01
Jun
09

Washington Consensus dan Model Pembangunan Alternatif

Washington Consensus dan Model Pembangunan Alternatif
Oleh Prof Nizam Jim Wiryawan PhD Guru Besar dalam bidang Ilmu Bisnis Internasional

Media Indonesia, 28 Mei 2009
BERITA-berita di media massa mengungkapkan penolakan sebagian masyarakat terhadap pencalonan Boediono sebagai cawapres SBY/ Demokrat karena dianggap sebagai ekonom neoliberal propasar bebas sebagai ujung tombak pembangunan perekonomian Washington Consensus. Mengingat bahwa Boediono, sebagai Gubernur Bank Indonesia, bertahun-tahun sebelumnya menjabat sebagai Menteri Keuangan/Menko Perekonomian tentu banyak memengaruhi program di bidang perekonomian, pencalonannya sebagai wakil presiden periode 2009-2014 menarik untuk ditelusuri.

Washington Consensus dan perekonomian neoliberal Krisis keuangan internasional dapat dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu krisis generasi pertama berupa krisis Amerika Latin periode 1980-an, krisis kedua berupa krisis Meksiko pada 1990-an, krisis ketiga berupa krisis Asia pada 1997/1998, dan kini krisis hipotek sub-prime di AS. Dalam upaya pemulihan krisis tersebut, IMF berperan dengan memberikan bantuan keuangan kepada negara anggota yang dilanda kesulitan neraca pembayaran (balance of payment/BOP). Karena, ciri-ciri krisis kemudian bergeser dari permasalahan current account menjadi capital account, yang lazim disebut sebagai financial account (Samuelson dan Nordhaus, 2005).

Sementara itu, kapasitas IMF sebagai lender of the last resort sesuai dengan statutanya ketika dirancang, menjadi semakin terbatas.

IMF berubah menjadi catalyc official financer dengan menggabungkan institusi lain termasuk pemerintah negara-negara maju, lembaga keuangan internasional lainnya khususnya menghadapi krisis ekonomi Asia (Cottarelli dan Giannini, 2002).

Jika pada awalnya IMF menggunakan pendekatan ekonomi model Keynesian (ketua delegasi Inggris dan arsitek pendiri IMF), kemudian IMF menggabungkan pendekatan model Keynesian dengan model moneter yang dikembangkan Polak (1957) lewat dua asumsi berbeda, yaitu model Keynesian dan Monetarist. Penggabungan itu terlihat dari asumsi-asumsi yang digunakan lewat model multiplier/marginal propensity to spend yang pro-Keynesian serta asumsi lain berupa constant velocity of money circulation yang pro Monetarist Milton Friedman (Polak, 1997).

Jika meminjam pemikiran almarhum Prof Sumitro Djojohadikusumo, pemikiran monetarist yang berasal dari Irving Fisher dianggap kontra-revolusi terhadap konsep Keynesian, terutama ketika model monetarist ini dikembangkan lagi oleh Robert Lucas dan Thomas Sargent menjadi teori rational expectation pada 1980-an, yang menganggap bahwa para pelaku ekonomi akan bersikap rasional dalam pilihan maupun keputusannya di bidang perekonomian.

Akibat pergeseran kebijakan tersebut, rekomendasi IMF kepada negara-negara yang dibantunya pun beralih ke pendekatan monetarist yang kerap menjadi sasaran kritik. Oleh karena pinjaman IMF kepada negara-negara yang mengalami kesulitan adalah untuk mengatasi persoalan neraca pembayaran (BOP), mereka dinilai memiliki kelemahan dalam sistem perekonomian, khususnya pengelolaan sistem keuangan internasional.
Dengan alasan itu, IMF menerapkan persyaratan-persyaratan ketat yang dikenal dengan conditionalities (misalnya, berupa letter-of-intent/L-o-I), seperti langkah-langkah pengendalian moneter melalui penetapan target base money, pengetatan likuiditas keuangan melalui kenaikan suku bunga supaya spekulan tidak tertarik lagi melakukan serangan kepada mata uang negara tadi (Wiryawan, 2007), selain melakukan pembenahan fi skal. Kekhawatiran bahwa negara peminjam akan teledor mengelola keuangan pemerintah menjadi persyaratan IMF.

