalan umum. Taman kota dan fasilitas umum lain banyak berubah fungsi menjadi pusat-pusat perbelanjaan dan hiburan.

Pengaturan masyarakat sepenuhnya menggunakan logika pasar. Menjual dan mengomersialisasikan segala sumber daya dan fasilitas publik menjadi prinsip utama. Bahkan, manusia pun diperlakukan sebagai modal. Outsourcing dan aturan yang merugikan buruh diciptakan demi pembentukan kondisi yang menarik bagi pemilik modal.

Mazhab ekonomi yang dianut pemimpin republik amat berpengaruh pada bagaimana negara memperlakukan rakyat. Dalam konstelasi bernegara di mana pemerintah menerapkan neoliberalisme, rakyat tak lebih sebagai konsumen. Akibatnya, rakyat terbedakan berdasarkan daya beli. Inilah dosa neoliberalisme. Tidak ada lagi equality karena daya beli yang berbeda.

Algojo

Berdasarkan uraian di atas, pengungkapan mazhab ekonomi capres-cawapres perlu dilakukan. Salah memilih pemimpin bisa berakibat buruk, seperti terpinggirkannya rakyat lemah, mundurnya kualitas pendidikan dan kesehatan, dan hilangnya nilai-nilai tergerus oleh jumlah kapital. Pemerintahan neoliberal cenderung bersifat terbuka penuh bagi perdagangan internasional. Karena sifatnya ini, pemerintahan neoliberal sering terlihat tidak memberikan perlindungan bagi industri dalam negeri.

Sulit untuk memungkiri bahwa fenomena ini muncul pada pemerintahan SBY. Antara lain, pemerintahan SBY sering menerbitkan kebijakan yang cenderung mempermudah impor. Salah satunya adalah menerapkan bea impor sangat rendah. Rendahnya bea impor mengakibatkan kehancuran bagi sebagian industri nasional. Produsen susu lebih suka menggunakan bahan mentah impor dibanding menggunakan hasil produksi petani indonesia. Akibatnya, para peternak sapi perah sulit mengembangkan usahanya karena terbatasnya pasar bagi hasil produksinya.

Selain itu, pemerintah tampak tidak melindungi kekuatan ekonomi dalam negeri. Bisnis retail raksasa asing diperbolehkan melakukan ekspansi tanpa batasan. Akibatnya, retail kecil dan rumahan gulung tikar. Hasil produksi gas dan batubara diprioritaskan untuk memenuhi kontrak dengan asing. Akibatnya, kepentingan dalam negeri tidak tercukupi.

Pemerintahan yang terlalu terbuka pada pasar merupakan algojo bagi kekuatan ekonomi dalam negeri. Sementara program pemerintah untuk rakyat, seperti PNPM Mandiri, yang tidak pernah terukur keseriusan dan daya cakupnya, terkesan hanya program pemoles citra.

Pemimpin yang salah menganut mazhab ekonomi bisa melemahkan kekuatan dan kemandirian bangsa. Campur tangan yang dilakukan, lebih merupakan pelindung bagi mekanisme pasar daripada kepentingan nasional. Campur tangan bukan untuk menjamin terciptanya keadilan dan kemajuan, melainkan lebih sebagai pemberi jalan bagi neolib untuk memperbesar kekuasaannya. Satu demi satu kekuatan ekonomi dan daya pikir bangsa tercabut, beralih ke negara lain seperti, Tiongkok, India, dan Vietnam.

Lebih celaka lagi, jika sang pemimpin yang menganut mazhab tersebut tidak jujur dengan keyakinan yang dianutnya. Hanya karena takut berkurangnya popularitas, keyakinan ditutup-tutupi. Saat kata dan perbuatan berbeda, hidup sebagai bangsa menjadi tanpa makna. Demokrasi di mana kejujuran dicampakkan, hanya akan menjadi ajang pembohongan rakyat.

Penulis adalah Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate

06
Jun
09

Dunia Puji Pidato OBAMA

SUARA PEMBARUAN DAILY, 5 Juni 2009, Dunia Puji Pidato OBAMA


AP/Eyad Baba

Dua Militan Hamas memakai penutup wajah dan memegang senjata saat difoto wartawan ketika mereka sedang menyaksikan pidato Obama melalui televisi di pusat pelatihan Rafah, selatan Jalur Gaza, Palestina, Kamis (4/6).

[PARIS] Para pemimpin internasional memberikan pujian atas pidato Presiden AS Barack Obama tentang hubungan dengan dunia Muslim. Mereka menilai, pidato Obama membuka halaman baru hubungan AS dan dunia Muslim. Tetapi, negara-negara musuh bebuyutan AS mengimbau Washington agar memperlihatkan tindakan konkret ketimbang sekadar kata-kata.

Tanggapan atas pidato Kairo, baik yang positif maupun yang masih menyiratkan keragu-raguan, terus bermunculan dari berbagai belahan dunia meskipun Obama sudah menjejakkan kaki di Dresden, Jerman, Kamis (4/6), untuk memulai kunjungan selama dua hari mengenang Perang Dunia II dan mendorong bergulirnya putaran baru diplomasi transatlantik.

Sekutu-sekutu terdekat Washington di Timur Tengah menyambut pidato Obama di Kairo dengan harapan. Sedangkan, beberapa musuh bebuyutan AS di kawasan menyuarakan keragu-raguan akan seruan Obama bagi terciptanya awal baru untuk mengakhiri lingkaran kecurigaan dan perselisihan.

