15
Feb
09

BHP dan Kapitalisme Global

Sinar Harapan, 13 Januari 2009

BHP dan Kapitalisme Global

Oleh
Siti Nuryati

Gelombang penolakan terhadap disahkannya Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) terus terjadi. UU BHP memang bernuansa liberalisasi. Berkaca dari rintisan tujuh perguruan tinggi yang menyandang status sebagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN), yang meraup dana masyarakat sebesar-besarnya karena alokasi dana pendidikan pemerintah yang tidak mencukupi, UI misalnya hanya menerima dana pemerintah kurang dari 10 persen dari total anggaran yang dibutuhkan, yaitu Rp 1,4 triliun. IPB mengandalkan subsidi pemerintah yang hanya Rp 4 juta per mahasiswa, padahal idealnya Rp 18 juta. Unpad menerima Rp 110 miliar per tahun untuk gaji dosen dan pegawai, sedangkan biaya operasionalnya mencapai Rp 320 miliar (Ali Khomsan, 2008).
Argumentasi yang melatarbelakangi pembentukan BHMN adalah tuntutan peranan perguruan tinggi dalam mempersiapkan daya saing bangsa memasuki era persaingan global. Lantaran kebanyakan kondisi pendidikan tinggi di Indonesia yang kian tertinggal bahkan terasing dari kebutuhan dan realitas sosial, ekonomi, dan budaya, maka pe-merintah memandang perguruan tinggi memerlukan otonomi dan independensi.
Semangat itu pun tampak dalam perumusan Program Jangka Panjang Pendidikan Tinggi atau yang biasa dikenal dengan Higher Education Long Term Strategy (HELTS). Jika pada kurun waktu 1975-1985 (HELTS I) dan kurun waktu 1986-1995 (HELTS II), penekanan Program untuk Program Jangka Panjang (PJP) masih fokus pada penciptaan nuansa akademik dan manajemen organisasi yang profesional, maka pada kurun 1996-2005 (HELTS III), telah mengarah pada penciptaan Paradigma Baru dalam Manajemen Pendidikan Tinggi yang lebih dipertegas lagi dengan HELTS IV (2003-2010), di mana program untuk PJP diarahkan untuk menciptakan persaingan antar-PT di dalam negeri, menghidupkan semangat otonomi, serta penyehatan keorganisasian.

Cengkeraman Kapitalisme Global
Kualitas, Otonomi, Akuntabilitas, Akreditasi, dan Evaluasi adalah lima pilar Paradigma Baru dalam Manajemen Pendidikan Tinggi. Otonomi kampus sebagai salah satu pilar Paradigma Baru Perguruan Tinggi dilegalkan oleh pemerintah pada tahun 1999. PP No 60/1999 yang mengatur Perubahan Administrasi Institusi Pendidikan Tinggi dan PP No 61/1999 tentang Pembentukan Perguruan Tinggi sebagai Badan Hukum pun dikeluarkan. Pada Januari 2000, ditunjuk empat perguruan tinggi untuk memulai proses otonomi kampus (secara akademik dan finansial), yaitu ITB, UI, UGM dan IPB. Kemudian disusul USU (Universitas Sumatera Utara) sebagai perintis otonomi kampus di luar Jawa, UPI (Universitas Pendidikan Indonesia) dan Universitas Airlangga.
Ada kegiatan menonjol dalam HELTS IV, yakni Higher Education for Competitiveness Project (HECP) yang kemudian menjadi Indonesia Managing Higher Education for Relevance and Efficiency (IMHERE). IMHERE dibiayai dengan pinjaman dari Bank Dunia. Proyek dengan biaya total US$ 98.267.000 ini terdiri atas dua komponen: (1) Reformasi sistem pendidikan tinggi dan (2) Hibah untuk meningkatkan kualitas akademik dan kinerja perguruan tinggi. Salah satu indikator proyek ini adalah disetujuinya Rancangan Undang-Undang mengenai Badan Hukum Pendidikan (BHP) pada tahun 2010.
Satu lagi, jargon research university bahkan entrepreneurial university pun berusaha dilekatkan pada perguruan tinggi BHMN. Jika IPB menargetkan menjadi embrio research university pada tahun 2007, maka ITB mencanangkan dirinya menjadi research university pada tahun 2005 dan entrepreneurial university pada 2010. Di luar negeri untuk bisa disebut research university, sebuah perguruan tinggi harus mampu menyediakan US$ 2,4 miliar untuk anggaran penelitian. Maka, demi status tersebut, beragam jalan akan diupayakan, termasuk menggalang dana penelitian dari berbagai sumber termasuk dari lembaga-lembaga asing. Rasanya tak terlalu dini untuk mengatakan bahwa dunia pendidikan kita tengah berada di dalam cengkeraman kapitalisme global.
Di saat evaluasi tentang status BHMN pada beberapa PTN belum selesai, pemerintah melalui UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memerintahkan untuk menerapkan prinsip otonomi melalui pembentukan Badan Hukum Pendidikan (BHP). UU-nya pun disahkan.