Karena, IMF harus mempertanggungjawabkan dana-dananya kepada para petinggi IMF sesuai strukturnya.

Dalam kerangka austerity program dibuat kesepakatan yang disebut dengan Washington Consensus untuk mengatasi krisis ekonomi Amerika Latin era 1980-an yang disebabkan ketidakmampuan membayar utang pemerintah Meksiko pada 1982. Washington Consensus atau Konsensus Washington jelas berpaham monetarist model ekonomi pasar sederhana seperti model keseimbangan persaingan competitive equilibriummodel. Dani Roderick (1996) merumuskan elemen-elemen Konsensus Washington dalam 10 butir, yaitu (1) fiscal discipline, (2) redirection of public expenditure priorities towards health, education and infrastructure, (3) tax reform, including the broadening of tax base and cutting marginal tax rates, (4) Unifi ed and competitive exchange rates, (5) secure property rights, (6) deregulation, (7) trade liberalization, (8) privatization, (9) elimination of barriers to direct foreign investment/fdi, and (10) financial liberalization.

Konsensus Washington mensyaratkan keharusan (1) kebijakan pengetatan fiskal, (2) kebijakan privatisasi utamanya badan usaha milik negara, dan (3) kebijakan program liberalisasi pasar agar modal asing dapat masuk tanpa hambatan. Pokok-pokok Konsensus Washington itu ditengarai sebagai dasar dari ekonomi neoliberal yang menjadi bentuk terkini mazhab kapitalisme (Awalil Rizky dan Nasyith Majidi, 2008). Mazhab kapitalisme mutakhir menekankan kebebasan pasar agar mudah memasuki pasar tiap negara dalam rangka mengembangkan investasi, memasarkan barang, ataupun
melakukan eksploitasi sumber daya alam negara lain tanpa hambatan.

Gagasan neoliberalisme dimulai Alexander Rostow yang berbeda dengan liberalisme klasik yang menolak sama sekali campur tangan pemerintah. Neoliberalisme justru meminta pemerintah campur tangan dengan menerbitkan aneka macam legislasi yang memudahkan pembukaan pasar serta menghapuskan kendala rintangan ataupun entry barrier yang menyulitkan timbulnya pasar bebas! Kritik terhadap model Washington Consensus Ketika ditambah dengan persyaratan conditionalities IMF tadi, tiga pilar inti Konsensus Washington ini sering menuai kritik karena memberatkan (bukan membantu!) negara-negara yang mengalami kesulitan. Pasar bebas melalui liberalisasi pasar ala Konsensus Washington pun terbukti belum pernah ada dalam perekonomian negara manapun di dunia! Negara pendukung kemutlakan berlakunya liberalisasi pasar bebas, seperti AS pun sedang (diam-diam) menjalankan program Buy American dan menjalankan kebijakan bertentang an dengan program privatisasi. Karena hal itu menjadikan perusahaan-perusahaan swasta AS yang (akan) bangkrut sebagai perusahaan-perusahaan milik negara melalui penyertaan modal pemerintah AS dalam pemulihan ekonomi pascakrisis sub-prime! Jelas bahwa AS telah meninggalkan apa yang selama ini didengung-dengungkan kaum neoliberal sebagai program liberalisasi pasar dengan program privatisasi. Prof SriEdi Swasono (2007), seorang pakar ekonomi yang memiliki wawasan nasionalisme kuat, menyebutkan bahwa para pemenang Hadiah Nobel bidang Ekonomi, seperti Joseph E Stiglitz, Leonid Hurwics, Eric S Maskin, dan Roger B Myerson pun tidak setuju adanya pemutlakan mekanisme pasar bebas melalui apa yang disebut tangan-tangan gaib Adam Smith. Dalam sebuah pasar bebas neoliberal, pasti akan ada yang menang dan ada yang kalah (Mahathir Mohamad, 2002) sehingga berbahaya bagi rakyat Indonesia jika sebagian besar anak bangsa menjadi pihak yang kalah jikalau Indonesia baru berusia 60-an tahun mesti melawan kekuatan ekonomi negara-negara yang sudah ratusan tahun lebih dulu melakukan pembangunan perekonomiannya.