Cetak biru AS yang baru untuk Timur Tengah dipaparkan oleh pemimpin AS tersebut dalam pidato di Kairo, termasuk tentang berdirinya negara Palestina yang baru dan upaya mengakhiri pertikaian dengan Iran terkait isu nuklir.

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Ban Ki-moon berharap, pidato Obama dapat memberikan dampak positif bagi proses perdamaian Timur Tengah yang hampir padam.

Pujian juga disampaikan Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Javier Solana. “Pidato yang luar biasa ini akan membuka halaman baru hubungan dengan dunia Arab-Muslim dan dalam berbagai problem yang dihadapi di kawasan,” ungkapnya.

Israel, sekutu terdekat AS di kawasan berharap, pidato Obama akan mencetuskan rekonsiliasi baru antara Arab dan Israel. Tetapi, Israel juga mengingatkan, keamanan negara Yahudi tersebut merupakan kunci bagi upaya perdamaian.

“Kami ikut berbagi harapan dengan Presiden Obama bahwa upaya AS akan memunculkan zaman baru yang dapat mengakhiri konflik,” ungkap PM Israel Benjamin Netanyahu.

Hamas, penguasa Jalur Gaza, menyambut pidato Obama dengan penuh kehati-hatian. “Pidato ini punya banyak hal yang kontradiktif, ketika ingin dikaitkan dengan perubahan nyata,” kata Juru Bicara Hamas Fawzi Barhum.

Sedangkan, kelompok militan Lebanon, Hizbullah mengatakan, Obama tidak menawarkan perubahan nyata apa pun atas kebijakan AS di Timur Tengah.

Pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei mengatakan, “Negara-negara di kawasan membenci AS karena mereka menyaksikan kekerasan, intervensi militer, dan diskriminasi yang dilakukan negara itu,” ungkapnya. [AFP/AP/CNN/E-9]

06
Jun
09

Barack Obama : Soft Power, Smart Power, Love Power

SUARA PEMBARUAN DAILY, 5 Juni 2009, OBAMA Tiga Kali Sebut “INDONESIA”


Tepuk tangan ditingkahi gempita sorak-sorai berkali-kali membahana ketika puluhan tokoh masyarakat, pemimpin agama, politisi, hingga jurnalis Tanah Air menyimak pidato kepada dunia Muslim yang disampaikan Presiden Barack Obama dari Kairo, Mesir, pukul 13.10 waktu setempat, Kamis (4/6), atau pukul 17.10 WIB.

Betapa tidak ? Obama memulai pidatonya dengan mengucap salam perdamaian dari warga Muslim AS, “Assalamu’alaikum”. Sebanyak tiga kali pula kata “Indonesia” disebutkan Obama sepanjang pidatonya.

Pujian juga disampaikan Obama kepada Indonesia, negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia tempat ia menghabiskan sebagian masa kecilnya. Retorika Obama sedemikian memikat. Tidak heran, tatapan mata mereka yang hadir nyaris tak sedikitpun beranjak dari layar berukuran raksasa yang menayangkan secara langsung pidato Obama selama sekitar satu jam yang disebarluaskan oleh CNN.

“Ia (Obama) adalah seseorang yang datang entah dari mana untuk mempersatukan rakyat AS. Ia punya popularitas luar biasa besar di AS. Ia berdarah Kenya dan Kansas, serta punya pengalaman masa kecil di Indonesia. Ia paham, ia sangat respek terhadap Islam. Maka ia menyebutkan kata Indonesia sebanyak tiga kali dalam pidatonya,” ungkap Stanley Harsha, staf Bidang Politik Kedubes AS, dalam diskusi di sela-sela acara “Nonton Bersama Pidato Presiden Barack Obama kepada Dunia Islam” yang diselenggarakan Kedubes AS bekerja sama dengan Center for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC), di Menteng, Jakarta, kemarin petang.

“Saya penganut Kristiani, tetapi ayah saya berasal dari keluarga asal Kenya yang mencakup sejumlah generasi penganut Muslim. Sewaktu kecil, saya tinggal beberapa tahun di Indonesia dan mendengar lantunan azan pada waktu Subuh dan Maghrib,” ungkap Obama di bagian pembuka pidatonya.

Kata “Indonesia” diucapkan Obama untuk kedua kalinya ketika berbicara tentang kebebasan beragama. “Islam memiliki sebuah tradisi toleransi yang patut dibanggakan. Kita menyaksikan hal ini dalam sejarah Andalusia dan Kordoba. Saya menyaksikan hal itu langsung ketika masih kanak-kanak di Indonesia, di mana warga Kristen yang saleh bebas beribadah di sebuah negara yang mayoritas penduduknya Muslim. Itulah semangat yang kita butuhkan kini,” ungkap Obama, yang sontak disambut tepuk tangan meriah dan sorak-sorak mereka yang hadir dalam acara nonton bareng di CDCC.

Hak Perempuan

Dan, untuk ketiga kalinya, kata “Indonesia” disampaikan Obama ketika ia berbicara tentang isu persamaan hak perempuan. Bagi Obama, isu-isu mengenai persamaan hak perempuan bukan semata-mata merupakan isu untuk Islam. “Di Turki, Pakistan, Bangladesh, dan Indonesia, kita saksikan di negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim, mereka memilih seorang perempuan untuk memimpin,” tegas Obama. Sementara perjuangan bagi persamaan hak perempuan faktanya hingga kini masih terus merupakan aspek dalam kehidupan di Amerika, dan negara-negara di seluruh dunia.

Itulah sebabnya, kata Obama, Amerika akan bermitra dengan setiap negara yang mayoritas penduduknya Muslim untuk mendukung perluasan pemberantasan buta huruf bagi kaum perempuan. Selain itu, bantuan juga akan diberikan bagi para perempuan muda untuk memperjuangkan pekerjaan lewat pinjaman usaha kecil yang akan membantu rakyat merealisasikan cita-cita mereka.

