10
Jan
09

Demi Menghormati Rakyat

SUARA PEMBARUAN DAILY/ 9 Januari 2009


Oleh Victor Silaen

Pascapemerintahan Soeharto, kian banyak orang yang bertanya: apa manfaat demokratisasi yang bergulir deras hingga kini? Kalau jawaban yang diharapkan atas pertanyaan itu adalah kesejahteraan material yang kian bertambah seiring waktu, jelas bukanlah demokrasi yang harus ditingkatkan kualitasnya. Sebab, bisa saja sistem ekonomi mengalami kemajuan terus-menerus tanpa disertai sistem politik yang kian modern, seperti halnya Brunei Darussalam, Singapura, dan beberapa negara lainnya.

Pada era Soeharto pun, dengan sistem politik yang dikelola secara otoriter, perekonomian Indonesia mengalami kemajuan pesat sejak dekade 70-an, meski akhirnya dilanda krisis juga. Atau sebaliknya, India yang telah demokratis sejak dulu, perekonomiannya tetap begitu-begitu saja.

Jadi, harus dipahami bahwa demokratisasi yang bergulir deras pasca-Soeharto bukanlah demi meningkatkan kesejahteraan material, melainkan demi menghormati rakyat selaku pemegang kedaulatan di negara republik ini. Jika pada era Orde Baru, selama puluhan tahun, rakyat selalu ditakut-takuti demi menciptakan kepatuhan kepada pemimpin, sekarang rakyat mulai dihormati karena suara mereka berdampak pada “hidup-matinya” para pemimpin.

Khususnya dalam ajang pemilu, baik di tingkat nasional maupun daerah, suara rakyat kini bagaikan vonis politik yang menimbulkan cleansing effect. Artinya, jika ada pemimpin incumbent yang tidak disukai lagi, maka rakyat dapat menghukumnya melalui pemilu, hingga akhirnya pemimpin yang bersangkutan tidak dapat berkuasa lagi, lantaran tidak mendapatkan suara yang cukup alias kurang atau tidak dipercaya. Maka, lembaga politik negara pun seakan mengalami pembersihan dari para politisi busuk yang tak lagi disukai. Siapakah yang berdaya melakukan pembersihan itu? Siapa lagi kalau bukan rakyat.

Kabar Gembira

Terkait dengan itu, rakyat mestinya bergembira, karena sejak 2004 sudah dapat menikmati hak politik yang semakin dihormati dalam rangka memilih calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang disukai dan tidak disukai. Tapi, saat itu, hak politik dengan kualitas yang sama belum dapat dinikmati rakyat dalam rangka memilih calon anggota legislatif (caleg) yang disukai dan tidak disukai, karena partai politik yang berwenang menentukannya berdasarkan nomor urut calon wakil rakyat yang bersangkutan. Tahun depan, dalam Pemilu Legislatif 2009, hak politik dalam rangka memilih caleg sudah sama kualitasnya dengan hak politik dalam rangka memilih capres-cawapres.

Itulah kabar gembira bagi rakyat dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan Pasal 214 Undang-Undang (UU) No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif. Berdasarkan itu, untuk periode 2009-2014, siapa yang akan menjadi wakil rakyat tidak lagi ditentukan oleh partai politik, berdasarkan nomor urut, tetapi berdasarkan perolehan suara terbanyak. Dengan begitu, kedaulatan rakyat semakin diakui. Rakyat yang memilih, rakyat pula yang menentukannya. Bukankah karena itu demokrasi Indonesia kelak semakin berkualitas? Tak heran jika putusan itu disebut sebagai kemenangan rakyat Indonesia pada Pemilu 2009.

Di sisi lain, kita juga bisa menyebut putusan terbaru MK sebagai kemenangan demokrasi. Mengapa demikian? Pertama, karena berdasarkan itu setiap caleg memiliki posisi setara. Jika sebelumnya sebagian caleg yang merasa memiliki keistimewaan politik karena kedekatannya dengan pengurus teras partai, atau para caleg itu sendiri memang memiliki jabatan penting di partai, sekarang semua caleg sama karena yang penting adalah suara rakyat untuk mereka.