Sistem ekonomi neoliberal menerapkan perubahan prinsip pembangunan dari state-led development menjadi market driven development sehingga meskipun pemerintahan nasional masih ada, kekuasaannya terhadap perkembangan perekonomian mesti berbagi dengan lembaga eksternal dalam lingkup global, seperti perusahaan raksasa multinasional, LSM internasional, serta lembaga-lembaga finansial internasional (Bank Dunia, IMF) maupun regional (ADB).

Konsensus Washington dengan pemikiran neoliberal melihat manusia sebagai homo economicus (Yanuar Nugroho, 2002). Padahal manusia juga memiliki dimensi adiluhung yang bercitrakan ke-Ilahi-an berbentuk Imago Dei, bukan sajen yang dimarjinalkan dalam negara di mana mereka merupakan pemilik sejatinya. Konsensus Washington, jika diteruskan sebagai model pembangunan perekonomian Indonesia, sangat bertentangan dengan prinsip ekonomi kerakyatan ketika peran pemerintah diwajibkan aktif melindungi perekonomian rakyat dari serbuan pemodal raksasa asing, menurut Pasal 33 UUD 45 asli (bukan UUD amendemen 2002).

Modal asing itulah yang rajin menyedot miliaran barel minyak bumi, mengeruk pasir emas, dan tembaga, batu bara, serta masuk ke pasar eceran di mana-mana (misalnya, retailer asing raksasa Carrefour yang ditengarai KPPU memiliki 60% pangsa pasar) yang menyebabkan jumlah para pedagang pasar tradisional menyusut dengan drastis (minus 9% hingga minus 15%) sebagai pihak yang kalah. Jadi, sejatinya tuntutan masyarakat agar SBY/Demokrat menolak Konsensus Washington guna mampu menjalankan program ekonomi kerakyatan dalam periode 2009-2014 jika terpilih lagi dapat dipahami.

Klaim seolah-olah program ekonomi kerakyatan sudah dilaksanakan mengundang tanda tanya jikalau dilihat kenyataan bahwa pada hampir semua sektor yang menang ialah modal asing internasional.

Contoh lain, misalnya, UU Migas No 22 Tahun 2001 Pasal 22, Indonesia hanya diberi jatah 25% dari total produksi gas alamnya guna keperluan kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation) sehingga sering kali terjadi kekurangan pasokan gas alam.

Padahal Indonesia adalah salah satu negara penghasil gas alam yang terbesar di dunia.

UU Penanaman Modal No 25 Tahun 2007 pun memberikan kebebasan bagi modal asing mengikuti garis Konsensus Washington. UU Penanaman Modal itu tidak lagi membedakan mana kapling untuk modal asing dan mana yang khusus
hanya untuk modal dalam negeri karena keduanya kini diselaraskan saja. Padahal, Orde Baru saja masih melindungi pemodal nasional domestik melalui UU Penanaman Modal Nasional.

Di tingkat Peraturan Presiden (Perpres) pun tercipta keberpihakan kepada modal asing menuruti Konsensus Washington. Dari empat bidang usaha, satu dinyatakan tertutup buat semua investor, yaitu bidang narkotik (sic!),
terumbu karang serta perjudian.

Dari tiga bidang usaha lainnya, hanya sebuah yang tertutup bagi pemodal asing, seperti pemanfaatan hasil hutan alam, angkutan bus dan taksi, pelayaran rakyat, semen, perfilman, dan media cetak yang memang kurang diminati asing. Di bidang perbankan dengan sangat mudah pemodal asing menguasai saham mayoritas bank-bank yang dibangun mula-mula oleh pemodal nasional atau yang semula dimiliki pemerintah melalui BBPN, seperti BCA,
BII dan lain-lain. Padahal, menurut Pasal 33 Ayat 1 UUD 1945, jelas dikatakan bahwa Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan.

Contoh-contoh pengingkaran amanat Pasal 33 UUD 1945 disederhanakan, mengingat keterbatasan ruang. Banyak tulisan para pakar ekonomi dan perbankan lain seperti, misalnya, Rizal Ramli, Achmad Deni Danuri, Kwik Kian Gie, Hendri Saparini, dan Revrisond Baswir telah berulang kali mengingatkan pemerintah.