Pengebirian Peran Negara
Berbagai pertanyaan pun muncul. Apakah UU BHP merupakan jawaban yang tepat bagi pengembangan pendidikan ke depan? Bagaimana UU ini meletakkan peran pemerintah dan masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan tinggi serta bagaimana mengonstruksi hubungan antara penyelenggara pendidikan (yayasan, perkumpulan, badan wakaf, pemerintah, dll) dengan satuan pendidikan? Adakah jaminan bagi terwujudnya pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan dalam menghadapi tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global?
Nuansa pelepasan tanggung jawab pemerintah dalam menyelenggarakan dan membiayai pendidikan tampak kian terang di depan mata dengan kehadiran UU BHP ini. Itu terlihat dari turunnya derajat kewajiban pemerintah sebagai penanggung jawab utama dalam pendidikan rakyat, menjadi kewajiban bersama dengan masyarakat. UU BHP ini mengatur segala jenjang pendidikan formal, mulai dari tingkat pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, baik negeri maupun swasta.
Jika beberapa perguruan tinggi yang sudah maju saja bermasalah dengan PP BHMN-nya, apalagi nanti sekolah-sekolah di pelosok-pelosok negeri ini. Tidakkah mereka akan makin terseok-seok dengan kehadiran peraturan perundangan ini? Karena dari sisi pembiayaan ditekankan di dalam UU tersebut, BHP dapat menerima sumbangan dan membuat komitmen utang guna membiayai investasinya pada sarana dan prasarana pendidikan atau membiayai operasi satuan pendidikan.
Ditegaskan pula bahwa suatu BHP dapat menerima sumbangan dari pemerintah. Ini mengindikasikan bahwa pemerintah tidak wajib mendanai operasional pendidikan, tetapi sekadar menyumbang. Yang namanya menyumbang, kan kalau pemerintah ingat dan mau. Kalau nggak ingat dan nggak mau, ya sebuah BHP nggak bisa berharap apa-apa dari pemerintah.
Kebijakan ini jelas-jelas bagian dari proses privatisasi atau liberalisasi pendidikan yang sebelumnya telah diperkuat Peraturan Presiden No 76 dan 77 Tahun 2007 tentang kriteria usaha di bidang penanaman modal yang membuka peluang besar kepada modal asing untuk berinvestasi di bidang pendidikan. UU ini membuka jalan bagi asing untuk memegang saham sampai 49 persen untuk tiap satuan pendidikan tingkat menengah dan universitas. Pendidikan semakin dianggap sebagai investasi sehingga pemerintah menjadikannya sektor terbuka bagi penanaman modal dan komoditas. Dengan hadirnya UU BHP ini justru lebih besar risikonya ketimbang manfaatnya karena semakin lemahnya akses kaum miskin terhadap pendidikan.

Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Fakultas Ekologi Manusia IPB.

Copyright © Sinar Harapan 2008


0 Responses to “BHP dan Kapitalisme Global”



  1. Leave a Comment

Leave a comment


Blog Stats

  • 4,407,743 hits

Archives

Recent Comments

Ratu Adil - 666 on Kenegarawanan : Harta Amanah B…
Ratu Adil - 666 on Kepemimpinan : Satrio Piningit…
Ratu Adil - 666 on Kepemimpinan : Satrio Piningit…
Ratu Adil - 666 on Kenegarawanan : Harta Amanah B…
Ratu Adil - 666 on Kenegarawanan : Harta Amanah B…