Secara keseluruhan, pujian disampaikan oleh para pembicara diskusi dan peserta acara nonton bareng atas pidato Obama di Kairo. Tidak sekadar mengutip tradisi-tradisi profetik dari Al Quran, Obama dalam pidatonya juga membuka pintu untuk mendiskusikan isu-isu perdamaian, persahabatan dan kerja sama yang disuarakan oleh Al Quran. “Saya pikir, yang lebih penting dari keseluruhan gagasan Obama tentang resolusi konkret di Timur Tengah, adalah ide pelibatan yang lebih bersifat meluas (broader engagement) antara AS dan dunia Muslim,” ungkap Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin.

Dalam pelibatan itu, kekuatan militer (hard power) diputuskan oleh pemerintahan Obama tidak lagi akan digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah di dunia Muslim.

“Resolusi problem di dunia Muslim kini lebih diletakkan pada penggunaan “kekuatan lembut” (soft power) dan “kekuatan cerdas” (smart power) yang sebelumnya disampaikan oleh Menlu AS Hillary Rodham Clinton sewaktu berkunjung ke Jakarta, serta pada kekuatan cinta kasih (love power),” kata Din tentang pidato Obama.

Terlepas komitmen dibukanya “babak baru” hubungan AS dan dunia Muslim, namun para pembicara secara keseluruhan sepakat, penilaian tidak bisa dilakukan sebatas mengacu pada apa yang disampaikan dalam pidato Obama. “Harus ada tindakan-tindakan konkret,” kata Din.

Dunia Muslim tidak bisa dimungkiri sangat mendukung Obama. Banyak simpati dicurahkan masyarakat dunia Muslim bagi Presiden AS itu. Tetapi, bagi dunia Muslim, niat memperbaiki hubungan AS dengan dunia Muslim tidak ada artinya tanpa disertai tindakan-tindakan nyata. [SP/Elly Burhaini Faizal]

06
Jun
09

6 Juni 2009 : Foto2 Kenangan Bung Karno Ketika Berjaya

Terlepas dari kisah Kontroversinya Bung Karno Memang Gagah dan juga Orator Ulung!

Source : http://infoindonesi a.multiply. com

06
Jun
09

Partai Gurem Tunggu Dana

SUARA PEMBARUAN DAILY, 5 Juni 2009


Kampanye resmi Pilpres 2009 sudah memasuki hari keempat. Ketiga pasangan capres-cawapres beserta tim suksesnya sudah disibukkan dengan berbagai aksi dan kegiatan untuk meraih dukungan konstituen. Semua sumber daya dan energi digelontorkan untuk memenangi pertarungan.

Bagi tim sukses atau partai pendukung capres-cawapres, momen kampanye ini bisa menjadi ajang untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Bagi mereka, kampanye kerap menjadi masa yang indah, masa untuk mempertebal kocek, tak peduli kandidat dukungannya menang atau kalah. Tak heran bila dalam kegiatan kampanye, kerap muncul ungkapan bahwa timnya yang sukses sementara sang kandidat gulung tikar.

Namun, harapan indah itu tampaknya belum menjadi milik sebuah partai gurem yang tak lolos parliamentary threshold, yang masuk dalam koalisi pengusung pasangan SBY-Boediono. Pasalnya, dana kampanye yang dijanjikan tak kunjung cair hingga hari ini. Sumber SP di DPP salah satu partai koalisi pimpinan Partai Demokrat itu, menyatakan, hingga Jumat (5/6), pihaknya belum menerima dana kampanye dari SBY-Boediono.

“Jadi, kampanye yang kita lakukan saat ini bisa disebut hobi saja. Karena kita sudah komit berkoalisi, maka kita juga akan kampanye semaksimal mungkin meskipun dana belum turun,” katanya.

‘Saya belum mengetahui apakah hal ini dialami juga oleh 24 parpol koalisi lainnya,” tambahnya. [E-7]

06
Jun
09

Democidal Nation

SUARA PEMBARUAN DAILY, 18 April 2009


“Democidal Nation”

Sri-Edi Swasono

Demokrasi liberal yang merambah Indonesia mengubah esensi demokrasi yang telah menjadi pilihan bangsa ini, sebagaimana diekspresikannya dalam UUD 1945 dan Pancasila. Demokrasi liberal mengacu pada voting, di mana suara terbanyak bukan saja dimenangkan, tetapi memperoleh pembenaran.

Para founding fathers kita sangat bijaksana mengartikulasikan “rasa bersama” rakyat ke dalam UUD 1945. Dari situ kita memperoleh makna mulia dari demokrasi: dalam berdemokrasi “semua diwakili”, bukan sekadar “semua dipilih”.

Demokrasi liberal mempertegas berlakunya the law of insufficiency (cupet, tidak komplet) dalam mempraktikkan demokratisasi. Adanya sekelompok yang tidak katut terwakili adalah inherent, karena tidak cukup besarnya sekelompok orang itu untuk memenuhi ketentuan teknis jumlah angka yang ditentukan (insufficient) untuk memperoleh representasi. Karena berlakunya the law of insufficiency secara inherent itu, maka pada banyak negara yang memahami betul the nobility of democracy, anggota-anggota parlemen mereka tidak semuanya merupakan hasil pemilihan umum, tetapi ada pula anggota yang “diangkat” untuk menambal bolong-bolongnya the law of insufficiency. UUD 1945 naskah asli menambal bolong-bolong itu.