Kedua, jauh sebelum ini beberapa partai sudah mendeklarasikan bahwa mereka menerapkan mekanisme suara terbanyak dalam rangka menempatkan para calegnya di lembaga legislatif. Namun, bukankah itu hanya ketetapan internal partai yang tidak didukung dengan landasan hukum yang kuat dan mengikat, seperti halnya undang-undang? Maka, dengan keluarnya putusan terbaru MK, potensi trik dan intrik yang mungkin saja dilakukan partai menjadi pupus dengan sendirinya.

Ketiga, bukan rahasia lagi bahwa di beberapa partai telah terjadi praktik jual-beli nomor urut caleg. Artinya, caleg yang ingin mendapat “nomor jadi”, wajib hukumnya untuk menyetor uang sejumlah sekian-sekian.

Itu sebabnya, caleg yang tidak mampu menyetor uang sejumlah itu dengan sendirinya mendapatkan “nomor sepatu” alias kecil kemungkinannya akan dapat kursi. Sekarang, dengan keluarnya putusan MK para caleg yang sudah telanjur menyetor uang politik pun gigit jari. Sebab, setoran mereka tidak akan ada pengaruhnya bagi perolehan kursi di parlemen. Baik menyetor atau tidak, yang menentukan adalah suara rakyat.

Lebih Loyal

Keempat, dengan disahkannya ketentuan mekanisme suara terbanyak, para wakil rakyat periode 2009-2014 niscaya belajar untuk lebih loyal pada konstituennya ketimbang kepada partai. Pada periode 2004-2009, yang masih berjalan, kita sulit memastikan apakah wakil rakyat yang duduk di parlemen mendapatkan kursinya itu karena terpilih dengan suara terbanyak atau karena partainya yang merekayasa sedemikian rupa, sehingga meski perolehan suaranya sedikit, tapi mereka berhasil meraih kursi.

Kelima, ke depan proses politik di Indonesia akan semakin berkontribusi pada terbentuknya nilai budaya kompetisi di masyarakat. Artinya, mereka yang sungguh-sungguh berakar di masyarakat akan berhasil meraih simpati rakyat. Di sinilah para politisi harus berkompetisi. Memang, di satu sisi kompetisi rawan konflik. Namun, jika itu disikapi dengan positif dan dikelola dengan baik, niscaya dampaknya semakin menumbuhkan kebutuhan untuk berprestasi pada diri setiap orang. Bukankah ini menjadi nilai budaya yang positif di tengah kehidupan masyarakat Indonesia?

Akhirnya, bagi mereka yang selama ini berpikir akan golput pada hari H, 9 April 2009, kini saatnya untuk berpikir ulang. Sebab, setiap suara betul-betul dihargai. Suara rakyat kini dapat menjadi sarana pembersih bagi para politisi incumbent yang tidak disukai lagi atau caleg yang tidak berintegritas dan berkualitas.

Namun, ingat, bersikaplah cerdas dalam memilih nanti. Mulai sekarang persiapkan diri dengan memiliki daftar nama para caleg, lalu cermati rekam-jejaknya untuk kemudian seleksi siapa-siapa saja yang layak dipilih sebagai caleg di DPR, DPRD, dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Pendeknya, jangan sampai masuk ke tempat pemungutan suara (TPS) dengan “kepala kosong” atau memilih caleg hanya gara-gara sosok terkenal, padahal kontribusinya demi kemaslahatan rakyat nyaris tidak ada.

Penulis adalah Dosen Fisipol UKI, pengamat sospol


0 Responses to “Demi Menghormati Rakyat”



  1. Leave a Comment

Leave a comment


Blog Stats

  • 4,405,785 hits

Archives

Recent Comments

Ratu Adil - 666 on Kenegarawanan : Harta Amanah B…
Ratu Adil - 666 on Kepemimpinan : Satrio Piningit…
Ratu Adil - 666 on Kepemimpinan : Satrio Piningit…
Ratu Adil - 666 on Kenegarawanan : Harta Amanah B…
Ratu Adil - 666 on Kenegarawanan : Harta Amanah B…