Dalam pertemuan-pertemuan dengan beberapa tokoh TNI-AD, seperti Letjen (Purn) Harsudiono Hartas (di kantor DHN Angkatan 45), Letjen (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo serta Letjen (Purn) Yogi Supardi (di Wantimpres Bidpol), penulis menangkap kerisauan serta kekhawatiran para senior TNI-AD akan perkembangan politik, ekonomi, serta sosial budaya dewasa ini yang makin lama makin dijauhkan dari kepentingan rakyat Indonesia.

Padahal pengalaman selama revolusi bersenjata membuktikan betapa rakyatlah yang melindungi dan mendukung mereka.

Konsep pembangunan perekonomian alternatif Sebagai bahan pemikiran alternatif, dunia juga mengenal konsep pembangunan perekonomian model Bejing Consensus yang dilontarkan pertama kali oleh Joshua Cooper Ramo (2004), yang pernah menjabat sebagai editor senior dari majalah Time serta mitra perusahaan konsultan Kissinger & Associates yang didirikan dan dipimpin mantan Menlu AS Henry Kissinger.

Model pembangunan ini fokus kepada pengembangan perekonomian negara-negara dunia ketiga dengan Beijing sebagai model penting karena keberhasilan sistem perekonomian China yang bersifat state capitalismdengan tetap membuka pasar plus penerapan regulasi sebagai ramburambu yang perlu ditaati para pelaku bisnis yang masuk ke negeri Tirai Bambu itu.

Intinya, Konsensus Beijing mensyaratkan tiga hal, yaitu (1) tidak ada kebijakan one-cure-fits-all seperti kebijakan Konsensus Washington. Sebab, takkan bisa sebuah program diterapkan bagi semua persoalan perekonomian di negara-negara yang mendapatkan kesulitan. (2) Jangan menjadikan pertumbuhan produk domestik bruto/PDB sebagai standar tunggal kemajuan perekonomian negara, seperti diyakini selama ini. Namun, perlu juga di masukkan kemampuan menciptakan pengembangan perekonomian berkelanjutan serta kemampuan pemerataan hasil-hasil pembangunan. (3)
Prinsip self determination dengan kemampuan kekuasaan tetap di tangan pemerintah agar jangan timbul ketimpangan dalam pengambilan keputusan strategis dan demi menjaga kemandirian perekonomian bangsa.

Berbanding terbalik dengan Konsensus Washington yang berpola market driven development, pendekatan pembangunan model Konsensus Beijing menggunakan pola stateled development sehingga dengan mengambil contoh China, misalnya, ketika negeri ini menjadi kaya dengan memiliki cadangan devisa $2 triliun, yang kaya adalah pemerintahnya.

Berbekal kekayaan itu, pemerintah China leluasa melakukan pembangunan negaranya, utamanya pembangunan infrastruktur yang diperlukan rakyat. Dalam kesulitan ekonomi internasional yang melanda dunia sekarang ini model Konsensus Beijing ampuh bertahan ketika perekonomian neoliberalistis di Barat hancur.

Jakarta Consensus sebagai model Sebagai bangsa yang besar, Indonesia memiliki model pembangunan kerakyatan yang didambakan masyarakat luas dan menjadi syarat dasar conditio sine qua non bagi setiap pemerintahan
di negeri ini yang sungguh-sungguh berorientasi kepada wong cilik. Model pembangunan Indonesia itu ialah yang penulis selalu sebutkan dalam setiap tulisan maupun sebagai topik dalam berbagai forum dan seminar,
sebagai Jakarta Consensus yang populer pada 1960-an. Model pembangunan Konsensus Jakarta ini mensyaratkan perlunya membangun kemampuan perekonomian bangsa dengan keberpihakan mutlak kepada kepentingan rakyat
Indonesia, seperti diamanatkan Pasal 33 UUD 45, tanpa tergantung kepada pihak asing melalui kebijakan ekonomi berdikari. Peran negara, yang berarti pemerintah, mesti diperkuat sehingga pemerintah bersama segenap pelaku perekonomian nasional berupa (1) BUMN/BUMD, (2) koperasi, dan (3) swasta nasional domestik dapat melaksanakan pembangunan ekonomi nasional. Modal asing, sekiranya diperlukan, dapat diberikan tempat namun dengan rambu-rambu yang tegas sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945 yang asli. Dalam kaitan ini, Konsensus Beijing telah sukses menjadi contoh model perekonomian negara demi kemaslahatan rakyat China dengan memberikan porsi bagi modal asing, tetapi dengan kontrol yang diperlukan di tangan pemerintah China.