Itulah sebabnya dengan bijaksana founding fathers kita menggariskan bahwa “kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR” sebagai lembaga tertinggi negara (die Vertretungsorgan des Willens des Staatsvolkes). Anggota-anggota MPR terdiri dari anggota-anggota DPR (yang “dipilih” dari hasil pemilihan umum) ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan (yang “diangkat” sesuai peraturan perundangan).

Dengan kata lain, harus ada wakil-wakil dari daerah-daerah (yang terpencil, terisolasi secara sosial-kultural, daerah khusus, dan seterusnya). Harus pula ada wakil-wakil dari golongan-golongan (etnik tertentu sebagai unsur kebinekaan, badan-badan kolektif, koperasi, petani, nelayan, veteran, golongan tidak berpolitik, ulama, cendekiawan, pendidik, artis, mahaputra bangsa, penyandang cacat, dan seterusnya). Dengan demikian, utuhlah demokrasi kita, semua terwakili, menjadi sufficient. Pimpinan MPR yang lalu telah kebobolan (atau membobolkan diri?), posisi MPR sebagai lembaga tertinggi negara diamendemen, dihilangkan oleh liberalisme. Ibarat Burung Garuda dicabuti bulu sayapnya oleh seratinya sendiri. Wakil-wakil dari daerah-daerah dan golongan-golongan pun ditiadakan.

*

Demokrasi kita berbeda dengan demokrasi Barat, meskipun keduanya sama-sama berdasar pada kedaulatan rakyat (volkssouvereiniteit). Namun, kedaulatan rakyat Barat berdasar pada kebebasan individu absolut, berdasar asas perorangan. Sedangkan kedaulatan rakyat Indonesia berdasar pada rasa bersama, ibarat suatu keluarga besar (mengemban asas mutualism, collectivism atau ukhuwah). Singkatnya, demokrasi Barat berdasar pada liberalisme dan individualisme (perfect individual liberty), sedangkan demokrasi kita berdasar pada kebersamaan (akibatnya individual privacy dinyatakan sebagai a societal license, Etzioni,1999).

Dalam kebersamaan ini hidup asas kekeluargaan atau brotherhood (yang bukan nepotistic-kinship). Alam pikiran liberal berbicara kontrak sosial, sedangkan alam pikiran kebersamaan berbicara konsensus sosial.

Demokrasi Indonesia semacam ini bukan saja diyakini legitimasi sosial-kulturalnya oleh Soekarno dan Hatta (disebutkannya sebagai demokrasi-sosial), tetapi paham ke-Timur-an ini bisa dipahami di Barat, di ruang-ruang kelasnya David Apter (1961) dan Robert Pinkney (2003), sebagai consociational democracy.

*

Undang-undang Pemilu No. 10/2008 menetapkan parliamentary threshold (PT) 2,5 persen, yang telah ditentang keras banyak partai. Mereka mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi (MK).

Namun, tuntutan mereka ditolak MK. Di sinilah kekecewaan besar masyarakat muncul, MK tergiring ke liberalisme, menimbang-nimbang tuntutan judicial review dari kacamata demokrasi Barat. Kiranya bagi MK demokrasi cukuplah bermekanisme “semua dipilih” melalui voting, bukan berdasar kesejatian “semua diwakili”. Bahkan yang terpilih pun dipasung.

Dengan dikukuhkannya PT 2,5 persen oleh MK, maka MK tidak saja memasung vox populi, tetapi bahkan memenggal suara rakyat, suatu penjagalan atau pembunuhan terhadap demokrasi kita, suatu democidal act (meskipun tak sekeji genocide). Ibaratnya, MK mengesahkan tirani mayoritas, mendukung terbentuknya a winner-take-all society (Robert Frank, 1996). MK pun mungkin alpa akan perlunya diselipkan wawasan kenegarawanan dalam wawasan hukumnya, bahwa tampilnya partai-partai baru karena kekecewaan mereka terhadap partai-partai lama yang status-quo dan tidak reformatif, bukan karena mengemban oportunisme politik. Berdirinya partai-partai politik tidak terlepas dari Maklumat Wakil Presiden 3 November 1945, yang saat ini semangatnya diselewengkan.

Gumay dan Sumampaw (pasca-pileg, pemberitaan surat kabar 11/4) membenarkan sejumlah kalangan, yang masif dan luas memperkirakan adanya kekuatan besar yang bermain dalam kisruh daftar pemilih tetap (DPT). Banyaknya warga yang tidak terdaftar sebagai pemilih, terdaftar dalam daftar pemilih sementara (DPS), namun hilang dalam DPT, pemilih yang terdata lebih dari satu, pemilih di daerah tertentu yang menjadi basis partai tertentu, tetapi tidak terdaftar, yang terdaftar dalam DPT tidak mendapat surat pemberitahuan dan seterusnya. Ini adalah distorsi demokrasi yang mengenaskan.

Berita-berita tentang pemerin-tah dan KPU digugat di pengadil-an, manajemen Pemilu 2009 terburuk, kinerja KPU merosot dan se- terusnsya, memenuhi lembaran-lembaran koran. Bawaslu pun kewalahan menangani aduan. Diskusi saya dengan Effendi Gazali berkesimpulan perlunya class-action, agar yang “menang” pun tidak dirugikan.

Pemilu adalah proses demokratisasi. Intinya adalah partisipasi dan emansipasi. Rakyat tersisih dan terpasung dari pemilu adalah tersisih dan terpasungnya hati nurani untuk mengekspresikan hak-sosialnya sebagai warga negara. Ketersisihan dan keterpasungan ini bukanlah sekadar angka mati bagaimana mewarnai suasana suka cita di media elektronik tatkala quick count diungkap bertahap dan ditonton ramai-ramai, yang melalaikan kesakralan nurani dan humanisme.

