26
Aug
09

Politik : Kembang-kembang Kertas

Kembang-kembang Kertas

KOMPAS, Rabu, 26 Agustus 2009 | 03:02 WIB

Oleh Ikrar Nusa Bhakti

Perjalanan politik Indonesia kembali memasuki lembaran baru. Pemilu Legislatif 9 April 2009 dan Pemilu Presiden-Wakil Presiden 8 Juli 2009 berlangsung damai.

Memang ada riak-riak kecil penghias demokrasi, seperti gugatan-gugatan pada dua pemilu itu, sesuatu yang wajar terjadi pada negara demokrasi. Setelah proses hukum melalui Mahkamah Konstitusi selesai, Selasa (18/8), Rapat Pleno Komisi Pemilihan Umum menetapkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono sebagai Presiden-Wakil Presiden Terpilih untuk masa bakti 2009-2014.

Kini Indonesia dapat dikatakan telah masuk era konsolidasi demokrasi. Transisi menuju demokrasi tampaknya telah usai setelah sukses menggelar pemilu secara damai. Hal ini tampak dari perjalanan politik bangsa yang berlangsung sejak awal era reformasi 1998, segalanya berlangsung di bawah payung konstitusi.

Proses pergantian kepemimpinan nasional dilakukan melalui pemilu yang demokratik. Hingga kini tidak ada kekuatan politik yang bergabung dengan kekuatan militer dan ekonomi yang berniat atau usaha politik untuk mengganti rezim melalui cara-cara yang tidak demokratis. Dengan kata lain, kita telah masuk era terbitnya demokrasi konstitusional di Indonesia, suatu ungkapan terbalik meminjam konsepsi Herbert Feith tentang The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia pada era parlementer 1950-an.

Akankah kita masuk demokrasi yang matang pada 2009-2014 mendatang? Ataukah kita akan kembali terjerembab jeratan politik era Orde Baru yang tak mengenal oposisi? Berbagai pertanyaan ini patut dikemukakan mengingat dinamika politik yang berkembang belakangan ini tampaknya menafikan kultur oposisi, mengurangi proses check and balances antara eksekutif dan legislatif, serta menjurus pada kultur otoriterisme gaya baru.

Koalisi besar nasional

Sejarah politik pada era reformasi juga mencatat, pada Pemilu Presiden 2009, baru pertama kali ada pidato penerimaan dari seorang presiden terpilih. Pidato Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu dapat diperas dalam dua kalimat singkat, ”Kompetisi usai, saatnya kita bersatu”, suatu ungkapan yang amat simpatik.

Hingga kini sudah ada pernyataan resmi dari pasangan Muhammad Jusuf Kalla-Wiranto dan mantan cawapres Prabowo Subianto yang menerima kekalahan, tetapi belum ada pernyataan resmi dari mantan capres Megawati Soekarnoputri bahwa ia menerima kekalahan. Jika itu terjadi, betapa indahnya demokrasi kita.

Anehnya, meski belum ada pernyataan kekalahan, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) kini justru sibuk melakukan pendekatan politik dengan Partai Demokrat (PD), untuk memasukkan PDI-P ke jajaran koalisi. Jika Partai Golkar juga masuk, berarti akan terjadi koalisi besar nasional yang meninggalkan dua partai kecil, Hanura dan Gerindra, yang tidak tergabung dalam koalisi pemerintahan SBY-Boediono.

Yakin bahwa PD dan SBY akan mendukung Ketua Dewan Penasihat PDI-P, Taufik Kiemas, sebagai Ketua MPR mendatang dan PDI-P akan mendapat empat kursi di kabinet mendatang, kelompok pragmatis di PDI-P kian giat melakukan manuver politik mendekati PD. Kita belum tahu, apakah Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum DPP PDI-P dan patron kelompok idealis, merestui manuver-manuver politik itu.

Namun, jika ini menjadi kenyataan politik, PDI-P telah menjual diri dan menjauhi konstituennya hanya demi jabatan Ketua MPR yang tak lagi bermakna dan kursi-kursi tak begitu penting di kabinet.

Mencegah oposisi kuat

Akuisisi politik kini menjadi aturan main (the name of the game) yang sedang dijalankan PD dan SBY. Semua ini untuk mencegah adanya oposisi kuat di parlemen, atau terjadinya matahari kembar dalam sistem politik Indonesia, yakni SBY dan Megawati Soekarnoputri. Partai Golkar dan ketua umum yang akan dipilih pada munas Golkar Oktober mendatang dipastikan akan dimenangkan oleh orang atau kelompok pendukung SBY.

Nuansa akuisisi politik semacam itu kurang mendukung perkembangan demokratisasi di Indonesia menuju kedewasaan politik. Jika semua bersatu dalam koalisi besar nasional, tak satu partai pun, termasuk PD, diuntungkan. PDI-P dan Partai Golkar benar-benar terakuisisi.

Jika akuisisi tersebut dapat membesarkan dua partai itu, ini hal yang baik. Namun, kemungkinan besar dua partai itu justru dibongsai atau dikerdilkan. PD akan merugi karena tidak sempat mendapatkan mitra berlatih politik yang sepadan pada 2009-2014 sehingga menyulitkan PD untuk benar-benar berkembang sebagai partai politik besar pasca-SBY.

Keuntungan politik mungkin diraih Gerindra dan Hanura jika keduanya memainkan posisi oposisinya secara cantik. Ini dapat memberi citra politik yang baik kepada dua partai kecil itu di mata publik yang mungkin dua partai ini naik peringkat menjadi partai menengah atau besar pada pemilu legislatif 2014.

Melapangkan jalan

Gagasan pembentukan koalisi besar nasional yang menyatukan semua kekuatan besar partai nasionalis dan agamis akan melapangkan jalan SBY untuk bekerja tenang lima tahun mendatang tanpa gangguan dari parlemen. Namun, ini akan menjadikan DPR sebagai ”stempel” kebijakan pemerintah yang peran pengawas dan penyeimbangnya bukan mustahil akan diambil alih kembali oleh mereka yang giat sebagai ”parlemen jalanan”.

Akibatnya, partai-partai politik ibarat ”kembang-kembang kertas” yang bukan saja tidak indah dipandang, tetapi juga tidak memiliki zat kehidupan sebagai soko guru demokrasi. Akhirnya, Indonesia akan menjurus pada sistem otoriterisme yang akan mendapatkan perlawanan kuat dari para penggiat demokrasi yang tergabung dalam berbagai organisasi masyarakat sipil. Ini bertolak belakang dari tujuan hakiki kita mereformasi diri sejak 1998, yakni menentang sistem otoriterisme.

Ikrar Nusa Bhakti Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs di Pusat Penelitian Politik LIPI


0 Responses to “Politik : Kembang-kembang Kertas”



  1. Leave a Comment

Leave a comment


Blog Stats

  • 4,405,847 hits

Archives

Recent Comments

Ratu Adil - 666 on Kenegarawanan : Harta Amanah B…
Ratu Adil - 666 on Kepemimpinan : Satrio Piningit…
Ratu Adil - 666 on Kepemimpinan : Satrio Piningit…
Ratu Adil - 666 on Kenegarawanan : Harta Amanah B…
Ratu Adil - 666 on Kenegarawanan : Harta Amanah B…