Konsensus Jakarta jelas bertentangan dengan neoliberalisme yang menyebutkan bahwa ‘negara tidak boleh campur tangan terlalu banyak sebab akan mematikan kreativitas dalam perekonomian pasar bebas, seperti diutarakan Boediono dalam pidato deklarasi pasangan SBY/Boediono sebagai capres/cawapres di Bandung baru-baru ini (Kompas, 16 Mei 2009, hal 15). Pemerintah Indonesia, sebagai salah satu stakeholder perekonomian nasional bersama-sama dengan stakeholders lainnya berupa para pelaku perekonomian dan rakyat Indonesia, memiliki peran yang amat besar (lihat misalnya, Lodge, 1990) sehingga tidak tepat jika peran pemerintah dikerdilkan seperti yang dikehendaki melalui pola market-driven developmentKonsensus Washington dengan mazhab neoliberalismenya, seperti disampaikan Boediono tadi. Tanpa campur tangan negara yang kuat, kue pembangunan nasional tidak mungkin terdistribusi merata bagi rakyat kecil, yaitu petani, nelayan, buruh yang memang tidak memiliki akses kepada kue tadi.

Seumur-umurnya mereka takkan pernah mendapatkan porsi kue pembangunan nasional dan tingkat kesejahteraan yang adil jika pemerintah tidak melindungi mereka.

Kritik kepada pembangunan perekonomian model Konsensus Washington ialah pemerintah telah memberikan kue pembangunan nasional terlalu banyak kepada modal asing internasional, seperti disebutkan sebelumnya. Keadaan
itu tidak bisa didiamkan sehingga program kerja kabinet yang akan datang perlu menegaskan keberpihakan kepada kesejahteraan wong cilik, tidak peduli siapa pun presiden dan wakil presidennya nanti. Ukuran jelasnya ialah Amanat Pasal 33 UUD 1945, sehingga apakah seseorang itu prorakyat atau proneoliberalisme tidak bisa diukur semata-mata dari apa yang ia ucapkan melainkan apakah garis perjuangannya selama ia berkiprah sejalan dengan amanat Pasal 33 UUD 1945 tadi. Munculnya legislasi (misalnya, Amendemen UUD 2002, UU Penanaman Modal No 25/2007) yang berpihak kepada modal asing dengan bebas jelas bertentangan dengan program ekonomi prorakyat.

Konsensus Jakarta yang dilupakan di Indonesia ini ternyata di Amerika Latin malah mampu menimbulkan gelombang gerakan kembali kepada kenyataan di mana kapitalisme menjadi penyebab kelahiran kemiskinan, bukan
jalan keluar atau solusi (Robert Bala, 2009) seperti terjadi di Amerika Latin itu. Perlawanan terhadap model perekonomian kapitalisme itu oleh beberapa pihak (misalnya Ivan AHadar, Rikard Bangun, dan William Chang) disebut sebagai model pembangunan neososialisme. Apalah artinya nama? Program ekonomi kerakyatan yang dituntut oleh masyarakat Indonesia sudah dimiliki bangsa Indonesia berupa Jakarta Consensus.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/05/28/ArticleHtmls/28052\
009_022_002.shtml?Mode=0


0 Responses to “Washington Consensus dan Model Pembangunan Alternatif”



  1. Leave a Comment

Leave a comment


Blog Stats

  • 4,407,151 hits

Archives

Recent Comments

Ratu Adil - 666 on Kenegarawanan : Harta Amanah B…
Ratu Adil - 666 on Kepemimpinan : Satrio Piningit…
Ratu Adil - 666 on Kepemimpinan : Satrio Piningit…
Ratu Adil - 666 on Kenegarawanan : Harta Amanah B…
Ratu Adil - 666 on Kenegarawanan : Harta Amanah B…