Bila Lester Thurow menulis The Zero-Sum Society (1987), saya terinspirasi mengatakan: the democidal act is the act of a suicidal society.

Penulis adalah guru besar UI

06
Jun
09

Ekonomi Ra’jat dalam Bahaja

SUARA PEMBARUAN DAILY, 27 Mei 2009


Sri-Edi Swasono

Pasangan capres-cawapres sibuk menjual program membangun ekonomi rakyat. Inikah pertanda kembalinya hidup perjanjian suci Kawula lan Gusti, dan “Takhta adalah untuk Rakyat”?

Menjelang dibuang ke Boven Digoel, Mohammad Hatta menulis Ekonomi Ra’jat dalam Bahaja (Daulat Ra’jat, 10/1/1934). Tetapi, istilah “perekonomian rakyat” pertama kalinya dikemukakan lebih awal oleh Hatta dalam tulisannya Pengaruh Koloniaal Kapitaal di Indonesia (Daulat Ra’jat, 20/10/ 1931). Di antara kedua tulisan itu, Hatta menulis mengenai ekonomi rakyat dan kesengsaraan rakyat di bawah cultuurstelsel sebagai eksploitasi negara (staatsexploitatie). Kejahatan ekonomi terhadap rakyat berkelanjutan oleh cengkeraman particulier initiatief atau kapitalisme modern. Digambarkan, kejamnya liberalisme ekonomi pada zaman penjajahan yang membawa ausschaltungstendenz (tendensi menyingkirkan) dan einschaltungstendenz (tendensi predatori) terhadap perekonomian rakyat. Hatta menggambarkan ekonomi rakyat sebagai kegiatan kehidupan ekonomi anak-negeri (inlander) yang makin tergusur-gusur dan terlunta-lunta oleh kebengisan sistem penjajahan dan malaise ekonomi tahun 1930-an.

u

Inti demokrasi adalah partisipasi dan emansipasi. Demikian pula inti demokrasi ekonomi (Pasal 33 UUD 1945) adalah partisipasi ekonomi dan emansipasi ekonomi.

Kita perlu jeli. Demokrasi kita berbeda dari demokrasi Barat, meskipun keduanya berdasar pada kedaulatan rakyat (volkssouvereiniteit). Kedaulatan rakyat ala Barat berdasar atas liberalisme individualisme atau asas perorangan. Sedangkan, kedaulatan rakyat Indonesia berdasar atas asas kebersamaan, ibarat dalam suatu keluarga besar, mengemban mutualisme kolektif (atau ukhuwah). Maju bersama, makmur bersama, dalam musyawarah mufakat.

Demokrasi ekonomi Pasal 33 UUD 1945 mengutamakan kepentingan rakyat sesuai paham pendirian negara ini bahwa “kedaulatan ada di tangan rakyat” maka dalam UUD kita posisi rakyat adalah “sentral-substansial” bukan “marginal-residual”. Oleh karena itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama (mengemukakan mutualisme, menghindarkan eksklusivisme) berdasar atas asas kekeluargaan (mengemukakan persaudaraan atau brotherhood).

Pasal 33 menegaskan, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (Mengutamakan hajat hidup orang banyak menujukkan kuatnya substansi kerakyatan).

Pasal 33 UUD 1945 lebih memperkukuh substansi kerakyatan dengan menyatakan, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Artinya “daulat-rakyat” tidak bisa digusur oleh “daulat-pasar”.

Ekonomi rakyat adalah riil dan konkret. Kita bisa bersilang pendapat mengenai definisi ekonomi rakyat. Oleh karena itu, ada baiknya bila kita meninjaunya dari segi kenyataan riil, secara common sense: kita memiliki pertanian rakyat, perkebunan rakyat, perikanan rakyat, tambak rakyat, pelayaran rakyat, kerajinan rakyat, industri rakyat, penggalian rakyat, pertambangan rakyat, dan pertukangan rakyat. Sehari-hari kita pun hidup dari pasar-pasar rakyat. Kita kenal pula ekonomi rakyat berbasis komoditas, seperti, kopra rakyat, kopi rakyat, karet rakyat, cengkeh rakyat, tembakau rakyat, dan seterusnya, di mana koperasi adalah wadah sinergismenya dan menjadi penyangga/sokoguru industri prosesing di atasnya. Semuanya menyediakan pekerjaan dan sumber kehidupan sangat luas kepada masyarakat.

Doktrin partisipasi ekonomi dan emansipasi ekonomi berujung pada prinsip “keterbawasertaan”. Artinya, dalam setiap kemajuan pembangunan, rakyat harus senantiasa terbawa serta (teremansipasi). Kemajuan ekonomi rakyat haruslah inheren dengan kemajuan pembangunan nasional seluruhnya. Tidak seharusnya terjadi eksklusivisme pembangunan, tidak terjadi pula marginalisasi, alineasi, atau penyingkiran rakyat miskin dan lemah. Misalnya, dalam setiap pembangunan mal dan hypermarket, maka PKL-PKL, usaha informal, pasar rakyat dan pasar tradisional harus katut terbawa serta, ikut terangkat masuk ke dalam pasar-pasar modern. Kalau tidak, ekonomi rakyat dalam bahaya. Kita menggusur kemiskinan, bukan menggusur orang miskin. Pasar- pasar tradisional sebagai keunikan sosial-budaya yang spesifik seharusnya dapat menjadi pameran bagi the modern presence of Indonesia.

Kita cenderung terpaku pada pola pikir “perlunya pemihakan” altruisme-filantropi kepada ekonomi rakyat. Seharusnya, kita mampu melihat peran ekonomi rakyat sebagai strategi pembangunan. Banyak makna strategis ekonomi kerakyatan dapat dikemukakan. Satu contoh saja, selama ini, khususnya dalam masa sulit, ekonomi rakyatlah yang memberikan lapangan kerja dan menghidupi rakyat, memberikan kehidupan murah kepada para buruh berupah rendah dari korporasi-korporasi besar (juga kepada PNS dan prajurit bawahan).

Dengan kata lain, ekonomi rakyat “menyubsidi” perekonomian besar di atasnya, suatu proses trickle-up effect secara nyata yang secara strategis mendukung ekonomi nasional. Sebaliknya, proses trickle-down effect kapitalistik makin menjadi ilusif.

u

Pasal 33 UUD 1945 tidak antibesar, namun menghendaki yang besar itu hendaknya dimiliki oleh banyak pihak, membentuk co-ownership, co-determination, dan co-responsibility bagi masyarakat luas.

Oleh karena itu, ekonomi rakyat bukanlah hanya menyangkut usaha rakyat kecil-kecilan, tetapi bisa menyangkut bagaimana rakyat dapat berkecimpung dalam perekonomian besar. Sebagai contoh, bila saja Indosat tidak dijual ke pihak asing, maka Indosat dapat dimiliki oleh seluruh pemegang telepon seluler, yang sahamnya bisa dibeli dengan mengenakan ekstra tarif SMS. BNI jangan diprivatisasi, saham disediakan dulu ke nasabah-nasabah nasional. GIA jangan dijual ke pihak asing, melainkan ditawarkan dulu kepada para penumpang pelanggan (dengan equity loan) atau dijual ke BUMN lain.

Kita harus menolak Konsensus Washington (deregulasi, liberalisasi, privatisasi). Kita harus membatalkan LoI yang membabat pasar domestik. Investor asing kita terima untuk bermitra bukan untuk mendominasi. Carrefour harus dibatasi, tidak menekan pemasok dan menguasai pasar retail habis-habisan (berita 16/5/09). Kita harus menjadi tuan di negeri sendiri, bukan sekadar menjadi jongos globalisasi. Rakyat bukan lagi eine nation von kuli.

Ekonom neoliberalis dengan mindset demokrasi Barat tidak otomatis berubah menjadi ekonom konstitusi atau ekonom kerakyatan, meskipun ia mengaku propoor dan projob, selama ia tidak mampu menempatkan rakyat dalam posisi sentral-substansial, bahkan tetap mereduksinya pada posisi marginal-residual yang hanya berhak sisa-sisa hasil pembangunan saja (sebaliknya kepentingan pemodal, pertumbuhan, dan efisiensi ekonomi tetap diposisikan sebagai yang sentral-substansial).

Ekonom semacam ini, yang membiarkan neoliberalisme menggusur kepentingan rakyat dan kepentingan “nasional”, yang membiarkan “daulat pasar” menggusur “daulat rakyat”, tetap dalam mainstream neoklasikal kapitalistik dan bukan seorang strukturalis kerakyatan, apalagi bila sejak awal tidak merancang pembangunan ekonomi yang menempatkan posisi rakyat dan kepentingannya secara sentral-substansial. Projob dan propoor haruslah atas kesadaran perintah Pasal 27 (Ayat 2) UUD 1945, bukan karena perintah ILO atau MDGs-nya PBB.

Penulis Adalah Guru Besar Fakultas Ekonomi UI Jakarta

06
Jun
09

Berpacu dalam Janji Pertumbuhan

Berpacu dalam Janji Pertumbuhan
KOMPAS, Senin, 1 Juni 2009 | 03:05 WIB

Para kandidat presiden-wakil presiden sudah mengeluarkan angka target pertumbuhan ekonomi. Jusuf Kalla-Wiranto keluar dengan angka 8 persen. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono memasang angka 7 persen. Sementara itu, pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto mematok angka dua digit, katakanlah 10 persen. Berarti, ketiga pasangan menargetkan pertumbuhan ekonomi yang relatif jauh di atas rata-rata pertumbuhan selama kurun waktu 2004-2009 yang diperkirakan hanya sekitar 5,6 persen.

Kita berharap setiap pasangan sudah menyiapkan resep jitu untuk memenuhi target yang mereka canangkan. Kita tidak bisa memberikan penilaian terhadap angka-angka yang mereka sodorkan. Yang paling penting adalah bagaimana mencapai target tersebut.

Secara sederhana bisa dirumuskan bahwa pertumbuhan ekonomi berhubungan langsung dengan investasi dan berhubungan terbalik dengan incremental capital output ratio (ICOR) atau pertumbuhan > investasi/ICOR.

ICOR mencerminkan efisiensi di dalam perekonomian. Semakin kecil ICOR, semakin sedikit tambahan modal yang dibutuhkan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi tertentu.

Jika kita mengasumsikan bahwa ICOR > 4, maka untuk mencapai target pertumbuhan sebesar 7 persen dibutuhkan investasi sebesar 28 persen dari produk domestik bruto (PDB). Jika target pertumbuhan dinaikkan menjadi 8 persen, maka kebutuhan investasi adalah 32 persen PDB.

Sedangkan kalau target pertumbuhan dikerek menjadi 10 persen, maka kebutuhan investasi sebesar 40 persen PDB. Sebagai perbandingan, nisbah investasi terhadap PDB pada tahun 2008 adalah 27,7 persen atau setara dengan sekitar Rp 1.500 triliun.

Sumber dana untuk membiayai investasi berasal dari dalam negeri dan luar negeri. Sumber dana dalam negeri terdiri dari APBN, kredit perbankan, dan pasar modal. Adapun dari luar negeri terdiri dari utang luar negeri dan penanaman modal asing langsung (PMAL).

Sudah hampir bisa dipastikan bahwa sumber dana dari APBN sangat terbatas. Pada tahun 2009, pemerintah hanya mampu mengalokasikan belanja modal sebesar Rp 72 triliun atau 1,3 persen PDB.

Kemampuan pemerintah untuk meningkatkan belanja modal untuk tahun 2010-2014 diperkirakan tidak akan meningkat tajam mengingat tuntutan untuk menaikkan pengeluaran rutin dan berbagai kebutuhan ”nonproduktif” lainnya semakin mendesak.

Kalaupun hendak dipacu dengan menggelembungkan defisit anggaran, undang-undang yang ada sudah membatasi maksimal 3 persen PDB. Kalaupun pemerintah memaksakan diri untuk menempuh defisit APBN maksimal 3 persen terus-menerus selama lima tahun ke depan, tampaknya pasar modal kita masih menghadapi berbagai kendala struktural yang tidak bisa dipecahkan dalam jangka pendek.

Belanja modal

Selain itu, belanja modal pemerintah yang semakin agresif juga akan berdampak terhadap kian ketatnya persaingan pencarian dana oleh pihak swasta sehingga niscaya akan menimbulkan efek mendesak (crowding-out effect), akibatnya tidak menghasilkan dampak yang maksimal terhadap pertumbuhan ekonomi.

Diutik-utik bagaimanapun, termasuk realokasi dana yang selama ini dialokasikan untuk subsidi bahan bakar minyak, tidak akan pernah bisa membuat pemerintah sebagai agent of development seperti pada masa kejayaan minyak tahun 1970-an.

Sumber pendanaan utama dari dalam negeri mau tak mau masih berasal dari perbankan. Dalam lima tahun terakhir, kredit perbankan tumbuh cukup menjanjikan. Pada tahun 2008, kredit sudah mencapai Rp 1.300 triliun. Namun, harus diingat bahwa struktur dana perbankan sangat didominasi dana jangka pendek.

Separuh dana pihak ketiga adalah dalam bentuk deposito, dan sekitar 85 persen di antaranya merupakan deposito bertenor satu bulan dan tiga bulan. Dengan struktur dana seperti itu, perbankan tidak bisa dipaksakan untuk terlalu banyak membiayai proyek-proyek jangka panjang.

Bertolak dari kenyataan bahwa kendala-kendala jangka menengah tampaknya belum sepenuhnya bisa kita atasi untuk memobilisasikan semua potensi sumber dana domestik, mau tidak mau kita masih harus berutang ke luar negeri dan mengundang penanaman modal asing langsung. Jika kita menutup diri dari sumber dana asing, kita harus rela dengan mematok target pertumbuhan yang lebih rendah.

Bagaimana kalau kita menjadwal ulang pembayaran utang luar negeri? Jika cukup kuat alasan, pembatalan utang sekalipun bisa dimungkinkan. Pembatalan sepihak akan membuat rakyat tambah sengsara seperti yang dialami Argentina sekarang.

Yang lebih realistis adalah mengundang PMAL. Kalau China saja lebih terbuka terhadap PMAL, mengapa kita harus takut? China bisa maju seperti sekarang antara lain karena mendapat sentuhan dari PMAL. Lebih dari separuh ekspor China dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asing.

Sebagai negara berdaulat, kita bisa menetapkan terms and conditions kepada mereka yang sama-sama menguntungkan kedua belah pihak. Data yang dirilis Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yang paling rendah menyerap PMAL.

Nisbah PMAL terhadap produk domestik bruto untuk Indonesia hanya 5 persen, sedangkan China 11 persen, Venezuela dan Bolivia yang antiasing masing-masing 25 persen dan 45 persen, dan Vietnam yang komunis 55 persen.

Peluang kita masih terbuka untuk meningkatkan sumber dana di dalam negeri dari penerimaan pajak. Ini penting untuk memperkokoh kemandirian bangsa.

Namun, sejauh ini kita belum pernah mendengar rencana konkret dan terukur dari para kandidat untuk meningkatkan nisbah pajak (tax ratio).

Kalau serba tidak, tidak mau ini tidak mau itu, jangan bermimpi kita bakal jadi bangsa mandiri. Kampanye akan tinggal retorika. Teramat mahal ongkos demokrasi kalau cuma untuk mengumbar janji kosong.

06
Jun
09

Pementasan Drama Politik

Pementasan Drama Politik

KOMPAS, Senin, 1 Juni 2009 | 02:56 WIB

Triyono Lukmantoro

Saling sindir di antara pemimpin politik negeri ini terus terjadi. Dengan menggunakan slogan kampanye ”lebih cepat, lebih baik”, Jusuf Kalla (JK) bagai menohok Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Tohokan itu dibalas SBY, ”jangan takabur”. Capailah tujuan politik secara berbudaya, beradab, dan beretika. Ajakan ini menyiratkan tuduhan, lawan politiknya menjalankan praktik politik tak berbudaya. Ajakan ini terdengar lembut, tetapi merupakan pukulan telak balik.

Perang retorika kian merajalela. Polarisasi dalam kabinet pun sulit dihindari. Para menteri pun terbelah. Ironisnya, kabinet pimpinan SBY-JK ini masih menyisakan banyak agenda.

Nasib rakyat benar-benar dipertaruhkan. Adakah kedua pemimpin ini masih memikirkan kemaslahatan saat mereka sibuk dengan berbagai kunjungan yang tujuan utamanya adalah menggalang dukungan? Untuk mengelakkan tudingan bahwa mereka pecah dan menyajikan kesan mereka bisa saling sapa, SBY-JK sesekali tampil bersama.

Apa makna semua peristiwa itu? Itulah pentas drama politik. Terkesan akrab saat berjumpa, tetapi saling memusuhi saat berpisah. Sikap ramah ditonjolkan saat berhadapan wajah, tetapi bermusuhan saat berjauhan. Politik sebagai drama memang penuh kepura-puraan, tak ada ketulusan.

Benar apa yang dikemukakan M Edelman (sebagaimana dikutip Emilie Gomart dan Marteen Hajer, Is That Politics?, 2002) bahwa dalam drama, opera, balet, pameran lukisan, dan pertunjukan musik, setting (lokasi kejadian) telah diatur rapi dan dimanipulasi seperti sering terjadi dalam pemanggungan aneka tindakan pemerintahan. Artinya, rasio yang sengaja dipilih merupakan relasi lokasi-tindakan untuk menampilkan cara aneka perbuatan yang paling tepat dimainkan. Drama memang penuh kepalsuan, tetapi di situlah kemenangan ditentukan.

Modus tindakan

Politik sebagai drama atau pementasan drama politik yang terjadi saat ini mengingatkan kita pada pemikiran Kenneth Burke (1897-1993). ”Kehidupan adalah drama dan dunia adalah teaternya,” kata Burke. Pada konteks di negeri kita, ungkapan itu bisa diadaptasikan menjadi ”Politik adalah drama dan Indonesia adalah teaternya”.

Mengikuti ide Burke, ada lima unsur yang dapat mengidentifikasi SBY-JK ”bermain drama”.

Pertama, act. Artinya, perkataan apa pun—spesifik maupun umum—yang memiliki konotasi sadar atau bertujuan yang membentuk tindakan. Mengkritik dengan gaya berapi-api maupun imbauan untuk berpolitik penuh kesantunan selalu mengandaikan motivasi yang tidak bisa dibohongi. Meski kata-kata diucapkan dalam bungkus kebahasaan yang halus, apalagi terucap secara kasar, otomatis didasari keinginan untuk merebut simpati maupun dukungan.

Kedua, scene. Merujuk lokasi atau situasi yang menentukan tindakan dijalankan. Pada tempat-tempat yang saling terpisah, permusuhan sengaja dinyalakan secara konstan. Sebaliknya, pada situasi tertentu yang mengharuskan keduanya saling bekerja sama, keramahtamahan ditampakkan. Semua itu tidak lepas dari suasana persaingan yang bermuara pada tujuan meraih kemenangan. Bukankah dalam politik, mencuri kesempatan harus selalu diperhitungkan?

Ketiga, agent yang menunjuk pada kelompok maupun individu yang sedang menjalankan tindakan. Inilah pelaku-pelaku yang dengan mudah dapat diidentifikasi sosoknya, seperti incumbent yang sedang menjabat dan mempertahankan kekuasaan, challenger yang berupaya menantang dan mengambil alih kekuasaan, atau tim-tim sukses yang beranggotakan kalangan jenderal purnawirawan. Jalinan yang muncul adalah relasi konfliktual antara hero dan villain (musuh) yang amat bergantung pada bagaimana keberpihakan dan penilaian ditetapkan.

Keempat, agency yang menunjukkan aneka sarana yang digunakan untuk menjalankan tindakan atau aneka instrumen yang dipakai untuk menuntaskan perbuatan. Saat berpidato, agency bisa berupa penggunaan gaya berbahasa atau strategi komunikasi yang dikalkulasikan paling manjur diluncurkan. Saat satu pihak berbicara dengan gaya meradang, pihak lain berupaya menunjukkan sikap tenang.

Kelima, purpose yang mengungkapkan tujuan yang ingin dicapai pelaku. Tujuan itu dapat terselubung atau terlihat nyata. Tetapi, bukankah dalam kompetisi politik, tujuan yang mutlak diinginkan ialah merebut kekuasaan? Hanya itu. Kesantunan maupun kekasaran berbahasa hanya kemasan yang bisa dipoles sesuai selera. Kesantunan dalam memainkan retorika adalah muslihat pembungkus ambisi. Itu sama nilainya dengan keterusterangan yang diklaim sebagai kecekatan.

Lahirlah korban

Burke mengemukakan, saat ada tindakan, hadirlah drama. Saat ada drama, muncul pertikaian. Ketika ada pertikaian, lahirlah korban. Siapa yang menjadi korban dalam pentas drama politik ini? Korban bukan para aktor yang sedang memainkan retorika dan menggalang dukungan.

Korban dalam drama politik adalah rakyat yang hidup dalam penderitaan. Para aktor drama selalu mengucapkan pemihakan kepada rakyat jelata, kenyataannya rakyat hanya dilibatkan sebagai latar belakang, tidak lebih.

Triyono Lukmantoro Dosen FISIP Universitas Diponegoro, Semarang




Blog Stats

  • 4,407,798 hits

Archives

Recent Comments

Ratu Adil - 666 on Kenegarawanan : Harta Amanah B…
Ratu Adil - 666 on Kepemimpinan : Satrio Piningit…
Ratu Adil - 666 on Kepemimpinan : Satrio Piningit…
Ratu Adil - 666 on Kenegarawanan : Harta Amanah B…
Ratu Adil - 666 on Kenegarawanan : Harta Amanah B…